Tendang, Terjang, Hadang

Sabtu, 12 Desember 2009

arah sastra Indonesia

QUO VADIS?
MENAKAR SASTRA INDONESIA



“Mau kemanakah sastra Indonesia,” pertayaaan itu seringkali muncul tatkala saya lagi ngobrol dengan teman sejawat, atau tatkala berdiskusi di beberapa komunitas sastra. Pertanyaan itu, saya yakin juga menyeruak dikalangan para pencinta dan penikmat sastra di Indonesia.
Sebuah karya sastra memang tak akan terlepas dari keadaan sosio-kultural yang melatarbelakangi kehadiran sastra itu sendiri. Maka dari itu kalau diperkenanakan menjawab pertanyaan di atas. Maka saya akan menjawab ‘Abstrak’. Hampir sama dengan pertayaan,”Mau kemanakah negara Indonesia?”
Maman S Mahayana, kritikus sastra UI, menyatakan paling tidak ada dua faktor yang melatarbelakangi karya sastra itu. Pertama. Pengaruh arus globallisasi dan lompatan kemajuan teknologi. Di dalamnya termasuk juga pengaruh media. Sehingga para pencinta sastra bisa dengan mudah mengakses pelbagai karya sastra dari belahan bumi manapun. Misalnya dengan membuka website www.Sriti,com, maka akan terlihat cerpen-cerpen yang terbit di pelbagai media di tanah air tiap minggunya.
Hal ini acapkali menjadi sebuah keuntungan bagi sastrawan pemula untuk mempublikasikan karya mereka lewat dunia maya. Begitupula kemunculan komunitas-komunitas sastra dalam dunia maya.(Cybersastra, apresiasi sastra dll) yang memberikan andil bagi khazanah kesusasteraan Indonesia. Namun, terjungkir berbalik dengan perkembangan media cetak. Terutama setelah tiadanya rubrik sastra pada beberapa koran Nasional yang notabene menjadi ikon arah sastra Indonesia seperti Republika dan Media Indonesia. Bahkan saya mendengar dari kawan saya bahwa majalah Annida—yang biasanya menjadi rujukan penikmat sastra bergenre islam—telah tidak terbit lagi. Sungguh ironis.
Kedua, pengaruh perubahan sosial politk dalam tatanan pemerintaham. Seperti kita tahu setelah tumbangnya orde baru pada 1998, perubahan sosial dalam masyarakat terjadi dengan sangat cepat. Tak terkecuali sastra. Setelah masa itu, booming sastra memang sangat menggembirakan. Hal ini ditandai dengan kemunculan para penulis wanita. Sepeti Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu dll. Yang sangat berani mengekspos hal-hal yang pada awalnya dianggap tabu. Juga dengan kemunculan arah sastra yang bergenre islam—terlepas dari pelbagai kontreoversi, namun terbukti sangat diminati oleh khalayak—yang dimotori oleh Helvy Tiana Rosa dkk—terutama dengan Forum Lingkar Pena(FLP) yang mempunyai jejaring yang sangat luas sampai ke luar negeri.
Juga ditandai dengan kebangkitan ‘sastra pembebasan’ yang dimotori oleh Hudan Hidayat dkk—terutama dengan komunitas (Teater Utan Kayu ‘TUK’). Dan jangan dilupakan keberadaan sastra yang bergenre sains seperti yang dilakukan Andrea Hirata dengan Tetralogi Laskar pelangi yang sangat fenomenal itu.
Terus kemanakah arah sastra Indonesia? Lagi-lagi sulit memperkirakanya. Yang jelas ke depan akan semakin banyak gebrakan-gebrakan baru yang memperkaya khazanah kesusteraan Indonesia. Dan tentunya memebriakn sumbangsih bagi peradaban. Saya terungat sebuah kata indah dari Pramordya Ananta Toer,” Kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja. Tapi tanpa mencintai sastra, kalian hanya tinggal hewan yang pandai”


*esai sastra ini dimuat di Buletin sastra Tehangat, Komunitas sastra Senjakala Jakarta.www.tehangat.tk