Tendang, Terjang, Hadang

Kamis, 29 Juli 2010

Melempangkan Kesetaran Gender*

oleh; Dedik Priyanto

Tepat di akhir pekan, serombongan pemuda dan pemudi berangkat bersama dari kampus Universitas Islam Negeri (UIN), Ciputat, menuju Wisma Departemen Peternakan yang berada di daerah Ragunan, Jakarta Selatan. Mereka merupakan peserta Pelatihan Kesetaraan Gender yang dilaksakan selama dua hari, 22/23 Mei 2010. Acara ini digalakkan oleh Kajian Perempuan (KP) Piramida Circle Jakarta dan bekerja sama dengan yayasan Rahima sebagai fasilitator.

Pelatihan kali ini memang agak berbeda. Betapa tidak, tema yang diinisiasi oleh panitia “meretas persamaan, menuai kesetaraan” ternyata mendapatkan apresiasi yang cukup hangat. Terbukti peserta yang hadir juga beragam. Mulai dari forum-forum kajian, organisasi kampus, hingga mahasiswa pesantren,”Tujuan diadakan ini salah satunya juga untuk proses penyadaran akan pentingnya kesetaraan, ” tutur Siti Latiffah, Ketua panitia pelatihan kali ini.

Antusiasme dari peserta juga sangat bagus, serta tidak hanya didominasi oleh perempuan saja, tapi laki-laki juga berperan aktif. Hal ini juga yang dikatakan oleh Abdul Rouf selaku Koordinator Umum Piramida Circle,”Dalam transformasi sosial, khususnya mengenai kesamaan hak. Laki-laki juga harus berperan aktif. Bahkan menjadi inisiator dalam perubahan sosial. Khususnya mengenai hak-hak perempuan dalam konstruksi sosial masyarakat.”

Selama berlangsungnya acara, para peserta nampak sangat serius dalam memerhatikan. Bagi mereka, pemahaman akan gender ini menjadi sesuatu yang baru. Salah satu peserta, Puput, yang saat ini masih duduk di semester 2 menuturkan bahwa kegiatan ini membuat dia terkaget-kaget pada awalnya, karena pemahaman akan gender ini bagi dia adalah hal yang relatif baru. Dan tidak ditemukan di pesantren dulu. Tapi, kini ia sadar bahwa kesetaraan dan persamaan hak memang ada dalam islam, begitu tuturnya.

Pada hari terakhir, peserta mendapat pemahaman mengenai konstruksi agama tentang ketimpangan gender ini oleh Dr. Nur Rofi’ah. Maka berakhirlah rangkaian acara pelatihan, dan segera akan dilakukan Closing Ceremony. Sebelum itu, laiknya pelatihan lainya, para peserta melakukan Rencana Tindak Lanjut (RTL) sebagai proses follow up pasca acara.

Di situ, peserta dan fasilitator menyampaikan gagasan dan harapanya setelah acara. Kebanyakan dari mereka menginginkan adanya silaturahmi yang tidak boleh terputus, serta perlu adanya pemahaman yang lebih komperehensip dan mendalam. Untuk itulah panitia mengusulkan untuk membagi menjadi dua bagian; Kajian & Jurnalistik,dan kesenian. Sebagai follow up. Di samping itu, juga dipaparkan mengenai profil Piramida Circle dan Kajian Perempuan (KP), yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Forum Kajian Sosial dan Keagamaan Piramida Circle Jakarta.

“KP terbangun karena terbentuknya paradigma Akan sebuah kesadaran tentag makna intelektulitas, dan perjuangan untuk kesetaraan,” ungkap Anis Fuchrotul Fuadah, Koordinator Kajian Perempuan. Acara ini pun ditutup dengan satu pemahaman bahwa kesetaraan dan persamaan hak adalah milik semua orang.

*Reportase catatan perjalanan dimuat di Majalah Piramida.

Kematian Cerpen Indonesia*


oleh: Dedik Priyanto

Judul Buku : 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2009
Penulis : Triyanto Triwikromo (Ed)
Penerbit : Gramedia
Cetakan : I, 2009
Halaman : Iii+176 Halaman
Harga : Rp. 50. 000,00

Kematian adalah sosok yang paling menakutkan bagi manusia. Dan mau tidak mau semua yang bernyawa pasti akan mengalami hal ini; aku, kamu dan jiwa-jiwa yang akan bertemu dengan-Nya melalui perantara kematian.

Dan dunia sastra—khususnya cerpen—meminjam istilah Hamsad Rangkuti, adalah cerminan dunia nyata. Maka apakah ini merupakan cermin kematian kita; manusia, yang digambarkan melalui narasi yang disebut “cerita pendek”. Itulah yang coba penulis kuak melalui buku yang berjudul “kumpulan cerpen terbaik tahun 2009” ini. Yang merupakan representasi cerpen-cerpen terbaik di Indonesia yang berserakan di pelbagai media massa rentang 2008-2009, dan juga diseleksi oleh para sastrawan nomer wahid semacam Sapardi Joko Damono, Budi Dharma, Putu Wijaya, Sutardji Colzoum Bachri dst.

Dari sekian cerpen yang ada, paling tidak ada empat cerpen di sini yang mengeksplorasi kematian sebagai ide dasarnya, yaitu Cincin kawin (Danarto), Lembah Kematian Ibu (Triyanto Triwikromo), Hari Ketika Kau Mati (Stefanny Irawan) dan Kamar Bunuh Diri (Zaim Rofiqi). Yang seringkali tema-tema kematian seperti ini dieksplorasi dengan ciamik oleh Hudan Hidayat.

Danarto misalnya, ia mencoba menguak sisi gelap masa orde baru, yang mana banyak terjadi pembunuhan dan penculikan manakala pendapatnya berbeda dengan pemerintah. Dan potret kemiskinan menjadi spektrum yang sangat kentara mewarnai cerpen ini. Khususnya ketika sang ibu menemukan potongan-potongan daging suaminya dalam perut ikan yang ia beli dengan harga sangat murah, karena tidak mampu beli yang lainya. Melalui penanda cincin perkawinan yang masih menempel di jari suaminya, hingga tak lama Ibu pun meninggal dunia ( Hal 36).

Lain halnya dengan apa yang dituturkan Zaim Rofiqi dan Stefanni Irawan. Mereka mencoba mengkonteksualisasikan fenomena yang akhir-akhir ini memang banyak terjadi di negeri ini, yaitu bunuh diri.

Dua kisah ini menggambarkan suasana destruktif kekecewaan manusia atas keadaan yang ada, dan berusaha mengakhirinya. Meminjam istilah Freud, bahwa dalam diri manusia terdapat dua kekuatan yang saling bertentangan. Yaitu dorongan bertahan hidup (Eros), dan dorongan menuju kematian (Thanatos) pada dirinya, yang kedua ini lebih bersifat menghancurkan. Dan kedua cerita ini seolah menggambarkan kekalahan jiwa rasional manusia menghadapi dunia realita yang ada.

Memang sedikit simplistis jika hanya berbicara tentang kematian melalui dunia kecil yang biasa kita sebut “cerpen”. Tapi, paling tidak buku ini mampu menggugah hati kita sebagai manusia, bahwa hidup ini tidak akan pernah lepas dari kematian. Entah itu kita menolak kedatanganya kelak, atau bahkan menjemputnya dengan tangan terbuka.

*Resensi ini dimuat di Majalah sastra Teh Hangat, Senjakala

WARISAN ILMU SOSIAL GUS DUR* (Pengalaman saat membaca buku Gus Dur dan Ilmu Sosial Transofmatif)

oleh: Dedik Priyanto**

Seperti biasa, setiap sore penulis datang dari kampus dan menuju kost. Kala itu, penulis menemukan sebuah buku yang sangat mencolok mata di samping televisi. Laiknya bunga mawar yang mencolok dengan keindahan merahnya, begitu pula buku itu. Dengan sampul Gus Dur yang sedang tertawa. Pun ditambah pengarangnya yang acapkali penulis jumpai di forum-forum studi maupun seminar-seminar tentang kebudayaan; Syaiful Arif. Buku itu berjudul Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif.

Maka penulis hampiri buku itu, kemudian membacanya. Di situ penulis mendapatkan sebuah pemahaman baru, khususnya mengenai sosok yang wujudnya acapkali menghiasi kalender-kalender di kediaman penulis yang berada di ujung perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah; Kota Angling Dharma Bojonegoro. Itu pula agaknya yang menuntut penulis untuk mendekatkan diri pada spektrum pemikiran beliau yang “konon” sangat luas itu.

Dari buku inilah, penulis sedikit memahami bahwa percikan-percikan pemikiran Gus Dur, yang dilukis melalui buk ini mencoba mendedahkan salah satu dari sekian banyaknya tafsir atas spektrum pemikiran Gus Dur. Meminjam istilah Ulil Abshar Abdalla, bahwa sosok satu ini ibarat sebuah teks terbuka. Dan karena sifatnya yang terbuka itu, maka memungkinkan tafsir yang tidak tunggal. Tafsir-tafsir itu semacam pelabelan liberalisme, tradisionalisme, post-tradisionalisme, modernisme, bahkan neo-modernisme seperti yang diutarakan Greg Barton, Indonesianis asal Australia.

Di sinilah tafsiran yang dilakukan oleh Syaiful Arif, yang mencoba menguak pemikiran Gus Dur lewat kacamata ilmu sosial. Agaknya hal ini yang menurut santri Pesantren Ciganjur ini lebih pas disandingkan pada diri Gus Dur, khususnya atas apa yang dilakukan beliau dalam transformasi sosial dan keagamaan. Yakni pembebasan dari belenggu kolonialisme kekuasaan yang terbukti menghapus hak-hak rakyat terutama minoritas.

Pembebasan seperti apa yang diinginkan Gus Dur? Berbeda dengan Marx, pembebasan yang dilakukan oleh Gus Dur tidak mengenal adanya kelas-kelas seperti apa yang diutarakan kaum Marxian, juga karena meniadakan agama sebagai salah satu fundamen terpenting dalam arah transformasi sosial. Bagi beliau, agama —khususnya islam—adalah fundamen utama guna dijadikan media pembebasan dari segala jerat hegemoni dan ideologisasi.

Itulah mengapa beliau menyebut islam sebagai etika sosial. Maka etika yang acapkali menjadi perdebatan antar pemikir, sastrawan, budayawan maupun filsuf menjadi amat benderang di mata Gus Dur kini. Jikalau menengok lebih mendalam tentang etika sosial ini, bagi Gus Dur dimaknai sebagai sebuah bentuk pembanding bagi modernitas yang cenderung individualistis, dan acapkali kering secara spirirutalitas. Maka etika sosial seperti inilah yang harus menjadi basis pergerakan bagi muslim dalam kehidupan, yang tidak silau pada budaya-budaya modernitas.

Maka, melalui buku inilah, agaknya lanskap pemikiran ilmu sosial Gus Dur yang begitu luas itu mampu diterjemahkan dengan brilian. Hingga membukakan tabir bagi kita bahwa sosok satu ini juga mewariskan bagi kita khazanah ilmu sosial yang membebaskan, khususnya bagi generasi penerus yang harus terus dielaborasi dan dieksplorasi. Namun, lagi-lagi memperbincangkan pelbagai warisan Gus Dur memang tidak akan pernah habis. Karena jikalau kita mau tengok, Gus Dur tidak hanya mewariskan hal ini saja. Banyak sekali sisi keilmuan beliau yang agaknya perlu kita kuak dan kita gali kembali lebih mendalam.

* Esai ini diajukan sebagai syarat untuk mengikuti pelatihan Tadarus kolom-kolom Gus Dur yang diselenggarakan oleh The Wahid Institute selama dua bulan di LSM para Gus Durian, berkat esai ini juga penulis berhasil memperoleh program pelatihan itu yang hanya 25 orang yang terpilih dan selama dua bulan penuh dilatih serta bertemu dengan para tokoh nasional semisal Rizal Ramli, Andreas Harsono, Adi Massardi, Dr. Rumadi, Ahmad Suaedy dll, untuk membincang tentang teks-teks Gus Dur, peranan, serta gerakan-gerakan sosial keagamaan yang telah, belum dan akan direalisasikan, hingga nanti akan terwujudnya kedamaian, pluralisme yang kian utuh, juga kesejahteraan yang menjadi tujuan mulia Gus Dur.

Nasihat Nabi

oleh; Dedik Priyanto

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab:21).

Momentum kelahiran memang tak luput dari kegembiraan, kesenangan bahkan tangisan. Harus jua dimengerti bahwa kelahiran Nabi Muhammad SAW merupakan hadiah terbesar dari Allah ke dunia, yang diperuntukan bagi manusia untuk dijadikan contoh yang baik dalam segala tindakan (uswah hasanah).

Laiknya sebuah sandiwara kehidupan yang disutradarai dengan indah oleh Sang Maha Pencipta Allah SWT, Nabi Muhammad SAW menempati posisi sebagai peran utama, yang menjadi tongkat dan aktor penentu arah kehidupan. Begitu pula manusia yang menjadi aktor pengganti yang meneruskan sejarah perjuangan Sang Nabi Akhiruzzaman.

Nabi dengan pelbagai keindahan budi pekertinya telah mendorong kepada kita untuk selalu berbuat baik, saling memaafkan, dan terus belajar untuk mencintai orang lain. Yang kesemua kebaikan itu bermuara pada sebuah konsep hakiki nasehat nabi yang paling utama, yaitu akhlak yang mulia.

Akhlak dalam islam merupakan puncak dari nilai-nilai agung, poros utama yang menjadi pusat nilai-nilai kemanusiaan. Dalam islam terdapat nilai-nilai luhur yang berfungsi sebagai kendali bagi orang muslim, sebagai pengawas atas kehendak dan perilakunya. Di atas semua itu, nilai Akhlaklah yang paling utama.

Dalam al Quran sendiri Allah seringkali menyinggung tentang pentingnya akhlak ini,”Dan sesungguhnya kamu benar-benar budi pekerti berbudi pekerti yang baik.”(Q.S Al-Qolam;4). Ayat itu menurut Imam Al-Mawardi diartikan sebagai keharusan untuk berbuat baik (berakhlak) terhadap semuanya. Entah itu sesama umat islam, orang lain bahkan kepada binatang sekalipun.

Dengan kata lain, akhlak seperti yang dinasehatkan nabi ini memuat seluruh dimensi kehidupan, yang menganjurkan sikap tolong-menolong, cinta-kasih, menjaga kehormatan, cinta-kasih, baik, jujur, ikhlas, istiqomah, suka kebersihan, gotong-royong, pemaaf, sabar, penyayang, teguh, pemberani, ramah pada tamu dan seterusya.

Tidak sampai di sini, untuk memperkuat kendali perilaku dan moral seoran muslim, Nabi menasehati agar menjauhi sikap saling dengki, munafik, berlebih-lebihan, kikir, amarah, suka mencela dan segala keburukan lainya, yang tentunya berimbas pada pada dirinya sendir dan orang lain.

Akhlak ini sangat penting, karena inilah ciri dari seorang muslim yang sejati. Dan sungguh bahagia dan mulianya orang itu. Nabi bersabda,”Yang paling dicintai Allah di antara kalian adalah yang akhlaknya paling jujur, yang ‘merendahkan sayapnya’(bersikap cinta kasih), yang bersikap ramah dan diakrabi (orang).”(H.R Muttafaqun ‘alaih).

Seperti Nabi, kita harus senantiasa mendayagunakan segala potensi yang dimiliki untuk menjadi insan Rabbani, yang selalu menjadi pioner risalah islam ke penjuru dunia. Tentunya dengan keindahan Akhak yang mulia seperti yang telah dinasehatkan nabi. Wallahu a’lam.

*Artikel ini dimuat Koran Harian Republika di Kolom Hikmah, bertepatan dengan Maulid Nabi tahun 2009

Menengok Penjahat Piala Dunia*

Dedik Priyanto*

Judul : Footbal Villains
Penulis : Owen A. Mc. Ball
Penerbit : B’ First-Bentang Pustaka Jogjakarta
Tahun : I, Maret 2010
Tebal : 204 hal.
Harga : Rp.37. 000, 00

Diorama Piala Dunia memang selalu menyajikan hal yang tak terduga. Tidak hanya para pemain dan penonton yang diaduk emosi. Lebih dari itu, unsur sosio-politik suatu negara juga sangat mempengaruhi. Bahkan di situ terdapat para penjahat yang mengacau jagad sepakbola.

Potret inilah yang dicoba dikuak oleh Owen Mc. Ball lewat buku ini. Lingkup senarai yang dipilih penulis juga tidak sebatas pemain, tapi juga dialektika dan dilema eksternal sebuah tim dengan segala lika-likunya. Semisal jurnalis, politik, hingga urusan klenik. Mereka inilah yang disebut para penjahat, yang awalnya diagungkan sebagai pahlawan, tapi pulang dengan hujatan, bahkan yang lebih satir; hinaan.

Maka tengoklah mitologi rakyat Brasil. Negara goyang samba ini seolah enggan memercayakan mistarnya dijaga oleh penjaga gawang berkulit hitam. Dialah Micoir Barbosa yang menjadi tumbal itu. Kegagalannya menghalau tendangan pemain Uruguay di final piala dunia 1954 menjadi awal mitos itu. Apalagi Brasil sangat kental dengan budaya klenik. Dakwaan sebagai “penjahat abadi” pun melekat pada dirinya.

Akibatnya, ia dijatuhi sangsi sosial. Bahkan para orang tua menjulukinya monster, dan dikisahkan laiknya dongeng; iblis yang ditakuti dan harus dihindari. Menderitalah dia sepanjang hidup. Bahkan di akhir hayatnya ia berlirih,”Hukuman di Brasil paling lama 30 tahun penjara. Tapi aku, untuk kesalahan yang tak sepenuhnya menjadi tanggung jawabku, telah menjalani hukuman selama 50 tahun.”

Lain halnya pengalaman Ahn Jung Hwan. Ikon sepakbola Korea Selatan ini menjadi penjahat paling dibenci oleh penduduk Italia. Gol tunggalnya di menit terakhir ke gawang Gianluigi Buffon, Kiper Italia, pada piala dunia 2002 menjadi sebab. Hingga pupuslah harapan negeri Pizza ini untuk melenggang ke semifinal. Apalagi kala itu ia sedang bermain bagi klub Perugia di liga Italia.

Geramlah segenap rakyat Italia. Apalagi melihat banyaknya kecurangan yang terjadi selama pertandingan. Termasuk dua gol yang dianulir oleh wasit. Maka diusirlah dia dari klub dan tidak boleh lagi menginjakkan kaki di Italia. Bahkan karir profesionalnya pun terlunta-lunta di dataran Eropa karena kuatnya lobi politik mereka di sana. Dan terpaksa harus kembali ke Asia demi menyelamatkan hidupnya.

Maka dari 18 cerita yang terangkum, tak pelak, peristiwa paling mengenaskan adalah sikap warga dunia pada tim nasional Israel. Betapa tidak, negara zionis itu seolah mendapat buah dari perangai buruknya pada Palestina. Hingga berujung pada enggannya seluruh negara asia bertanding melawan tim mereka. Tak terkecuali Indonesia yang kala itu menjadi macan persepakbolaan Asia.

Buntutnya, tim Israel harus terlunta-lunta di separuh belahan dunia hanya untuk satu tujuan; mencari lawan tanding. Pun impian menjadi jawara di piala dunia hanya sebatas mimpi, karena peraturan FIFA yang mengharuskan untuk bermain. Jika tidak, mereka akan dilemparkan dari peta persepakbolaan dunia.

Beda cerita dengan “Tuhan Sapakbola” Diego Maradona. Sosok yang wujudnya menjadi pujaan seluruh dunia ini, saat ini menjadi penjahat yang paling dibenci masyarakat Argentina. Apa pasal? Karena tim Tango yang diasuhnya melempem saat kualifikasi piala dunia. Apalagi ia dinilai tidak cakap dan kurang mampu mengolah talenta-talenta hebat Argentina menjadi kekuatan yang menakutkan.

Membaca buku ini seolah kita dihantarkan pada fakta-fakta tersembunyi dibalik gemerlapnya piala dunia. Juga tak kalah menggelitik adalah pertarungan ideologis yang tersembunyi dibalik baju nasionalisme mereka. 18 kisah para penjahat dituturkan dengan gaya naratif yang cukup memukau. Memang, sepakbola tetaplah misteri yang selalu tiada kehabisan cerita.
*Resensi ini dimuat di Koran Jakarta, 22 Juni 2010
**Peresensi adalah Penikmat Sepakbola dan Penulis Buku “Demam Piala Dunia 2010”.

Dedik Priyanto*

Judul : Footbal Villains
Penulis : Owen A. Mc. Ball
Penerbit : B’ First-Bentang Pustaka Jogjakarta
Tahun : I, Maret 2010
Tebal : 204 hal.
Harga : Rp.37. 000, 00

Diorama Piala Dunia memang selalu menyajikan hal yang tak terduga. Tidak hanya para pemain dan penonton yang diaduk emosi. Lebih dari itu, unsur sosio-politik suatu negara juga sangat mempengaruhi. Bahkan di situ terdapat para penjahat yang mengacau jagad sepakbola.

Potret inilah yang dicoba dikuak oleh Owen Mc. Ball lewat buku ini. Lingkup senarai yang dipilih penulis juga tidak sebatas pemain, tapi juga dialektika dan dilema eksternal sebuah tim dengan segala lika-likunya. Semisal jurnalis, politik, hingga urusan klenik. Mereka inilah yang disebut para penjahat, yang awalnya diagungkan sebagai pahlawan, tapi pulang dengan hujatan, bahkan yang lebih satir; hinaan.

Maka tengoklah mitologi rakyat Brasil. Negara goyang samba ini seolah enggan memercayakan mistarnya dijaga oleh penjaga gawang berkulit hitam. Dialah Micoir Barbosa yang menjadi tumbal itu. Kegagalannya menghalau tendangan pemain Uruguay di final piala dunia 1954 menjadi awal mitos itu. Apalagi Brasil sangat kental dengan budaya klenik. Dakwaan sebagai “penjahat abadi” pun melekat pada dirinya.

Akibatnya, ia dijatuhi sangsi sosial. Bahkan para orang tua menjulukinya monster, dan dikisahkan laiknya dongeng; iblis yang ditakuti dan harus dihindari. Menderitalah dia sepanjang hidup. Bahkan di akhir hayatnya ia berlirih,”Hukuman di Brasil paling lama 30 tahun penjara. Tapi aku, untuk kesalahan yang tak sepenuhnya menjadi tanggung jawabku, telah menjalani hukuman selama 50 tahun.”

Lain halnya pengalaman Ahn Jung Hwan. Ikon sepakbola Korea Selatan ini menjadi penjahat paling dibenci oleh penduduk Italia. Gol tunggalnya di menit terakhir ke gawang Gianluigi Buffon, Kiper Italia, pada piala dunia 2002 menjadi sebab. Hingga pupuslah harapan negeri Pizza ini untuk melenggang ke semifinal. Apalagi kala itu ia sedang bermain bagi klub Perugia di liga Italia.

Geramlah segenap rakyat Italia. Apalagi melihat banyaknya kecurangan yang terjadi selama pertandingan. Termasuk dua gol yang dianulir oleh wasit. Maka diusirlah dia dari klub dan tidak boleh lagi menginjakkan kaki di Italia. Bahkan karir profesionalnya pun terlunta-lunta di dataran Eropa karena kuatnya lobi politik mereka di sana. Dan terpaksa harus kembali ke Asia demi menyelamatkan hidupnya.

Maka dari 18 cerita yang terangkum, tak pelak, peristiwa paling mengenaskan adalah sikap warga dunia pada tim nasional Israel. Betapa tidak, negara zionis itu seolah mendapat buah dari perangai buruknya pada Palestina. Hingga berujung pada enggannya seluruh negara asia bertanding melawan tim mereka. Tak terkecuali Indonesia yang kala itu menjadi macan persepakbolaan Asia.

Buntutnya, tim Israel harus terlunta-lunta di separuh belahan dunia hanya untuk satu tujuan; mencari lawan tanding. Pun impian menjadi jawara di piala dunia hanya sebatas mimpi, karena peraturan FIFA yang mengharuskan untuk bermain. Jika tidak, mereka akan dilemparkan dari peta persepakbolaan dunia.

Beda cerita dengan “Tuhan Sapakbola” Diego Maradona. Sosok yang wujudnya menjadi pujaan seluruh dunia ini, saat ini menjadi penjahat yang paling dibenci masyarakat Argentina. Apa pasal? Karena tim Tango yang diasuhnya melempem saat kualifikasi piala dunia. Apalagi ia dinilai tidak cakap dan kurang mampu mengolah talenta-talenta hebat Argentina menjadi kekuatan yang menakutkan.

Membaca buku ini seolah kita dihantarkan pada fakta-fakta tersembunyi dibalik gemerlapnya piala dunia. Juga tak kalah menggelitik adalah pertarungan ideologis yang tersembunyi dibalik baju nasionalisme mereka. 18 kisah para penjahat dituturkan dengan gaya naratif yang cukup memukau. Memang, sepakbola tetaplah misteri yang selalu tiada kehabisan cerita.
*Peresensi adalah Penikmat Sepakbola dan Penulis Buku “Demam Piala Dunia 2010”.

Rabu, 28 Juli 2010

Prasasti*

Oleh: Dedik Priyanto **

Orang itu selalu bersungut. Argumentasinya menggebu-gebu. Terutama jika tesis yang ia utarakan dapat dipatahkan oleh orang lain. Naik pitamlah dia dan membuat orang lain acapkali tunduk dengan teori yang ia keluarkan. Namun tatkala penulis ajukan sebuah pertanyaan satir,”Mengapa tidak dikau tuliskan argumentasimu itu?” Ia diam.

Ihwal tentang wacana pemikiran acapkali menjadikan manusia menjadi sosok yang berbeda. Khususnya tentang pemaknaan kebudayaan dalam lingkupnya yang cukup luas. Terutama membincang persoalan peradaban. Maka persoalan yang penulis ketengahkan memang menjadi hal yang cukup dilematis. Mengingat dalam peradaban ada ruang-ruang tertentu yang merupakan kaki dari spektrum wacana yang luas. Yakni persoalan peradaban teks yang seringkali dilupa, atau terlupa sebagai pengejewantahan pemikiran.

Ernst Cassirer menuturkan bahwa manusia adalah mahluk simbol “animal symbolicum” (Cassirer, 1944). Disadari atau tidak, kita hidup dengan bergelimang simbol. Hal itu dimaknai sebagai bentuk eksistensi manusia dengan keadaan. Maka kebudayaan dan peradaban merupakan hasil dari perkembangan simbol ini. Simbol ini bisa menjadi banyak anasir yang berbeda; bahasa, seni, dan kehidupan lainya. Pun manusia adalah penjelmaan simbol dengan interpretasi entitas yang berdarah daging dan memilki otak.

Jikalau kita mau menengok ke belakang, maka peradaban manusia tidak akan pernah terlepas dari simbol ini. Bukti tak terbantahkan adalah penemuan bukti-bukti sejarah dari masa lampau. Semisal Mesir dengan piramida, Cina dengan Tembok Besarnya, India dengan Taj Mahalnya, bahkan Indonesia dengan Boroduburnya yang merupakan bukti tingginya sebuah peradaban. Tak pelak, hal ini mengingatkan penulis teringat dengan simbol yang paling kuat dalam peradaban manusia, yaitu tulisan yang acapkali berupa prasasti-prasasti.

Prasasti inilah yang membuat para ilmuwan memahami peta-peta historis masa lalu. Pun dengan pergolakan yang terjadi kala itu. Maka sebuah keniscayaan tatkala ingin membuat sesuatu dalam peradaban hanya dengan peradaban wacana saja. Itu pula yang banyak dikeluhkan oleh para filsuf bahwa kehampaan ruang-ruang dalam melukiskan pikiran-pikiran yang mengembang dalam benak masing-masing individu para pemikir.

Hingga menguaplah pemikiran mereka bersamaan dengan terbenamnya diri.
Tak ayal, ilmuwan terkemuka, Isaac Newton, pun pernah mengatakan bahwa temuan-temuannya tak bisa berdiri tanpa ada orang-orang terdahulu. Khususnya yang telah membangun peradaban dengan menulis. Maka menulis ini merupakan pisau untuk mengasah dan mempublikasikan pemikiran. Terutama yang berguna untuk menegaskan identitas dan eksistensi manusia sebagai subyek yang sanggup mencipta realitas. Tentunya lewat prasasti-prasasti yang mereka bangun sendiri dalam membentuk peradaban.

*dimuat di Majalah Piramida, edisi Mei
**Esais adalah redaktur Buletin sastra Teh Hangat, Senjakala. Aktif di Forum Lingkar Pena (FLP) Ciputat dan Forum Kajian Sosial dan Keagamaaan Piramida Circle Jakarta

Senin, 19 Juli 2010

Machiavelisme dan Politik Sastra *


Oleh; Dedik Priyanto **
“Maka kita pun menolak Machiavelisme kesusasteraan. Machiavalisme kesusasteraan menyepak cara untuk menggapai tujuan, bersikap palsu terhadap bentuk demi mempertontonkan ini. Pada hal dalam kenyataan, kesusasteraan adalah kesatuan yang langsung dialami sebagai bentuk isi,” kata Goenawan Mohammad.

Buku yang berjudul “Polemik Hadiah Magsaysay” membuat penulis terperangah. Betapa tidak, buku ini seolah membuka tabir bagi kita semua bahwa dalam dunia sastra, terdapat perebutan-perebutan makna dan kuasa, dan hal itu tentu berbau politis. Bahkan acapkali keluar dari terma sastra itu sendiri.

Maka tatkala memperbincangkan perebutan kuasa ini, penulis teringat dengan seorang filsuf asal Italy, Niccolo Machiavelli (1456-1527). Menurut beliau, politik hanya berkaitan dengan satu hal semata, yaitu memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Hal lainnya, seperti agama dan moralitas, yang selama ini dikaitkan dengan politik, sesungguhnya tidak memiliki hubungan mendasar dengan politik, kecuali bahwa agama dan moral tersebut membantu untuk mendapat dan mempertahankan politik.

Sejarah kesusasteraan kita memang berkata demikian. Coba kita kuak, dimulai dari perdebatan lama antara STA dan Pane bersaudara. Hingga perebutan relasi kuasa antara Lekra dan Manikebu. Perebutan-perebutan makna atas kekuasaan dibalik tiara sastra inilah yang sampai sekarang masih tetap hangat untuk diperbincangkan dan didiskusikan. Pun dengan perdebatan antara Utan Kayu dan Saut Situmorang dkk.

Penulis mencoba menarik benang merah dari perebutan-perebuatan makna di atas. Bahwa dalam hal intertekstualitas sastra memang tidak pernah berdiri satu kaki. Bahkan untuk melambungkannya sekalipun. Ia harus memakai makna dari Machiavelli tentang kekuasaan. Karena jika sudah berkuasa, maka ia akan memiliki kekuatan dan hegemoni untuk mengangkat nama mereka.

Contoh menarik adalah pada perdebatan buku “Magsaysay” itu. Satu sisi menghendaki bahwa penghargaan untuk Pramoedya Ananta Toer sangatlah layak. Namun sisi yang lain, menganggap bahwa penghargaan itu sangatlah tidak layak, dikarenakan perangai Pram saat menggawangi Lekra. Kala itu Pram dinilai dengan sangat pongah telah membarangus para seniman dan sastrawan lainya yang tidak sejalan dengan pola pikir orang Lekra yang mengusung sastra untuk revolusioner dalam bingkai Realisme Sosialisnya.

Benderanglah kini bagaimana alur politik dalam sastra memang sangat kentara. Karena kalau ditengok ulang, maka yang ada adalah tidak melihat dari isi sastra itu. melainkan dari faktor eksternal yang melingkupi karya itu. Pantaslah jika GM, Arief Budiman, Umar Kayam seolah acuh mengenai hal ini. Janganlah kita terbebani dengan sejarah kelam politik sastra itu. Lihatlah dari karya sastra mereka. Bukan begitu, Bukan?

* Esai ini dimuat di Buletin Sastra Teh Hangat, edisi Juni2010.
**Esais adalah mahasiswa Psikologi UIN Jakarta. bergerak di Tongkrongan Sastra SENJAKALA, FLP Ciputat dan Piramida Circle Jakarta.

Minggu, 07 Maret 2010

DONNA-DONNA Joan Baez


inilah lagu yang memberi saya inspirasi. liriknya sangat dahsyat yagn sungguh inspiratif. dipopulerkan oleh Rida dalam film Gie. pun ini menjadi lagu favorit dari Soe Hoek Gie.

donna-donna:

On a waggon bound for market
there`s a calf with a mournful eye.
High above him there`s a swallow,
winging swiftly through the sky.


How the winds are laughing,
they laugh with all their might.
Laugh and laugh the whole day through,
and half the summer`s night.

Donna, Donna, Donna, Donna; Donna, Donna, Donna, Don.
Donna, Donna, Donna, Donna; Donna, Donna, Donna, Don.

“Stop complaining!” said the farmer,
Who told you a calf to be?
Why don`t you have wings to fly with,
like the swallow so proud and free?”


Calves are easily bound and slaughtered,
never knowing the reason why.
But whoever treasures freedom,
like the swallow has learned to fly.

Senin, 15 Februari 2010

…dan sepotong sajak itu?

…dan sepotong sajak itu?

;zahara
ku lukis sajak ini
kala siang menyengat
dan rindu mencekat

kuawali
dengan tanya akan datangmu
pada malammalam mimpi yang
tiap hari menjejali

tak lupa baitbait rindu
kusematkan di ujung ronamu
yang terpetik pada rinai angin
datang sore hari

kutambahkan titiktitik rasa
menjelma dalam debaran jantung
memompa gejolak
sekujur tubuh kecilku

tinggal satu kata cinta
tertanda akhir sajakku
tertinggal di ujung hatimu

2009

wartawan

Pistol itu ditodongkan ke mukaku. Raut wajahnya yang begitu seram memelototi seluruh bagian tubuhku. Rambutnya yang gondrong, dikucir ke belakang. Badanya yang besar penuh tato membuatku takut. Sangat takut.
“Hah! Apa yang kau lakukan sama Pak Anwar?” bentaknya.
“Aku nggak tahu, apa yang akan kamu lakukan padaku?” jawabku dengan parau.
“Bedebah.”
Gagang pistol itu langsung dipukulkan ke mukaku. Tak ayal, rasa pening langsung menyeruak di seluruh kepalaku. Lalu tanganya yang besar itu menjambak rambutku dan menariknya ke atas hingga tubuhku ikut tertarik dan berdiri.
Brak…
Dipukulnya kembali perutku dengan tanganya. Ditendang, dicekik, dan diludahi. Sakit kurasakan semua. Aku merasa Tubuhku yang sudah lunglai diseretnya ke sebuah ruangan gelap dan dilemparkanya begitu saja di dalamnya. Aku pingsan.
*****
Mataku kini terbuka. Ruangan itu sangat gelap. Pekat dan pengap. Tak ada cahaya matahari. Kepalaku masih sangat pusing. Badanku terasa sakit semua, seperti telah tercopot dari tubuhku.
Aku berusaha menggerakan tubuhku. Tapi, ternyata kedua tanganku diikat dengan tali yang sangat kuat. Sakit. Sekuat tenaga aku melepaskanya, tetap saja aku tak bisa.
“Dimanakah aku?” tanyaku dalam hati.
Dari kejauhan. Sayup-sayup aku mendengar derap langkah kaki semakin mendekat. Aku pun tak mau ambil risiko dihajar kembali oleh orang itu, maka kupejamkan mataku dan pura-pura masih tertidur.
Krek…
Pintu terbuka. Derap langkah itu semakin dekat. Aroma alkohol kini sangat kentara memenuhi ruangan.
“Ha..ha..Masih tidur kau ternyata bajingan!”
Kini. Kumendengar langkah kaki orang lain datang. Mereka lalu bercakap-cakap sebentar. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak bisa mendengarnya. Tak berapa lama mereka diam. Aku merasa sekarang mereka sudah tak ada diruangan ini lagi. Aku lega.
Kupicingkan mataku untuk memastikanya. Benar. Mereka sudah tak ada lagi. Ternyata aku salah, mereka kembali. Aku mendengar salah satu dari mereka sedang bicara dengan telpon.
“Iya, Bos. Wartawan itu sudah ada pada kami, santai saja. Kami profesional. Jika orang itu masih bertingkah, akan langsung kami habisi. Yang pernting bos secepatnya tansfer uang, biar kami cepat menyelesaikan pekerjaan ini.”
Byur...
Tiba-tiba salah satu dari mereka menyiramku dengan air. Aku pun gelagapan. Lalu sebuah bogem mendarat tepat dimukaku. Aku hanya meringis kesakitan.
“Bangun kau bajingan, Bangun!”
“Ampun..ampun... apa salah saya.”
“Ini salah kamu,” sambil menendang perutku dengan laras sepatunya. Mereka tertawa terbahak-bahak. Lalu salah satu dari mereka menjambak rambutku, ia berkata,”Makanya jadi orang jangan sok tahu. Ini akibatnya karena kamu telah menjelek-jelekan Bos kami, hingga jabatanya sekarang turun. Iya kan!”
“Jabatan? Turun? Apa yang kalian maksudkan. Tunggu...kalian anak buah Anwar, pejabat kor...”
Belum sempat aku meneruskan kata-kataku, bogem mentah meluncur ke mukaku. Sekali, dua kali bahkan berkali-kali. Entah berapa kali aku meminta ampun, namun tak digubris oleh mereka. Rasa sakit terus menjalar di sekujur ke tubuhku.
Kini aku tahu siapa dalang dibalik penculikanku, Pak Anwar pejabat pemerintah itu. Yang telah lengser dari jabatanya setelah aku membeberkan kepada khalayak tentang penipuan yang dilakukanya selama ini.
*****
Pekerjaanku sebagai seorang wartawan, memang mengharuskan untuk meliput segala yang terjadi di negeri ini. Sudah lima tahun aku menjalani pekrjaan ini, dan aku menikmatinya.
Hampir tiap hari aku pergi ke sana kemari untuk meliput pelbagai kejadian yang sedang up to date terjadi. Hingga aku menemukan sebuah berita yang sangat menghebohkan tentang seorang pejabat pemerintah, yaitu Pak Anwar.
Dia terkait dengan kasus dugaan korupsi yang merugikan pemerintah miliaran rupiah, namun akhirnya dibebaskan dari segala tuduhan oleh sidang, karena menurut para hakim tidak ada bukti yang valid atas keterlibatanya dalam kasus tersebut.
Semua rakyat nampak tidak puas mengenai keputusan itu, termasuk aku. Maka kuputuskan untuk menyelidiki kasus itu. Karena sebagai wartawan aku merasa tertantang untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi dan memberitahukanya kepada masyarakat.
Mulailah aku menggali segala informasi mengenai dirinya. Hampir tiap hari aku mengkuti dimana dia pergi. Aku pun bekerjasama dengan salah seorang temanku yang kebetulan seorang intel polisi untuk mengungkap kasus ini.
Bukti itu terkuak. Aku menemukanya sedang makan siang dengan salah seorang hakim yang pernah mengadilinya dulu. Sontak, ini membuatku kaget. Aku melihat dengan jelas Pak Anwar memberikan sebuah koper hitam kepada hakim itu, setelah dibuka ternyata isinya uang semua yang tertata dengan sangat rapi.
Aku tak menyangka, ternyata hakim di negeri ini bisa dibeli oleh orang semacam Pak Anwar. Bukti yang lain diberikan oleh temanku yang menyamar sebagai pelayan, dan menempelkan semacam alat perekam kecil di meja tempat mereka makan itu.
Waktu itu aku pun memotret mereka. Posisiku saat itu memang sangat memungkinkan untuk mengambil gambar dan aku yakin mereka juga tak tahu kalau mereka sedang kuawasi.
Tidak mau berlama-lama, segera kubeberkan kasus ini pada masyarakat. Bukti-bukti yang ada bagiku sudah cukup untuk menggeret pejabat korup itu ke pihak yang berwajib.
Keesokan harinya. Aku pun menulis berita tentang Pak Anwar di halaman utama koran yang aku pegang. Sontak, negeri ini pun geger oleh berita ini. Para pembesar dan pemerintah di negeri ini seolah kebakaran jenggot, dan malu karena polah dari Pak Anwar dengan hakim itu.
Setelah itu, terjadilah demo besar-besaran yang dilakukan oleh para mahasiswa dan rakyat menuntut diturunkanya Pak Anwar dan antek-antek yang terlibat dalam kasus ini. Namaku saat itu melambung dan dipuji oleh banyak orang karena telah berani mengungkap kebobrokan aparat pemerintah.
Semua media—baik cetak maupun elektronik—saat itu menyiarkan berita tentang ulah Pak Anwar dan hakim. Pemerintah kala itu merasa tesudutkan dengan segala pemberitaan yang ada.
Karena tidak mau menanggung malu, Presiden negeri ini meminta mengusut dengan tuntas masalah ini dan menangkap siapa saja yang terlibat. Tak pelak Pak Anwar dan kroni-kroninya ditangkap, dan diadili oleh pengadilan tertinggi negara ini.
Hari persidangan itu akan segera dilaksanakan besok pagi, dengan menghadirkan diriku sebagai saksi utama. Malam harinya rumahku didatangi oleh dua orang yang berpakain rapi, mereka sepertinya orang yang kaya, pikirku kala itu.
“Mas, kami mohon kerjasamanya,” kata salah seorang dari mereka sambil menyodorkan sekoper uang kepadaku.
“Ayolah mas, kami tahu hidup anda sebagai wartawan belum bisa mencukupi kebutuhyan mas dan keluarga, “ imbuh satunya.
“Apa ini maksudnya ini! Kalian mau menyuapku, pergi kalian dari sin! Dasar penjilat, Anjing-anjing koruptor, Pergi...” kataku dengan tegas.
Kulihat muka mereka merah padam, dan langsung ngeloyor pergi meninggalkan rumahku sembari mengumpat-mengumpat. Aku masih ingat salah satu dari mereka mangancamku,”Awas! Kamu memang wartawan tak tahu diuntung. Nantikan pembalasan dari kami.”
Besoknya, aku pun pergi ke pengadilan untuk menjadi saksi dalam persidangan kasus Pak Anwar. Di sana aku membeberkan beberapa bukti yang ada, tak lupa kawanku yang seorang intel itu juga memberikan catatan-catatan penyelidikanya.
Suasana itu nampak riuh dan tegang, pihak Pak Anwar dengan pengacaranya tidak diam saja. Pembelaan demi pembelaan mereka lontarkan untuk membebaskan—atau paling tidak meringankan hukuman—Pak Anwar.
Namun, semua sia-sia. Saksi dan bukti-bukti yang memberatkan Pak Anwar terlalu kuat. Palu keputusan pun akhirnya diketok oleh Hakim, dan Pak Anwar dijatuhi hukuman yang lima tahun penjara dan disuruh membayar ganti rugi yang sangat banyak, lima miliar rupiah.
Para hadirin nampak sangat kaget akan keputusan itu, temasuk aku. Karena seharusnya ia mendapat yang hukuman lebih tinggi. Tapi apa daya, palu keputusan hakim telah diketok, dan hukuman telah diberikan.
********
“Pak Anwar sang pejabat korup di hukum lima tahun penjara.”
Itulah yang aku tulis keesokan harinya di halaman utama koran. Tak hanya itu saja, serentak diseluruh negeri ini juga menayangkan berita yang hampir sama.
Namun, malam itu ketika aku pulang dari kantor. Tiba-tiba ada sebuah mobil hitam mencegat. Lalu dua orang berbadan besar keluar dari dalam sembari menodongkan pistol ke arahku. Aku berontak. Tapi, tak kuasa untuk melawan mereka, karena pistol itu terus ditodongkan dan aku tak mau ambil risiko tertembak dan mati konyol.
Aku nurut saja ketika dipaksa menaiki mobil. Di dalam itu, tanganku diikat dan mataku ditutup dengan kain hitam. Lalu aku merasakan pelbagai bogem mentah mendarat di muka, perut dan ulu hatiku. Sakit semua. Hingga aku tak sadarkan diri. Pingsan. Tahunya, sekarang aku telah berada diruangan gelap ini.
Aku mendengar bunyi HP salah satu dari mereka. Lamat-lamat aku sedikit bisa mendengar percakapan itu. Rupanya ada yang mau datang lagi. Tapi aku tak tahu siapa itu, kerena suara itu tak begitu jelas.
Setengah jam kemudian. Aku mendengar bunyi klakson mobil dari luar. Lalu mereka semua keluar. Tak lama mereka pun kembali.
Alangkah terkejutnya aku. Yang datang adalah Pak Anwar dan hakim itu. Aku bertanya-tanya dalam hatiku, mengapa mereka bisa berkeliaran di sini? Padahal baru beberapa hari yang lalu mereka divonis hukuman oleh pengadilan.
“Hey! Kau wartawan bangsat! Bagaimana rasanya, berani-beraninya melawan kami, dasar kau bangsat!” hardik Pak Anwar kepadaku.
“Kau?”
“Pasti kau bingung, ha...ha...ha... hukum itu bisa dibeli kawan. Makanya jangan sekali-kali melawan kami. Ini akibatnya? Hajar wartawan ini sampai mampus, biar dia bisa menyusul temanya di neraka.”
Jakarta, 11 Februari 2009

Elegi Senja

Elegi Senja
: Zed

aku suka berpuisi pada senja
pada pelepah daundaun pisang
serta rumputrumput yang basah
bersama rinai hujan

dan kau datang, sayang
secarik kertas lusuh kau taruh
di dasar lubang
yang tak selesai kau lukis itu

lihatlah, sayang
hujan di atas sana
datang bersama senja

dua burung yang menangis itu
pergi dengan sayap luka
menebar peri

(2009)