Tendang, Terjang, Hadang

Senin, 15 Februari 2010

…dan sepotong sajak itu?

…dan sepotong sajak itu?

;zahara
ku lukis sajak ini
kala siang menyengat
dan rindu mencekat

kuawali
dengan tanya akan datangmu
pada malammalam mimpi yang
tiap hari menjejali

tak lupa baitbait rindu
kusematkan di ujung ronamu
yang terpetik pada rinai angin
datang sore hari

kutambahkan titiktitik rasa
menjelma dalam debaran jantung
memompa gejolak
sekujur tubuh kecilku

tinggal satu kata cinta
tertanda akhir sajakku
tertinggal di ujung hatimu

2009

wartawan

Pistol itu ditodongkan ke mukaku. Raut wajahnya yang begitu seram memelototi seluruh bagian tubuhku. Rambutnya yang gondrong, dikucir ke belakang. Badanya yang besar penuh tato membuatku takut. Sangat takut.
“Hah! Apa yang kau lakukan sama Pak Anwar?” bentaknya.
“Aku nggak tahu, apa yang akan kamu lakukan padaku?” jawabku dengan parau.
“Bedebah.”
Gagang pistol itu langsung dipukulkan ke mukaku. Tak ayal, rasa pening langsung menyeruak di seluruh kepalaku. Lalu tanganya yang besar itu menjambak rambutku dan menariknya ke atas hingga tubuhku ikut tertarik dan berdiri.
Brak…
Dipukulnya kembali perutku dengan tanganya. Ditendang, dicekik, dan diludahi. Sakit kurasakan semua. Aku merasa Tubuhku yang sudah lunglai diseretnya ke sebuah ruangan gelap dan dilemparkanya begitu saja di dalamnya. Aku pingsan.
*****
Mataku kini terbuka. Ruangan itu sangat gelap. Pekat dan pengap. Tak ada cahaya matahari. Kepalaku masih sangat pusing. Badanku terasa sakit semua, seperti telah tercopot dari tubuhku.
Aku berusaha menggerakan tubuhku. Tapi, ternyata kedua tanganku diikat dengan tali yang sangat kuat. Sakit. Sekuat tenaga aku melepaskanya, tetap saja aku tak bisa.
“Dimanakah aku?” tanyaku dalam hati.
Dari kejauhan. Sayup-sayup aku mendengar derap langkah kaki semakin mendekat. Aku pun tak mau ambil risiko dihajar kembali oleh orang itu, maka kupejamkan mataku dan pura-pura masih tertidur.
Krek…
Pintu terbuka. Derap langkah itu semakin dekat. Aroma alkohol kini sangat kentara memenuhi ruangan.
“Ha..ha..Masih tidur kau ternyata bajingan!”
Kini. Kumendengar langkah kaki orang lain datang. Mereka lalu bercakap-cakap sebentar. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak bisa mendengarnya. Tak berapa lama mereka diam. Aku merasa sekarang mereka sudah tak ada diruangan ini lagi. Aku lega.
Kupicingkan mataku untuk memastikanya. Benar. Mereka sudah tak ada lagi. Ternyata aku salah, mereka kembali. Aku mendengar salah satu dari mereka sedang bicara dengan telpon.
“Iya, Bos. Wartawan itu sudah ada pada kami, santai saja. Kami profesional. Jika orang itu masih bertingkah, akan langsung kami habisi. Yang pernting bos secepatnya tansfer uang, biar kami cepat menyelesaikan pekerjaan ini.”
Byur...
Tiba-tiba salah satu dari mereka menyiramku dengan air. Aku pun gelagapan. Lalu sebuah bogem mendarat tepat dimukaku. Aku hanya meringis kesakitan.
“Bangun kau bajingan, Bangun!”
“Ampun..ampun... apa salah saya.”
“Ini salah kamu,” sambil menendang perutku dengan laras sepatunya. Mereka tertawa terbahak-bahak. Lalu salah satu dari mereka menjambak rambutku, ia berkata,”Makanya jadi orang jangan sok tahu. Ini akibatnya karena kamu telah menjelek-jelekan Bos kami, hingga jabatanya sekarang turun. Iya kan!”
“Jabatan? Turun? Apa yang kalian maksudkan. Tunggu...kalian anak buah Anwar, pejabat kor...”
Belum sempat aku meneruskan kata-kataku, bogem mentah meluncur ke mukaku. Sekali, dua kali bahkan berkali-kali. Entah berapa kali aku meminta ampun, namun tak digubris oleh mereka. Rasa sakit terus menjalar di sekujur ke tubuhku.
Kini aku tahu siapa dalang dibalik penculikanku, Pak Anwar pejabat pemerintah itu. Yang telah lengser dari jabatanya setelah aku membeberkan kepada khalayak tentang penipuan yang dilakukanya selama ini.
*****
Pekerjaanku sebagai seorang wartawan, memang mengharuskan untuk meliput segala yang terjadi di negeri ini. Sudah lima tahun aku menjalani pekrjaan ini, dan aku menikmatinya.
Hampir tiap hari aku pergi ke sana kemari untuk meliput pelbagai kejadian yang sedang up to date terjadi. Hingga aku menemukan sebuah berita yang sangat menghebohkan tentang seorang pejabat pemerintah, yaitu Pak Anwar.
Dia terkait dengan kasus dugaan korupsi yang merugikan pemerintah miliaran rupiah, namun akhirnya dibebaskan dari segala tuduhan oleh sidang, karena menurut para hakim tidak ada bukti yang valid atas keterlibatanya dalam kasus tersebut.
Semua rakyat nampak tidak puas mengenai keputusan itu, termasuk aku. Maka kuputuskan untuk menyelidiki kasus itu. Karena sebagai wartawan aku merasa tertantang untuk mengungkap apa yang sebenarnya terjadi dan memberitahukanya kepada masyarakat.
Mulailah aku menggali segala informasi mengenai dirinya. Hampir tiap hari aku mengkuti dimana dia pergi. Aku pun bekerjasama dengan salah seorang temanku yang kebetulan seorang intel polisi untuk mengungkap kasus ini.
Bukti itu terkuak. Aku menemukanya sedang makan siang dengan salah seorang hakim yang pernah mengadilinya dulu. Sontak, ini membuatku kaget. Aku melihat dengan jelas Pak Anwar memberikan sebuah koper hitam kepada hakim itu, setelah dibuka ternyata isinya uang semua yang tertata dengan sangat rapi.
Aku tak menyangka, ternyata hakim di negeri ini bisa dibeli oleh orang semacam Pak Anwar. Bukti yang lain diberikan oleh temanku yang menyamar sebagai pelayan, dan menempelkan semacam alat perekam kecil di meja tempat mereka makan itu.
Waktu itu aku pun memotret mereka. Posisiku saat itu memang sangat memungkinkan untuk mengambil gambar dan aku yakin mereka juga tak tahu kalau mereka sedang kuawasi.
Tidak mau berlama-lama, segera kubeberkan kasus ini pada masyarakat. Bukti-bukti yang ada bagiku sudah cukup untuk menggeret pejabat korup itu ke pihak yang berwajib.
Keesokan harinya. Aku pun menulis berita tentang Pak Anwar di halaman utama koran yang aku pegang. Sontak, negeri ini pun geger oleh berita ini. Para pembesar dan pemerintah di negeri ini seolah kebakaran jenggot, dan malu karena polah dari Pak Anwar dengan hakim itu.
Setelah itu, terjadilah demo besar-besaran yang dilakukan oleh para mahasiswa dan rakyat menuntut diturunkanya Pak Anwar dan antek-antek yang terlibat dalam kasus ini. Namaku saat itu melambung dan dipuji oleh banyak orang karena telah berani mengungkap kebobrokan aparat pemerintah.
Semua media—baik cetak maupun elektronik—saat itu menyiarkan berita tentang ulah Pak Anwar dan hakim. Pemerintah kala itu merasa tesudutkan dengan segala pemberitaan yang ada.
Karena tidak mau menanggung malu, Presiden negeri ini meminta mengusut dengan tuntas masalah ini dan menangkap siapa saja yang terlibat. Tak pelak Pak Anwar dan kroni-kroninya ditangkap, dan diadili oleh pengadilan tertinggi negara ini.
Hari persidangan itu akan segera dilaksanakan besok pagi, dengan menghadirkan diriku sebagai saksi utama. Malam harinya rumahku didatangi oleh dua orang yang berpakain rapi, mereka sepertinya orang yang kaya, pikirku kala itu.
“Mas, kami mohon kerjasamanya,” kata salah seorang dari mereka sambil menyodorkan sekoper uang kepadaku.
“Ayolah mas, kami tahu hidup anda sebagai wartawan belum bisa mencukupi kebutuhyan mas dan keluarga, “ imbuh satunya.
“Apa ini maksudnya ini! Kalian mau menyuapku, pergi kalian dari sin! Dasar penjilat, Anjing-anjing koruptor, Pergi...” kataku dengan tegas.
Kulihat muka mereka merah padam, dan langsung ngeloyor pergi meninggalkan rumahku sembari mengumpat-mengumpat. Aku masih ingat salah satu dari mereka mangancamku,”Awas! Kamu memang wartawan tak tahu diuntung. Nantikan pembalasan dari kami.”
Besoknya, aku pun pergi ke pengadilan untuk menjadi saksi dalam persidangan kasus Pak Anwar. Di sana aku membeberkan beberapa bukti yang ada, tak lupa kawanku yang seorang intel itu juga memberikan catatan-catatan penyelidikanya.
Suasana itu nampak riuh dan tegang, pihak Pak Anwar dengan pengacaranya tidak diam saja. Pembelaan demi pembelaan mereka lontarkan untuk membebaskan—atau paling tidak meringankan hukuman—Pak Anwar.
Namun, semua sia-sia. Saksi dan bukti-bukti yang memberatkan Pak Anwar terlalu kuat. Palu keputusan pun akhirnya diketok oleh Hakim, dan Pak Anwar dijatuhi hukuman yang lima tahun penjara dan disuruh membayar ganti rugi yang sangat banyak, lima miliar rupiah.
Para hadirin nampak sangat kaget akan keputusan itu, temasuk aku. Karena seharusnya ia mendapat yang hukuman lebih tinggi. Tapi apa daya, palu keputusan hakim telah diketok, dan hukuman telah diberikan.
********
“Pak Anwar sang pejabat korup di hukum lima tahun penjara.”
Itulah yang aku tulis keesokan harinya di halaman utama koran. Tak hanya itu saja, serentak diseluruh negeri ini juga menayangkan berita yang hampir sama.
Namun, malam itu ketika aku pulang dari kantor. Tiba-tiba ada sebuah mobil hitam mencegat. Lalu dua orang berbadan besar keluar dari dalam sembari menodongkan pistol ke arahku. Aku berontak. Tapi, tak kuasa untuk melawan mereka, karena pistol itu terus ditodongkan dan aku tak mau ambil risiko tertembak dan mati konyol.
Aku nurut saja ketika dipaksa menaiki mobil. Di dalam itu, tanganku diikat dan mataku ditutup dengan kain hitam. Lalu aku merasakan pelbagai bogem mentah mendarat di muka, perut dan ulu hatiku. Sakit semua. Hingga aku tak sadarkan diri. Pingsan. Tahunya, sekarang aku telah berada diruangan gelap ini.
Aku mendengar bunyi HP salah satu dari mereka. Lamat-lamat aku sedikit bisa mendengar percakapan itu. Rupanya ada yang mau datang lagi. Tapi aku tak tahu siapa itu, kerena suara itu tak begitu jelas.
Setengah jam kemudian. Aku mendengar bunyi klakson mobil dari luar. Lalu mereka semua keluar. Tak lama mereka pun kembali.
Alangkah terkejutnya aku. Yang datang adalah Pak Anwar dan hakim itu. Aku bertanya-tanya dalam hatiku, mengapa mereka bisa berkeliaran di sini? Padahal baru beberapa hari yang lalu mereka divonis hukuman oleh pengadilan.
“Hey! Kau wartawan bangsat! Bagaimana rasanya, berani-beraninya melawan kami, dasar kau bangsat!” hardik Pak Anwar kepadaku.
“Kau?”
“Pasti kau bingung, ha...ha...ha... hukum itu bisa dibeli kawan. Makanya jangan sekali-kali melawan kami. Ini akibatnya? Hajar wartawan ini sampai mampus, biar dia bisa menyusul temanya di neraka.”
Jakarta, 11 Februari 2009

Elegi Senja

Elegi Senja
: Zed

aku suka berpuisi pada senja
pada pelepah daundaun pisang
serta rumputrumput yang basah
bersama rinai hujan

dan kau datang, sayang
secarik kertas lusuh kau taruh
di dasar lubang
yang tak selesai kau lukis itu

lihatlah, sayang
hujan di atas sana
datang bersama senja

dua burung yang menangis itu
pergi dengan sayap luka
menebar peri

(2009)