Tendang, Terjang, Hadang

Senin, 03 Oktober 2011

Ramadhan dan Nasionalisme


Bulan Ramadhan tahun ini tampaknya bersamaan dengan mulai menyingsingnya fajar nasionalisme Indonesia yang acapkali ditautkan pada bulan kemerdekaan, Agustus. Gagasan nasionalisme yang berkembang di Indonesia, seharusnya tidak dipahami hanya dari sudut perkembangan obyektif politis semata. Tetapi, juga dalam ruang pengumpulan partitur negara hingga menjadi identitas tunggal. Yakni, sebuah negara kesatuan Republik yang berdaulat penuh, dan mendapat pengakuan dunia internasional.

Hal demikian menjadi penting, mengingat begitu riuhnya situasi dengan pelbagai tawaran ideologi dan pemikiran kala itu. Begitu juga percaturan wacana, serta gagasan-gagasan yang berkembang laiknya pasar yang menjajakan aneka ragam paham dagangan supaya dipilih sebagai asas tunggal dalam bernegara. Mulai dari sosialisme, Islam, marhaenisme, dan komunisme, termasuk kelompok-kelompok etnis dan keturunan Tionghoa dan Arab, serta komunitas-komunitas lain yang seakan ingin meneguhkan eksistensi sebagai bangsa. Bisa dibayangkan, bagaimana ramainya arus wacana itu, hingga semangat nasionalisme akhirnya tumbuh karena kecintaan mereka terhadap negara. Maka, lahirlah Pancasila sebagai ideologi damai yang mengakomodasi semua kekuatan dan latar belakang bangsa. Dan, hal itu bukanlah pertarungan yang mudah. Karena, harus berhadapan penuh dengan pihak yang tidak menginginkan Pancasila sebagai ideologi.

Tak pelak, pelbagai tindak separatis maupun pemberontakan sempat muncul pada awal kemerdekaan namun mampu diredam dan dikembalikan atas nama nasionalisme milik para pendiri bangsa. Di tengah arus globalisasi, nasionalisme ekonomi dan kultural kelihatan menemukan momentum baru. Modernisasi dan industrialisasi, yang berlangsung dalam ukuran relatif cepat dan berdampak luas, mengakibatkan negara harus menemukan dan mempertahankan pasar untuk produk-produk industri ekonomi, khususnya di negara-negara maju.

Di sini lain, nasionalisme ekonomi negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, berhadapan dengan proteksionisme negara-negara maju, khususnya AS dan Eropa Barat. Dalam hal nasionalisme, kita seakan masih kalah dengan negara lain yang sudah memancang pagar besi bagi bagi imperialis modern. Sementara kita masih berada pada langkah kagum dan silau menyaksikan globalisasi sebagai sebuah sistem dan tata nilai. Berkah Ramadhan untuk mencapai kesucian dan derajat kemanusiaan tidak hanya pada tingkat pribadi, individual-personal, tetapi juga dalam kehidupan sosial-publik. Termasuk pula, dalam ikut menyemangati jiwa nasionalisme bangsa. Karena, walau bagaimanapun, setiap pojok adalah milik kita, milik rakyat dan pemuda yang menginginkan tidak adanya tebang pilih dalam proses hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi.

Jika ini diwujudkan, maka ibadah puasa Ramadhan kali ini akan menjadi lebih fungsional dalam berbagai aspek kehidupan. Dua entitas ini, Ramadhan dan nasionalisme, agaknya menemukan momentumnya pada bulan yang suci ini. Pada satu sisi, Ramadhan menyimpan begitu banyak telaah dan makna yang nilainya sama dengan nasionalisme yang diusung pada awal pergerakan di negara kita, yakni perjuangan untuk mengentaskan kemiskinan. Di samping, berpuasa (menahan diri) untuk tidak melakukan perbuatan tercela yang dapat menghancurkan cita-cita bangsa dan negara dalam memakmurkan penduduknya. Di sisi lain, nasionalisme merupakan tindakan cinta terhadap apa yang kita percayai sebagai pijakan dalam pergerakan untuk tidak lagi mau diatur oleh segala bentuk ketertindasan dan ketidakadilan yang menyengsarakan rakyat. Pun, dalam meramu segala tafsir dan wacana untuk menjadikan alat dan perjuangan menjadi satu tujuan hakiki berdirinya negara, yaitu kesejahteraan rakyat.

Perlu dicermati pula pendapat Syekh Imam Ghozali, bahwa ada tiga tingkatan seorang dalam meretaskan dirinya dalam bulan Ramadhan. Pertama, puasa awwbm (biasa), yaitu mengendalikan atau menjauhkan diri dari keinginan-keinginan yang berkaitan dengan pemuasan nafsu makan dan seksual. Ini merupakan titik awal. Ibarat kaca, ini adalah potret cerminan kebanyakan masyarakat kita pada level ini.

Dan, ini pula gambaran nasionalisme kita, bahwa kita seperti masih menggeliat untuk hanya membiasakan kata 'nasionalisme' sebagai sebuah ritus sejarah masa lampau. Tanpa, mampu untuk mendefiniskan ulang dalam konteks kekinian. Kedua, puasa khawwash (istimewa), yaitu mengendalikan atau menjaga diri sendiri dari nafsu-nafsu telinga, mata, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh lainnya dari perbuatan dzalim dan salah. Puasa semacam ini biasanya dilakukan orang-orang saleh.

Mereka mengendalikan diri untuk tidak melihat hal-hal yang tidak benar dan tidak diridhoi. Mereka yang mencapai level ini seakan mengendalikan nafsu lidah dari pada pembicaraan yang tidak berguna: berbohong, mencela, menyinggung perasaan orang lain, menggunjing, dan menfitnah. Mereka mengendalikan nafsu telinga dari pada mendengar segala pembicaraan yang dapat mengacaukan negara, dan pelbagai kebohongan publik sebagai alat legitimasi seperti yang sering terlihat sekarang.Ketiga, puasa khawwbsh al-khawwbsh (yang teristimewa), yaitu mengendalikan dan menjauhkan diri dari pikiran-pikiran yang rendah dan masalah-masalah yang berkaitan dengan duniawi. Mungkin kita tiada berharap, bahwa para koruptor dan pejabat yang memiliki tingkatan demikian. Namun, paling tidak, Ramadhan kali ini mampu ditafsirkan ulang, bahwa pada dasarnya nasionalisme religius inilah yang menjadi dasar filosofis adanya sebuah bangsa besar yang sedang tertidur bernama Indonesia. ***

Dedik Priyanto Penulis adalah peneliti The Dewantara Institute,
sedang menyelesaikan studi Psikologi Sosial UIN Jakarta.
(bisa diakses di
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=285102)




Revitalisasi Nasionalisme


(Opini, Harian Nasional Suara Karya, Kamis 26 April 2011)


Laiknya cendawan di musim hujan, aras demokratisasi telah menemukan momentumnya pasca 1998. Namun sisi lain demokratisasi membuat separatisme makin menguat, dan gerakan-gerakan kontra kebangsaan semakin berani menunjukan taringnya. Sejumlah organisasi yang merupakan gerakan transnasional, misal HTI dlsb. bahkan  Orsospol semacam HTI, MMI yang jelas-jelas menolak Indonesia dan Pancasila.

Yang lebih ekstrem lagi, ada upaya untuk mengganti sistem republik dengan sistem lain (khilafah, syariah dll) yang jelas-jelas tidak cocok dengan pluralitas yang ada. Ini sangat kontras, mengingat prinsip demokrasi yang seharusnya mengedepankan kemaslahatan di atas segala-galanya harus tunduk pada pandangan yang justru mengerdilkan nasionalisme.

Secara historis, runtuhnya sebuah negara kerap ditimbulkan karena kekurangpercayaan terhadap institusi dan elemen bernegara, serta menghilangnya nasionalisme di dada sivitasnya. Kasus runtuhnya Uni Soviet dan Yugoslavia bisa dijadikan pelajaran, bahwa proyek nasionalisme harus kembali digaungkan di seantero negeri.

Di kedua negara tersebut, nasionalisme coba dibangun dengan penyamarataan kesepahaman, serta menghilangkan perbedaan. Hasilnya bisa dilihat, mereka gagal, dan hilang dari peta dunia. Karena, menghilangkan perbedaan yang memang sudah ada sejak lahir merupakan suatu pemaksaan yang melawan hak asasi manusia (HAM) hingga tidak bertahan lama.

Maka, membincang nasionalisme Indonesia, haruslah menengok rentetan sejarah panjang bahwa nasionalisme mampu menjadi tonggak kemerdekaan. Ia yang lahir secara tertulis sejak 1928 dengan adanya Sumpah Pemuda itu memang lebih bersifat nasionalisme politik. Artinya, kesadaran sebagai bangsa yang diikrarkan para pemuda tanggal 28 Oktober, merupakan sebuah kesadaran, dan kesepahaman politik untuk menggalang persatuan, serta merapatkan barisan atas dasar satu tujuan bersama.]

Tidaklah salah, jika menimbang bahwa nasionalisme itu mampu meleburkan sekat dan bias etnisitas yang sering terwarta sebagai sesuatu yang tertolak. Kesadaran berpolitik inilah agaknya yang menjadi entitas penting dalam meretas kesatuan atas nama Pancasila sebagai payung yang mampu mengayomi seluruh partitur negara.

Menyitir pendapat Mohammad Yamin bahwa nasionalisme Indonesia sebelum itu, pada saat kelahiran Budi Utomo (10 Mei 1908), lebih bersifat nasionalisme kultural. Karena, jika ditilik lebih lanjut, nasionalisme kultur bangsa Indonesia sebenarnya sudah mulai terbina sejak masa lampau, dan mencapai puncak pada zaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.

Pelbagai fakta itu semakin menambah pudarnya nasionalisme yang menjadi cikal Indonesia. Setidaknya, ada tiga elemen substansial yang perlu ditelaah dalam rangka revitalisasi nasionalisme.

Pertama, penguatan identitas. Secara sederhana, kesadaran akan identitas nasional bisa dipantik oleh rasa etnitisas, letak geografis, ras, dan keluarga besar bernama Indonesia. Begitu halnya pengalaman pahit yang dialami secara bersama, walaupun tidak hidup bersama dalam sebuah tempat.

Mengaca pada kasus pengalaman penjajahan yang dilakukan Belanda selama ratusan tahun, yang dilanjutkan dengan kebengisan Jepang, dua peristiwa ini haruslah menumbuhkan kesadaran akan identitas diri dan identitas nasional. Intinya, bangsa ini ingin melepaskan belenggu kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk apa pun. Termasuk hegemoni ekonomi neoliberal yang sedang mencengkeram.

Identitias diri inilah yang nanti akan mewujudkan siapa diri kita, yang tentu akan menyatu dengan identitas nasional. Meskipun, secara geografis Indonesia bukanlah negara yang dengan mudah mampu menghimpun seluruh elemen yang menyebar di antara ribuan pulau dan ratusan suku yang ada.

Fakta sejarah membuktikan bahwa perbedaan bukanlah penghalang besar mewujudkan solidaritas dan identitas nasional. Tentu, kesadaran akan identitas sebagai bangsa ini tidak lahir secara mendadak. Identitas nasional Indonesia dirumuskan bahwa masyarakat yang mendiami wilayah di kepulauan Nusantara, meskipun beraneka ragam latar belakang, tetapi tetaplah berpandangan satu. Yakni Indonesia.

Kedua, pemahaman kembali multikulturalisme dan pluralisme. Istilah ini agaknya bukanlah kosa kata asing kala kita mendengarnya. Ia acapkali bersanding selaras dengan pergerakan tentang kemajemukan, sesuatu yang datang seiring munculnya makna baru tentang kesadaran, dan hidup berdampingan di antara sesama.

Bagi Ben Agger (2003) dalam buku Teori Sosial Kritis, dijelaskan tentang kesadaran untuk melakukan perubahan sosial, dengan menyatakan bahwa perubahan sosial tidak dapat berlangsung di pundak individu-individu. Sebaliknya, multikulturalisme menjadikan pribadi sebagai agenda politik utama. Inilah wilayah utama di mana multikulturalisme yang tidaklah mampu berdiri sendiri. Karena, akan menjadi lahan empuk bagi liberalisme.

Menimbang tesis di atas, maka multikulturalisme hendaklah berdampingan dengan pluralisme. Ini sekaligus sebagai
pemaknaan mendasar konsepsi masyarakat kita yang majemuk, degan beraneka ragam perbedaan, terdiri dari berbagai suku dan agama yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentatif dan cenderung destruktif. Juga, tidak boleh dipahami sekedar kebaikan yang negatif, hanya ditinjau dari asas, dan kegunaannya untuk menyingkirkan sikap fanatisme, vandalisme dan separatisme.

Ketiga, pemaknaan ulang simbol dan pilar negara. Empat pilar penting bangsa, yakni UUD 1945, NKRI, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sudah mulai redup di mata banyak orang. Tentu, kita tidak ingin ke depan nantinya, bangsa kita ini akan hancur karena generasi penerus tidak mengetahui apa pilar bangsa ini. Agaknya revitalisasi ini menjadi penting, mengingat semakin memudarnya nasionalisme di tengah sivitas Indonesia yang plural ini. ***

bisa juga diakses di http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=279371
Membaca Pesan Psikologis Teror
(opini di Harian Nasional Suara Karya, 18 April 2011)
Untuk pertama kalinya, aksi teror bom bunuh diri menyasar institusi Polri. Tepatnya, aksi ini dilakukan di lingkungan masjid Mapolresta Cirebon, 15 April lalu di saat para jamaah akan melaksanakan ritual salat Jumat. Pertanyaannya, apa makna di balik serangan ini?

 Jika mau sedikit menelisik, teror ini seakan menggambarkan realitas bahwa tingkat keamanan di dalam negeri begitu meresahkan. Betapa tidak, dalam sebuah institusi harusnya tingkat pengamanannya tinggi. Apalagi, yang menjadi sasaran adalah kepolisian, yang notabene adalah gudangnya pengendali keamanan. Namun, apa lacur, semua itu tidak berdaya, dikalahkan oleh teroris yang membonceng kelengahan mereka ketika salat Jumat.

 Adalah Gus Dur, yang sudah lama mewanti-wanti akan datangnya prioritas penanganan terorisme. Jika hal ini terus saja dibiarkan, maka sudah pasti akan semakin menebalkan zona penyerangan-penyerangan lain yang akan diintrodusir oleh para pengacau yang tidak menginginkan adanya perdamaian di negeri ini. Begitu halnya dengan teror, tindakan tegas secara hukum harus dilakukan. Perlu kiranya untuk mendedah aktor intelektual yang menjadi dalang, serta ideolog yang menjadi generator dalam gerakan-gerakan yang mengakibatkan teror yang kian meresahkan.

 Dalam esainya "Terorisme Harus Dilawan (2002)", Bapak Pluralisme ini memaparkan realitas terorisme yang merebak selepas teror Bom Bali. Bukti yang paling kentara adalah ketidaksigapan pemerintah dalam menerjang teror sebagai salah satu agenda terpenting dalam pemerintahan. Bagi Gus Dur, kita masih menganut kebijakan-kebijakan punitif dan kurang memberikan perhatian pada tindakan-tindakan preventif. Laiknya wabah ulat bulu yang cepat menyebar tanpa bisa dibendung, maka sudah selayaknya pola kebijakan preventif ini menjadi alur dalam meretas segala kekagetan, yang terjadi dalam tubuh masyarakat akibat ulah para teroris. Kerap kali proses demikian diacuhkan, dan bertindak karena adanya pemantik sebuah peristiwa yang sudah berbentuk destruktif.

 Senada dengan Gus Dur, menurut Prof Franz Magnis Suseno, ada dua faktor penting yang menjadi latar budaya kekerasan dan teror yang ada di Indonesia. Pertama, transformasi di dalam masyarakat atau pengaruh globalisasi dan modernisasi. Hal ini dapat dilihat sebagai bentuk polarisasi modernitas dalam bentuknya yang tidak hanya diskursif. Melainkan, proses konfigurasi kekinian kala membaca dunia tidak lagi sebagai percaturan dan pertemuan ide an sich.

 Kedua, akumulasi kebencian dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena pemerintah yang dianggap sebagai aparatur penegak damai mengalami disfungsi dalam bentuknya yang konkret. Yakni, ketidak-sanggupan melindungi kenyamanan dalam bernegara akibat teror ini. Padahal secara historis, bangsa ini adalah kesatuan besar yang tidak mudah diluruhkan oleh isu-isu kecil yang harusnya menjadi riak di antara buih lautan yang luas. Kekuatan dalam merapal beda sudah menjadi kenyataan sejarah yang mengakar.

Buahnya adalah penerimaan secara hakiki konsep Pancasila dan negara yang mengapresiasi segenap kekayaan dan kemajemukan yang ada. Dalam kajian psikologis, peristiwa teror bukanlah sesuatu yang irasional. Melainkan, sangat rasional. Demikian bisa ditinjau dari pandangan paradigma kekalahan, atau perjuangan yang tidak terapresiasi oleh pemangku kebijakan. Hal inilah yang menjadikan faktor lawan-kawan menjadi penting dan rasional tatkala melihat paradigma berpikir para teroris.

Maka dari itu, seringkali kita melihat rintihan dan teriakan para teroris sebagai saduran dari realitas yang mereka jalani saat masa ideologisasi. Begitu halnya yang tampak pada kasus teror-teror di Indonesia. Mereka sering menisbahkan pada renteten keagamaan sebagai instrumen fundamental dalam menera teror. Sedangkan teror sendiri bukanlah sesuatu yang terpatri dalam pribadi seseorang. Ia adalah instrumen untuk tujuan ideologis yang menjadi tapal gerakan. Seakan mencermati alur yang terjadi, ada dua hal fundamental yang menjadi pesan politis para teroris.

Pertama, menyebar keresahan. Bagi para teroris, keberhasilan mereka menembus barikade pertahanan adalah sebuah capaian yang cukup menggembirakan. Ibarat permainan sepakbola, mereka telah mampu mengobrak-abrik sistem pertahanan lawan yang terkenal dengan para bek mereka yang kuat. Tidak hanya itu, mereka mampu masuk langsung kepada sistem yang acapkali menjadi penghalang mereka saat melakukan tindakan. Sedang di sisi lainnya, para teroris ini seakan ingin memperciut peran polisi dalam penegakan hukum dan keamanan.

 Bagi masyarakat umum, ini adalah pukulan telak, bahwa kini mereka tidak lagi bisa mengandalkan kepolisian. Proses penyebaran resah ini dilakukan guna memperlebar jarak antara dua entitas ini. Jika ini terjadi, maka para teroris akan semakin mudah untuk saling mengadu domba. Hingga dengan cekatan mereka mampu masuk ke dalam masyarakat, serta memaparkan pandangan yang reduksionis terhadap negara dan segala perniknya. Pada titik ini, proses ideologisasi akan merasuk saat suasana kacau. Hingga penyerempetan ke arah paradigma 'kegagalan negara' menjadi bumbu paling empuk untuk mengadakan serangan atas penguasa.

Hal ini menjadi sangat berbahaya, jika kedua elemen ini terpengaruh dengan teror psikologis untuk memecah kepercayaan yang sudah terbangun puluhan tahun pada negara. Apalagi, jika memakai terma agama sebagai landasan filosofis mereka dalam menebar landasan ideologis. Seharusnya masyarakat tidak perlu resah dan takut menghadapi teror ini. Karena, inilah sebenarnya inti dari pesan teror yang dikirim. Buntutnya, adalah rangkaian teror yang akan terus berjalan jika keresahan ini terus melebar pada masyarakat.

Yang perlu dirantai adalah sikap kita yang harus terus berhati-hati, dan selayaknya tidak menunjukkan sikap takut. Karena, hal ini akan menunjukkan jati diri sebagai bangsa yang besar. Kedua, eksistensi kelompok. Kematian bagi kelompok teroris adalah berkah yang akan mengantarkan mereka menuju tujuan ideologis yang dianut dan bahkan surga seperti apa yang mereka pikirkan. Pun sebagai martir untuk mewartakan bahwa 'mereka' masih ada. seakan ingin menunjukkan bahwa proses perlawanan itu masih berlangsung selama tujuan ideologis mereka masih belum tercapai.

 Namun, kedua hal di atas tidak akan berlaku jika masyarakat dan negara mampu saling bersinergi, serta bahu membahu dalam menindak para teroris. Jangan takut. Jika ini terjadi maka kita seakan membiarkan para teroris tertawa. Tindakan preventif lebih penting daripada selalu kebakaran jenggot ketika ada peristiwa. ***

 tulisan inii juga bisa diakses di: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=277587

Minggu, 20 Februari 2011

Kekerasan di Tengah Kebhinekaan


Opini di Harian Suara Karya, Jumat 18 Pebruari 2010

Oleh Dedik Priyanto*

Akhir-akhir ini, kerukukan antar-umat beragama berada pada titik yang mencemaskan. Betapa tidak, merebaknya semangat kedaerahan dan tindak kekerasan semakin menambah muram wajah multikulturisme yang sudah mengakar kuat di Bumi Pertiwi. Lalu di manakah negara yang konon terkenal santun, ramah dan soleh dalam beragama itu?

Realitas ini agaknya harus dimengerti bagi segenap insan bernegara bahwa agama tidak hanya melulu soal ritual (syar'i) maupun aras dogmatis (aqidah). Hal ini, berjungkir terbalik dengan dua peristiwa yang terjadi beberapa tempo lalu. Bahwa atas nama agama, sekelompok orang menyerang jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Buntutnya, korban jatuh tak terelakkan. Begitu halnya dengan penyerangan sebuah tempat ibadat di Temanggung, Jawa Tengah. Itu hanya sepercik bukti bahwa ketenangan sebagai warga telah terusik, atau jangan-jangan Ibu Pertiwi menangis menyaksikan polah dan pongah sivitasnya.

Secara historis, perbedaan antar-agama yang kerap diributkan itu, pada dasarnya sudah selesai pada ranah negosiasi akar rumput (grass root). Fakta ini mengemuka dengan realitas bahwa pada zaman dahulu kehidupan sudah sangat plural-multikuturalis. Bisa ditengok, misalnya, pada zaman raja-raja kuno, seperti adanya dua kekuatan besar Nusantara; Sriwijaya dan Majapahit.

Di kedua kerajaan itu, geliat kebebesan beragama mencapai titik yang cukup menggembirakan. Di Sriwijaya, misalnya, umat Hindu sebagai mayoritas mampu berinteraksi dengan penganut Budha dan aliran kepercayaan lainnya sebagai minoritas. Begitu halnya di masa Majapahit. Hubungan antar-agama laiknya tubuh yang saling membutuhkan.

Itu pula awal sendi 'kebhinekaan' tanpa nama yang sudah ada semenjak masa lampau. Menyitir pendapat Gus Dur, bahwa negara Indonesia sebenarnya sudah ber-Pancasila sejak dahulu kala. Lalu, kenapa sekarang keberagamaan dan kemajemukan itu justru tampak sangat garang dan menakutkan?

Pada titik ini, konsep Pribumisasi Islam yang digelontorkan Gus Dur agaknya dapat menjadi oase atas kedahagaan relasi beragama. Bagi beliau, akulturasi agama Islam dengan budaya adalah sebuah keniscayaan. Jika agama itu ingin menjadi generator dalam tatanan sosial, menuju perubahan yang lebih baik. Itulah mengapa kedua korpus itu menjadi penting dalam melerai keberagaman yang jatuh pada definisi populis, yakni kemajemukan Nusantara.

Kedua kutub itu agaknya belum mampu dimengerti oleh para perusuh yang mengatasnamakan agama dalam segala tindak-tanduknya. Mereka seakan terkontaminasi dengan perangai hirarkis atas dalih 'kekalahan' meta-teologis yang telah berkolaborasi dengan kapitalisme yang diusung barat. Pun dialektika politik yang kerap tidak bersahabat dengan kelompok mereka dalam membangun basis sosial keagamaan.

Agaknya yang digeluti mereka yang acapkali mereduksi agama dalam bentuknya yang garang. Tafsir yang destruktif. Bahkan mencuat sebagai proteksi terhadap agama yang mereka anut. Bahkan tidak jarang berlaku kasar terhadap segala perbedaan. Seakan lupa, bahwa konsepsi mendasar agama-agama terdapat pada pada dua entitas besar yang menjadi dinamisator. Yakni, kasih sayang (rahman) dan persaudaraan sesama manusia (ukhuwah).


Term pribumisasi ini akan membuat agama yang telah berelasi dengan budaya itu terkonfigurasi sebagai proyek yang belum selesai. Karenanya, akan terus berkembang selaras dengan arah peradaban. Menyitir tesis Emile Durkheim (1954), bahwa segala konsepsi yang dimiliki manusia terhadap agama merupakan bentuk abstraksi masyarakat atas apa yang tercermin dalam kehidupan sosial yang mereka jalani.


Kegagalan Negara


Bagi JJ Rosseau (1649), negara haruslah menjadi pelindung setiap warganya. Sebab, ia telah merenggut kebebasan alamiah yang dimiliki ketika belum adanya negara (state of nature). Keadaan alamiah terjelmah dalam bentuknya yang sangat baik. Karena kebebasan alami yang dimiliki, tentu memiliki determinan dalam menengok poros kebaikan dan keburukan sebagai titik pijak dalam mengejewantah kebebasan.

Keadaan seperti itu, kata Rossesu, tidaklah akan bertahan lama sejalan dengan arah peradaban manusia yang terus memekar. Maka dari itu, dibutuhkanlah negara sebagai perekat kebebasan-kebebasan itu, serta sedikit menguranginya (social contract). Jika kebebasan itu diteruskan, ditakutkan malah akan menjadi redefenisi kebebasan ke arah yang destruktif. Meminjam ucapan Hobbes, menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus).

Kegagapan negara dalam memberikan keamanan setiap penduduknya inilah yang agaknya menjadi titik persoalan mengapa kebhinekaan dan kemajemukan kita terusik. Penulis kira ada tiga hal fundamental hal yang harus ditilik sebagai episentrum negara yang berdaulat.

Pertama, ancaman disintegrasi. Kerap perkara ini dianggap selesai oleh banyak orang. Namun, barangkali satu hal yang terlupa bahwa proses menuju integrasi sosial itu kerap disubstitusikan dalam korpus kebudayaan dan interaksional semata. Padahal wacana dialogis agama-agama juga kerap menjadi pergunjingan tersendiri pada bentuknya yang komunal.

Bisa dilihat, misalnya, pada kasus India dan Pakistan yang tidak hanya lepas pada ranah 'pseudo-politics', tapi adanya ketidakmampuan negara sebagai payung pemersatu. Indonesia, agaknya akan mengalami kejadian yang sama. Jika negara'lagi-lagi' gagal menjalankan tugasnya, serta hanya memikirkan kekuasaan dan citra terhadap suatu masalah an sich.

Kedua, politisasi agama. Dua anasir ini ibarat dua mata sisi yang melengkapi. Bahwa agama dan politik tidak pernah lepas sebagai sesuatu yang sudah terkodifikasi (sunnatullah). Namun, menjadi bermasalah jika agama itu dipolitisasi oleh segelintir golongan untuk kepentingan pribadi atau kelompok mereka. Buahnya, adalah kekerasan yang berbau agama.

Ketiga, identitas negara. Acapkali menjadi Indonesia adalah menyerupa nasionalis tanpa mengamit agama sebagai teman sejawat dalan lelaku. Padahal identitas itu bukanlah embrio dari Pancasila yang digadang sebagai paradigma berpikir bangsa. Hibridisasi agama dan nasionalisme merupakan bentuknya yang hakiki. Di situ, terdapat landasan bangsa yang bertumpu pada toleransi, kebersamaan, kekeluargaan dan sikap saling menyayangi antara sesama.

Untuk itulah, segala silang sengkarut perbedaan tidak dibenarkan berakhir dengan kekerasan. Jika itu terjadi, benarlah moderat yang telah mengakar itu telah tercerabut dari muasalnya. Penulis terpantik kelakar filosofis dari sastrawan muda, A Makki, pertengkaran demi meributkan perbedaan, apalagi sampai mengepal tinju dan melempar batu, adalah kebisingan yang mengganggu tidur siang.


* aktivis Forum Studi Lintas Agama Piramida Circle Jakarta


tulisan bisa diakses di

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=272635

bisa juga di;

http://www.wahidinstitute.org/Opini/Detail/?id=251/hl=id/Kekerasan_Di_Tengah_Kebinekaan

Minggu, 13 Februari 2011

Menapaki Keberagamaan Sang Ilmuwan

Oleh: Dedik Priyanto

Judul : Mereka Akhirnya Menemukan Allah; Sang Ilmuwan
Penulis : Lukman Santoso AZ
Penerbit : Diva Press, Jogjakarta
Tahun : I, Juli 2010
Tebal : 143 Hal.

Persoalan agama selalu menyita perhatian yang serius. Tidak hanya para filsuf dan teolog yang saling memperdebatkan makna ideologis dan relasi keberagamaan yang berkembang. Pergolakan dan pertentangan dalam memperebutkan nilai hakiki kebenaran seakan menjadi bara dalam terjal hidup mereka. Tak terkecuai para aktor ilmu ilmuwan, yang notabene lebih mengutamakan rasionalisme empiris dalam segala tindakan.

itulah renik yang yang coba dipotret oleh Lukman Santoso AZ melalui buku ini. Mereka yang ditulis adalah adalah sivitas akademis modern, yang kerap melihat segala hal lewat kacamata rasionalitas dan telaah ilmiah dalam tiap nalar serta lelaku mereka. Namun, tatkala mencapai puncak piramida pengetahuan yang mereka geluti, lagi-lagi, kekeringan akan makna hidup dan spiritualitas melanda.

Jeffrey Lang misalnya, ia merupakan seorang professor ternama. Pelbagai penelitian tentang ilmu hitung menghantarkannya menjadi pakar matematika tersohor di Amerika. Apalagi disiplin ilmu yang digelutinya tersebut sangat rasionalistik, dan searah dengan nalar positivistik barat yang akhirnya membuat beliau menjadi seorang atheis sejak kecil.

Pilihan tersebut membuatnya berpikir tentang makna dirinya di dunia. Pun pengamatannya akan kehidupan modern yang cenderung hedonistik, serta kehilangan ruh humanisme yang merupakan inti ilmu pengetahuan. Hingga suatu ketika seorang mahasiswanya menghadiahi sebuah mushaf. Di situlah, akhirnya, ia menemukan jawaban filosofis yang acapkali menyesaki alam bawah sadarnya tentang makna dan eksistensi diri, serta keberadaan Tuhan.

Lain halnya dengan kisah Prof. Dr. Maurice Baille. Ilmuwan bedah terkemuka Prancis yang meneliti tentang mumi ini tergeragap saat menemukan fakta yang mencengangkan. Jasad yang diteliti tersebut ternyata mirip dengan cerita Fir’aun yang tenggelam. Sisa-sisa garam dalam tubuh semakin meneguhkan tesisnya tersebut. Padahal, narasi itu sudah diperbincangkan para teolog muslim ratusan abad lalu. Sedangkan ia sendiri baru sanggup membuktikan penelitiannya pada abad ke-19.

Enam belas kisah yang terangkum, merupakan titik kisar cerminan manusia yang coba menguak ihwal ketidakmampuan mereka dalam memahami realitas ruhani yang kerap menghantui nalar kritis, serta perasaan para ilmuwan. Sesuatu yang oleh sains modern cenderung dipisahkan. Begitulah, para ilmuwan tersebut seolah ingin meneliti tentang dirinya sendiri dan menjawab segala kesah yang kerap menggelayuti nalar kritis mereka.

Begitu juga yang dialami aerofisikawan asal Prancis, Prof. Bruno Guiderdoni. Beliau yang merupakan peneliti di Badan Antariksa Eropa menelaah perihal sains modern yang seakan hanya berhasil menemukan mekanisme segala hal. Namun, tiada mampu menjawab secara pasti tentang kandungan filosofis yang terjadi di dunia.

Adanya paradigma falsifikasi, dalam terminologi Karl Popper, seolah membuat ilmu pengetahuan modern tiada lagi menjadi hal yang murni kebenaran an sich dalam kaidah ilmiah saintifik. Hal demikian yang membuat beliau melakukan safari religius ke berbagai negara dengan lintas bacaan profetik, dan menyibak pelbagi tirai tentang kausalitas yang berkaitan dengan agama, serta kegelisahan akan dunia modern.

Tentang kegetirannya memandang hiruk pikuk modernitas itu, ia berujar lirih, ketika saya mempelajari sains, saya mendapati adanya sesuatu yang hilang dalam pendekatan ilmiah terhadap dunia. Ketika saya mencari pengetahuan lainnya, saya tersadar bahwa pencarian saya adalah pencarian religius. (Hal. 50).

Maka narasi pilu tentang pencarian Tuhan dalam dunia yang cenderung materialistik ini mampu diejewantahkan dengan langgam jurnalistik yang cukup cair dan inspiratif. Hingga membuat alam bawah sadar kita seakan tergelak untuk terus belajar dalam pencarian sifat hakiki manusia yang tardalam; eksistensi Tuhan dalam diri manusia.

Ashadi, Sang Ideolog Jurnalisme


Oleh: Dedik Priyanto *


Judul : Ashadi Siregar; Sang Penjaga akal kampus biru
Penulis : Daniel Dakhidae dkk
Penerbit : Kepustakan Populer Gramedia (KPG)
Tahun : I, Juli 2010
Tebal : xxii+374 Hal.

Sepeninggal orde lama, geliat kebebasan pers dan gempita demokrasi mulai mendapat titik terang. Namun, apa lacur, awal medio 70-an bangsa ini digemparkan dengan pembredelan majalah Sendi asal Jogjakarta. Hal ini cukup membelalakkan mata,. Padahal masih terngiang dengan jelas akan luluh lantaknya rezim otoritarian Soekarno. Apa pasal pembredelan ini?

Lelaku kenakalan media yang diinisiasi oleh para aktivis inilah penyebabnya. Khususnya keberanian mereka dalam menyibak kebusukan di balik megaproyek pemerintahan Soeharto dalam pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Itulah agaknya yang menjadi pemantik geram penguasa istana. Apalagi kala itu pemerintah sedang meneguhkan posisinya di mata rakyat pasca mangkatnya Soekarno dari tampuk kepemimpinan.

Maka dialah Ashadi Siregar yang menjadi pemimpin redaksi majalah kritis itu. Sosok inilah yang juga menjadi motor pergerakan, sekaligus generator yang membengkeli otak para aktivis dalam menentang arogansi orde baru. Pria yang kerap dijuluki suhu para wartawan ini juga merupakan penulis yang produktif. Tak kurang puluhan buku ia tulis, mulai dari Jurnalistik, Komunikasi, hingga sastra yang melambungkan namanya lewat trilogi legendaris Cintaku di Kampus Biru yang akhirnya difilmkan.

Kehadiran media yang dipimpinnya tersebut juga menjadi oase di tengah mulai keringnya keberanian di kalangan para jurnalis, serta minimnya daya nalar kritis mahasiswa yang kian terbenam dengan heroisme kebesaran angkatan ’66 yang berhasil merontokkan orde lama. Buntutnya, majalah itu dibredel, dan bersama para aktivis lainnya diinterogasi serta dipenjara.

Laiknya bunga rampai biographi orang besar, buku ini juga menguak lika-liku kiprah pria asal Pematang Siantar ini dalam perpspektif yang beragam. Luasnya spektrum pemikirannya juga ditelisik oleh beberapa pakar dan analis dari berbagai segi. Daniel Dakhidae misalnya, menelaah ruang egalitarian Ashadi dalam renik yang cukup menggelitik dan mendalam, yakni aktivisme pembangkangan terhadap penguasa kala masih menjadi mahasiswa.

Lain pula penuturan Butet Kertarajasa. Budayawan kondang ini bahkan menamai Bang Hadi, sapaan akrab beliau, sebagai manusia budaya. Menurutnya, hal ini untuk menegaskan bahwa beliau bukan manusia ekonomi, atau manusia politik yang masing-masing memiliki watak dasar yang berbeda, bahkan cenderung bertolak belakang dengan prinsip-prinsip manusia budaya yang tiada lelah memperjuangkan kemanusiaan (Hal.222).

Menjadi manusia budaya bukanlah hal yang mudah. Agaknya hal ini juga diakui Garin dalam esainya yang menisbahkan laiknya punakawan dalam dunia mistisisme pewayangan. Mengingat sangat jarangnya seorang tokoh dengan multivarian pengetahuan yang kompleks seperti Ashadi. Karena manusia budaya adalah sosok yang mengerahkan segenap diri guna perbaikan sesama manusia, khususnya perihal konsep dasar individu sejati; kemanusiaan yang tidak berpihak.

Pada titik inilah gagasan tentang etika jurnalisme yang akarnya adalah kemanusiaan bersua dengan kebebasan pers. Sesuatu yang dahulu acapkali saling berkelindan, bahkan cenderung tumpang tindih dengan pelbagai kecacatan yang kerap ditengarai sebagai pemantik buramnya makna kebebasan. Ashadi percaya bahwa biar bagaimanapun, pers tetaplah harus netral dan melaksanakan tugasnya sebagai ruang mediasi antara rakyat dan negara. Juga sebagai pengawas tindak-tanduk pemerintah dalam menjalankan amanat negara.

Konsistensinya dalam mempertahankan filosofi jurnalisme itulah yang mengantarnya sebagai sosok yang cukup disegani dalam percaturan dunia pers di Indonesia. Bahkan beliau sangat layak disebut sebagai ideolog yang dengan tangguhnya mampu mendamaikan akal, hati dan data jurnalistik dalam melerai tiap jengkal peristiwa. Guna diolah menjadi sebuah berita yang tidak hanya bernas dan akurat, tapi juga santun dalam memaparkan segala hal dengan jernih dan tidak berpihak.

*Peresensi adalah Pustakawan Forum Kajian Sosial Piramida Circle Jakarta, bergiat di Serambi Sastra Ciputat.

Kesadaran Kolektif Tragedi ’65/’66; Telaah Tiga Jaman *


Oleh; Dedik Priyanto

“Sejarah adalah serangkain dongeng yang telah disepakati, tutur Voltaire.”

Kata-kata memang kerap tidak bisa merefleksikan realita. Tapi, acap menjadi bukti eksistensi dalam sejarah yang meletupkan pemikiran dan logika akan kebenaran, bukan pembenaran yang kadang terkodifikasi penguasa dalam melegalkan kekuasannya, yang menurut Voltaire di atas, adalah dongeng yang terterima sebagai sebuah persetujuan bersama (acceptable).

Begitu pula dengan sejarah paling kelam yang pernah dilalui bangsa ini pada rentang 1965-1965. Peristiwa yang diawali lelaku—yang menurut Orde Baru—adalah pemberontakan terhadap konstitusi. Dan dinisiasi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan penculikan secara brutal para jenderal. Yang secara garis politik, bersebarangan dengan mereka; G30/S PKI. Pun agitasi dan propraganda yang dilancarkan sebagai representasi carut marutnya perpolitikan nasional di masa itu. Khususnya pada tiga aliansi besar, PNI yang Nasionalis-Soekarnois, PKI yang menyuarakan komunisme dan kerakyatan, serta kaum agamawan yang dalam hal ini diwakili tiga ormas berpengaruh; NU, Muhammadiyah dan Masyumi

Nah, di situ penulis kira sungguh sangat kontraproduktif dengan realita, ibarat koin dengan dua sisi mata uang yang tidak pernah bertemu. Pertama, Ketika menengok perkembangan PKI sebagai sebuah gerakan kaderisasi dan politik, terbukti mampu memikat rakyat jelata dengan janji utopis ihwal luruhnya kelas sosial dan borjuisme yang berkongsi dengan kapitalisme itu di segala segi kehidupan mereka. Komunisme disinyalir paling relevan dalam memproteksi rakyat. Menjadi benteng dari imperialisme yang coba membangun kekuatannya kembali di dunia ketiga.

Kedua, PKI sebagai sistem ideologis, kerap dijadikan alasan tidak diterimanya mereka di lingkungan agama. Tuduhan sebagai “atheis” menyeruak ke permukaan, serta diikuti penistaan akan eksistensinya dalam sistem demokratisasi, yang pada konsepnya sangat menjunjung kebebesan memilih. Hingga dalih keagamaan pun dilegitimasi untuk melenggangkan “pembenaran” atas segala hal yang berbau pelarangan komunisme. Nah, pertanyaan menggelitiknya adalah, apakah Komunisme bersebarangan dengan agama, dalam konteks ini islam sebagai mayoritas?

Pada titik ini, penulis risau dengan pertanyaan yang kerap terlontar di beberapa forum diskusi yang pernah diikuti. Jika komunisme bersebarangan dengan islam? maka kenapa justru diterima oleh banyak rakyat—waktu itu—terus apakah prinsip egalitarian, persamaan hak, pembebasan kelas seperti yang digemborkan tidak ada dalam islam?

Di sini, ada hal yang cukup menggelitik. Pelbagai data disajikan dengan beragam tafsir. Khususnya ihwal korban yang jatuh pada peristiwa berdarah itu. Fakta mencengangkan mengemuka, bahkan lebih besar daripada data yang dikeluarkan pemerintah. Pembunuhan masal yang dilakukan Orde Soeharto terjadi selepas peristiwa G30/S itu, khususnya di kantong-kantong PKI. Di jawa misalnya, laporan dari Robert Crib (1990) ada 800 ribu jiwa lebih lenyap. Belum lagi 100 ribu orang lebih yang tewas di Bali. Hal ini kontras dengan data pemerintah yang hanya 78.500 jiwa. Belum lagi itu yang hilang tanpa data yang jelas. Bisa dibayangkan berapa jumlah korban? Dan itu ditutupi oleh penguasa sebagai pemangku kebijakan.

Telaah Tiga Jaman

Sebagai seorang yang hidup di jaman kekinian, penulis mungkin tidak mengalami langsung apa yang oleh sejarah sering disebut “pembasmian” umat manusia atas manusia yang lain itu. Namun, melihat rentang waktu peristiwa mengenaskan itu, dengan realitas makna kesadaran akan sejarah itu, agaknya ada tiga representasi, yang barangkali bisa mewakili apa yang penulis sebut sebagai telaah tiga jaman. Kita bisa mendebat ihwal ini, tapi berdasarkan pemikiran penulis, hal ini cukup penting untuk bisa memetakan sejarah dan realitas manusia sebagai subjek dibawah otoritas pemerintah yang ada dilingkup dia hadir.

.Pertama, kemerdekaan sampai revolusi ’66 dan sesudahnya. Ini adalah rentang sejarah yang mewartakan subjek sebagai pemeganng dalam carutan politik. Nah, penulis mendapati data-data yang cukup membuat nalar logika tergeragap. Apa pasal?
Seperti yang penulis wartakan di atas, ada peristiwa kemanusiaan yang cukup memprihatinkan. Khususnya pasca lengsernya kekusaan Soekarno, dan dimulailah tirani kepemimpinan Soeharto. Pada titik ini, tragedi ‘65 terjadi. hingga pembantaian masal atas nama pembersihan konstitusi terjadi di seluruh Indonesa. Bahkan dianggap sebagai peristiwa terbesar dalam hal kemanusiaan dan HAM setelah Holocoust nya NAZI maupun Khmer Merah di Kamboja.

Generasi terluka, begitulah penulis istilahkan. Karena eks-PKI pada realitasnya selalu dimusuhi, bahkan terpinggirkan, serta tidak mendapatkan haknya sebagai warga negara. Pun banyak yang terpenjara tanpa tuduhan yang jelas, seperti yang dialami Pramoedya Ananta Toer dan lain sebagainya. Kalau toh mereka bebas, masih tidak mendapatkan tempat di masyarakat, karena pelabelan yang dilakukan pemerintah sudah terlanjur masuk pada alam bawah sadar kolektif, dan menjadi cerita turun menurun di masyarakat. Bahkan diskriminasi itu juga dialami oleh keluarga dan keturunan eks PKI. Seperti mewarisi dosa sejarah yang terus terkodifikasi.

Kedua, fase kedua, awal ’70-an hingga media ’80-an. Alih-alih ingin menjadikan realitas diskursif menjadi tonggak sejarah, tapi pada masa ini pemuda seakan dibutakan oleh kebenaran. Tafsir monolitik atas wacana sejarah menjadi bukti paling sahih pada buku-buku sekolah. Komunisme pun dilarang dalam segala ranah di masyarakat Indonesia. Semua yang berbau PKI dan gerakan-gerakan kiri tidak bisa berkembang secara masif seperti pada awal masuk.

Hal ini sangat problematik, mengingat sejarah adalah sesuatu yang netral. Tanpa ada pretensi apapun dalam menyibak kebenaran. Pada masa Soeharto, objektivitas sejarah inilah yang tidak ada dalam masa ini. Buntutnya, sivitas yang ada tidak melek sejarah. Walaupun ada, itupun hanya pada cakupan underground di kampus-kampus, itu pun sangat sedikit.

Ketiga, fase ketiga, akhir ‘80-an sampai sekarang. Pada masa inilah kita berada, dan teringat penulis masih kecil sering ditakuti-takuti dengan istilah “PKI”. Laiknya monster yang harus dijauhi dan ditakuti. Begitu pula dengan “wajibnya” menonton film propragadis G 30/S yang disutradarai Arifin C. Noer (1984) semakin menambah ketakutan penulis akan “Komunisme dan PKI. Namun, pergumulan penulis dalam iklim kebebasan seperti sekarang, membuat penulis beralih pandang dan paradigma tentang kedua term tadi.

Kesadaran Kolektif

Jika sejarah adalah sebuah bentuk kesepakatan, seperti kata Voltaire. Maka tidakkah kita berpikir untuk melakukan kodifikasi sejarah berdasarkan kesadaran bersama dalam bingkai sila pertama pancasila, yakni kepercayaan akan Tuhan yang Esa. Mengapa? Karena dengan nasionalisme religius yang sering digemborkan sebagai representasi keberagamaan Indonesa, maka tak ayal, kesepakatan bersama harus diketengahkan di kalangan sivitas muda. Jika tidak, maka siapa lagi yang harus memikirkan sejarah.

Maka sejarah tidak hanya serupa titik dalam melangkah ke depan, tapi juga cermin untuk memahami realita dengan objektif. Penulis berpikir bahwa kesadaran kolektif dari pemuda harus segera terejewantahkan. Tidak hanya pada tataran wacana akademis, tapi harus pada realitas prakis dengan mengedepankan rasionalisasi dan pendekatan ide-ide tentan kebenaran historis itu.

Pada tiap agama-agama pasti diajarkan saling memafkan, dan untuk itulah kesadaran kolektif dan silang maaf ini menjadi penting daalam rekonstruksi sejarah. Untuk itulah pemahaman menyeluruh (Verstehen) akan sejarah perlu dikedepankan, dan itu telah dimulai oleh Gus Dur dengan mencabut TAP MPRS no. XXV/1966, pun dengan kata maaf yang beliau ucapkan kepada eks maupun keturunan yang menjadi korban Orba. Dan hal itu, bisa dengan kesadaran kolektif pemuda akan sejarah. Namun, lagi-lagi hal ini masih banyak yang tidak setuju dengan proyek rekonsiliatif pemuda itu. seperti tutur sejarawan Asvi Warman Adam dalam wawancaranya dengan Jurnal Taswhirul Afkar (2003) bahwa masih ada banyak kaum yang tidak setuju. Padahal sudah sudah jelas, sejarah kita sudah dibengkokan.


Catatan
Jurnal Taswhirul Afkar; Jurnal Pemikiran Kegamaan yang diterbitkan Lakpesdam NU.

*Esai ini pernah diikutkan dalam lomba esai tentang PKI

Rabu, 19 Januari 2011

Membincang Arabisme Islam Indonesia


Oleh : Dedik Priyanto
Judul : Deradikalisasi Islam: Paradigma dan Strategi Islam Kultural
Penulis : Syaiful Arif
Penerbit : Koekoesan, Depok
Tahun : I, Juni 2010
Tebal : vii +151 hlm

Acapkali perdebatan terjadi kala membincang keterniscayaan sejarah yang kerap tidak berjalan linear. Begitu pula dengan agama. Ia yang lahir dari pergolakan, serta pencarian panjang manusia akan Tuhan, seolah menjadi indikator spiritualitas yang terkadang jatuh pada taraf radikalisme. Hal ini berbahaya, jika menengok pluralitas keberagaman yang ada di Indonesia.

Ditinjau dari sejarahnya, setiap agama yang datang ke nusantara selalu mengalami akulturasi dengan budaya setempat. Tak terkecuali islam yang datang belakangan setelah Hindu dan Budha, serta agama-agama lokal yang telah lama mendiami. Percampuran dialogis semacam ini tentunya mengalami proses yang sangat panjang, serta pemahaman akan makna kebudayaan.

Dari proses ini, akhirnya islam di Indonesia mempunyai corak yang sangat khas dan berbeda dengan keberislaman di negara lain, serta membuat kebudayaan islam mengalami pergeseran dari aslinya. Hingga mencipta kebudayaan baru: islam Indonesia. Namun, akhir-akhir ini pakem keislaman itu berubah wajah menjadi angker dan menakutkan di bawah payung radikalisme yang nampak subur di tanah air.

Melalui buku ini, Syaiful Arif, mencoba menguak perubahan lelaku paradigma keberagamaan islam Indonesia yang inklusif dan toleran menjadi ekslusif, serta cenderung intoleran terhadap yang lain. Paling tidak ada tiga hal penting yang diketengahkan peneliti yang juga santri di Pesantren Ciganjur ini dalam elaborasi teoritis gerakan islam di tanah air.

Pertama, Islamisme Indonesia. Pada taraf tertentu, para radikalis ini mencoba mengislamkan negara yang—konon—dianggap belum islam. Tentu yang demikian sangat bertolak belakang jika meninjau sejarah islamisasi nusantara, serta keniscayaan bahwa bangsa ini tidak hanya didominasi satu agama. Hadirnya pancasila sebagi paradigma berpikir menjadi bukti koordinasi agama-agama yang mampu berjalan beriringan dalam bingkai nasionalisme .

Kedua, Pribumisasi Islam. Tesis ini pertama kali diwartakan oleh Abdurahman Wahid (Gus Dur) medio 80-an. Menurut beliau, pribumisasi telah mengakar dalam keberagamaan masyarakat Indonesia. Konsep ini kerap salah dipahami oleh banyak orang, yang sering mengidentikannya dengan sinkretisasi agama-agama. Padahal hal ini sangat berbeda.

Pribumisasi islam yang dimaksudkan adalah akulturasi islam dengan kearifan lokal yang membudaya di tiap daerah. Pada banyak kasus, pribumisasi ini sudah menjadi ciri keindonesiaan. Masjid di Kudus misalnya, yang mengadopsi gaya bangunan ala hindu, adalah contoh sahih akulturasi budaya. Pun kehidupan masyarakatnya yang plural dan toleransimerupakan bukti ihwal pribumisasi islam yang mampu mengokomodasi khazanah dan kearifan lokal.

Ketiga, Pendidikan Kultural. Pola ini diharap akan menjadi filter bagi radikalisme. Arif, menuturkan bahwa pada dasarnya, pesantren, merupakan wadah terpenting dalam menangkal virus kekerasan tersebut. Peran kependidikan islam ini menjadi vital mengingat semakin menjamurnya pola rekruitmen para radikalis yang kebanyakan merupakan orang dengan tradisi keberislaman yang minim. Bahkan cenderung memanfaatkan janji-janji teologis demi tujuannya.

Membaca buku ini, kita seolah dihantarkan untuk memahami kebudayaan dalam bingkai islam Indonesia yang khas, serta lanskap keislaman dan keindonesiaan yang kerap diperdebatkan mampu diterjemahkan dengan cukup elaboratif oleh penulis. Namun, di sisi lain, belum mampu memetakan gerakan-gerakan islam di Indonesia dengan pelbagi reniknya yang khas. Terlepas dari itu, paling tidak, islam Indonesia yang diketengahkan, mampu sebagai penangkal radikalisme yang tengah menjamur.

*Sekretaris Forum Studi Sosial dan Keagamaan Piramida Circle Jakarta

Menyibak Sisi Lain Industrialisasi



Oleh: Dedik Priyanto*

Judul : Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan dan Masyarakat Sipil
Penulis : Bosman Batubara dkk.
Penerbit : Desantara Foundation
Tahun : I, Agustus 2010
Tebal : xx+ 236 hal.

Menjamurnya industrialisasi di suatu negara kerap dijadikan corong pemetaan tingkat kesejahteraan penduduknya. Apalagi jika mampu meningkatkan taraf hidup, serta tersedianya lapangan kerja yang melimpah. Terlepas dari itu, ternyata, industri juga menyebabkan hal-hal negatif yang merugikan. Bahkan cenderung musibah bagi kemanusiaan.

Pelbagai fakta menarik tersaji. Pun penelitian ihwal dinamika industri banyak mengemuka, hingga membelalakan mata bahwa pada titik tertentu industri menyimpan realita yang cenderung melenceng dari tujuan aslinya; kesejahteraan manusia. Kasus Lapindo, misalnya, akan membuat sisi kemanusiaan tergerak. Semburan lumpur yang tiada habisnya seolah menyuguhkan narasi pilu tangisan rakyat yang tiada berkesudahan.

Derita masyarakat Porong inilah yang membuat Bosman Batubara dan Paring Waluyo Utomo mewartakan derap kisah yang cukup panjang tentang kegagalan proyek industrialisasi yang dibungkus praktik bisnis dalam musibah itu. Di situ, dipaparkanlah keculasan para korporat yang berfusi dengan kontraktor dan antek masyarakat dalam penanggulan lumpur, dan gagal. Hal ini menjadi penting karena semakin memperjelas relasi sengkarut antara warga, negara, dan perusahaan sebagai pemodal dalam lanskap industrialisasi.

Pelbagai realitas diskursif semacam itu yang dikuak beberapa peneliti dalam buku ini. Tercatat, ada beberapa hal fundamental yang patut diketengahkan. Pertama, industrialisasi dalam konteks global adalah fakta sejarah. Yang mau tidak mau demi kemajuan harus diberlakukan. Jika tidak, maka disparitas ekonomis dan perbedaan kelas akan semakin mencolok.

Apalagi dunia ketiga sebagai penghasil bahan kerap dijadikan tumbal regulasi global. Alih-alih mereka menjadi subjek. Namun, justru dijadikan sumber pengerukan masal bahan mentah. Setelah itu, baru limbahnya dilimpahkan ke negara asal. Hal demikian membuat negara ketiga menjadi sangat rentan terhadap bencana. Namun, tiada mampu menolaknya dikarenakan ketergantungan yang berlebih kepada pemodal dunia sebagai pemangku kebijakan global.

Kedua, manusia sebagai aktor bencana (man made disaster). Dalam beberapa kasus, terjadinya musibah yang kerap melanda merupakan perilaku manusia. Rekam jejaknya pun sudah terbukti dengan semakin menipisnya resapan air, dan rentannya alam akibat eksploitasi SDA yang kian tak terelakkan. Hingga bencana datang sebagai konsekwensi logis tindakan itu.

Ketiga¸ fakta-fakta perebutan tafsir atas wacana atas daerah yang dianggap berpotensi. Sebagai contoh, pada kasus air di Pegunungan Kendeng Pati, misalnya, terdapat polemik di k alangan masyarakat dengan pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Sedang para korporat negara dikontrol para investor yang akan membuat pabrik di lereng gunung. (Hal. 117)

Sontak, hal ini membuat berang rakyat Pati. Khususnya warga Samin yang mendiami kawasan tersebut. Mereka yang mempunyai kewajiban sebagai penjaga stabilitas alam merasa terusik. Apalagi jika pabrik itu berhasil berdiri, dikhawatirkan proyek industrialisasi itu akan menambah kecemasan semakin menipisnya jumlah kadar air di kawasan tersebut. Karena bagi mereka, air tidak hanya komoditas hidup. Melainkan aset alam yang harus dijaga kelestariannya.

Dialog pun dilakukan, berbagai penelitian pun digelar guna mengetahui efek pembangunan pabrik jika diteruskan. Hasilnya, para ahli banyak yang mendukung masyarakat karena tahu akan efek negatifnya jika proyek itu terus berlangsung. Hal serupa juga terjadi di Bulukumba, Sulawesi Selatan, dimana terjadi konstestasi perebutan hak antara pemerintah dan masyarakat adat yang ingin mempertahankan hutan yang terus dikeruk oleh industri.

Lagi-lagi yang dikalahkan adalah rakyat kecil. Karena kekuatan investor yang begitu kuat dalam merepresi pemerintah, dan ditakutkan Bencana Porong itu akan terjadi di daerah mereka. Maka, lewat buku ini, kita seolah diajak berpikir sejenak dan kontemplatif dalam melerai bencana yang datang tiba-tiba, juga kritis kala bersentuhan dengannya. Pun filterisasi industri yang tidak hanya keuntungan ekonomis bagi penggeraknya, tapi yang lebih penting adalah cakupan keamanan, serta tidak menghilangnya sisi kemanusiaan para industrialis.

*Warga Bojonegoro. tinggal di Jakarta. semoga buku ini bisa membuka kritisisme warga bojonegoro, dan lainnya ihwal bencana industri

Selasa, 18 Januari 2011

Tritura dan Luruhnya Politik Pencitraan


oleh: Dedik Priyanto *

Peristiwa 10 Januari 1966 agaknya menjadi elemen penting dalam penegakkan kembali kedaulatan, serta kekuatan rakyat dalam menegakkan demokratisasi. Betapa tidak, pada hari itulah momen bersejarah yang membuat jatuhnya rejim penguasa, serta aras konstitusi yang awalnya jatuh pada orde yang sentralistik mampu dikembalikan kepada rakyat. Sesuatu yang mungkin bagi konfigurasi kekinian jatuh pada satu kata populis: pencitraan.

Maka, berawal dari sebuah kegelisahan kultural para mahasiswa yang merasakan panasnya politik yang digagas Bung Karno ihwal penyatuan tiga entitas berbeda; nasionalisme, agama dan komunisme (Nasakom) yang tidak mengena pada substansi persoalan sebagai sebuah bangsa yang beragam. Hingga akhirnya, gagasan itu ternyata diinfiltrasi oleh gerakan separatis yang menginginkan pengubahan ideologisasi negara menuju komunis, serta meledaklah peristiwa G30/S PKI yang membuat sisi kemanusiaan tergeragap.

Hal itu mengakibatkan memuncaknya gairah perlawanan kaum intelektual untuk menentang kekuasaan yang terkesan otoriter, tidak mengesampingkan rakyat, dan hanya dibumbui politik citra dengan idiom konfrontasi dengan negara tetangga, Malaysia. Tidak ada yang salah memang. Tadi dalam hal stabilitas politik, demikian itu menjadi sangat riskan, mengingat secara legalisasi perpolitikan global, Indonesia adalah negara yang relatif baru dan sangat cepat mencuat. Tapi, tidak diikuti dengan tertatanya kehidupan bernegara

Mereka yang sadar terhadap realitas seperti ini kemudian meleburkan diri dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), serta melakukan aksi ke jalan guna mewartakan resolusi tiga tuntutan rakyat (Tritura), yakni pembubaran PKI, perombakan Kabinet Dwikora, serta penurunan harga kebutuhan pokok. Dari ketiga itu, barangkali yang paling relevan jika dikontekstualisasikan dengan keadaan kekiniaan, adalah ihwal penurunan harga. Apa pasal?

Yang paling terlihat adalah kesenjangan ekonomi yang begitu dalam seolah ingin menyentakkan nurani kita sebagai bangsa yang kaya, namun tetap saja hidup dalam lembah kemiskinan yang tiada berujung. Bahkan dijadikan alat politis bagi para pejabat untuk meraih simpati masyarakat luas. Tidak hanya itu, ketiadaan lahan pekerjaan juga menjadi persoalan tersendiri, hingga disparitas antara si kaya dan si miskin semakin menganga, serta sistem tebang pilih dalam penanganan korupsi yang semakin kentara, semakin memperkokoh kekurangpercayaan publik kepada pemerintah.

Kalau kita melihat di pasar-pasar tradisional, misalnya, lonjakan pelbagai kebutuhan pokok sudah sampai pada taraf yang cukup mengkhawatirkan. Harga-harga sudah tidak bisa terkontrol, (sebagai contoh, harga cabai saat ini mencapai 100 ribu/kg), itu agaknya menjadi pukulan telak bagi mereka. Hal ini sangat berbahaya, khususnya bagi level mikro yang digawangi oleh rakyat bawah (grass root) sebagai episentrum utama roda perekonomian.

Sudah jamak diketahui bahwa pemerintahan saat ini adalah rejim yang dipenuhi dengan politik citra. Mulai dari hal remeh-temeh pemakaian bahasa dan kata-kata asing dalam pidato kepresidenan, hingga perebutan tafsir atas keberhasilan tim nasional mencapai final Piala AFF 2010. Semua tidak terlepas dari pelbagai risiko kepentingan, dan menjadi silang sengkarut.

Hal ini menjadi sangat berbahaya ketika suatu pemerintahan yang seharusnya menyuarakan kejujuran dan kebenaran dalam tiap kebijakannya harus diselubungi dengan aneka hal-hal politis. Dan, tidak mendidik ke arah civil society yang berlandaskan Pancasila yang digagas oleh para founding fathers.

Filsuf asal Italia, Niccolo Machiavelli (1467-1572 M), dalam tesisnya mewacanakan bahwa kekuasaan dan politik adalah dua entitas berbeda yang saling bersentuhan erat. Bahkan untuk melegalkan sebuah kekuasaan, maka cara apa pun diperbolehkan. Asalkan itu untuk kepentingan stabilitas politik dalam sebuah rejim penguasa.

Dalam wacana demokrasi, politik pencitraan memang sah dilakukan guna melegalkan kekuasaan. Tapi, jangan lupa, bahwa di sinilah pertarungan ide dan gagasan akan mengemuka dengan semakin banyaknya medium oposisi sebagai pembanding politik citra yang dibangun pada rejim yang berkuasa saat ini.

Pada titik ini, amanat Tritura mendapatkan posisi untuk kembali menghentakkan semangatnya dalam kehidupan bernegara. Paling tidak, penulis melihat ada dua point penting.

Pertama, kembalinya wacana kritis. Hal ini harus menjadi perhatian serius bagi segenap praktisi, dan teoritikus yang bergerak dalam penegakkan civil society. Tidak hanya para intelektual yang menjadi agen perubahan, melainkan juga perlunya penyadaran kepada seluruh masyarakat. Karena, kalau melihat akhir-akhir ini, bangsa ini seolah dininabobokkan dengan pelbagai fasilitas yang tidak mendidik. Seperti, pemberian 'uang gratis' dengan dalih subsidi dan lain sebagainya.

Pada ranah penegakkan hukum, kita setiap hari melihat tontonan yang agak menjemukan. Sebagai contoh, ketika suatu perkara yang sudah tinggal menunggu waktu vonis, akhirnya harus dilipat kembali dan dimasukan dalam map, serta ditutup rapat. Kekecewaan pun hanya menjadi buih di antara lautan yang luas. Karena lagi-lagi, terkalahkan dengan para korporat yang telah berelasi dengan para pemegang kebijakan.

Hal itu terlihat, misalnya, Pada tarik ulur kasus Century yang tidak berujung pangkal. Hingga yang lagi menghangat adalah kasus mafia hukum, Gayus P Tambunan, yang diduga mampu keluar masuk tahanan dengan seenaknya, serta pelesiran ke luar negeri. Semua itu seolah menjadi bola salju yang siap digelindingkan dan membesar suatu saat, dan akan menjadi pukulan telak jika wacana itu tetap dikemas secara kritis.

Kedua, people power dan ruang publik. Dua hal ini merupakan ihtisar dari pengejawantahan civil society yang berpijak pada terbukanya ruang publik kepada khalayak. Jika ranah itu sudah dimiliki sepenuhnya oleh publik, maka people power akan tercipta. Inilah yang nanti akan menentukan bahwa apa pun namanya, politik pencitraan sudah tidak berlaku lagi, serta sudah saatnya rakyat meluruhkannya kepada tempat yang paling dalam. Serta membangkitkan kembali kesejahteraan dan keadilan kepada seluruh rakyat.

Dengan semangat yang dimiliki dalam peristwia Tritura ini, agaknya manusia Indonesia harus berkaca dengan kritis dan konstruktif terhadap segala permasalahan yang melingkupi. Penulis teringat kata-kata dari filsuf Schopenhouer, "Hidup teramat pendek, tapi kebenaran berlaku lama dan berumur panjang. Oleh sebab itu mari kita bicara kebenaran." *

*Peneliti Kajian Sosial dan Politik the Dewantara Institute, jakarta.
Opini ini mendarat di Harian Nasional Suara Rakyat, Selasa 11 Januari 2010

juga bisa diakses di; http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=270170

Ketika Mahfud MD Membaca Gus Dur



Judul : Gus Dur; Islam, Politik, dan Kebangsaan
Penulis : Mahfud MD
Penerbit : LKiS Jogjakarta
Tahun : I, 2010
Tebal : xii+268 hal.

Sudah jamak diketahui bahwa kedekatan Gus Dur dan Mahfud MD ibarat dua mata sisi yang saling berkaitan. Keduanya merupakan episentrum utama dalam meretaskan kebebasan dan penegakkan demokratisasi di Indonesia. Namun, mangkatnya Gus Dur setahun lalu, pada 30 Desember 2009, agaknya memberi kesan mendalam bagi pribadi yang juga menjadi penjaga gawang aras konstitusi ini.

Berawal dari sebuah permintaan “mendadak” yang dilayangkan tatkala Mahfud MD masih mengabdi sebagai guru besar Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta. Tak tanggung-tanggung, Gus Dur yang saat itu menjadi presiden terpilih menunjuknya menjadi Menteri Pertahanan (Menhan). Hal ini membuatnya terperanjat. Apalagi ketiadaan pengalaman dalam hal militer menjadi dalih. Pun latar belakang dirinya yang hanya seorang akademisi.

Ketika ditanyakakan ihwal itu kepada Gus Dur, beliau hanya berkelakar,”Saya sendiri tidak punya latar belakang menjadi presiden. Tapi bisa kok.” Di situ, penulis buku ini memberikan analisis berbeda. Dirinya yang notabene orang sipil diminta untuk merapikan militer, dan mengembalikannya pada posisi yang sebenarnya sebagai pengayom sipil. Termasuk juga mendemoralisasi militer dari hegemoni politik seperti yang dilakukan Orde Baru.

Kedekatan keduanya terlihat, misalnya, ketika menengok pelbagai pemikiran beliau yang acapkali dianggp nyeleneh. Ketika banyak orang mencibir tentang kegemaran bapak pluralisme itu berkeliling dunia, Mahfud menjelaskan bahwa hal itu memang yang dibutuhkan bangsa ini. Guna mencegah disintegrasi, dan semakin menguatnya separatisme kala itu. Tentunya hal demikian yang saat itu memang harus dilakukan untuk mempertahankan NKRI.

Ibarat teks, maka Gus Dur merupakan teks terbuka yang memungkinkan terjadinya anasir dan tafsiran yang beragam atas pelbagai spektrum pemikiran beliau yang memang sangat luas. Pada titik ini, Mahfud mencoba mendedahkan salah satu kegelisahannya atas sepak terjang lelaki yang terkenal dengan guyonannya itu, dalam bentuknya yang paling sederhana. Yakni, manusia biasa yang memiliki hobi silaturrahmi dan kecerdasan melihat situasi politik.

Silaturrahmi ini juga yang menjadi kekuatannya sebagai pemimpin. Hingga membuatnya dicintai oleh rakyat hingga ke kalangan akar rumput. Lain halnya ketika melihat para politisi saat ini, yang yang seakan enggan untuk sekedar saling menyapa. Bahkan ketika bersua harus diikuti dengan muatan politis yang menyelimuti tiap geraknya. Akibatnya, silaturahmi hanya menjadi lahan kontestasi politik. Bukan sebagai medium persaudaraan dan persahabatan.

Di level tata kelola pemerintahan, Gus Dur mampu mmendesakralisasi istana kepresidenan, serta menjadikannya istana rakyat. Apa pasal? Karena istana presiden yang harusnya menjadi tempat bagi rakyat untuk mengadu berbagai persoalan bangsa itu telah disalah tafsirkan oleh Orde Batu. Istana menjadi tempat yang angker, penuh formalitas, dan tidak bersahabat bagi rakyat jelata. Hingga sekedar mengadu pun mereka tidak berani.

Hal yang paling menggelitik barangkali adalah ketika tarjadi dualisme kepemimpinan di tubuh PKB antara Yenni Wahid dan Muhaimain Iskandar. Bagi Mahfud, silang sengkarut itu sebenarnya jatuh pada pertanyaan fundamental, siapa pemegang otoritas sebagai anak ideologis Gus Dur? Kedua-duanya menurutnya pantas dianggap pemegang titah penerus pemikiran beliau.

Di sisi yang lain, Yenni yang merupakan alumnus Havard University, agaknya lebih unggul. Karena tidak hanya sebagai anak ideologis Gus Dur. Tapi, lebih dari itu, perempuan yang juga aktivis HAM itu merupakan anak biologis yang tentunya mengikuti sejak kecil bagaimana ayahnya menerapkan pandangan ideologisnya di tengah masyarakat dan keluarga. Itu merupakan modal lebih untuk menjadi pemimpin di masa depan (hal 173).

Renik gagasan dan eskalasi pemikiran tentang sosok yang wujudnya kerap menjadi buronan para jurnalis karena sikapnya yang kontroversial itu, tertuang dalam buku “Gus Dur; Islam, Politik dan Kebangsaan” yang memercikkan memoar relasi beliau dengannya dalam empat dekade berbeda dalam kehidupannya. Yakni ketika menjadi Menteri Pertahanan, Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Anggota DPR RI, serta saat menjabat ketua Mahkamah Konstusi (MK).

Buku ini hadir dengan gaya bertutur yang santai, agak kelakar namun tetap kritis dan bernas dengan pelbagai muatan filosofisnya. Hingga seakan mampu menjadi manifestasi pertalian ideologis antara kedua negarawan ini. Pun menjadi simbol bahwa perjuangan menegakkan demokratisasi akan terus menyala walau sang guru bangsa telah pergi.

Peresensi adalah Dedik Priyanto, bergiat di Tadarus Kolom Gus Dur (TKG) the Wahid Institute. Saat ini dipercaya Sekretaris Lingkar Studi Piramida Circle Jakarta.
bisa jugga diakses;
http://www.wahidinstitute.org/Resensi/Detail/?id=61/hl=id/Ketika_Mahfud_MD_Membaca_Gus_Dur

Bapak Republik yang Hilang *


Judul : Tan Malaka, Bapak Republik yang Dilupakan
Penulis : Prof. Dr. Asvi Warman Adam dkk.
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Jakarta
Tahun : I, September 2010
Tebal : xix+185 hal

Sejarah memang acap tidak berjalan linear. Ia kerap dijadikan mangsa bagi pemangku kebijakan untuk melegalkan kekuasaannya. Hal ini menimbulkan sejarah tidak lagi bersifat netral, tapi tercipta karena ulah kodifikasi yang tidak memihak. Bahkan cenderung ahistoris, serta reduksionis atas pelbagai tafsiran wacana sebagai buah objektivitas dalam menengok realitas sejarah.

Relasi sengkarut antara pemerintah dengan korporat, yang dibingkai dalam kejahatan intelektual ihwal pembelokkan sejarah inilah yang membuat Datuk Ibrahim Tan Malaka menjadi sosok “yang terbuang” dalam peta revolusi historisme perjuangan Indonesia. Agaknya, hal demikian menjadi sangat penting untuk diketengahkan mengingat sangat pentingnya peranan beliau dalam revolusi.

Buku bertajuk “Tan Malaka, Bapak Republik yang dilupakan” hadir di tengah mulai menipisnya kesadaran akan pentingnya sejarah dalam lelaku berbangsa dan bernegara, yang mulai rapuh kala dihimpit ideologisasi kapitalisme yang kian menggerogoti.

Sisik melik dalam perjalanan hidup pejuang asal lembah Suliki ini, serta pelbagai hentakan beliau dalam meretaskan arah revolusi ini seolah ingin menjadi catatan sebagai upaya revitalisasi sejarah dalam peta keindonesiaan. Ada tiga spektrum eskalasi pemikiran yang tersirat dalam antologi tulisan para peneliti dan sejarawan terkemuka ini, yang mencoba mewartakan lelaku hidup Bung Tan, begitu ia biasa disapa, yang penuh liku. Pertama, Kemerdekaan dan refilosofi perjuangan.

Ignas Kleden menyebutnya sebagai nasionalisme seorang marxis. Yang dalam otaknya ide-ide leninisme-stalinisme telah terburai dan membaur dalam nasionalisme kebangsaan yang terejewantah dalam budaya nusantara menuju kemerdekaan seratus persen. Tanpa tedeng aling-aling dalam perjuangan, maupun kompromistis dengan kolonialisme guna melegalkan kekuasaan. Bahkan ia sangat keras mengkritik komunisme. Itulah mengapa, ia bersilang pendapat dengan kompatriotnya sesama Minangkabau, Sjahrir dan Hatta, dalam memandan aras filosofis perjuangan.

Ia mengkritik Sjahrir yang terlalu diplomatis, bahkan cenderung kompromistis dengan pihak kolonialis. Dan meruncing kala Sjahrir menjadi perdana menteri pada era Soekarno, yang mengubah sistem negara dari presidensial ke parlementer. Begitu pula dengan Hatta, silang sengkarut itu terjadi karena Hatta merasa diremehkan, dan dianggap ingusan dalam hal pergerakan dan revolusi. yang sebenarnya sudah dimulai kala masih di Amsterdam. Tepatnya pada saat gagalnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada tahun 1927.

Bapak proklamator itu meminta kepada para tokoh pergerakan kiri, maupun yang beraliran komunis menyerahkan estafet revolusi itu kepada kaum nasionalis guna merebut kemerdekaan. Semaun yang kala itu sebagai ketua PKI langsung menekan kontrak. Namun, Tan Malaka tidak. Fakta menarik pun tersaji, kala testamen Bung Karno ihwal kepemimpinan revolusi sepeninggal beliau akan diberikan kepada Tan Malaka, ditambahlah dengan pencatuman tiga nama lain oleh Hatta. Yakni Iwa Kusuma Soemantri, Sjahrir, dan Koesomanegoro.(hal 117)

Perbedaan tiga tokoh ini menurut Harry A. Poeze, sejarawan Belanda, terjadi karena perbedaan historitas antar ketiganya. Meski sama-sama belajar marxis, dan dari suku Minang. Tan lebih hidup lebih proletariat dari Hatta dan Sjahrir. Pun dibuang, mereka relatif masih bisa bergerak cukup bebas. Sedangkan beliau harus berkeliling di hampir seluruh dunia, dan menggunakan pelbagai nama samaran akibat pengejaran pihak kolonial yang gerah dengan pemikirannya selama hampir 20 tahun.

Kedua, karya yang ditulis. Tidak bisa dipungkiri. Tan Malaka adalah satu-satunya pemikir paling produktif dengan puluhan karya yang menginspirasi banyak pejuang pada masanya. Ia yang pertama kali menggagas kemerdekaan sebelum orang lain mendengungkannya. Lewat bukunya naar de republiek (1925) ia mengilhami banyak pejuang untuk mewartakan kemerdekaan. Bahkan Bung Karno, seperti dikutip Sayuti Melik, selalu membawanya. Pun lagu Indonesia raya yang dicipta WR Soepratman konon terinspirasi juga dari beliau.

Tidak hanya itu, banyak buku yang ia tulis sebagai manifestasi pemikirannya tentang Indonesia. Dari sekian banyaknya itu, Massa Aksi dan Madilog paling sering disebut. Yang terakhir sering dikatakan sebagai magnum opusnya. Karena berisi tentang serpihan ide-ide pemikirannya yang terejewantah dalam tiga kata, Materialisme, Dialektika dan Logika. Yang menjadi embrio dalam pijar pergerakan para aktivis revolusi.

Ketiga, Kematiannya yang misterius. Inilah agaknya yang membedakan Tan Malaka dengan para pejuang revolusi lainnya. Ia yang mampu menguasai beberapa bahasa dunia itu seakan menjadi bukti paling absah bagaimana represi pemerintah begitu kentara kepada lawan politiknya. Dan itu, tidak hanya terjadi pada masa sekarang. Saat bangsa ini mulai merangkak dengan bingkai nasionalisme yang kian terperikan.

Fakta historis mengemuka dengan pelbagai teori dengan perspektif yang beragam. Adam Malik menuturkan dalam bukunya Mengabdi Republik Jilid II bahwa tewasnya Tan Malaka disebabkan “ditembak tangan-tangan kotor yang tak bertanggung jawab” pada 16 April 1949 di Kediri. Lain halnya dengan Sayuti Melik. Pengetik teks proklamasi itu mewartakan bahwa kematian pria yang selama hidupnya tidak pernah menikah itu dilakukan oleh pesindo (PKI). Apa pasal? Menurutnya, karena mereka tidak menginginkan Tan Malaka menggantikan Bung Karno sebagai presiden. (hal.129)

Hal ini secara logika sejarah memang bisa dibenarkan. Khususnya testamen Bung Karno ihwal kepemimpinan revolusi. Pun karena Tan Malaka adalah orang yang sangat keras mengkritik gerakan PKI yang menurutnya kehilangan ranah filosofis perjuangan. Dan hanya berorientasi kekuasaan.Yang paling menarik, tentu adalah tesis yang diutarakan Harry A. Poeze.

Peneliti yang menghabiskan setengah hidupnya guna mempelajari Tan Malaka ini mengemukakan tewasnya ini ditangan TNI di bawah asuhan Kolonel Soengkono, di desa Selopanggung, Kediri, pada 21 Februari 1949. Sungguh tragis? Beliau yang sepanjang hidupnya memperjuangkan tanah air, harus meninggal di tangan republik yang diperjuangkannya. Temuan ini menjadi menarik lantaran Poeze sangat yakin di tempat itulah Tan Malaka luruh ke bumi pertiwi.

Pengecekan DNA pun dilakukan, tapi sampai sekarang masih belum pasti kebenarannya. Hingga membuatnya tetap menjadi sosok yang misterius, bahkan sampai kematiannya pun demikian. Lewat buku investigatif ini, kita diingatkan untuk selalu melihat secara objektif realita sejarah yang kadang reduksionis. Seperti Tan Malaka, begitulah seorang pejuang sejati, walau raganya sudah tiada, ia masih ada sampai sekarang lewat karya dan pemikirannya. Biarkan sejarah mengatakan kebenarannya sendiri.

Peresensi adalah Dedik Priyanto, Pustakawan Piramida Circle Jakarta, Sekretaris In Memoriam Tan Malaka 2010.
*tulisan ini saya persembahkan buat kawan saya, Abi Setyo Nugroho, senyumnya sumringah tatkala DNA Tan Malaka yang ia selidiki tempo hari, sudah mulai mengemuka buktinya.
bisa diakses ihwal beritanya;
http://www.detiknews.com/read/2011/01/12/145528/1544989/10/lokasi-makam-tan-malaka-positif-ada-di-kediri

sekali lagi, selamat bung.