Tendang, Terjang, Hadang

Rabu, 19 Januari 2011

Membincang Arabisme Islam Indonesia


Oleh : Dedik Priyanto
Judul : Deradikalisasi Islam: Paradigma dan Strategi Islam Kultural
Penulis : Syaiful Arif
Penerbit : Koekoesan, Depok
Tahun : I, Juni 2010
Tebal : vii +151 hlm

Acapkali perdebatan terjadi kala membincang keterniscayaan sejarah yang kerap tidak berjalan linear. Begitu pula dengan agama. Ia yang lahir dari pergolakan, serta pencarian panjang manusia akan Tuhan, seolah menjadi indikator spiritualitas yang terkadang jatuh pada taraf radikalisme. Hal ini berbahaya, jika menengok pluralitas keberagaman yang ada di Indonesia.

Ditinjau dari sejarahnya, setiap agama yang datang ke nusantara selalu mengalami akulturasi dengan budaya setempat. Tak terkecuali islam yang datang belakangan setelah Hindu dan Budha, serta agama-agama lokal yang telah lama mendiami. Percampuran dialogis semacam ini tentunya mengalami proses yang sangat panjang, serta pemahaman akan makna kebudayaan.

Dari proses ini, akhirnya islam di Indonesia mempunyai corak yang sangat khas dan berbeda dengan keberislaman di negara lain, serta membuat kebudayaan islam mengalami pergeseran dari aslinya. Hingga mencipta kebudayaan baru: islam Indonesia. Namun, akhir-akhir ini pakem keislaman itu berubah wajah menjadi angker dan menakutkan di bawah payung radikalisme yang nampak subur di tanah air.

Melalui buku ini, Syaiful Arif, mencoba menguak perubahan lelaku paradigma keberagamaan islam Indonesia yang inklusif dan toleran menjadi ekslusif, serta cenderung intoleran terhadap yang lain. Paling tidak ada tiga hal penting yang diketengahkan peneliti yang juga santri di Pesantren Ciganjur ini dalam elaborasi teoritis gerakan islam di tanah air.

Pertama, Islamisme Indonesia. Pada taraf tertentu, para radikalis ini mencoba mengislamkan negara yang—konon—dianggap belum islam. Tentu yang demikian sangat bertolak belakang jika meninjau sejarah islamisasi nusantara, serta keniscayaan bahwa bangsa ini tidak hanya didominasi satu agama. Hadirnya pancasila sebagi paradigma berpikir menjadi bukti koordinasi agama-agama yang mampu berjalan beriringan dalam bingkai nasionalisme .

Kedua, Pribumisasi Islam. Tesis ini pertama kali diwartakan oleh Abdurahman Wahid (Gus Dur) medio 80-an. Menurut beliau, pribumisasi telah mengakar dalam keberagamaan masyarakat Indonesia. Konsep ini kerap salah dipahami oleh banyak orang, yang sering mengidentikannya dengan sinkretisasi agama-agama. Padahal hal ini sangat berbeda.

Pribumisasi islam yang dimaksudkan adalah akulturasi islam dengan kearifan lokal yang membudaya di tiap daerah. Pada banyak kasus, pribumisasi ini sudah menjadi ciri keindonesiaan. Masjid di Kudus misalnya, yang mengadopsi gaya bangunan ala hindu, adalah contoh sahih akulturasi budaya. Pun kehidupan masyarakatnya yang plural dan toleransimerupakan bukti ihwal pribumisasi islam yang mampu mengokomodasi khazanah dan kearifan lokal.

Ketiga, Pendidikan Kultural. Pola ini diharap akan menjadi filter bagi radikalisme. Arif, menuturkan bahwa pada dasarnya, pesantren, merupakan wadah terpenting dalam menangkal virus kekerasan tersebut. Peran kependidikan islam ini menjadi vital mengingat semakin menjamurnya pola rekruitmen para radikalis yang kebanyakan merupakan orang dengan tradisi keberislaman yang minim. Bahkan cenderung memanfaatkan janji-janji teologis demi tujuannya.

Membaca buku ini, kita seolah dihantarkan untuk memahami kebudayaan dalam bingkai islam Indonesia yang khas, serta lanskap keislaman dan keindonesiaan yang kerap diperdebatkan mampu diterjemahkan dengan cukup elaboratif oleh penulis. Namun, di sisi lain, belum mampu memetakan gerakan-gerakan islam di Indonesia dengan pelbagi reniknya yang khas. Terlepas dari itu, paling tidak, islam Indonesia yang diketengahkan, mampu sebagai penangkal radikalisme yang tengah menjamur.

*Sekretaris Forum Studi Sosial dan Keagamaan Piramida Circle Jakarta

Menyibak Sisi Lain Industrialisasi



Oleh: Dedik Priyanto*

Judul : Bencana Industri: Relasi Negara, Perusahaan dan Masyarakat Sipil
Penulis : Bosman Batubara dkk.
Penerbit : Desantara Foundation
Tahun : I, Agustus 2010
Tebal : xx+ 236 hal.

Menjamurnya industrialisasi di suatu negara kerap dijadikan corong pemetaan tingkat kesejahteraan penduduknya. Apalagi jika mampu meningkatkan taraf hidup, serta tersedianya lapangan kerja yang melimpah. Terlepas dari itu, ternyata, industri juga menyebabkan hal-hal negatif yang merugikan. Bahkan cenderung musibah bagi kemanusiaan.

Pelbagai fakta menarik tersaji. Pun penelitian ihwal dinamika industri banyak mengemuka, hingga membelalakan mata bahwa pada titik tertentu industri menyimpan realita yang cenderung melenceng dari tujuan aslinya; kesejahteraan manusia. Kasus Lapindo, misalnya, akan membuat sisi kemanusiaan tergerak. Semburan lumpur yang tiada habisnya seolah menyuguhkan narasi pilu tangisan rakyat yang tiada berkesudahan.

Derita masyarakat Porong inilah yang membuat Bosman Batubara dan Paring Waluyo Utomo mewartakan derap kisah yang cukup panjang tentang kegagalan proyek industrialisasi yang dibungkus praktik bisnis dalam musibah itu. Di situ, dipaparkanlah keculasan para korporat yang berfusi dengan kontraktor dan antek masyarakat dalam penanggulan lumpur, dan gagal. Hal ini menjadi penting karena semakin memperjelas relasi sengkarut antara warga, negara, dan perusahaan sebagai pemodal dalam lanskap industrialisasi.

Pelbagai realitas diskursif semacam itu yang dikuak beberapa peneliti dalam buku ini. Tercatat, ada beberapa hal fundamental yang patut diketengahkan. Pertama, industrialisasi dalam konteks global adalah fakta sejarah. Yang mau tidak mau demi kemajuan harus diberlakukan. Jika tidak, maka disparitas ekonomis dan perbedaan kelas akan semakin mencolok.

Apalagi dunia ketiga sebagai penghasil bahan kerap dijadikan tumbal regulasi global. Alih-alih mereka menjadi subjek. Namun, justru dijadikan sumber pengerukan masal bahan mentah. Setelah itu, baru limbahnya dilimpahkan ke negara asal. Hal demikian membuat negara ketiga menjadi sangat rentan terhadap bencana. Namun, tiada mampu menolaknya dikarenakan ketergantungan yang berlebih kepada pemodal dunia sebagai pemangku kebijakan global.

Kedua, manusia sebagai aktor bencana (man made disaster). Dalam beberapa kasus, terjadinya musibah yang kerap melanda merupakan perilaku manusia. Rekam jejaknya pun sudah terbukti dengan semakin menipisnya resapan air, dan rentannya alam akibat eksploitasi SDA yang kian tak terelakkan. Hingga bencana datang sebagai konsekwensi logis tindakan itu.

Ketiga¸ fakta-fakta perebutan tafsir atas wacana atas daerah yang dianggap berpotensi. Sebagai contoh, pada kasus air di Pegunungan Kendeng Pati, misalnya, terdapat polemik di k alangan masyarakat dengan pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Sedang para korporat negara dikontrol para investor yang akan membuat pabrik di lereng gunung. (Hal. 117)

Sontak, hal ini membuat berang rakyat Pati. Khususnya warga Samin yang mendiami kawasan tersebut. Mereka yang mempunyai kewajiban sebagai penjaga stabilitas alam merasa terusik. Apalagi jika pabrik itu berhasil berdiri, dikhawatirkan proyek industrialisasi itu akan menambah kecemasan semakin menipisnya jumlah kadar air di kawasan tersebut. Karena bagi mereka, air tidak hanya komoditas hidup. Melainkan aset alam yang harus dijaga kelestariannya.

Dialog pun dilakukan, berbagai penelitian pun digelar guna mengetahui efek pembangunan pabrik jika diteruskan. Hasilnya, para ahli banyak yang mendukung masyarakat karena tahu akan efek negatifnya jika proyek itu terus berlangsung. Hal serupa juga terjadi di Bulukumba, Sulawesi Selatan, dimana terjadi konstestasi perebutan hak antara pemerintah dan masyarakat adat yang ingin mempertahankan hutan yang terus dikeruk oleh industri.

Lagi-lagi yang dikalahkan adalah rakyat kecil. Karena kekuatan investor yang begitu kuat dalam merepresi pemerintah, dan ditakutkan Bencana Porong itu akan terjadi di daerah mereka. Maka, lewat buku ini, kita seolah diajak berpikir sejenak dan kontemplatif dalam melerai bencana yang datang tiba-tiba, juga kritis kala bersentuhan dengannya. Pun filterisasi industri yang tidak hanya keuntungan ekonomis bagi penggeraknya, tapi yang lebih penting adalah cakupan keamanan, serta tidak menghilangnya sisi kemanusiaan para industrialis.

*Warga Bojonegoro. tinggal di Jakarta. semoga buku ini bisa membuka kritisisme warga bojonegoro, dan lainnya ihwal bencana industri

Selasa, 18 Januari 2011

Tritura dan Luruhnya Politik Pencitraan


oleh: Dedik Priyanto *

Peristiwa 10 Januari 1966 agaknya menjadi elemen penting dalam penegakkan kembali kedaulatan, serta kekuatan rakyat dalam menegakkan demokratisasi. Betapa tidak, pada hari itulah momen bersejarah yang membuat jatuhnya rejim penguasa, serta aras konstitusi yang awalnya jatuh pada orde yang sentralistik mampu dikembalikan kepada rakyat. Sesuatu yang mungkin bagi konfigurasi kekinian jatuh pada satu kata populis: pencitraan.

Maka, berawal dari sebuah kegelisahan kultural para mahasiswa yang merasakan panasnya politik yang digagas Bung Karno ihwal penyatuan tiga entitas berbeda; nasionalisme, agama dan komunisme (Nasakom) yang tidak mengena pada substansi persoalan sebagai sebuah bangsa yang beragam. Hingga akhirnya, gagasan itu ternyata diinfiltrasi oleh gerakan separatis yang menginginkan pengubahan ideologisasi negara menuju komunis, serta meledaklah peristiwa G30/S PKI yang membuat sisi kemanusiaan tergeragap.

Hal itu mengakibatkan memuncaknya gairah perlawanan kaum intelektual untuk menentang kekuasaan yang terkesan otoriter, tidak mengesampingkan rakyat, dan hanya dibumbui politik citra dengan idiom konfrontasi dengan negara tetangga, Malaysia. Tidak ada yang salah memang. Tadi dalam hal stabilitas politik, demikian itu menjadi sangat riskan, mengingat secara legalisasi perpolitikan global, Indonesia adalah negara yang relatif baru dan sangat cepat mencuat. Tapi, tidak diikuti dengan tertatanya kehidupan bernegara

Mereka yang sadar terhadap realitas seperti ini kemudian meleburkan diri dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), serta melakukan aksi ke jalan guna mewartakan resolusi tiga tuntutan rakyat (Tritura), yakni pembubaran PKI, perombakan Kabinet Dwikora, serta penurunan harga kebutuhan pokok. Dari ketiga itu, barangkali yang paling relevan jika dikontekstualisasikan dengan keadaan kekiniaan, adalah ihwal penurunan harga. Apa pasal?

Yang paling terlihat adalah kesenjangan ekonomi yang begitu dalam seolah ingin menyentakkan nurani kita sebagai bangsa yang kaya, namun tetap saja hidup dalam lembah kemiskinan yang tiada berujung. Bahkan dijadikan alat politis bagi para pejabat untuk meraih simpati masyarakat luas. Tidak hanya itu, ketiadaan lahan pekerjaan juga menjadi persoalan tersendiri, hingga disparitas antara si kaya dan si miskin semakin menganga, serta sistem tebang pilih dalam penanganan korupsi yang semakin kentara, semakin memperkokoh kekurangpercayaan publik kepada pemerintah.

Kalau kita melihat di pasar-pasar tradisional, misalnya, lonjakan pelbagai kebutuhan pokok sudah sampai pada taraf yang cukup mengkhawatirkan. Harga-harga sudah tidak bisa terkontrol, (sebagai contoh, harga cabai saat ini mencapai 100 ribu/kg), itu agaknya menjadi pukulan telak bagi mereka. Hal ini sangat berbahaya, khususnya bagi level mikro yang digawangi oleh rakyat bawah (grass root) sebagai episentrum utama roda perekonomian.

Sudah jamak diketahui bahwa pemerintahan saat ini adalah rejim yang dipenuhi dengan politik citra. Mulai dari hal remeh-temeh pemakaian bahasa dan kata-kata asing dalam pidato kepresidenan, hingga perebutan tafsir atas keberhasilan tim nasional mencapai final Piala AFF 2010. Semua tidak terlepas dari pelbagai risiko kepentingan, dan menjadi silang sengkarut.

Hal ini menjadi sangat berbahaya ketika suatu pemerintahan yang seharusnya menyuarakan kejujuran dan kebenaran dalam tiap kebijakannya harus diselubungi dengan aneka hal-hal politis. Dan, tidak mendidik ke arah civil society yang berlandaskan Pancasila yang digagas oleh para founding fathers.

Filsuf asal Italia, Niccolo Machiavelli (1467-1572 M), dalam tesisnya mewacanakan bahwa kekuasaan dan politik adalah dua entitas berbeda yang saling bersentuhan erat. Bahkan untuk melegalkan sebuah kekuasaan, maka cara apa pun diperbolehkan. Asalkan itu untuk kepentingan stabilitas politik dalam sebuah rejim penguasa.

Dalam wacana demokrasi, politik pencitraan memang sah dilakukan guna melegalkan kekuasaan. Tapi, jangan lupa, bahwa di sinilah pertarungan ide dan gagasan akan mengemuka dengan semakin banyaknya medium oposisi sebagai pembanding politik citra yang dibangun pada rejim yang berkuasa saat ini.

Pada titik ini, amanat Tritura mendapatkan posisi untuk kembali menghentakkan semangatnya dalam kehidupan bernegara. Paling tidak, penulis melihat ada dua point penting.

Pertama, kembalinya wacana kritis. Hal ini harus menjadi perhatian serius bagi segenap praktisi, dan teoritikus yang bergerak dalam penegakkan civil society. Tidak hanya para intelektual yang menjadi agen perubahan, melainkan juga perlunya penyadaran kepada seluruh masyarakat. Karena, kalau melihat akhir-akhir ini, bangsa ini seolah dininabobokkan dengan pelbagai fasilitas yang tidak mendidik. Seperti, pemberian 'uang gratis' dengan dalih subsidi dan lain sebagainya.

Pada ranah penegakkan hukum, kita setiap hari melihat tontonan yang agak menjemukan. Sebagai contoh, ketika suatu perkara yang sudah tinggal menunggu waktu vonis, akhirnya harus dilipat kembali dan dimasukan dalam map, serta ditutup rapat. Kekecewaan pun hanya menjadi buih di antara lautan yang luas. Karena lagi-lagi, terkalahkan dengan para korporat yang telah berelasi dengan para pemegang kebijakan.

Hal itu terlihat, misalnya, Pada tarik ulur kasus Century yang tidak berujung pangkal. Hingga yang lagi menghangat adalah kasus mafia hukum, Gayus P Tambunan, yang diduga mampu keluar masuk tahanan dengan seenaknya, serta pelesiran ke luar negeri. Semua itu seolah menjadi bola salju yang siap digelindingkan dan membesar suatu saat, dan akan menjadi pukulan telak jika wacana itu tetap dikemas secara kritis.

Kedua, people power dan ruang publik. Dua hal ini merupakan ihtisar dari pengejawantahan civil society yang berpijak pada terbukanya ruang publik kepada khalayak. Jika ranah itu sudah dimiliki sepenuhnya oleh publik, maka people power akan tercipta. Inilah yang nanti akan menentukan bahwa apa pun namanya, politik pencitraan sudah tidak berlaku lagi, serta sudah saatnya rakyat meluruhkannya kepada tempat yang paling dalam. Serta membangkitkan kembali kesejahteraan dan keadilan kepada seluruh rakyat.

Dengan semangat yang dimiliki dalam peristwia Tritura ini, agaknya manusia Indonesia harus berkaca dengan kritis dan konstruktif terhadap segala permasalahan yang melingkupi. Penulis teringat kata-kata dari filsuf Schopenhouer, "Hidup teramat pendek, tapi kebenaran berlaku lama dan berumur panjang. Oleh sebab itu mari kita bicara kebenaran." *

*Peneliti Kajian Sosial dan Politik the Dewantara Institute, jakarta.
Opini ini mendarat di Harian Nasional Suara Rakyat, Selasa 11 Januari 2010

juga bisa diakses di; http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=270170

Ketika Mahfud MD Membaca Gus Dur



Judul : Gus Dur; Islam, Politik, dan Kebangsaan
Penulis : Mahfud MD
Penerbit : LKiS Jogjakarta
Tahun : I, 2010
Tebal : xii+268 hal.

Sudah jamak diketahui bahwa kedekatan Gus Dur dan Mahfud MD ibarat dua mata sisi yang saling berkaitan. Keduanya merupakan episentrum utama dalam meretaskan kebebasan dan penegakkan demokratisasi di Indonesia. Namun, mangkatnya Gus Dur setahun lalu, pada 30 Desember 2009, agaknya memberi kesan mendalam bagi pribadi yang juga menjadi penjaga gawang aras konstitusi ini.

Berawal dari sebuah permintaan “mendadak” yang dilayangkan tatkala Mahfud MD masih mengabdi sebagai guru besar Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta. Tak tanggung-tanggung, Gus Dur yang saat itu menjadi presiden terpilih menunjuknya menjadi Menteri Pertahanan (Menhan). Hal ini membuatnya terperanjat. Apalagi ketiadaan pengalaman dalam hal militer menjadi dalih. Pun latar belakang dirinya yang hanya seorang akademisi.

Ketika ditanyakakan ihwal itu kepada Gus Dur, beliau hanya berkelakar,”Saya sendiri tidak punya latar belakang menjadi presiden. Tapi bisa kok.” Di situ, penulis buku ini memberikan analisis berbeda. Dirinya yang notabene orang sipil diminta untuk merapikan militer, dan mengembalikannya pada posisi yang sebenarnya sebagai pengayom sipil. Termasuk juga mendemoralisasi militer dari hegemoni politik seperti yang dilakukan Orde Baru.

Kedekatan keduanya terlihat, misalnya, ketika menengok pelbagai pemikiran beliau yang acapkali dianggp nyeleneh. Ketika banyak orang mencibir tentang kegemaran bapak pluralisme itu berkeliling dunia, Mahfud menjelaskan bahwa hal itu memang yang dibutuhkan bangsa ini. Guna mencegah disintegrasi, dan semakin menguatnya separatisme kala itu. Tentunya hal demikian yang saat itu memang harus dilakukan untuk mempertahankan NKRI.

Ibarat teks, maka Gus Dur merupakan teks terbuka yang memungkinkan terjadinya anasir dan tafsiran yang beragam atas pelbagai spektrum pemikiran beliau yang memang sangat luas. Pada titik ini, Mahfud mencoba mendedahkan salah satu kegelisahannya atas sepak terjang lelaki yang terkenal dengan guyonannya itu, dalam bentuknya yang paling sederhana. Yakni, manusia biasa yang memiliki hobi silaturrahmi dan kecerdasan melihat situasi politik.

Silaturrahmi ini juga yang menjadi kekuatannya sebagai pemimpin. Hingga membuatnya dicintai oleh rakyat hingga ke kalangan akar rumput. Lain halnya ketika melihat para politisi saat ini, yang yang seakan enggan untuk sekedar saling menyapa. Bahkan ketika bersua harus diikuti dengan muatan politis yang menyelimuti tiap geraknya. Akibatnya, silaturahmi hanya menjadi lahan kontestasi politik. Bukan sebagai medium persaudaraan dan persahabatan.

Di level tata kelola pemerintahan, Gus Dur mampu mmendesakralisasi istana kepresidenan, serta menjadikannya istana rakyat. Apa pasal? Karena istana presiden yang harusnya menjadi tempat bagi rakyat untuk mengadu berbagai persoalan bangsa itu telah disalah tafsirkan oleh Orde Batu. Istana menjadi tempat yang angker, penuh formalitas, dan tidak bersahabat bagi rakyat jelata. Hingga sekedar mengadu pun mereka tidak berani.

Hal yang paling menggelitik barangkali adalah ketika tarjadi dualisme kepemimpinan di tubuh PKB antara Yenni Wahid dan Muhaimain Iskandar. Bagi Mahfud, silang sengkarut itu sebenarnya jatuh pada pertanyaan fundamental, siapa pemegang otoritas sebagai anak ideologis Gus Dur? Kedua-duanya menurutnya pantas dianggap pemegang titah penerus pemikiran beliau.

Di sisi yang lain, Yenni yang merupakan alumnus Havard University, agaknya lebih unggul. Karena tidak hanya sebagai anak ideologis Gus Dur. Tapi, lebih dari itu, perempuan yang juga aktivis HAM itu merupakan anak biologis yang tentunya mengikuti sejak kecil bagaimana ayahnya menerapkan pandangan ideologisnya di tengah masyarakat dan keluarga. Itu merupakan modal lebih untuk menjadi pemimpin di masa depan (hal 173).

Renik gagasan dan eskalasi pemikiran tentang sosok yang wujudnya kerap menjadi buronan para jurnalis karena sikapnya yang kontroversial itu, tertuang dalam buku “Gus Dur; Islam, Politik dan Kebangsaan” yang memercikkan memoar relasi beliau dengannya dalam empat dekade berbeda dalam kehidupannya. Yakni ketika menjadi Menteri Pertahanan, Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Anggota DPR RI, serta saat menjabat ketua Mahkamah Konstusi (MK).

Buku ini hadir dengan gaya bertutur yang santai, agak kelakar namun tetap kritis dan bernas dengan pelbagai muatan filosofisnya. Hingga seakan mampu menjadi manifestasi pertalian ideologis antara kedua negarawan ini. Pun menjadi simbol bahwa perjuangan menegakkan demokratisasi akan terus menyala walau sang guru bangsa telah pergi.

Peresensi adalah Dedik Priyanto, bergiat di Tadarus Kolom Gus Dur (TKG) the Wahid Institute. Saat ini dipercaya Sekretaris Lingkar Studi Piramida Circle Jakarta.
bisa jugga diakses;
http://www.wahidinstitute.org/Resensi/Detail/?id=61/hl=id/Ketika_Mahfud_MD_Membaca_Gus_Dur

Bapak Republik yang Hilang *


Judul : Tan Malaka, Bapak Republik yang Dilupakan
Penulis : Prof. Dr. Asvi Warman Adam dkk.
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Jakarta
Tahun : I, September 2010
Tebal : xix+185 hal

Sejarah memang acap tidak berjalan linear. Ia kerap dijadikan mangsa bagi pemangku kebijakan untuk melegalkan kekuasaannya. Hal ini menimbulkan sejarah tidak lagi bersifat netral, tapi tercipta karena ulah kodifikasi yang tidak memihak. Bahkan cenderung ahistoris, serta reduksionis atas pelbagai tafsiran wacana sebagai buah objektivitas dalam menengok realitas sejarah.

Relasi sengkarut antara pemerintah dengan korporat, yang dibingkai dalam kejahatan intelektual ihwal pembelokkan sejarah inilah yang membuat Datuk Ibrahim Tan Malaka menjadi sosok “yang terbuang” dalam peta revolusi historisme perjuangan Indonesia. Agaknya, hal demikian menjadi sangat penting untuk diketengahkan mengingat sangat pentingnya peranan beliau dalam revolusi.

Buku bertajuk “Tan Malaka, Bapak Republik yang dilupakan” hadir di tengah mulai menipisnya kesadaran akan pentingnya sejarah dalam lelaku berbangsa dan bernegara, yang mulai rapuh kala dihimpit ideologisasi kapitalisme yang kian menggerogoti.

Sisik melik dalam perjalanan hidup pejuang asal lembah Suliki ini, serta pelbagai hentakan beliau dalam meretaskan arah revolusi ini seolah ingin menjadi catatan sebagai upaya revitalisasi sejarah dalam peta keindonesiaan. Ada tiga spektrum eskalasi pemikiran yang tersirat dalam antologi tulisan para peneliti dan sejarawan terkemuka ini, yang mencoba mewartakan lelaku hidup Bung Tan, begitu ia biasa disapa, yang penuh liku. Pertama, Kemerdekaan dan refilosofi perjuangan.

Ignas Kleden menyebutnya sebagai nasionalisme seorang marxis. Yang dalam otaknya ide-ide leninisme-stalinisme telah terburai dan membaur dalam nasionalisme kebangsaan yang terejewantah dalam budaya nusantara menuju kemerdekaan seratus persen. Tanpa tedeng aling-aling dalam perjuangan, maupun kompromistis dengan kolonialisme guna melegalkan kekuasaan. Bahkan ia sangat keras mengkritik komunisme. Itulah mengapa, ia bersilang pendapat dengan kompatriotnya sesama Minangkabau, Sjahrir dan Hatta, dalam memandan aras filosofis perjuangan.

Ia mengkritik Sjahrir yang terlalu diplomatis, bahkan cenderung kompromistis dengan pihak kolonialis. Dan meruncing kala Sjahrir menjadi perdana menteri pada era Soekarno, yang mengubah sistem negara dari presidensial ke parlementer. Begitu pula dengan Hatta, silang sengkarut itu terjadi karena Hatta merasa diremehkan, dan dianggap ingusan dalam hal pergerakan dan revolusi. yang sebenarnya sudah dimulai kala masih di Amsterdam. Tepatnya pada saat gagalnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia pada tahun 1927.

Bapak proklamator itu meminta kepada para tokoh pergerakan kiri, maupun yang beraliran komunis menyerahkan estafet revolusi itu kepada kaum nasionalis guna merebut kemerdekaan. Semaun yang kala itu sebagai ketua PKI langsung menekan kontrak. Namun, Tan Malaka tidak. Fakta menarik pun tersaji, kala testamen Bung Karno ihwal kepemimpinan revolusi sepeninggal beliau akan diberikan kepada Tan Malaka, ditambahlah dengan pencatuman tiga nama lain oleh Hatta. Yakni Iwa Kusuma Soemantri, Sjahrir, dan Koesomanegoro.(hal 117)

Perbedaan tiga tokoh ini menurut Harry A. Poeze, sejarawan Belanda, terjadi karena perbedaan historitas antar ketiganya. Meski sama-sama belajar marxis, dan dari suku Minang. Tan lebih hidup lebih proletariat dari Hatta dan Sjahrir. Pun dibuang, mereka relatif masih bisa bergerak cukup bebas. Sedangkan beliau harus berkeliling di hampir seluruh dunia, dan menggunakan pelbagai nama samaran akibat pengejaran pihak kolonial yang gerah dengan pemikirannya selama hampir 20 tahun.

Kedua, karya yang ditulis. Tidak bisa dipungkiri. Tan Malaka adalah satu-satunya pemikir paling produktif dengan puluhan karya yang menginspirasi banyak pejuang pada masanya. Ia yang pertama kali menggagas kemerdekaan sebelum orang lain mendengungkannya. Lewat bukunya naar de republiek (1925) ia mengilhami banyak pejuang untuk mewartakan kemerdekaan. Bahkan Bung Karno, seperti dikutip Sayuti Melik, selalu membawanya. Pun lagu Indonesia raya yang dicipta WR Soepratman konon terinspirasi juga dari beliau.

Tidak hanya itu, banyak buku yang ia tulis sebagai manifestasi pemikirannya tentang Indonesia. Dari sekian banyaknya itu, Massa Aksi dan Madilog paling sering disebut. Yang terakhir sering dikatakan sebagai magnum opusnya. Karena berisi tentang serpihan ide-ide pemikirannya yang terejewantah dalam tiga kata, Materialisme, Dialektika dan Logika. Yang menjadi embrio dalam pijar pergerakan para aktivis revolusi.

Ketiga, Kematiannya yang misterius. Inilah agaknya yang membedakan Tan Malaka dengan para pejuang revolusi lainnya. Ia yang mampu menguasai beberapa bahasa dunia itu seakan menjadi bukti paling absah bagaimana represi pemerintah begitu kentara kepada lawan politiknya. Dan itu, tidak hanya terjadi pada masa sekarang. Saat bangsa ini mulai merangkak dengan bingkai nasionalisme yang kian terperikan.

Fakta historis mengemuka dengan pelbagai teori dengan perspektif yang beragam. Adam Malik menuturkan dalam bukunya Mengabdi Republik Jilid II bahwa tewasnya Tan Malaka disebabkan “ditembak tangan-tangan kotor yang tak bertanggung jawab” pada 16 April 1949 di Kediri. Lain halnya dengan Sayuti Melik. Pengetik teks proklamasi itu mewartakan bahwa kematian pria yang selama hidupnya tidak pernah menikah itu dilakukan oleh pesindo (PKI). Apa pasal? Menurutnya, karena mereka tidak menginginkan Tan Malaka menggantikan Bung Karno sebagai presiden. (hal.129)

Hal ini secara logika sejarah memang bisa dibenarkan. Khususnya testamen Bung Karno ihwal kepemimpinan revolusi. Pun karena Tan Malaka adalah orang yang sangat keras mengkritik gerakan PKI yang menurutnya kehilangan ranah filosofis perjuangan. Dan hanya berorientasi kekuasaan.Yang paling menarik, tentu adalah tesis yang diutarakan Harry A. Poeze.

Peneliti yang menghabiskan setengah hidupnya guna mempelajari Tan Malaka ini mengemukakan tewasnya ini ditangan TNI di bawah asuhan Kolonel Soengkono, di desa Selopanggung, Kediri, pada 21 Februari 1949. Sungguh tragis? Beliau yang sepanjang hidupnya memperjuangkan tanah air, harus meninggal di tangan republik yang diperjuangkannya. Temuan ini menjadi menarik lantaran Poeze sangat yakin di tempat itulah Tan Malaka luruh ke bumi pertiwi.

Pengecekan DNA pun dilakukan, tapi sampai sekarang masih belum pasti kebenarannya. Hingga membuatnya tetap menjadi sosok yang misterius, bahkan sampai kematiannya pun demikian. Lewat buku investigatif ini, kita diingatkan untuk selalu melihat secara objektif realita sejarah yang kadang reduksionis. Seperti Tan Malaka, begitulah seorang pejuang sejati, walau raganya sudah tiada, ia masih ada sampai sekarang lewat karya dan pemikirannya. Biarkan sejarah mengatakan kebenarannya sendiri.

Peresensi adalah Dedik Priyanto, Pustakawan Piramida Circle Jakarta, Sekretaris In Memoriam Tan Malaka 2010.
*tulisan ini saya persembahkan buat kawan saya, Abi Setyo Nugroho, senyumnya sumringah tatkala DNA Tan Malaka yang ia selidiki tempo hari, sudah mulai mengemuka buktinya.
bisa diakses ihwal beritanya;
http://www.detiknews.com/read/2011/01/12/145528/1544989/10/lokasi-makam-tan-malaka-positif-ada-di-kediri

sekali lagi, selamat bung.

Selasa, 11 Januari 2011

Ketika Tertimpa Amanat Kata


Rentang 2010 kamaren barangkali adalah tahun yang menjemukan bagi saya. Banyak hal yang sudah terpikir akhirnya luruh karena banyak ketidakmapanan. Itu pula yang mengakibatkan saya sempat berpikir berhenti dengan aktivitas menulis. Dan lebih memfokuskan pada dua kata idealis; membaca dan berdiskusi. Sedikit meniadakan menulis serius, serta coba dipublikasikan di media baik nasional maupun media alternatif underground tataran kampus.

Agaknya yang demikian itu menjadikan saya seperti orang yang terasing. Sendiri di atas tumpukan kegembiraan banyak orang di tahun 2010 akhir. Tepat 4 bulan saya bersitegang dengan pemikiran saya sendiri, bertarung dengan pelbagai ide yang merasuki tiap sendi, serta berkelebat pada atap-atap dinding kamar yang dipenuhi dengan beragam relief ulah teman-teman satu kontrakan. Mulai dari baju yang menumpuk belum dicuci, buku yang dibiarkan terbuka setelah dibaca, atau tentang puntung rokok yang tiada tahu siapa yang meletakkannya di situ. Bahkan yang paling destruktif—dalam bahasa saya—adalah bau yang agak wangi dari celana yang siap untuk dicuci tapi barangkali lupa atawa sengaja tidak jadi dibersihkan.

Saya akan kembali ke ruang-ruang itu. bahwa sudah cukuplah bagi saya untuk menjadi seorang pengangguran kamar yang kerjanya hanya nonton film dan membaca buku. Beberapa waktu itu saya seolah kehilanan kenikmatan untuk menulis. Entah apa yang terjadi. paling tidak sampai kalimat ini saya buat, gairah itu masih menggelayuti. Bahkan mungkin besok akan terus begitu. Namun, satu sisi yang menyenangkan pada rentang itu adalah kemampuanku dalam mengusir baju dan pelbagai barang yang di lemari.

Betul. Mereka terusir. Tahukah, Kawan. Saya mampu untuk menjejali lemari itu dengan buku. Iya, buku. Targetku berhasil dengan memberi makan lemariku dengan buku-buku. Setelah saya rinci, ternyata yagn menduduki peringkat paling tinggi di lemari yang sudah full itu adalah buku pemikiran, di susul dengan sastra, esai dan beberapa kolom penulis ternama. Semisal Gus Dur, Mochtar Lubis, Soe Hok Gie dll, dan menduduki peringkat terakhir adalah psikologi.

“Bah, kau aneh kali, Kawan. Padahal itu jurusan kau. Tapi mengapa tidak awak temukan buku tentang diskursus ilmu tingkah laku-laku,” pekik teman saat ke kontrakan.

Maka, aku pun membongkar-bongkar, ternyata tidak. Buku psikologi masih mendiami peringkat ketiga. Karena setelah saya hitung tidak hanya satu, dua, bahkan tiga. Tapi ada banyak. Walau sampai saat ini saya masih mencari dua buku klasik tentang psikologi yang hilang, yakni bukunya Fuad Hassan—saya lupa judulnya—dan Prof. Malik Badri “Dilema Psikolog Muslim”, serta Kesehatan Mentalnya Prof. Zakiyah Drajat. Ketiganya, walau dianggap buku biasa. Paling tidak bisa memberi point, bahwa pendapat teman saya tadi telah gugur.

Di sebuah malam, kira-kira setelah nonton berita olahraga malam beberapa hari lalu. Sengaja saya berdiam dulu, saya merasa merapalkan doa-doa yang barangkali bisa sedikit meredakan kegundahan yang saya miliki, dan akhirnya bisa tidur. Tapi tetap saja lelap seakan enggan menemui. Entah apa yang diperbuatnya mala mini. Hingga tidak mampir di situ.

Lagi-lagi entah apa yang membisiki. Tiba-tiba saya mendapat hembusan, atau barangkali bisikan dari—juga saya tidak tahu—angin yang bertutur kira-kira begini,”Saya ingin melihat kau. Kau menulis lagi. Tidak hanya bagi dirimu. Tapi juga dibaca khalayak.”

Alih-alih saya ketakutan laiknya film-film horror yang dibuat para sineas komersil itu. malah saya terperanjat. Bangun dari tidur yang panjang. Bahwa saya harus nulis. Saya menunggu barangkali suara itu datang lagi. Tapi tidak pernah muncul kembali. Bahkan jangan-jangan saya berpikir itu adalah kata hati saya yang sudah lama diam. Karena memang juga saya sudah lama tidak berusaha mengajaknya bercengkerama seperti dulu.

Benar sekali. Nampaknya saya tertimpa amanat lagi sebagai manusia (yang) suka nulis. Bahwa jika sudah memproklamirkan sebagai penulis, makanya hanya satu kata; Tulis. begitulah. Saya akan menulis lagi. Apapun itu, yang sesuai dengan otak dan hati saya. Maafkan, kawan, jika saya sudah lama tidak mengajakmu bercengkerama lagi. Nanti kita akan berdiskusi lagi.

Untuk itu saya memasang lagi beberapa pigura di dinding kamar. Saya masuki dengan gambar beberapa buku yang sudah diterbitkan. Dan seoalah menjadi teman dari semakin berserakannya baju dan buku-buku yang ada di kamar. Pun seakan menjadi saksi bahwa saya telah tertimpa amanat dari kata. Yakni menuliskannya dan menyebarkannya pada khalayak.

Mari Menulis!
karena
Itulah amanah seorang penulis.


Suatu Pagi di Lembah Piramida Circle
Jakarta , 11 Januari 2010