Tendang, Terjang, Hadang

Minggu, 20 Februari 2011

Kekerasan di Tengah Kebhinekaan


Opini di Harian Suara Karya, Jumat 18 Pebruari 2010

Oleh Dedik Priyanto*

Akhir-akhir ini, kerukukan antar-umat beragama berada pada titik yang mencemaskan. Betapa tidak, merebaknya semangat kedaerahan dan tindak kekerasan semakin menambah muram wajah multikulturisme yang sudah mengakar kuat di Bumi Pertiwi. Lalu di manakah negara yang konon terkenal santun, ramah dan soleh dalam beragama itu?

Realitas ini agaknya harus dimengerti bagi segenap insan bernegara bahwa agama tidak hanya melulu soal ritual (syar'i) maupun aras dogmatis (aqidah). Hal ini, berjungkir terbalik dengan dua peristiwa yang terjadi beberapa tempo lalu. Bahwa atas nama agama, sekelompok orang menyerang jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Buntutnya, korban jatuh tak terelakkan. Begitu halnya dengan penyerangan sebuah tempat ibadat di Temanggung, Jawa Tengah. Itu hanya sepercik bukti bahwa ketenangan sebagai warga telah terusik, atau jangan-jangan Ibu Pertiwi menangis menyaksikan polah dan pongah sivitasnya.

Secara historis, perbedaan antar-agama yang kerap diributkan itu, pada dasarnya sudah selesai pada ranah negosiasi akar rumput (grass root). Fakta ini mengemuka dengan realitas bahwa pada zaman dahulu kehidupan sudah sangat plural-multikuturalis. Bisa ditengok, misalnya, pada zaman raja-raja kuno, seperti adanya dua kekuatan besar Nusantara; Sriwijaya dan Majapahit.

Di kedua kerajaan itu, geliat kebebesan beragama mencapai titik yang cukup menggembirakan. Di Sriwijaya, misalnya, umat Hindu sebagai mayoritas mampu berinteraksi dengan penganut Budha dan aliran kepercayaan lainnya sebagai minoritas. Begitu halnya di masa Majapahit. Hubungan antar-agama laiknya tubuh yang saling membutuhkan.

Itu pula awal sendi 'kebhinekaan' tanpa nama yang sudah ada semenjak masa lampau. Menyitir pendapat Gus Dur, bahwa negara Indonesia sebenarnya sudah ber-Pancasila sejak dahulu kala. Lalu, kenapa sekarang keberagamaan dan kemajemukan itu justru tampak sangat garang dan menakutkan?

Pada titik ini, konsep Pribumisasi Islam yang digelontorkan Gus Dur agaknya dapat menjadi oase atas kedahagaan relasi beragama. Bagi beliau, akulturasi agama Islam dengan budaya adalah sebuah keniscayaan. Jika agama itu ingin menjadi generator dalam tatanan sosial, menuju perubahan yang lebih baik. Itulah mengapa kedua korpus itu menjadi penting dalam melerai keberagaman yang jatuh pada definisi populis, yakni kemajemukan Nusantara.

Kedua kutub itu agaknya belum mampu dimengerti oleh para perusuh yang mengatasnamakan agama dalam segala tindak-tanduknya. Mereka seakan terkontaminasi dengan perangai hirarkis atas dalih 'kekalahan' meta-teologis yang telah berkolaborasi dengan kapitalisme yang diusung barat. Pun dialektika politik yang kerap tidak bersahabat dengan kelompok mereka dalam membangun basis sosial keagamaan.

Agaknya yang digeluti mereka yang acapkali mereduksi agama dalam bentuknya yang garang. Tafsir yang destruktif. Bahkan mencuat sebagai proteksi terhadap agama yang mereka anut. Bahkan tidak jarang berlaku kasar terhadap segala perbedaan. Seakan lupa, bahwa konsepsi mendasar agama-agama terdapat pada pada dua entitas besar yang menjadi dinamisator. Yakni, kasih sayang (rahman) dan persaudaraan sesama manusia (ukhuwah).


Term pribumisasi ini akan membuat agama yang telah berelasi dengan budaya itu terkonfigurasi sebagai proyek yang belum selesai. Karenanya, akan terus berkembang selaras dengan arah peradaban. Menyitir tesis Emile Durkheim (1954), bahwa segala konsepsi yang dimiliki manusia terhadap agama merupakan bentuk abstraksi masyarakat atas apa yang tercermin dalam kehidupan sosial yang mereka jalani.


Kegagalan Negara


Bagi JJ Rosseau (1649), negara haruslah menjadi pelindung setiap warganya. Sebab, ia telah merenggut kebebasan alamiah yang dimiliki ketika belum adanya negara (state of nature). Keadaan alamiah terjelmah dalam bentuknya yang sangat baik. Karena kebebasan alami yang dimiliki, tentu memiliki determinan dalam menengok poros kebaikan dan keburukan sebagai titik pijak dalam mengejewantah kebebasan.

Keadaan seperti itu, kata Rossesu, tidaklah akan bertahan lama sejalan dengan arah peradaban manusia yang terus memekar. Maka dari itu, dibutuhkanlah negara sebagai perekat kebebasan-kebebasan itu, serta sedikit menguranginya (social contract). Jika kebebasan itu diteruskan, ditakutkan malah akan menjadi redefenisi kebebasan ke arah yang destruktif. Meminjam ucapan Hobbes, menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus).

Kegagapan negara dalam memberikan keamanan setiap penduduknya inilah yang agaknya menjadi titik persoalan mengapa kebhinekaan dan kemajemukan kita terusik. Penulis kira ada tiga hal fundamental hal yang harus ditilik sebagai episentrum negara yang berdaulat.

Pertama, ancaman disintegrasi. Kerap perkara ini dianggap selesai oleh banyak orang. Namun, barangkali satu hal yang terlupa bahwa proses menuju integrasi sosial itu kerap disubstitusikan dalam korpus kebudayaan dan interaksional semata. Padahal wacana dialogis agama-agama juga kerap menjadi pergunjingan tersendiri pada bentuknya yang komunal.

Bisa dilihat, misalnya, pada kasus India dan Pakistan yang tidak hanya lepas pada ranah 'pseudo-politics', tapi adanya ketidakmampuan negara sebagai payung pemersatu. Indonesia, agaknya akan mengalami kejadian yang sama. Jika negara'lagi-lagi' gagal menjalankan tugasnya, serta hanya memikirkan kekuasaan dan citra terhadap suatu masalah an sich.

Kedua, politisasi agama. Dua anasir ini ibarat dua mata sisi yang melengkapi. Bahwa agama dan politik tidak pernah lepas sebagai sesuatu yang sudah terkodifikasi (sunnatullah). Namun, menjadi bermasalah jika agama itu dipolitisasi oleh segelintir golongan untuk kepentingan pribadi atau kelompok mereka. Buahnya, adalah kekerasan yang berbau agama.

Ketiga, identitas negara. Acapkali menjadi Indonesia adalah menyerupa nasionalis tanpa mengamit agama sebagai teman sejawat dalan lelaku. Padahal identitas itu bukanlah embrio dari Pancasila yang digadang sebagai paradigma berpikir bangsa. Hibridisasi agama dan nasionalisme merupakan bentuknya yang hakiki. Di situ, terdapat landasan bangsa yang bertumpu pada toleransi, kebersamaan, kekeluargaan dan sikap saling menyayangi antara sesama.

Untuk itulah, segala silang sengkarut perbedaan tidak dibenarkan berakhir dengan kekerasan. Jika itu terjadi, benarlah moderat yang telah mengakar itu telah tercerabut dari muasalnya. Penulis terpantik kelakar filosofis dari sastrawan muda, A Makki, pertengkaran demi meributkan perbedaan, apalagi sampai mengepal tinju dan melempar batu, adalah kebisingan yang mengganggu tidur siang.


* aktivis Forum Studi Lintas Agama Piramida Circle Jakarta


tulisan bisa diakses di

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=272635

bisa juga di;

http://www.wahidinstitute.org/Opini/Detail/?id=251/hl=id/Kekerasan_Di_Tengah_Kebinekaan

Minggu, 13 Februari 2011

Menapaki Keberagamaan Sang Ilmuwan

Oleh: Dedik Priyanto

Judul : Mereka Akhirnya Menemukan Allah; Sang Ilmuwan
Penulis : Lukman Santoso AZ
Penerbit : Diva Press, Jogjakarta
Tahun : I, Juli 2010
Tebal : 143 Hal.

Persoalan agama selalu menyita perhatian yang serius. Tidak hanya para filsuf dan teolog yang saling memperdebatkan makna ideologis dan relasi keberagamaan yang berkembang. Pergolakan dan pertentangan dalam memperebutkan nilai hakiki kebenaran seakan menjadi bara dalam terjal hidup mereka. Tak terkecuai para aktor ilmu ilmuwan, yang notabene lebih mengutamakan rasionalisme empiris dalam segala tindakan.

itulah renik yang yang coba dipotret oleh Lukman Santoso AZ melalui buku ini. Mereka yang ditulis adalah adalah sivitas akademis modern, yang kerap melihat segala hal lewat kacamata rasionalitas dan telaah ilmiah dalam tiap nalar serta lelaku mereka. Namun, tatkala mencapai puncak piramida pengetahuan yang mereka geluti, lagi-lagi, kekeringan akan makna hidup dan spiritualitas melanda.

Jeffrey Lang misalnya, ia merupakan seorang professor ternama. Pelbagai penelitian tentang ilmu hitung menghantarkannya menjadi pakar matematika tersohor di Amerika. Apalagi disiplin ilmu yang digelutinya tersebut sangat rasionalistik, dan searah dengan nalar positivistik barat yang akhirnya membuat beliau menjadi seorang atheis sejak kecil.

Pilihan tersebut membuatnya berpikir tentang makna dirinya di dunia. Pun pengamatannya akan kehidupan modern yang cenderung hedonistik, serta kehilangan ruh humanisme yang merupakan inti ilmu pengetahuan. Hingga suatu ketika seorang mahasiswanya menghadiahi sebuah mushaf. Di situlah, akhirnya, ia menemukan jawaban filosofis yang acapkali menyesaki alam bawah sadarnya tentang makna dan eksistensi diri, serta keberadaan Tuhan.

Lain halnya dengan kisah Prof. Dr. Maurice Baille. Ilmuwan bedah terkemuka Prancis yang meneliti tentang mumi ini tergeragap saat menemukan fakta yang mencengangkan. Jasad yang diteliti tersebut ternyata mirip dengan cerita Fir’aun yang tenggelam. Sisa-sisa garam dalam tubuh semakin meneguhkan tesisnya tersebut. Padahal, narasi itu sudah diperbincangkan para teolog muslim ratusan abad lalu. Sedangkan ia sendiri baru sanggup membuktikan penelitiannya pada abad ke-19.

Enam belas kisah yang terangkum, merupakan titik kisar cerminan manusia yang coba menguak ihwal ketidakmampuan mereka dalam memahami realitas ruhani yang kerap menghantui nalar kritis, serta perasaan para ilmuwan. Sesuatu yang oleh sains modern cenderung dipisahkan. Begitulah, para ilmuwan tersebut seolah ingin meneliti tentang dirinya sendiri dan menjawab segala kesah yang kerap menggelayuti nalar kritis mereka.

Begitu juga yang dialami aerofisikawan asal Prancis, Prof. Bruno Guiderdoni. Beliau yang merupakan peneliti di Badan Antariksa Eropa menelaah perihal sains modern yang seakan hanya berhasil menemukan mekanisme segala hal. Namun, tiada mampu menjawab secara pasti tentang kandungan filosofis yang terjadi di dunia.

Adanya paradigma falsifikasi, dalam terminologi Karl Popper, seolah membuat ilmu pengetahuan modern tiada lagi menjadi hal yang murni kebenaran an sich dalam kaidah ilmiah saintifik. Hal demikian yang membuat beliau melakukan safari religius ke berbagai negara dengan lintas bacaan profetik, dan menyibak pelbagi tirai tentang kausalitas yang berkaitan dengan agama, serta kegelisahan akan dunia modern.

Tentang kegetirannya memandang hiruk pikuk modernitas itu, ia berujar lirih, ketika saya mempelajari sains, saya mendapati adanya sesuatu yang hilang dalam pendekatan ilmiah terhadap dunia. Ketika saya mencari pengetahuan lainnya, saya tersadar bahwa pencarian saya adalah pencarian religius. (Hal. 50).

Maka narasi pilu tentang pencarian Tuhan dalam dunia yang cenderung materialistik ini mampu diejewantahkan dengan langgam jurnalistik yang cukup cair dan inspiratif. Hingga membuat alam bawah sadar kita seakan tergelak untuk terus belajar dalam pencarian sifat hakiki manusia yang tardalam; eksistensi Tuhan dalam diri manusia.

Ashadi, Sang Ideolog Jurnalisme


Oleh: Dedik Priyanto *


Judul : Ashadi Siregar; Sang Penjaga akal kampus biru
Penulis : Daniel Dakhidae dkk
Penerbit : Kepustakan Populer Gramedia (KPG)
Tahun : I, Juli 2010
Tebal : xxii+374 Hal.

Sepeninggal orde lama, geliat kebebasan pers dan gempita demokrasi mulai mendapat titik terang. Namun, apa lacur, awal medio 70-an bangsa ini digemparkan dengan pembredelan majalah Sendi asal Jogjakarta. Hal ini cukup membelalakkan mata,. Padahal masih terngiang dengan jelas akan luluh lantaknya rezim otoritarian Soekarno. Apa pasal pembredelan ini?

Lelaku kenakalan media yang diinisiasi oleh para aktivis inilah penyebabnya. Khususnya keberanian mereka dalam menyibak kebusukan di balik megaproyek pemerintahan Soeharto dalam pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Itulah agaknya yang menjadi pemantik geram penguasa istana. Apalagi kala itu pemerintah sedang meneguhkan posisinya di mata rakyat pasca mangkatnya Soekarno dari tampuk kepemimpinan.

Maka dialah Ashadi Siregar yang menjadi pemimpin redaksi majalah kritis itu. Sosok inilah yang juga menjadi motor pergerakan, sekaligus generator yang membengkeli otak para aktivis dalam menentang arogansi orde baru. Pria yang kerap dijuluki suhu para wartawan ini juga merupakan penulis yang produktif. Tak kurang puluhan buku ia tulis, mulai dari Jurnalistik, Komunikasi, hingga sastra yang melambungkan namanya lewat trilogi legendaris Cintaku di Kampus Biru yang akhirnya difilmkan.

Kehadiran media yang dipimpinnya tersebut juga menjadi oase di tengah mulai keringnya keberanian di kalangan para jurnalis, serta minimnya daya nalar kritis mahasiswa yang kian terbenam dengan heroisme kebesaran angkatan ’66 yang berhasil merontokkan orde lama. Buntutnya, majalah itu dibredel, dan bersama para aktivis lainnya diinterogasi serta dipenjara.

Laiknya bunga rampai biographi orang besar, buku ini juga menguak lika-liku kiprah pria asal Pematang Siantar ini dalam perpspektif yang beragam. Luasnya spektrum pemikirannya juga ditelisik oleh beberapa pakar dan analis dari berbagai segi. Daniel Dakhidae misalnya, menelaah ruang egalitarian Ashadi dalam renik yang cukup menggelitik dan mendalam, yakni aktivisme pembangkangan terhadap penguasa kala masih menjadi mahasiswa.

Lain pula penuturan Butet Kertarajasa. Budayawan kondang ini bahkan menamai Bang Hadi, sapaan akrab beliau, sebagai manusia budaya. Menurutnya, hal ini untuk menegaskan bahwa beliau bukan manusia ekonomi, atau manusia politik yang masing-masing memiliki watak dasar yang berbeda, bahkan cenderung bertolak belakang dengan prinsip-prinsip manusia budaya yang tiada lelah memperjuangkan kemanusiaan (Hal.222).

Menjadi manusia budaya bukanlah hal yang mudah. Agaknya hal ini juga diakui Garin dalam esainya yang menisbahkan laiknya punakawan dalam dunia mistisisme pewayangan. Mengingat sangat jarangnya seorang tokoh dengan multivarian pengetahuan yang kompleks seperti Ashadi. Karena manusia budaya adalah sosok yang mengerahkan segenap diri guna perbaikan sesama manusia, khususnya perihal konsep dasar individu sejati; kemanusiaan yang tidak berpihak.

Pada titik inilah gagasan tentang etika jurnalisme yang akarnya adalah kemanusiaan bersua dengan kebebasan pers. Sesuatu yang dahulu acapkali saling berkelindan, bahkan cenderung tumpang tindih dengan pelbagai kecacatan yang kerap ditengarai sebagai pemantik buramnya makna kebebasan. Ashadi percaya bahwa biar bagaimanapun, pers tetaplah harus netral dan melaksanakan tugasnya sebagai ruang mediasi antara rakyat dan negara. Juga sebagai pengawas tindak-tanduk pemerintah dalam menjalankan amanat negara.

Konsistensinya dalam mempertahankan filosofi jurnalisme itulah yang mengantarnya sebagai sosok yang cukup disegani dalam percaturan dunia pers di Indonesia. Bahkan beliau sangat layak disebut sebagai ideolog yang dengan tangguhnya mampu mendamaikan akal, hati dan data jurnalistik dalam melerai tiap jengkal peristiwa. Guna diolah menjadi sebuah berita yang tidak hanya bernas dan akurat, tapi juga santun dalam memaparkan segala hal dengan jernih dan tidak berpihak.

*Peresensi adalah Pustakawan Forum Kajian Sosial Piramida Circle Jakarta, bergiat di Serambi Sastra Ciputat.

Kesadaran Kolektif Tragedi ’65/’66; Telaah Tiga Jaman *


Oleh; Dedik Priyanto

“Sejarah adalah serangkain dongeng yang telah disepakati, tutur Voltaire.”

Kata-kata memang kerap tidak bisa merefleksikan realita. Tapi, acap menjadi bukti eksistensi dalam sejarah yang meletupkan pemikiran dan logika akan kebenaran, bukan pembenaran yang kadang terkodifikasi penguasa dalam melegalkan kekuasannya, yang menurut Voltaire di atas, adalah dongeng yang terterima sebagai sebuah persetujuan bersama (acceptable).

Begitu pula dengan sejarah paling kelam yang pernah dilalui bangsa ini pada rentang 1965-1965. Peristiwa yang diawali lelaku—yang menurut Orde Baru—adalah pemberontakan terhadap konstitusi. Dan dinisiasi oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan penculikan secara brutal para jenderal. Yang secara garis politik, bersebarangan dengan mereka; G30/S PKI. Pun agitasi dan propraganda yang dilancarkan sebagai representasi carut marutnya perpolitikan nasional di masa itu. Khususnya pada tiga aliansi besar, PNI yang Nasionalis-Soekarnois, PKI yang menyuarakan komunisme dan kerakyatan, serta kaum agamawan yang dalam hal ini diwakili tiga ormas berpengaruh; NU, Muhammadiyah dan Masyumi

Nah, di situ penulis kira sungguh sangat kontraproduktif dengan realita, ibarat koin dengan dua sisi mata uang yang tidak pernah bertemu. Pertama, Ketika menengok perkembangan PKI sebagai sebuah gerakan kaderisasi dan politik, terbukti mampu memikat rakyat jelata dengan janji utopis ihwal luruhnya kelas sosial dan borjuisme yang berkongsi dengan kapitalisme itu di segala segi kehidupan mereka. Komunisme disinyalir paling relevan dalam memproteksi rakyat. Menjadi benteng dari imperialisme yang coba membangun kekuatannya kembali di dunia ketiga.

Kedua, PKI sebagai sistem ideologis, kerap dijadikan alasan tidak diterimanya mereka di lingkungan agama. Tuduhan sebagai “atheis” menyeruak ke permukaan, serta diikuti penistaan akan eksistensinya dalam sistem demokratisasi, yang pada konsepnya sangat menjunjung kebebesan memilih. Hingga dalih keagamaan pun dilegitimasi untuk melenggangkan “pembenaran” atas segala hal yang berbau pelarangan komunisme. Nah, pertanyaan menggelitiknya adalah, apakah Komunisme bersebarangan dengan agama, dalam konteks ini islam sebagai mayoritas?

Pada titik ini, penulis risau dengan pertanyaan yang kerap terlontar di beberapa forum diskusi yang pernah diikuti. Jika komunisme bersebarangan dengan islam? maka kenapa justru diterima oleh banyak rakyat—waktu itu—terus apakah prinsip egalitarian, persamaan hak, pembebasan kelas seperti yang digemborkan tidak ada dalam islam?

Di sini, ada hal yang cukup menggelitik. Pelbagai data disajikan dengan beragam tafsir. Khususnya ihwal korban yang jatuh pada peristiwa berdarah itu. Fakta mencengangkan mengemuka, bahkan lebih besar daripada data yang dikeluarkan pemerintah. Pembunuhan masal yang dilakukan Orde Soeharto terjadi selepas peristiwa G30/S itu, khususnya di kantong-kantong PKI. Di jawa misalnya, laporan dari Robert Crib (1990) ada 800 ribu jiwa lebih lenyap. Belum lagi 100 ribu orang lebih yang tewas di Bali. Hal ini kontras dengan data pemerintah yang hanya 78.500 jiwa. Belum lagi itu yang hilang tanpa data yang jelas. Bisa dibayangkan berapa jumlah korban? Dan itu ditutupi oleh penguasa sebagai pemangku kebijakan.

Telaah Tiga Jaman

Sebagai seorang yang hidup di jaman kekinian, penulis mungkin tidak mengalami langsung apa yang oleh sejarah sering disebut “pembasmian” umat manusia atas manusia yang lain itu. Namun, melihat rentang waktu peristiwa mengenaskan itu, dengan realitas makna kesadaran akan sejarah itu, agaknya ada tiga representasi, yang barangkali bisa mewakili apa yang penulis sebut sebagai telaah tiga jaman. Kita bisa mendebat ihwal ini, tapi berdasarkan pemikiran penulis, hal ini cukup penting untuk bisa memetakan sejarah dan realitas manusia sebagai subjek dibawah otoritas pemerintah yang ada dilingkup dia hadir.

.Pertama, kemerdekaan sampai revolusi ’66 dan sesudahnya. Ini adalah rentang sejarah yang mewartakan subjek sebagai pemeganng dalam carutan politik. Nah, penulis mendapati data-data yang cukup membuat nalar logika tergeragap. Apa pasal?
Seperti yang penulis wartakan di atas, ada peristiwa kemanusiaan yang cukup memprihatinkan. Khususnya pasca lengsernya kekusaan Soekarno, dan dimulailah tirani kepemimpinan Soeharto. Pada titik ini, tragedi ‘65 terjadi. hingga pembantaian masal atas nama pembersihan konstitusi terjadi di seluruh Indonesa. Bahkan dianggap sebagai peristiwa terbesar dalam hal kemanusiaan dan HAM setelah Holocoust nya NAZI maupun Khmer Merah di Kamboja.

Generasi terluka, begitulah penulis istilahkan. Karena eks-PKI pada realitasnya selalu dimusuhi, bahkan terpinggirkan, serta tidak mendapatkan haknya sebagai warga negara. Pun banyak yang terpenjara tanpa tuduhan yang jelas, seperti yang dialami Pramoedya Ananta Toer dan lain sebagainya. Kalau toh mereka bebas, masih tidak mendapatkan tempat di masyarakat, karena pelabelan yang dilakukan pemerintah sudah terlanjur masuk pada alam bawah sadar kolektif, dan menjadi cerita turun menurun di masyarakat. Bahkan diskriminasi itu juga dialami oleh keluarga dan keturunan eks PKI. Seperti mewarisi dosa sejarah yang terus terkodifikasi.

Kedua, fase kedua, awal ’70-an hingga media ’80-an. Alih-alih ingin menjadikan realitas diskursif menjadi tonggak sejarah, tapi pada masa ini pemuda seakan dibutakan oleh kebenaran. Tafsir monolitik atas wacana sejarah menjadi bukti paling sahih pada buku-buku sekolah. Komunisme pun dilarang dalam segala ranah di masyarakat Indonesia. Semua yang berbau PKI dan gerakan-gerakan kiri tidak bisa berkembang secara masif seperti pada awal masuk.

Hal ini sangat problematik, mengingat sejarah adalah sesuatu yang netral. Tanpa ada pretensi apapun dalam menyibak kebenaran. Pada masa Soeharto, objektivitas sejarah inilah yang tidak ada dalam masa ini. Buntutnya, sivitas yang ada tidak melek sejarah. Walaupun ada, itupun hanya pada cakupan underground di kampus-kampus, itu pun sangat sedikit.

Ketiga, fase ketiga, akhir ‘80-an sampai sekarang. Pada masa inilah kita berada, dan teringat penulis masih kecil sering ditakuti-takuti dengan istilah “PKI”. Laiknya monster yang harus dijauhi dan ditakuti. Begitu pula dengan “wajibnya” menonton film propragadis G 30/S yang disutradarai Arifin C. Noer (1984) semakin menambah ketakutan penulis akan “Komunisme dan PKI. Namun, pergumulan penulis dalam iklim kebebasan seperti sekarang, membuat penulis beralih pandang dan paradigma tentang kedua term tadi.

Kesadaran Kolektif

Jika sejarah adalah sebuah bentuk kesepakatan, seperti kata Voltaire. Maka tidakkah kita berpikir untuk melakukan kodifikasi sejarah berdasarkan kesadaran bersama dalam bingkai sila pertama pancasila, yakni kepercayaan akan Tuhan yang Esa. Mengapa? Karena dengan nasionalisme religius yang sering digemborkan sebagai representasi keberagamaan Indonesa, maka tak ayal, kesepakatan bersama harus diketengahkan di kalangan sivitas muda. Jika tidak, maka siapa lagi yang harus memikirkan sejarah.

Maka sejarah tidak hanya serupa titik dalam melangkah ke depan, tapi juga cermin untuk memahami realita dengan objektif. Penulis berpikir bahwa kesadaran kolektif dari pemuda harus segera terejewantahkan. Tidak hanya pada tataran wacana akademis, tapi harus pada realitas prakis dengan mengedepankan rasionalisasi dan pendekatan ide-ide tentan kebenaran historis itu.

Pada tiap agama-agama pasti diajarkan saling memafkan, dan untuk itulah kesadaran kolektif dan silang maaf ini menjadi penting daalam rekonstruksi sejarah. Untuk itulah pemahaman menyeluruh (Verstehen) akan sejarah perlu dikedepankan, dan itu telah dimulai oleh Gus Dur dengan mencabut TAP MPRS no. XXV/1966, pun dengan kata maaf yang beliau ucapkan kepada eks maupun keturunan yang menjadi korban Orba. Dan hal itu, bisa dengan kesadaran kolektif pemuda akan sejarah. Namun, lagi-lagi hal ini masih banyak yang tidak setuju dengan proyek rekonsiliatif pemuda itu. seperti tutur sejarawan Asvi Warman Adam dalam wawancaranya dengan Jurnal Taswhirul Afkar (2003) bahwa masih ada banyak kaum yang tidak setuju. Padahal sudah sudah jelas, sejarah kita sudah dibengkokan.


Catatan
Jurnal Taswhirul Afkar; Jurnal Pemikiran Kegamaan yang diterbitkan Lakpesdam NU.

*Esai ini pernah diikutkan dalam lomba esai tentang PKI