Tendang, Terjang, Hadang

Senin, 03 Oktober 2011

Ramadhan dan Nasionalisme


Bulan Ramadhan tahun ini tampaknya bersamaan dengan mulai menyingsingnya fajar nasionalisme Indonesia yang acapkali ditautkan pada bulan kemerdekaan, Agustus. Gagasan nasionalisme yang berkembang di Indonesia, seharusnya tidak dipahami hanya dari sudut perkembangan obyektif politis semata. Tetapi, juga dalam ruang pengumpulan partitur negara hingga menjadi identitas tunggal. Yakni, sebuah negara kesatuan Republik yang berdaulat penuh, dan mendapat pengakuan dunia internasional.

Hal demikian menjadi penting, mengingat begitu riuhnya situasi dengan pelbagai tawaran ideologi dan pemikiran kala itu. Begitu juga percaturan wacana, serta gagasan-gagasan yang berkembang laiknya pasar yang menjajakan aneka ragam paham dagangan supaya dipilih sebagai asas tunggal dalam bernegara. Mulai dari sosialisme, Islam, marhaenisme, dan komunisme, termasuk kelompok-kelompok etnis dan keturunan Tionghoa dan Arab, serta komunitas-komunitas lain yang seakan ingin meneguhkan eksistensi sebagai bangsa. Bisa dibayangkan, bagaimana ramainya arus wacana itu, hingga semangat nasionalisme akhirnya tumbuh karena kecintaan mereka terhadap negara. Maka, lahirlah Pancasila sebagai ideologi damai yang mengakomodasi semua kekuatan dan latar belakang bangsa. Dan, hal itu bukanlah pertarungan yang mudah. Karena, harus berhadapan penuh dengan pihak yang tidak menginginkan Pancasila sebagai ideologi.

Tak pelak, pelbagai tindak separatis maupun pemberontakan sempat muncul pada awal kemerdekaan namun mampu diredam dan dikembalikan atas nama nasionalisme milik para pendiri bangsa. Di tengah arus globalisasi, nasionalisme ekonomi dan kultural kelihatan menemukan momentum baru. Modernisasi dan industrialisasi, yang berlangsung dalam ukuran relatif cepat dan berdampak luas, mengakibatkan negara harus menemukan dan mempertahankan pasar untuk produk-produk industri ekonomi, khususnya di negara-negara maju.

Di sini lain, nasionalisme ekonomi negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, berhadapan dengan proteksionisme negara-negara maju, khususnya AS dan Eropa Barat. Dalam hal nasionalisme, kita seakan masih kalah dengan negara lain yang sudah memancang pagar besi bagi bagi imperialis modern. Sementara kita masih berada pada langkah kagum dan silau menyaksikan globalisasi sebagai sebuah sistem dan tata nilai. Berkah Ramadhan untuk mencapai kesucian dan derajat kemanusiaan tidak hanya pada tingkat pribadi, individual-personal, tetapi juga dalam kehidupan sosial-publik. Termasuk pula, dalam ikut menyemangati jiwa nasionalisme bangsa. Karena, walau bagaimanapun, setiap pojok adalah milik kita, milik rakyat dan pemuda yang menginginkan tidak adanya tebang pilih dalam proses hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi.

Jika ini diwujudkan, maka ibadah puasa Ramadhan kali ini akan menjadi lebih fungsional dalam berbagai aspek kehidupan. Dua entitas ini, Ramadhan dan nasionalisme, agaknya menemukan momentumnya pada bulan yang suci ini. Pada satu sisi, Ramadhan menyimpan begitu banyak telaah dan makna yang nilainya sama dengan nasionalisme yang diusung pada awal pergerakan di negara kita, yakni perjuangan untuk mengentaskan kemiskinan. Di samping, berpuasa (menahan diri) untuk tidak melakukan perbuatan tercela yang dapat menghancurkan cita-cita bangsa dan negara dalam memakmurkan penduduknya. Di sisi lain, nasionalisme merupakan tindakan cinta terhadap apa yang kita percayai sebagai pijakan dalam pergerakan untuk tidak lagi mau diatur oleh segala bentuk ketertindasan dan ketidakadilan yang menyengsarakan rakyat. Pun, dalam meramu segala tafsir dan wacana untuk menjadikan alat dan perjuangan menjadi satu tujuan hakiki berdirinya negara, yaitu kesejahteraan rakyat.

Perlu dicermati pula pendapat Syekh Imam Ghozali, bahwa ada tiga tingkatan seorang dalam meretaskan dirinya dalam bulan Ramadhan. Pertama, puasa awwbm (biasa), yaitu mengendalikan atau menjauhkan diri dari keinginan-keinginan yang berkaitan dengan pemuasan nafsu makan dan seksual. Ini merupakan titik awal. Ibarat kaca, ini adalah potret cerminan kebanyakan masyarakat kita pada level ini.

Dan, ini pula gambaran nasionalisme kita, bahwa kita seperti masih menggeliat untuk hanya membiasakan kata 'nasionalisme' sebagai sebuah ritus sejarah masa lampau. Tanpa, mampu untuk mendefiniskan ulang dalam konteks kekinian. Kedua, puasa khawwash (istimewa), yaitu mengendalikan atau menjaga diri sendiri dari nafsu-nafsu telinga, mata, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh lainnya dari perbuatan dzalim dan salah. Puasa semacam ini biasanya dilakukan orang-orang saleh.

Mereka mengendalikan diri untuk tidak melihat hal-hal yang tidak benar dan tidak diridhoi. Mereka yang mencapai level ini seakan mengendalikan nafsu lidah dari pada pembicaraan yang tidak berguna: berbohong, mencela, menyinggung perasaan orang lain, menggunjing, dan menfitnah. Mereka mengendalikan nafsu telinga dari pada mendengar segala pembicaraan yang dapat mengacaukan negara, dan pelbagai kebohongan publik sebagai alat legitimasi seperti yang sering terlihat sekarang.Ketiga, puasa khawwbsh al-khawwbsh (yang teristimewa), yaitu mengendalikan dan menjauhkan diri dari pikiran-pikiran yang rendah dan masalah-masalah yang berkaitan dengan duniawi. Mungkin kita tiada berharap, bahwa para koruptor dan pejabat yang memiliki tingkatan demikian. Namun, paling tidak, Ramadhan kali ini mampu ditafsirkan ulang, bahwa pada dasarnya nasionalisme religius inilah yang menjadi dasar filosofis adanya sebuah bangsa besar yang sedang tertidur bernama Indonesia. ***

Dedik Priyanto Penulis adalah peneliti The Dewantara Institute,
sedang menyelesaikan studi Psikologi Sosial UIN Jakarta.
(bisa diakses di
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=285102)




Revitalisasi Nasionalisme


(Opini, Harian Nasional Suara Karya, Kamis 26 April 2011)


Laiknya cendawan di musim hujan, aras demokratisasi telah menemukan momentumnya pasca 1998. Namun sisi lain demokratisasi membuat separatisme makin menguat, dan gerakan-gerakan kontra kebangsaan semakin berani menunjukan taringnya. Sejumlah organisasi yang merupakan gerakan transnasional, misal HTI dlsb. bahkan  Orsospol semacam HTI, MMI yang jelas-jelas menolak Indonesia dan Pancasila.

Yang lebih ekstrem lagi, ada upaya untuk mengganti sistem republik dengan sistem lain (khilafah, syariah dll) yang jelas-jelas tidak cocok dengan pluralitas yang ada. Ini sangat kontras, mengingat prinsip demokrasi yang seharusnya mengedepankan kemaslahatan di atas segala-galanya harus tunduk pada pandangan yang justru mengerdilkan nasionalisme.

Secara historis, runtuhnya sebuah negara kerap ditimbulkan karena kekurangpercayaan terhadap institusi dan elemen bernegara, serta menghilangnya nasionalisme di dada sivitasnya. Kasus runtuhnya Uni Soviet dan Yugoslavia bisa dijadikan pelajaran, bahwa proyek nasionalisme harus kembali digaungkan di seantero negeri.

Di kedua negara tersebut, nasionalisme coba dibangun dengan penyamarataan kesepahaman, serta menghilangkan perbedaan. Hasilnya bisa dilihat, mereka gagal, dan hilang dari peta dunia. Karena, menghilangkan perbedaan yang memang sudah ada sejak lahir merupakan suatu pemaksaan yang melawan hak asasi manusia (HAM) hingga tidak bertahan lama.

Maka, membincang nasionalisme Indonesia, haruslah menengok rentetan sejarah panjang bahwa nasionalisme mampu menjadi tonggak kemerdekaan. Ia yang lahir secara tertulis sejak 1928 dengan adanya Sumpah Pemuda itu memang lebih bersifat nasionalisme politik. Artinya, kesadaran sebagai bangsa yang diikrarkan para pemuda tanggal 28 Oktober, merupakan sebuah kesadaran, dan kesepahaman politik untuk menggalang persatuan, serta merapatkan barisan atas dasar satu tujuan bersama.]

Tidaklah salah, jika menimbang bahwa nasionalisme itu mampu meleburkan sekat dan bias etnisitas yang sering terwarta sebagai sesuatu yang tertolak. Kesadaran berpolitik inilah agaknya yang menjadi entitas penting dalam meretas kesatuan atas nama Pancasila sebagai payung yang mampu mengayomi seluruh partitur negara.

Menyitir pendapat Mohammad Yamin bahwa nasionalisme Indonesia sebelum itu, pada saat kelahiran Budi Utomo (10 Mei 1908), lebih bersifat nasionalisme kultural. Karena, jika ditilik lebih lanjut, nasionalisme kultur bangsa Indonesia sebenarnya sudah mulai terbina sejak masa lampau, dan mencapai puncak pada zaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.

Pelbagai fakta itu semakin menambah pudarnya nasionalisme yang menjadi cikal Indonesia. Setidaknya, ada tiga elemen substansial yang perlu ditelaah dalam rangka revitalisasi nasionalisme.

Pertama, penguatan identitas. Secara sederhana, kesadaran akan identitas nasional bisa dipantik oleh rasa etnitisas, letak geografis, ras, dan keluarga besar bernama Indonesia. Begitu halnya pengalaman pahit yang dialami secara bersama, walaupun tidak hidup bersama dalam sebuah tempat.

Mengaca pada kasus pengalaman penjajahan yang dilakukan Belanda selama ratusan tahun, yang dilanjutkan dengan kebengisan Jepang, dua peristiwa ini haruslah menumbuhkan kesadaran akan identitas diri dan identitas nasional. Intinya, bangsa ini ingin melepaskan belenggu kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk apa pun. Termasuk hegemoni ekonomi neoliberal yang sedang mencengkeram.

Identitias diri inilah yang nanti akan mewujudkan siapa diri kita, yang tentu akan menyatu dengan identitas nasional. Meskipun, secara geografis Indonesia bukanlah negara yang dengan mudah mampu menghimpun seluruh elemen yang menyebar di antara ribuan pulau dan ratusan suku yang ada.

Fakta sejarah membuktikan bahwa perbedaan bukanlah penghalang besar mewujudkan solidaritas dan identitas nasional. Tentu, kesadaran akan identitas sebagai bangsa ini tidak lahir secara mendadak. Identitas nasional Indonesia dirumuskan bahwa masyarakat yang mendiami wilayah di kepulauan Nusantara, meskipun beraneka ragam latar belakang, tetapi tetaplah berpandangan satu. Yakni Indonesia.

Kedua, pemahaman kembali multikulturalisme dan pluralisme. Istilah ini agaknya bukanlah kosa kata asing kala kita mendengarnya. Ia acapkali bersanding selaras dengan pergerakan tentang kemajemukan, sesuatu yang datang seiring munculnya makna baru tentang kesadaran, dan hidup berdampingan di antara sesama.

Bagi Ben Agger (2003) dalam buku Teori Sosial Kritis, dijelaskan tentang kesadaran untuk melakukan perubahan sosial, dengan menyatakan bahwa perubahan sosial tidak dapat berlangsung di pundak individu-individu. Sebaliknya, multikulturalisme menjadikan pribadi sebagai agenda politik utama. Inilah wilayah utama di mana multikulturalisme yang tidaklah mampu berdiri sendiri. Karena, akan menjadi lahan empuk bagi liberalisme.

Menimbang tesis di atas, maka multikulturalisme hendaklah berdampingan dengan pluralisme. Ini sekaligus sebagai
pemaknaan mendasar konsepsi masyarakat kita yang majemuk, degan beraneka ragam perbedaan, terdiri dari berbagai suku dan agama yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentatif dan cenderung destruktif. Juga, tidak boleh dipahami sekedar kebaikan yang negatif, hanya ditinjau dari asas, dan kegunaannya untuk menyingkirkan sikap fanatisme, vandalisme dan separatisme.

Ketiga, pemaknaan ulang simbol dan pilar negara. Empat pilar penting bangsa, yakni UUD 1945, NKRI, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sudah mulai redup di mata banyak orang. Tentu, kita tidak ingin ke depan nantinya, bangsa kita ini akan hancur karena generasi penerus tidak mengetahui apa pilar bangsa ini. Agaknya revitalisasi ini menjadi penting, mengingat semakin memudarnya nasionalisme di tengah sivitas Indonesia yang plural ini. ***

bisa juga diakses di http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=279371
Membaca Pesan Psikologis Teror
(opini di Harian Nasional Suara Karya, 18 April 2011)
Untuk pertama kalinya, aksi teror bom bunuh diri menyasar institusi Polri. Tepatnya, aksi ini dilakukan di lingkungan masjid Mapolresta Cirebon, 15 April lalu di saat para jamaah akan melaksanakan ritual salat Jumat. Pertanyaannya, apa makna di balik serangan ini?

 Jika mau sedikit menelisik, teror ini seakan menggambarkan realitas bahwa tingkat keamanan di dalam negeri begitu meresahkan. Betapa tidak, dalam sebuah institusi harusnya tingkat pengamanannya tinggi. Apalagi, yang menjadi sasaran adalah kepolisian, yang notabene adalah gudangnya pengendali keamanan. Namun, apa lacur, semua itu tidak berdaya, dikalahkan oleh teroris yang membonceng kelengahan mereka ketika salat Jumat.

 Adalah Gus Dur, yang sudah lama mewanti-wanti akan datangnya prioritas penanganan terorisme. Jika hal ini terus saja dibiarkan, maka sudah pasti akan semakin menebalkan zona penyerangan-penyerangan lain yang akan diintrodusir oleh para pengacau yang tidak menginginkan adanya perdamaian di negeri ini. Begitu halnya dengan teror, tindakan tegas secara hukum harus dilakukan. Perlu kiranya untuk mendedah aktor intelektual yang menjadi dalang, serta ideolog yang menjadi generator dalam gerakan-gerakan yang mengakibatkan teror yang kian meresahkan.

 Dalam esainya "Terorisme Harus Dilawan (2002)", Bapak Pluralisme ini memaparkan realitas terorisme yang merebak selepas teror Bom Bali. Bukti yang paling kentara adalah ketidaksigapan pemerintah dalam menerjang teror sebagai salah satu agenda terpenting dalam pemerintahan. Bagi Gus Dur, kita masih menganut kebijakan-kebijakan punitif dan kurang memberikan perhatian pada tindakan-tindakan preventif. Laiknya wabah ulat bulu yang cepat menyebar tanpa bisa dibendung, maka sudah selayaknya pola kebijakan preventif ini menjadi alur dalam meretas segala kekagetan, yang terjadi dalam tubuh masyarakat akibat ulah para teroris. Kerap kali proses demikian diacuhkan, dan bertindak karena adanya pemantik sebuah peristiwa yang sudah berbentuk destruktif.

 Senada dengan Gus Dur, menurut Prof Franz Magnis Suseno, ada dua faktor penting yang menjadi latar budaya kekerasan dan teror yang ada di Indonesia. Pertama, transformasi di dalam masyarakat atau pengaruh globalisasi dan modernisasi. Hal ini dapat dilihat sebagai bentuk polarisasi modernitas dalam bentuknya yang tidak hanya diskursif. Melainkan, proses konfigurasi kekinian kala membaca dunia tidak lagi sebagai percaturan dan pertemuan ide an sich.

 Kedua, akumulasi kebencian dalam masyarakat. Hal ini terjadi karena pemerintah yang dianggap sebagai aparatur penegak damai mengalami disfungsi dalam bentuknya yang konkret. Yakni, ketidak-sanggupan melindungi kenyamanan dalam bernegara akibat teror ini. Padahal secara historis, bangsa ini adalah kesatuan besar yang tidak mudah diluruhkan oleh isu-isu kecil yang harusnya menjadi riak di antara buih lautan yang luas. Kekuatan dalam merapal beda sudah menjadi kenyataan sejarah yang mengakar.

Buahnya adalah penerimaan secara hakiki konsep Pancasila dan negara yang mengapresiasi segenap kekayaan dan kemajemukan yang ada. Dalam kajian psikologis, peristiwa teror bukanlah sesuatu yang irasional. Melainkan, sangat rasional. Demikian bisa ditinjau dari pandangan paradigma kekalahan, atau perjuangan yang tidak terapresiasi oleh pemangku kebijakan. Hal inilah yang menjadikan faktor lawan-kawan menjadi penting dan rasional tatkala melihat paradigma berpikir para teroris.

Maka dari itu, seringkali kita melihat rintihan dan teriakan para teroris sebagai saduran dari realitas yang mereka jalani saat masa ideologisasi. Begitu halnya yang tampak pada kasus teror-teror di Indonesia. Mereka sering menisbahkan pada renteten keagamaan sebagai instrumen fundamental dalam menera teror. Sedangkan teror sendiri bukanlah sesuatu yang terpatri dalam pribadi seseorang. Ia adalah instrumen untuk tujuan ideologis yang menjadi tapal gerakan. Seakan mencermati alur yang terjadi, ada dua hal fundamental yang menjadi pesan politis para teroris.

Pertama, menyebar keresahan. Bagi para teroris, keberhasilan mereka menembus barikade pertahanan adalah sebuah capaian yang cukup menggembirakan. Ibarat permainan sepakbola, mereka telah mampu mengobrak-abrik sistem pertahanan lawan yang terkenal dengan para bek mereka yang kuat. Tidak hanya itu, mereka mampu masuk langsung kepada sistem yang acapkali menjadi penghalang mereka saat melakukan tindakan. Sedang di sisi lainnya, para teroris ini seakan ingin memperciut peran polisi dalam penegakan hukum dan keamanan.

 Bagi masyarakat umum, ini adalah pukulan telak, bahwa kini mereka tidak lagi bisa mengandalkan kepolisian. Proses penyebaran resah ini dilakukan guna memperlebar jarak antara dua entitas ini. Jika ini terjadi, maka para teroris akan semakin mudah untuk saling mengadu domba. Hingga dengan cekatan mereka mampu masuk ke dalam masyarakat, serta memaparkan pandangan yang reduksionis terhadap negara dan segala perniknya. Pada titik ini, proses ideologisasi akan merasuk saat suasana kacau. Hingga penyerempetan ke arah paradigma 'kegagalan negara' menjadi bumbu paling empuk untuk mengadakan serangan atas penguasa.

Hal ini menjadi sangat berbahaya, jika kedua elemen ini terpengaruh dengan teror psikologis untuk memecah kepercayaan yang sudah terbangun puluhan tahun pada negara. Apalagi, jika memakai terma agama sebagai landasan filosofis mereka dalam menebar landasan ideologis. Seharusnya masyarakat tidak perlu resah dan takut menghadapi teror ini. Karena, inilah sebenarnya inti dari pesan teror yang dikirim. Buntutnya, adalah rangkaian teror yang akan terus berjalan jika keresahan ini terus melebar pada masyarakat.

Yang perlu dirantai adalah sikap kita yang harus terus berhati-hati, dan selayaknya tidak menunjukkan sikap takut. Karena, hal ini akan menunjukkan jati diri sebagai bangsa yang besar. Kedua, eksistensi kelompok. Kematian bagi kelompok teroris adalah berkah yang akan mengantarkan mereka menuju tujuan ideologis yang dianut dan bahkan surga seperti apa yang mereka pikirkan. Pun sebagai martir untuk mewartakan bahwa 'mereka' masih ada. seakan ingin menunjukkan bahwa proses perlawanan itu masih berlangsung selama tujuan ideologis mereka masih belum tercapai.

 Namun, kedua hal di atas tidak akan berlaku jika masyarakat dan negara mampu saling bersinergi, serta bahu membahu dalam menindak para teroris. Jangan takut. Jika ini terjadi maka kita seakan membiarkan para teroris tertawa. Tindakan preventif lebih penting daripada selalu kebakaran jenggot ketika ada peristiwa. ***

 tulisan inii juga bisa diakses di: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=277587