Tendang, Terjang, Hadang

Kamis, 27 Desember 2012

Sekali Lagi Tentang #10Hourstogetyouback

Untuk sahabat saya, Farabi dan Shofi
Abi dan Shofi saat di New York. Foti diambil di linimasa #10hourstogetyouback
Saya barangkali akan mengalami pagi seperti biasa; menyeduh air dan menjerangkannya pada gelas berisi teh hangat tanpa gula,  menyimak dan menerjemahkan pelbagai berita bola dari manca dan mengumpulkan kantuk yang entah kapan meninggalkan saya jika malam tiba.

Namun pagi ini ada sebuah twit dari @shofiawanis: Yang penting kamu di sini sekarang :’). Sontak saya terkaget. Lalu saya mention mahasiswi Singapura ini: @DedikPriyanto: @shofiawanis abi di Jogja jeng? Ia menjawab sederhana: @Shofiawanis: @DedikPriyanto: Iya :’)

Tiba-tiba ingatan saya tergerak pada hestek #10hourstogetyouback. Sebuah narasi epik yang membuat manusia-manusia mengernyitkan dahi, lalu terpekur sejenak dan sejurus kemudian tertawa nyinyir.

Saya sendiri akan bersikap serupa jika tepat di tanggal itu, 23 Oktober 2012, mendapatkan informasi perihal kegaduhan yang kala itu saya anggap keisengan anak-anak kelas menengah alay Jakarta yang kurang kerjaan, atau celoteh para selebtwit yang tak jelas gunanya di linimasa yang begitu riuh itu.

Sekali lagi saya salah. Kira-kira satu atau dua minggu setelah tanggal itu saya bertemu dengan Farabi di kampus. Di sebuah siang yang ranum. Ketika menyimak toga yang berkeliaran di kampus, jepret kamera yang entah lebih banyak mana dari orang yang sedang bernafas kala itu, dan tentu saja pertanyaan-pertanyaan klise soal wisuda yang saya anggap angin lalu. Ah, tapi saya tidak ingin membahas itu.

Saya bertemu dengan Abi setelah sekian lama tidak berjumpa dengan kawanku satu itu. Semenjak saya lebih suka di luar kampus dan hanya sesekali saja nongkrong di kampus 1. Abi bergelut dengan komunitas jurnalismenya, Djuanda, sedangkan saya sesekali demo dan menjadi buruh sebuah media.

Kami pernah begitu dekat, tapi kami merasa seringkali jauh. Saya kangen menghinanya tubuhnya yang ringkih itu. Yakinlah, andaikata Abi dijatuhkan dari helicopter, anda tidak perlu risau. Tubuhnya yang ringan akan terbang bersama angin.

Abi begitu berbeda dengan saya. Barangkali ia sadar itu.  Mulai dari persoalan ideologi, cara pandang terhadap persoalan dan tentu saja pergaulan.

Saya dan Abi hanya bisa disatukan oleh kecintaan kami pada dua bidang, Literasi dan Jurnalisme. Bahkan beberapa kali saya menulis buku sastra bersamanya. Saling memaki malam hari jika deadline kian memburu, sedang penerbit yang meminta seperti ibu kosan yang menteror jika kami telat bayar bulanan. Saya yakin Abi tidak pernah mengalami  ini.

Laiknya dua karib yang tiba-tiba bertemu tanpa diduga, maka di siang itu hinaan terlontar dari kedua mulut kami seperti tukang kredit yang entah berapa busa yang ia hasilkan untuk meyakinkan calon pembeli. Juga pertanyaan-pertanyaan soal Buku dan cinta.

Jangan lagi anda tambahkan dengan pesta. Saya tidak mau glorifikasi masa lalu seperti para pendukung Liverpool yang selalu membincang  masa sejarah tanpa tahu nikmatnya hari ini, atau mahasiswa-mahasiswa yang begitu terperangah denggan generasi '66 dan '98 yang konon reformis dan revolusioner itu.

Saya selalu menganggap urusan hati sebagai persoalan paling privat manusia setelah agama. Mereka selalu tahu jalannya masing-masing. Tak perlu  dipaksa ataupun dilarang. Keduanya selalu selalu bergerak dan tak jarang membutuhkan logika untuk penjelasannya.

Seperti halnya agama, selalu ada jalan bagi hati yang dipilih  untuk mengenal cinta.

Saya mengalami itu dan telah memulainya pada bulan Oktober lalu, tepat tengah bulan di Jogja, selepas bertemu hanya dua kali pandang mata dan tanpa banyak bicara.

Cinta bagi orang yang lupa kapan terakhir melihat senyum indah dari seseorang tentunya akan membuatnya seperti anak kecil yang mendengar bisikan kedatangan jagoan imajinatifnya yang datang ke kampung sebelah. Entah itu benar atau tidak, tapi ia akan begitu yakin dah mengejarnya, berlarian tanpa memakai alas kaki, dan tentu saja siap dianggap gila.

Lalu lewat #10hourstogetyouback yang begitu sedikit diceritakan Abi di siang itu, saya gelisah menelusuri jagat linimaya perihal mereka.

Saya tidak habis pikir, bagaimana seorang bisa mencintai sebegitu besarnya dan meminta maaf dalam rentang 10 jam dari Singapura ke Jakarta? Astagfirullah—siapa pula yang memasukkan kalimat ini di catatanku.

Saya  memang melakukan hal gila ketika Jogja waktu itu, untuk menemui seseorang yang sebelumnya tidak pernah saya kenal, dan hati saya begitu yakin akan menemukan cinta di sana. Namun saya akan berpikir seribu kali jika harus mengejar cinta seperti yang dilakukan Shofi untuk Abi; melintasi dua negara, dan menantang semesta untuk merestui perjalanan  selama 10 jam yang melelahkan itu!

barangkal rumput itu kelak menjadi saksi, cinta memang selalu punya jalannya sendiri.


Saya begitu sentimentil jika berbicara cinta. Kita boleh berdebat apapun tentang agama, ideologi dan sepakbola, tetapi untuk urusan hati, lebih baik anda sendiri yang menafsirkannya. Bukankah Shofi telah membuktikan bahwa logika kerap salah menilai cinta?

Pagi ini Abi menginjakkan kaki di Jogja dan menemui Shofi. Entah kenapa intuisi saya berkata bahwa ini pertemuan pertama mereka setelah tanggal 23 Oktober itu di Jakarta.

Jarak memang menjadi masalah bagi mereka-mereka yang tidak percaya akan kekuatan cinta, namun jika kamu yakin bahwa  muasal masa depan itu terbuat dari hati manusia yang jauh, yakinlah tidak ada jarak ataupun masa. Konon Adam dan Hawa dipisahkan di setengah dunia dan cinta mereka tetap bertemu, bukan?

Mereka bertemu di Jogja? kenapa ada Jogja di antara kita!

Saya tidak tahu dari apa kota ini terbuat. Barangkali dari serpih rindu mereka-mereka yang pernah datang,  atau puisi para penyair yang lupa dibawanya kembali ke kampung halaman, atau jangan-jangan ada magnet yang membuat kenangan-kenangan di sana tidak bisa dibawa pulang?

Pastinya, saat menciptakan kota itu Tuhan sedang tertawa menyaksikan begitu banyak rindu dan kenangan yang berserak di sana. Bahkan saya acapkali curiga, jangan-jangan Tuhan sedang merindukan seseorang atau sesuatu kala menciptakan Jogja. Entahlah...

Buat kalian berdua, cinta selalu menemukan jalannya sendiri. Namun saat ini ia bersembunyi dan menunggu kalian menjemputnya lalu berjalan beriringan menuju tujuan yang kalian inginkan. Kira-kira begitu.

Ciputat, 28/12
@DedikPriyanto

Baca juga :




Selasa, 18 Desember 2012

Catatan


“Sepakbola adalah penenang bagi mereka yang membangkang. Sebagai candu bagi hidup yang kian memburu. Seperti lagu yang tak butuh kata setuju."

Selasa, 04 Desember 2012

Saya Meninggalkan November



Saya meninggalkan November dengan perasaan tak menentu, kalut, cemas dan sedikit muram. Ada jejak yang membuat saya seperti seorang anak kecil yang tiba-tiba saja menyaksikan jagoannya mati dikalahkan para monster dalam serial Power Rangers, atau seorang supporter yang tertipu tiket bodong dan membuatnya gagal masuk ke stadion.

Beruntung ada hujan yang terus datang tanpa pernah diundang sebelumnya, beruntung pula saya mendapatkan dekapan hangat jemari mungil seorang perempuan  pada sebuah malam. Saya memang beruntung. Keberuntungan memang tidak perlu dicari, namun percayalah tidak ada yang lebih beruntung selain meninggalkan November tanpa rutukan.

Harusnya saya bisa menikmati hujan pada bulan ini. Hujan yang tiap tetesnya menyimpan seribu puisi yang tidak bisa dimengerti. Apabila salah satu dari anda menemukan seseorang dengan pakaian lusuh, celana compang-camping, rambut yang tak terurus dan sedang berdiri tak jauh  dari dekat anda, maka sesekali anda harus menegurnya.

Takutnya jika lelaki itu tiba-tiba menyeberang jalanan dan seketika itu pula ada mobil yang menabrak, maka bisa dipastikan anda sebagai tertuduh karena berada di dekatnya.

Kalau toh tidak ditangkap kepolisian, maka saya bisa pastikan nama anda diburu oleh para pewarta berita yang menginginkan laporan ekslusif tentang narasi “matinya seorang muda potensial, penulis kambuhan, dan mahasiswa lawas akibat kelalaian seseorang di pinggir jalan.”

Ah, itu cuma berandai. Sedikit bermisal-misal pun tak apa asal tidak merugikan nasab dan tentu saja kantong anda sebagai pembaca.  Dan harusnya pada November yang diberkahi hujan—lengkap dengan—cerita asmara harusnya menjadi perisitiwa yang subtil, agak epik, dan berharap bernas. Sedikit melankolis, tentu saja dibolehkan.

Saya meninggalkan November dengan nada cemas, seperti lengkingan Idris Sardi yang begitu purna pada lagu Juwita Malam. Kadang kala suram yang begitu tidak enak untuk dikatakan laiknya seorang pembeli di sebuah kafe yang kecewa pada makananan yang tidak sesuai antara nama dan rasa. Tak jarang, merupa rintik air yang tidak terdengar walau tak ada hujan yang menyeberang.

November pula yang membuat saya mengerti arti kematian; kehidupan baru yang mungkin akan dipenuhi senyum. Pada seorang renta yang telah beberapa purnama lagi akan menginjak seratus tahun kesunyian. Bertemu dengan kefanaan selepas bosan pada dunia.

Saya rindu sosok ini, dan kematian yang diidamkan dengan senyum mengembang para pelayat. Juga pada doa-doa yang didaraskan oleh manusia-manusia yang datang sepanjang malam. Lalu sejurus mantra yang acap dibunyikan oleh ratusan pendatang.

Ada juga pada November, yang mengisahkan perjuangan pada seorang guru yang kepadanya saya mencari arti pengabdian. Namun pada sebuah sore, saya mendapatkan pesan singkat tentang kematian tentangnya.

Apakah November selalu berarti kematian?

Saya meninggalkan November dengan sendu, dan berharap menikmati bulan hujan lagi pada bulan ini; Desember.

Saya meninggalkan November. Sudikah kau kemari menemaniku menikmatiku menyimak hujan yang turun dari balik jendela.

Saya melihat mendung di atas sana. Lamat-lamat, saya mendengar lengkingan suara fals dari Cholil Efek Rumah Kaca  …selalu ada/ yang bernyanyi dan berelegi dibalik awan hitam/ Aku selalu suka/ sehabis/ hujan di bulan Desember(Desember, 20 08 self title)

Ciputat   1  Desember 2012
@DedikPriyanto

Rabu, 21 November 2012

RIP Senjakala...



(logo komunitas kami, tongkrongan sastra Senjakala)

Tak ada yang lebih menyakitkan selain menyaksikan peristiwa kematian yang tampak begitu nyata di depan kita. Ketika nafas tersengal-sengal, tubuh yang kian layu, tatapan nanar kerabat sekitar, serta lirih tangis yang kian berebutan.  Lalu secepat kilat akan ada seorang tetua menghampiri, merapalkan bait-bait kudus untuk diikuti, dan malaikat yang setia menanti.  Sedang kita, hanya mampu berdiri dan sesekali merutuki diri sendiri.

Membincang komunitas adalah menerka sejauhmana ia mengisi lembaran-lembaran karya yang dihasilkan penghuninya. Paling tidak ia menginspirasi mereka yang tidak sanggup menjadi ronin, sendiri menerjang sepi untuk menyelesaikan pekerjaan sucinya; membunuh, dan berkarya. Di komunitas kami ini ada bait-bait kalimat suci; menuliskannya, menghabisinya. Lalu diikuti semacam pledoi selepas diskusi yang melelahkan.

Senjakala namanya. Sebuah komunitas yang saya sempat begitu lama bergumul di dalamnya. Saya sempat terpekur berkali-kali akan nama yang dianggit oleh keempat pemuda berbahaya ini; Kenyot Addisatva, Abraham Zakky, Nadd Caffsin dan Hasyim Zein. Beberapa kali itu pula saya mencari makna, dan tetap; tidak ada jawaban pasti. Seperti juga hidup, ia kerap mengabarkan ketidakpastian, dan tentu saja kemuraman. Atau jangan-jangan ia tidak perlu dimaknai laiknya puisi buram Afrizal yang kerap kita gagal pahami, tetap kita nikmati.
pamflet bedah buku, dua tahun lalu, dihadiri Teguh Esha (Novelis, penulis Ali Topan Anak Jalanan) dan Ade Faiz (Gatra)
Saya tidak lupa pada gelak tawa pada sebuah sore tiap senja; pada obrolan dan percakapan-percakapan yang kita kerap sok tahu itu. Ihwal sastra lengkap dengan dapur dan gosipnya. Juga tentang penerbitan yang dengan tersaruk-saruk tetap kita tunaikan tiap bulan. Tentu saja akan menjadi sebuah kenangan tatkala mengingat sebuah buku kumpulan cerita berjudul ‘Sunyi’. Sebuah peristirahat dari gelisah anak-anak muda yang terpaut pada ritus yang kudus bernama Sastra. Juga pada kampus yang tidak peduli pada mereka.

Ingatan saya terjegal pada pusaran 2009-2011. Kira-kira setahun yang lalu. Tempo ketika produktivitas saya sebagai ronin begitu tinggi, dan pertautan saya dengan kawan-kawan komunitas ini begitu dekat, seakan tak ada sekat. Barangkali sedekat seorang kekasih yang lama tidak berjumpa dengan kekasihnya di sebuah kota yang begitu jauh. Serasa tidak ingin dipisahkan, tidak pula ingin ditinggalkan.

Lazimnya komunitas, orang-orang bisa datang dan pergi. Mereka bisa bergegas laiknya pengendara motor di jalanan yang begitu rindu berjumpa istri. Tak jarang ada yang tertatih-tatih untuk tiba seperti pria muram yang habis putus cinta. Kita selalu menerima dengan lapang, dan tentu secangkir teh  hangat kita sajikan. Maka mereka-mereka inilah yang ingin saya ceritakan. Orang-orang yang sempat mengisi lembar pengajian di serambi Senjakala.

Kenyot Addisatva

Saya lupa pertama kali mengenalnya. Barangkali di sebuah diskusi yang ranum tentang gerakan di kampus, atau pada pementasan baca puisi, atau di warung kopi. Pastinya bukan diskusi pertama kali di senjakala. Wajahnya familiar di mata kawan-kawan aktivis, khususnya bagi mereka yang tidak hanya berbicara politik.
Kenyot Addisatva, penyair yang kini menjadi seorang ayah, dan editor di sebuah penerbitan

Mereka yang terbiasa menikam kampus dengan kebudayaan, pasti mengenal sosok bertubuh tambun dan berambut ikal ini. Mereka memanggil lelaki ini dengan nama yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya; Kenyot.

Ia adalah lurah—istilah kami untuk mengganti kordinator—pertama di Tongkrongan Senjakala. Ia pula yang membuat pasemon perihal Sastra Merdeka di kampus. Saya mengenal pribadinya seperti  Rangga dalam AADC. Tidak lebay, Bukan? bedanya cuma satu; ia mengikuti hampir semua tentang Chairil Anwar; bacaan, bohemian, pakaian dan barangkali percintaan.

Zakky Zulhazmi
Aktivis cum cerpenis, semoga kelak menjadi Mahbub Djunaidi

Membincang Sastra dan Senjakala di kampus UIN Jakarta tentu tidak terlepas dari pribadi pria penyuka sepeda alumnus MAPK Solo. Pria yang begitu mencintai seorang perempuan yang konon terbuat dari kenangan, perempuan yang hingga kini masih setia menemaninya merampungkan tugas akhir akademik yang kian mencekik untuk segera ditandaskan.

Pria  ini begitu terobsesi pada gerakan. Hingga ia lupa, darah yang mengalir pada dirinya begitu berbeda dengan organisasi yang menaungi pikiran nakalnya. Saya berharap kawan saya satu ini bisa menikmati ziarah kubur di makam-makam seperti halnya ia begitu menikmati lembaran-lembaran novel Eka Kurniawan, seorang pengarang Indonesia yang begitu ia sukai. Semoga saja ia segera menerbitkan Kabar Dari Kesunyian.

Kalau di Kuba kita mengenal Fidel Castro dan Che Guevara sebagai penggerak revolusi dan penentang Zapatista, maka saya mengibaratkan Kenyot dan Zakki adalah motor sastra perlawanan. Bedanya, mereka tidak mampu menjungkal kekuasaan yang begitu apatis terhadap kesusastraaan, bahkan cenderung menepi, merapikan kekuatan, lalu lupa kembali  ke medan pertarungan untuk sekadar melawan, sekadar mengingatkan.

Saat ini, kawan saya satu ini masih menjabat sebagai ketua sebuah organ ekstra parlementer di kampus. Sebuah organisasi oposisi tentunya. Semoga kawan ini tidak seperti kawan-kawan saya sesudahnya, dan melupakan petuah Pram.” idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki seorang pemuda. “

Asep Sofyan
Kang Asep, bareng istri tercinta Teh Desy, dan anaknya yang diberi nama Cahaya Senja

Di antara para ronin yang tidak jelas karyanya ini, barangkali sosok Asep Sofyan adalah pengecualian. Mantan aktivis mahasiswa begitu menyukai Ebiet G Ade ini adalah prototype penulis cum aktivis berandalan. Betapa tidak, dari sebuah fakultas kecil, pada masanya, ia mampu menjadi orang pertama di organisasi mahasiswa ekstra parlementer tertua, dan tentu saja terbesar di kampus. Prestasi yang membanggakan, bukan?

Tunggu dulu, bukan itu maksud saya. Bukan aktivitas politiknya yang ingin saya terakan. Melainkan cara dia menulis, dan tentu saja aktivitas membaca. Barangkali lelaki ini adalah generasi terakhir Mazhab Ciputat yang begitu terkenal. Ia adalah penulis cerita yang baik, penulis yang kerap mengisi lembaran Horison, Republika, Media Indonesia, Jurnas dll. Kakak kelas saya dengan rentang begitu jauh di Fakultas Psikologi UIN Jakarta.

Beberapa bulan lalu lelaki ini telah telah memiliki seorang buah hati. Saya membayangkan tiap sore Kang Asep, begitu saya biasa menyapa, mengajak teh Desy berjalan-berjalan menyisir sore di dekat rumahnya di bilangan BSD. Lalu mereka duduk di sebuah taman, Kang Asep menenteng gitar, dan memainkan lagu sendu pengiring senja. Anak mereka yang mungil turut tertawa, dan Desy berlirih pada suaminya.

”Kamu manis sekali memberi nama anak kita ‘Cahaya Senja’. Lihat senja sore ini,  manis dan indah bukan? Kita akan selalu bersama, Sayang. bertiga selamanya. “

Saya begitu menunggu lelaki berkacamata ini menerbitkan karya yang akan begitu sublim untuk dibaca. Juga ingin bercerita bahwa saya telah menemukan cinta, sesuatu yang telah lama saya lupakan dan saya endapkan. Saya telah menemukan inspirasi itu, dan menunggu inspirasi selanjutnya dari karya anda. Sungguh.

Arief Mahmudi
Mas Arief, saat wisuda, tahun kemarin. Pemuda berbahaya yang tidak pernah lepas dari kacamata. 

Pada lelaki ini, saya begitu percaya bahwa menulis bukan hanya persoalan bakat semata.  Menulis bisa dipelajari jika orang itu tekun, ulet dan usaha. Saya menemukan sosok pribadi ini pada lelaki yang sempat akan jadi wartawan di Republika ini. Lelaki yang tekun menyelami sajak-sajak Sapardi dan menuliskannya menjadi cerita ‘Perburuan Sebilah Pisau’ yang membuat panelis pada launcing Kumcer kami terpukau.

Yang paling diingat dari lelaki yang tinggal di Pasar Rebo, Jaksel, ini adalah cara dia berpakaian. Saya tidak bisa bisa membayangkan jika saya harus tiap hari harus mengenakan celana kain berwarna hitam, sepatu resmi jenis pantovel berwarna hitam, kemeja putih lengan panjang, dan sesekali memakai jas guna menunjang penampilan.

Ah, andai saja semua manusia sepakat untuk berpenampilan seperti dia, dan akan menjatuhkan hukuman bagi mereka yang tidak mau berpakain resmi, maka dengan senang hati saya akan mencari dunia lain yang bisa ditempati. Tapi tunggu dulu, dibalik penampilannya yang begitu resmi, pemuda ini begitu berbahaya soal bacaan. Barangkali.

Saya sedih karena akhir-akhir ini dia tidak bisa menulis. Entah karena kesibukannya bekerja sebagai tim penyeleksi akreditasi di kampus, atau karena sedang mengendapkan amunisi yang barangkali nanti akan dikeluarkannya untuk menggemparkan dunia sastra. Seperti halnya saya yang meremang dan katarsis tatkala membaca cerpen-cerpennya. Semoga.

Hasyim Zein &Amelia Fitriany

Barangkali mereka merupakan pasangan biasa. Seorang aktivis gerakan ekstra yang menjalin hubungan asmara dengan jurnalis kampus, seorang aktivis pers mahasiswa Namun membincang Senjakala tanpa membincang dua sejoli ini ibarat bercinta tanpa ada aktivitas mesra sebelumnya. Sungguh hambar, bukan?
Cak Hasyim, santri kosmopolit penyuka puisi Zawawi

Hasyim merupakan orang NU tulen. Seorang santri asal Ponorogo, memiliki pergaulan yang cukup luas di kalangan aktivis pemerintahan. Saya dan Hasyim pernah terjebak di organisasi sayap sebuah partai politik, lalu kita sama-sama tobat, dan berhari-hari merutuki diri. Barangkali kita telah mandi tujuh kali, di tujuh sumur berbeda. Semacam pengakuan dosa.

Amel, begitu saya biasa menyapa, merupakan perempuan asal Bogor dengan bakat menulis yang alami. Sesuatu yang saya anggap selesai untuk urusan menulis. Juga memiliki imajinasi yang kadang di luar kita kebanyakan. Pernah menulis cerpen surealitis ‘Tempat Penitipan Hati’ yang membuat nalar kami kebanyakan tergagap-gagap membacanya. Begitu bernas.
Amel, dan kekasihnya yang sedang mengintip; Cak Hasyim. 


Saya begitu merindukan mereka berdua menulis bersama. Barangkali bisa seperti Abidah El-Kholiqi dengan suaminya yagn juga penyair Hamdi Salad. Mereka hampir serupa; novelis, wartawan, penyair, dan akademisi. Jika kalian membaca catatan saya ini, percayalah saya begitu merindukan cara kalian saling cemberut, dan muka masam kalian berdua.

Muham Fahdi.

Pria ini paling muda di antara kami, dan tampaknya paling sebentar bergabung dan sadar memilih jalur bergabung dengan para ronin macam kami. Ia adalah Carek—sekretaris diskusi jaman Zakki—Jejak rekamnya kira-kira begini; lulusan Roudalatul Ulum, Pati, adik kelas dari mahasiswa cum penulis produktif Ahmad Musthofa Haroen, dan bercita-cita S2 di Malaysia bidang ekonomi.
semoga cepat menjadi ekonom, kawan... 

Tipe mahasiswa kebanyakan, tapi yang membuat beda, katanya, ia suka sastra.

Jujur saya tidak pernah melihat sosok satu ini sebagai penerus senjakala. Pakaiannya yang rapi, serta ketidaksukaannya pada sepakbola adalah merupakan kontradiksi. Namun ia selalu mengikuti diskusi, walau kadang-kadang hanya mendengar saja.

Pernah menulis sebuah cerpen berjudul artikel ‘kamu kafir’ yang konon terilhami ketika pencekalan yang dialaminya tatkala membina sebuah media di pesantrenn. Namun saya sedih ketika dia ikut sekolah trainer, dan akibatnya saya tidak lagi melihat tulisannya. Saya masih ingat, dia juga yang meminjam buku klasik saya, Mahbub Djunaidi yang berjudul Angin Musim. Barangkali ia lupa...

Ubay F
pada pemuda ini, barangkali saya bisa berharap

Menyaksikan ubay membaca puisi laksana menyaksikan layang-layang yang terbang ditiup angin. Bukan karena indahnya, tapi karena tubuhnya yang begitu ringkih. Maaf, tapi ringkih seringkih-ringkihnya. Saya yakin, jika toh dia duduk sendirian di beranda, dan tiba-tiba ada angin datang, lelaki fakultas Dakwah ini akan turut bersama mereka, dibawa angin terbang.

Saya suka lelaki ini tatkala mendeklamasi puisi. Namun sebagai komunitas sastra yang dituntut untuk menulis sebuah karya sastra, saya tidak pernah menemukan karya dari lelaki ini. Tapi entah kenapa, saya memiliki sebuah kepercayaan bahwa Ubed mampu membangkitkan Senjakala dari tidur panjangnya.

Paling tidak kepercayaan ini mengakar begitu dalam, laiknya munculnya ratu adil pada masyarakat Jawa. Ataukah utopia?

Oh ya, lelaki ini memiliki kelebihan di bidang otak-atik komputer. Saya beberapa kali minta tolong membetulkan komputer saya yang rusak. Beberapa kali itupula ia dengan senang hati membantu. Maka jika ada PC, Laptop atau gadget anda rusak, datanglah padanya. Barangkali ia juga bisa membantu menyembuhkan hati yang rusak. Jika toh bisa, tentu ia tidak jomblo selamanya.

Ada beberapa nama lain sebenarnya, seperti Mbak Corrie dengan kemampuan sastra arabnya, Maharini dengan pemikiran underground dan urban, Okky dengan sosialisme borjuisnya, Apen dengan perlawannya pada kata, Melodia dengan eksistensialismenya dll. Semua tidak bisa saya sebutkan satu-satu. Tapi minimal mereka yang saya sebut ini adalah inti melankolia saya akan tongkrongan saya.

***

Saya menuliskan ini dengan dada bergemuruh. Hujan di luar sana terus bergumul dengan angin. Ada senja yang tertutup kabut, ada geram yang bergelayut, ada rindu yang semakin redup; sejenis harap yang mengarsir pada sebuah tongkrongan yang sekarat.

Hari ini rabu, harusnya kita berdiskusi hingga petang menjelang. Malam sudah kian merangsek. Saya hanya ingin sekadar berkisah akan sebuah tongkrongan yang biasa meramaikan senja di selasar Ushuludin. Komunitas yang telah dan tengah begitu lama bergumul dengan ketiadaannya sendiri. Barangkali ia mengamini Chairil; ia mati, iseng sendiri.

Semoga saya menarik kembali ucapan ini; Rest in Pece Tongkrongan Sastra Senjakala. #RIPSenjakala…





beberapa terbitan komunitas kami, buletin bernama Teh Hangat

















Ciputat, 22 11 '12
@DedikPriyanto




Selasa, 20 November 2012

Hujan dan Ingatan Akan Mbah Nang



Saya begitu suka hujan. Apalagi hujan yang sebentar. Hujan yang gemericiknya bisa saya nikmati dari balik jendela; memandang rintik yang turun ke tanah berebutan, menyaksikan riak kecil genangan hujan, dan kecipak tanah yang berebut bunyi dengan hentakan kaki orang-orang yang bergegas mencari tempat berteduh.

Hujan selalu menyeret pada kebahagian kecil yang pernah  saya cecap, tatkala masih ingusan, masih belia.

November adalah mula musim penghujan di hampir sebagian wilayah negara kami. Hujan yang begitu saya tunggu, hujan yang terus mereka tunggu. Hampir lima bulan—bahkan lebih—saya tidak bisa menikmati hujan, mereka tidak bisa memanfaatkan hujan; ladang-ladang tandus, pohon-pohon jati meranggas, dan alam yang kian memanas. Toh, November telah mengakhiri kegundahan saya akan hujan, kerinduan mereka pada hujan.

Seperti juga malam, hujan kerap menyimpan kemuraman. Sesuatu yang saya anggap teman paling setia dalam hidup ini. Tentu saja selain sepi. Berkumpul dengan kawan-kawan adalah acara mencari kesepian. Apalagi kawan-kawan yang sudah begitu lama tidak berjumpa. Di situ, saya bisa menemukan bentuk paling sepi yang dimiliki manusia-manusia; kesunyian dalam gelak tawa mereka.  Saya kerap memerhatikan raut muka mereka saat tertawa, barangkali mereka juga tidak menyadari, barangkali saya terlalu memaknai.

Saya mengalami bentuk sepi ketika pada suatu malam, selepas diskusi yang melelahkan, permainan kartu yang begitu membosankan, batang-barang kretek yang tak sanggup saya hempaskan, dan beberapa gelas kopi yang tak selesai saya tandaskan. Saya merasa sepi di antara riuh percakapan-percakapan. Saya merasa begitu sunyi, bagaikan suara saksofon yang berbunyi sendirian di sebuah taman, seperti lengkingan radio yang serak pada lelap pemiliknya. Tiada pernah tahu kapan berhenti, tidak pernah mengerti kenapa terjadi.

Saya merasa malam itu bukan malam yang biasa. Tentu saja bukan malam sederhana. Ternyata memang benar, adanya. Ada pilu yang tiba-tiba menusuk, ada tangis yang secepat kilat  hinggap. Dada saya bergemuruh, hati saya lindap bagai batang edelweiss yang tidak sanggup tumbuh. Ada duka yang tak sanggup saya bicarakan, tidak sanggup saya wartakan.

Saya merindukanmu, Mbah Nang. Saya kangen pada perintahmu untuk mengisi tempat wudhu. Saya kangen pada hardikanmu jika sore sudah menyergap. Saya kangen pada ajakanmu untuk potong rambut di sebuah pasar. Saya kangen mengantar sarapanmu ke ladang. Saya kangen kau suruh mengisi bak-bak mandi. Saya kangen kau marahi.

Hujan selalu menyimpan rindu. Hari ini saya rindu pada lelaki 97 tahun itu. Lelaki sederhana dengan orang-orang sederhana di sampingnya. Lelaki yang kerap minta saya bocengkan sekadar silaturrahim ke tempat yang kerap tidak pernah saya ketahui. Lelaki yang dalam renta itu pernah menangis tersedu-sedu karena lupa tidak menghadap-MU.

Lelaki yang karena dia tiap malam saya mendengar lengkingan wayang dari suara radionya yang serak. Lelaki yang sepanjang hidupnya selalu menyegerakan memberi bantuan mereka yang membutuhkan dibanding rengek cucunya minta dibelikan mainan.

Saya tidak sanggup menangis, Mbah Nang, sampean pasti tahu itu. Barangkali tangis saya merupa hujan di malam ini. Hujan telah mewakili tangis paling getir yang pernah saya rasakan. Kenapa sampean pergi pada saat November?

Ah, barangkali sampean telah berkolaborasi dengan Tuhan, supaya mereka-mereka yang sampean tinggalkan tidak menangis tersedu. Sudah ada hujan mewakili, sudah ada hujan sebagai pengganti.

Saya selalu suka hujan. Hujan yang sebentar. Hujan yang tidak membuat kita merutuki semesta. Hujan yang terkadang menyimpan rindu, tak jarang merupa pilu.

Malam ini hujan turun dengan sebentar, Mbah. Langit tampak murung, tepat pada delapan hari sampean meninggalkan kita semua. Saya suka dengan suasana ini. Saya merasa sampean begitu dekat. Saya merasa sampean sedang tertawa renyah menyaksikan kami.

Mbah, kapan kita nonton bola lagi?

Saya kerap ke Stadion GBK, menonton pertandingan bila. Saya tahu, sepanjang hayat sampean begitu ingin ke sini. Saya juga tahu, sampean kerap memandang hujan dari jendela, dengan secangkir teh,  dan kopyah hitam yang tidak pernah lepas dari sempean kenakan.

Saya selalu suka hujan. Apalagi hujan yang sebentar. Hujan yang tidak bergegas. Hujan yang membuat saya duduk lebih lama di balik jendela. Memandang rintik yang tiba-tiba turun ke bumi dengan kecipaknya yang tidak meraung.

Entahlah, hujan malam ini membuat saya merindukanmu, Mbah…

Ciputat 19-11-12
@DedikPriyanto

Senin, 19 November 2012

Memulung Kenangan di Lempuyangan


Hari ini, sebulan yang lalu, saya masih duduk terdiam di stasiun Lempuyangan, sebuah stasiun yang menyisakan kenangan tentang sebuah kota, Jogja. Saya dan barangkali anda pernah mengalami hal demikian; kereta yang berderit sesaat sebelum berjalan, parau bel kereta yang merupa lengkingan sirine pemadam kebakaran, orang-orang bergegas mencari tempat singgah melanjutkan perjalanan, dan tentu saja lambaian tangan dari mereka-mereka yang ditinggal.

Selalu ada perpisahan di stasiun.

Perpisahan selalu tidak enak. Sama tidak enaknya seperti lengkingan musik dari kamar sebelah yang kita tidak tahu kapan ia berhenti, dan kita tidak pula berani sekadar menegur. Ada geram yang tak mampu kita luapkan, ada getir yang kadang tak selesai dengan sebuah tangisan.

Stasiun adalah persinggahan antara perpisahan pelbagai manusia, dan tentu saja selalu ada harapan dibaliknya. Harapan akan pertemuan-pertemuan yang barangkali menjadi candu bagi mereka yang ingin bertemu kembali orang yang melambaikan tangan dari balik jendela kereta yang kau tumpangi. Mereka yang dikasihi, mereka yang selalu ingin ditemui.

Lalu, apakah di stasiun kita bisa memulung kembali kenangan-kenangan yang berserak?

Saya tidak tahu jawaban anda, tapi saya tahu dengan pasti jawaban saya, Iya. Saya mengalami itu; kenangan-kenangan yang tiba-tiba merasuk dan menjejali alam bawah sadar saya. Bahkan tempat duduk saat kita kereta melaju juga begitu berpengaruh pada jalinan kenangan yang tiba-tiba saja merambat pada diri kita lazimnya parasit pada sebuah pohon yang sukar kita enyahkan. Butuh racun barangkali, atau golok untuk menebang parasit itu.

Kenangan itu dingin, adanya. Saya tidak tahu dari apa ia terbuat, mungkin dari serpih paling sunyi yang dititahkan Tuhan kepada manusia. Lebih sepi dari kebahagiaan, kegembiraan, dan bahkan kebohongan-kebohongan.

Saya tidak tahu, saya tidak pernah mengerti itu. Kenangan itu merayap begitu saja, kadang ia bisa memakan sendi-sendi rasionalitas yang terbangun sebagai sebuah bangunan yang sudah terbangun dengan utuh. Tak jarang, ia menjadi merupa tiang. Tiang yang begitu rapuh, pastinya.

Saya begitu sukar untuk menghalau kenangan-kenangan ini. Di stasiun, kenangan-kenangan begini tidak tersedia pada peron-peron yang menyediakan karcis untuk ditinggalkan. Juga tidak mungkin ada penitipan dan sewa yang menyediakan harga khusus bagi jasa penitipan kenangan. Kalau toh ada, dengan senang hati, saya akan menyewanya.

Kita hidup dengan kenangan-kenangan yang kita tidak pernah tahu kapan datangnya. Kadangkala kenangan itu manis, namun kebanyakan berupa tebing yang curam dan kita berasa berdiri di sana, memandang dari tubir, di bawahnya penuh dengan kesedihan, kesunyian. Sebisa mungkin kita menutupnya, sebisa mungkin anda membuangnya.

Barangkali inilah sifat kenangan; bisa ditutup, tidak bisa dihilangkan. Begitu tidak menyenangkan, bukan? Kadang kenangan ini membutuhkan pemantik laiknya revolusi pada ketidakdilan yang terus menggurita.

Saya menemukan pemantik itu pada seorang perempuan. Seseorang yang tidak pernah saya imajinasikan sebelumnya, yang tiba-tiba datang dan mengajak saya untuk melompati jurang kenangan-kenangan.

Perempuan yang menyeru kepada saya untuk memandang dengan berbeda kenangan yang begitu tampak dingin, begitu sunyi. Perempuan yang membuat dada saya bergetar tatkala mendengar namanya disebut, perempuan yang membuat saya  tidak mempercayai keindahan lain selain senyumnya, di malam itu.

Perempuan itu, perempuan yang tidak pernah bisa saya definisikan.

Di Lempuyangan ini, saya menemukan arsiran kenangan-kenangan yang berserak. Saya memulung kenangan lawas saya, ihwal perasaan cinta yang entah kapan saya lupa terakhir kali saya merasakannya. Saya menemukannya kembali, tidak sengaja, dalam sebuah pertemuan yang tidak pernah saya rencanakan sebelumnya. Semua terjadi begitu saja, dan saya tidak pernah bisa berpaling; menjumput satu per satu kenangan itu lalu membingkainya rapat-rapat. Untuk siapa? Ah, saya enggan menjawabnya.

Apakah anda juga pernah mengalami ini? Hanya anda yang bisa menjawab.

Ciputat 15 Nov '12
@DedikPriyanto


Senin, 22 Oktober 2012

Semacam Surat yang Belum Selesai



Tak jarang, kita harus mewakilkan diri kita pada sebuah surat 

Lazimnya sebuah surat, maka saya akan menanyakan kabar terlebih dahulu. Tentu pertanyaan biasa, dan menimbulkan jawaban yang kerap cuma dua, dan itu-itu saja. Baik atau tidak baik, sehat maupun tidak sehat. Biasa saja. Seperti juga hidup, yang memang kadang terjadi secara biasa saja.
Bagaimanakah kabarmu hari ini?

Ah, kamu pasti sedang penat, dengan muka yang mulai beringsut menuju lelah. Aktivitas menggila dan setumpuk pekerjaan tentu membuatmu sukar untuk sekadar mengeringkan keringat yang tiba-tiba bergemericik tanpa kau sadari. Seandainya saya di sana, pasti saya akan menyiapkan secangkir kopi. Kamu begitu menyukai kopi. Walau, katamu,  tidak pernah bisa menandaskannya sampai tuntas.

Iya, kamu begitu menikmati secangkir kopi. Perpaduan antara halusnya serbuk kopi dengan beberapa sendok gula itu barangkali mampu membuatmu sejenak melupakan lelah. Tahukah kamu bahwa menyeduhkan air hingga mendidih, meracik secangkir kopi dan menyajikannya untukmu adalah peristiwa paling heroik yang ingin saya lakukan!

Begitu halnya tatkala jemarimu memegang cangkir berwarna putih, mencium aroma kopi buatanku, lalu perlahan menyorongkan bibir mungil ke tubir cangkir dan meneguknya perlahan-lahan merupakan peristiwa paling relijius yang ingin segera saya tunaikan.

Entah kapan saya bisa memandangmu menghabiskan secangkir kopi, dan tiba-tiba saja di luar hujan. Kita memandangnya bersama dari balkon, atau dari jendela sebuah warung kopi, dan kamu memegang cangkir itu dengan kedua tangan. Biar badan hangat, katamu.

Saya rela tubuh tambun ini menjadi kurus seketika. Kering kerontang guna membayar momen yang entah kapan saya mengalaminya. Maukah kamu saya buatkan segelas kopi? Kamu pasti hanya tersenyum. Begitu manis, bayangku. Dan kotamu, Jogjakarta, adalah salah satu surga. Minimal surga bagi penikmat kopi seperti saya, dan  kamu.

“Lah, kamu pingin pergi kemana?” tanyamu beberapa saat ketika saya menginjakkan kaki di sebuah rumah mungil di sekitaran Pogung. Kira-kira 150 meter dari MM UGM.

“Kamu ‘kan lebih tahu tentang Jogja,” jawab saya sekenanya.

Mata saya tertumbuk dengan mata itu. Kamu hanya tersenyum. Saya kikuk malam itu. Toh kamu bisa tahu ‘kan kegugupan saya. Dan berpura-pura membetulkan letak kacamata adalah siasat paling kejam untuk membunuh dinginnya tubuh yang mulai menggigil ini.

Sekadar pemantik keberanian yang begitu menggebu sejak dalam kereta menuju Jogja, dan tiba-tiba saja beringsut dan menguap seketika sesampainya di rumahmu.

“Dimana?” tanyamu membuyarkan lamunan saya.

“Yang ada kopi, yah?”

Ia diam sebentar. Saya pun menyebutkan beberapa referensi warkop yang biasa tempat ngobrol kawan-kawan aktivis di Jogja, semisal Blandongan, Mato Kopi dst.

“Semesta café, bagaimana?”

Cafe Semesta, di sinilah percakapan bermula. 

Saya hanya mengiyakan. Jujur saya tidak tahu tempat-tempat di Jogja.  Kamu tentu tahu bahwa saya memiliki ingatan yang begitu buruk. Khususnya mengenai tempat-tempat yang baru, bahkan nama yang baru kukenal sekalipun. Sama halnya ketika saya lupa bahwa saya hanya pernah punya dua presiden semenjak saya pertama kali bisa membaca, Bung Karno dan Gus Dur.

Selebihnya, entah kenapa saya tidak ingat nama  mereka. Atau jangan-jangan saya memang tidak punya pemimpin negara selain mereka. Entahlah.

Hey, ada mendung di kotaku sore ini.

Ya, Ciputat mendung dan barangkali akan segera hujan.

Seperti juga malam itu, tepat seminggu yang lalu, hujan menghampiri kita. Setelah perjalanan pendek dengan ragam guyonan, dan semacam kopi yang kamu pesan untuk kutandaskan. Sebuah kopi spesial yang menjadikanmu alasan untuk mengajak saya ke tempat ini, malam ini.

Malam untuk ketiga kali kita bertatap muka secara langsung selepas dua kali tatap pandang dalam pertemuan yang ganjil. Dan hari itu cuma ada saya, dan kamu.

Di sebuah café menghadap ke utara itu, kamu memesan juga sepiring mie, yang katanya begitu enak, dan kamu menawarkan saya untuk menikmatinya. Saya menolak halus.

Bukan karena saya tidak lapar saat itu. Perut saya memang keroncongan, bahkan seingat saya, terakhir kali saya makan adalah sarapan saat jam 11 siang di Ciputat. Hanya rokok dan kopi yang saban detik menemani saya, dan Alhafiz Kurniawan, kawan saya mengarungi kereta ke Jogja.

Tapi entah kenapa, memandangmu menandaskan makanan dan menyorongkannya ke mulut yang mungil itu membuat saya berdegup, dan tiba-tiba saja merasa nyaman. Kenyamanan ini yang membuat saya melupakan segalanya.

Saya merasa kedinginan. Saya memakai sweater coklat. Kamu bertanya, kenapa saya memakai sweater padahal kamu tidak merasa kedinginan? Saya hanya tersenyum.

Tiba-tiba.

“Hujan nih,” katamu mendongakkan kepala ke atas.

“Iya, Ta.”

Rintik mulai  jatuh, dan membuat kami harus berpindah tempat. Kamu mengajakku pindah ke atas. Tempat yang sebetulnya agak ramai. Dan beberapa teman yang kamu sempat bersalaman dengannya. Beberapa wartawan dan aktivis jogja, katamu.

“Seperti yang kamu suka. Hujan malam hari,” tukasmu sembari menyunggingkan senyum.

“Iya, Ta.”

Saya diam sejenak.

Kita memandangi hujan berdua. Sesekali mata saya melirik ke arahmu. Kita pun membincang banyak hal, dan air yang terus berjatuhan, merupa stanza dalam petikan biola Idris Sardi. Dari hulu ke hilir, kita menyaksikan para penghuni café lain yang saling bersitatap, saling berbincang. Dan jarak antar kita yang kian mendekat, serta obrolan yang kian memikat.

Tiada petir yang bergemuruh pada hujan malam itu, kamu tahu itu, namun barangkali kamu tidak tahu bahwa ada gemuruh yang terus menggumpal di sini, di dada ini.

Waktu pun terasa melambat. Sesekali saya melihat ponsel saya, dan sebuah pesan dari kawan twitter saya asal Jogja @wisnu_prasetya menghampiri;

Semesta Jogja mendukung @DedikPriyanto menuntaskan kerinduannya, eaaa...

Apakah hujan ini bentuk dukungan dari semesta Jogja? Ah, kau kawan..

****

Seperti juga malam. Kadang kenangan itu tampak begitu dingin. Dan kenangan memang harus terus diziarahi, kata Puthut EA, salah satu penulis favorit saya.

Kita hidup dan tumbuh dengan kenangan-kenangan. Ia akan terus berpilin merupa bayang-bayang yang tiap hari mendatangi. Kadang kita dibuatnya bergelak tawa, dan tak jarang pula membuat kita muram. Membuat kita tampak begitu rudin, dan ringkih.

Kadang  kenangan merupa bangku di sebuah taman, kita bisa duduk di sana, tapi  tidak untuk selamanya

Ataukah kenangan ini semacam residu yang harus kita buang, sementara hidup terus berjalan?

Ketika malam kian beringsut, dan hujan telah berhenti memuntahkan isinya. Di depan sebuah benteng di jalanan Malioboro, benteng Venderburg. Selepas perbincangan tentang sisik melik dunia gerakan, aktivisme, menulis dan film yang begitu kamu sukai. Dan tentu saja soal kedua pertemuan tak terduga kita tempo lalu.

Percakapan yang tidak kami sadari menumbuhkan sesuatu yang begitu  ganjil. Sesuatu yang tidak bisa saya jelaskan. Absurd.

Dan kenangan tak jarang berbentuk absurd. Karena ia berada di ruang ketidaksadaran. Sebuah tempat yang menuntut kita kadang melupakannya, menutupnya,  sedalam-dalamnya.

“Saya pernah mengalami kenangan yang begitu buruk,” kataku,”dan barangkali kamu juga pernah mengalami peristiwa serupa. Kenangan yang membuatku tidak bisa sedikitpun untuk membukanya. Dan perihal cinta yang belum sampai pada kisah yang terdahulu, saya begitu takut untuk membuka ruang itu lagi. “

Kamu hanya diam.   Tatapan matamu sendu, nanar.

“Saya kerap mencoba belajar untuk memahami itu semua. Saya pernah jatuh pada rasionalitas yang begitu tinggi perihal hubungan antar manusia. Begitu halnya dengan cinta. Tapi beberapa hari ini ada orang yang membuat rasionalitas saya tampak lunglai.

Ia orang yang tidak pernah saya kenal sebelumnya. Tidah pernah saya bayangkan sebelumnya. Dan sebuah pertemuan yang tidak kita duga. Tiba-tiba ia datang, dan menumpulkan nalar saya.”

Malam itu begitu dingin. Karena hujan, katamu. Tapi saya merasa begitu menggigil. Saya lupa kapan terakhir merasakan gigil yang seperti ini. Dan saya yakin, ini bukan dingin karena hujan an sich.

Ada gigil yang lain, gigil yang tidak pernah bisa terjelaskan.

“Jadi, bagaimana soal percakapan yang belum selesai itu?” tanyamu, parau.

Lalu kamu mulai bercerita tentang lukamu, luka kita.

Sebuah kisah yang tiada mungkin bisa saya ceritakan. Sebuah luka yang menuntut orang sepertimu untuk mengindahkan semua. Sebuah rasa yang sudah kamu tutup, dan dikunci begitu rapat.

Kita semua pernah mengalami luka, dan kita pernah sama-sama dikoyak-koyak sepi, seperti kata Chairil. Sunyi,  kataku.

Satu hal lagi yang saya pelajari tentang kenangan. Ia adalah sejenis luka, yang menuntut kita untuk tidak lagi mengingatnya.

***

Denting hampir mendekati pukul 12 malam. Jogja sudah mulai sepi. Jalanan pun hanya hanya beberapa pengendara saja yang lewat.

Andai Jakarta dan Ciputat seperti ini, maka saya akan begitu betah tinggal di sana. Dan nahas sekali, saya harus tinggal di sana sampai waktu yang belum ditentukan, dan dalam tempo yang belum pernah saya pikirkan.

Saya tetap harus berterima kasih dengan kota itu. Karena di sana pula saya mulai belajar banyak tentang kehidupan. Dan di kota ini pula saya bertemu denganmu, Ta. Setelah sebelumnya bertemu kamu dalam dunia maya. Itupun hanya berupa kabar, tak ada rupa.

Biasanya dalam sebuah film yang romantis, seorang lelaki akan mengantarkan perempuan ke rumahnya. Lalu mereka akan saling bertukar pandang sebelum sang perempuan membuka pagar rumah, serta melambaikan tangan penanda perpisahan.

Namun malam itu sebaliknya, saya harus memintamu untuk mengantarkan ke kawanku @che_udin di sebuah daerah di Monjali, di sebuah klinik berbahaya tempat kumpulnya anak muda revolusioner dan berbahaya, klinik EA, markas mereka yang saya kenal di dunia maya.

Iya, kamu tentu masih ingat bukan? Saya pernah berkata dengan agak filosofis tatkala kita melakukan perjalanan thawaf mengitari Vanderburg untuk melakukan perjalanan paling epic yang dilakukan manusia; perjalanan mencari toilet. Dan kita tidak menemukannya sepanjang jalan.

hujan, rintik dan perjalanan. 


Saya curiga jangan-jangan ini hanya akal bulusmu untuk bisa berjalan bersama, menikmati sunyi malam hari, berdua. Entahlah, hanya kamu yang bisa menjawabnya.

“Ta,” kataku saat kita berjalan beriringan.

“Iya,” katamu sembari mendongakkan kepala ke arahku.

“Ketika dua manusia bertemu dan ada jalinan intuisi yang begitu kuat antara mereka. Maka saya begitu yakin, pertemuan pertama hanya akan menimbulkan bayangan. Karena belum tentu mereka akan bertemu lagi.

Dan apabila mereka bertemu untuk kedua kalinya tanpa diduga. Yakinlah bahwa pertemuan kedua hanya akan menimbulkan kenangan. Andaikata jika mereka bertemu untuk ketiga kali, maka hanya akan menimbulkan rasa rindu.”

“Lalu.”

Saya menghela napas.

“Dan intuisi saya berkata bahwa saya mengalami ketiganya. Dan saat ini saya rindu. rindu inilah yang akan menyatukan kita.”

Kami pun berjalan. Malam  bertambah malam. Gigil makin menjadi. Kita pun mulai bercanda sepanjang jalan.

Oh ya, Ta, surat ini kok menjadi begitu panjang. Saya tidak tahu kapan bisa mengakhirinya.

Begitu panjang. Seperti perjalanan kita malam itu. Kamu mengajakku untuk berkeliling Jogja, malam hari, sembari mengantarku ke markas Klinik EA, menemui kawanku asal Bojonegoro, @che_udin.

Kamu tahu saya memang pernah ke Jogja, dan belum pernah berjalan malam hari, denganmu.  Maka kuambil motormu yang diparkirkan, dan kita berjalan.

Kamu marah ketika saya mengendarai motor dengan begitu kencang. Pelan-pelan saja, kita nikmati malam ini, katamu sembari mencubit perut saya yang membuncit ini beberapa kali. Dan kita tertawa lepas bersama.

Kamu bilang cuma lima kilo meter saja, tempatnya, tapi saya curiga untuk kesekian kali, ini adalah akal bulusmu untuk tetap bersamaku. Karena lima kilo tentu begitu dekat dengan tingkat sepinya yang jalanan seperti ini.  Dan tampaknya kamu berhasil menipuku, saat itu. Hebat.

Di sela-sela perjalanan itu, kamu bercakap tentang sesuatu yang membuat semuanya begitu berubah. Momen yang membuat saya melupakan kenangan-kenangan masa lalu.

Saya tidak perlu menceritakan kepadamu, bukan? Tentu kamu tidak perlu menceritakannya padaku. Karena kita mengalami. Kita yang merasakan.

“Jadi bagaimana kita,” tanya saya tepat di depan markas @che_udin dkk.

Ia tersenyum.

“Kalau begitu, kita toss.”

Saya lemparkan tangan kananku, dan ia menyambutnya. Toss…

“Ih, kamu nggak romantis sekali sih,” katamu sembari tersenyum simpul. Manis.

Saya hanya ketawa. Dan kawanku, Udin, ikut tertawa. Entah ia mengerti atau tidak. Semoga saja tidak mengerti. Saya tidak bisa berpikir apa-apa waktu itu, dan ketika malam kami berbincang sembari sesekali diskusi agak serius dengan Udin, Wisnu, Azhar dkk perihal Marxisme Cina, buruh dll, momen ini tidak membuat nalar saya tergerak untuk larut.

Entah kenapa, padahal selain sepakbola, diskusi adalah ibadah suci yang tidak boleh terlewatkan. Jika terlewat, maka saya pastikan hari itu saya akan mengalami hari yang begitu suram. Sesuram hari sabtu-minggu tanpa tontonan bola. Menyedihkan. Apalagi mereka adalah kawan yang acap bertemu di dunia maya. Sebuah kesempatan langka, seharusnya.

Maafkan, kawan!

***

Saya memang tidak romantis, katamu.

Oh ya, kabar saya baik-baik saja di Ciputat. Saya sampai lupa memberitahumu. Rutinitas kembali  menyita, dan entah kenapa ada daya yang membuat saya kembali menemukan sisi puitik yang telah lama menghilang. Salah satunya adalah saya kembali menulis puisi, setelah sekian lama meninggalkannya. Kabar baik, tentunya.

Dan inilah suratku. Tidak romantis, barangkali. Semacam surat yang belum selesai, dan memang tidak akan pernah selesai. Ia membutuhkan kita untuk menyelesaikannya.

dan hujan adalah pengganti rindu yang paling purba. 

Surat ini tidak akan pernah berhenti, Ta. Seperti juga pertemuan yang ketiga kita di tengah bulan itu, barangkali surat ini sebagai pewarta. Pewarta rindu.

Pertemuan kita tidak akan berakhir, dan percakapan kita tidak akan pernah selesai. Kira-kira begitu.


@Dedik Priyanto

Ciputat, 21 Oktober 2012

Rabu, 03 Oktober 2012

Sebuah Pertemuan dan Percakapan yang Belum Selesai

Tugu Jogja

Ada tiga kota yang membuat saya begitu tertarik untuk menghabiskan waktu di sana berlama-lama. Ketiga kota itu adalah Bojonegoro, Ciputat dan Venesia.

Kota pertama adalah tempat saya menimba serat-serat ilmu, bercengkerama dengan keluarga, serta menghabiskan lebih dari 10 tahun hidup menghirup udara sejuk pedesaan.

Kota kedua merupakan lembah pengembaraan. Kota yang membuat nalar bawah sadar saya begitu yakin akan ragamnya dunia. Indonesia adalah bagian dari Ciputat. Maka yakinlah, Indonesia akan terus berdiri tegak jika Ciputat tidak ada yang merusak.

Dan Venesia… Ah, saya hanya bisa membayangkan kota  lewat imajinasi. Saya dan Venesia adalah perpaduan kepercayaan. Saya percaya bahwa nanti saya pasti akan pergi Venesia. Dan tentu kota air di pinggiran Italia itu begitu yakin suatu hari dikunjungi oleh orang Bojonegoro ini.

Kepercayaan ini tertancap begitu saya di benak dan hati saya sejak lama. Barangkali merupa iman dalam narasi agama-agama, atau datangnya ratu adil bagi masayarakat Jawa.  Bukankah keyakinan kadang-kadang hadir tanpa membutuhkan sebab?

Ada sebuah kota lagi yang membuat saya begitu tertarik. Sekadar menikmati secangkir kopi, menghisap batang-batang kretek, berdiskusi dengan kawan-kawan lama, atau sekadar jalan-jalan. Sudah beberapa kali saya ke sana. Dan beberapa kali itu pula saya merindukannya. Kota itu adalah Jogjakarta. Kota dengan jutaan wajah, jutaan peristiwa, dan jutaan cerita.

Dan pada kota ini pula percakapan bermula, lagi.

“Berarti kamu tinggal di Jogja yah,” tanya saya kepada perempuan berbaju putih lengan panjang.

“Ya, Iyalah,” jawabnya singkat.

Saya menganggukkan kepala.

“Masak iya tinggal di sini, “ tambahnya riang sembari menunjuk bawah.

Ia memakai kerudung pink pendek. Berdiri tidak jauh dari tempat saya. kira-kira 5 meter dari tempat saya berdiri. Sesekali ia bercakap dengan teman-temannya. Tangannya mengenggam sebuah ponsel smartphone. Tas kecilnya ia selampangkan dari kanan kiri, sama seperti saya meletakkan tas mungil saya.

Beberapa kali pula ia meninggalkan samping kiri panggung. Tak lama kemudian kembali lagi. Entah apa yang dikerjakannya, tentunya sebagai panitia inti di acara, ia harus siap sedia. Dimanapun, kapanpun. Perempuan hebat, pikirku.

***

Panggung Ziarah Budaya #1000HrGD di TIM itu tampak begitu megah. Desain Morenk yang menghiasai latar panggung yang dianggit Mas Aan dkk itu tampak elegan. Ditambah dengan kalimat menggelitik yang menjadi tema acara; Menggerakkan Tradisi,  Meneguhkan Indonesia.

Tentu membuat acara yang demikian besar ini membutuhkan energi yang tidak sedikit. Penat dan lelah tentu menjadi bumbu  yang menguatkan para anak-anak ideologis Gus Dur ini untuk menyajikan yang terbaik untuk mereka yang sudah merelakan akhir pekannya di acara ini.

Tiba-tiba saya teringat guyonan khas Gus Dur. “Gitu aja kok repot.”

Gus Dur memang bikin repot. Walau beliau telah meninggalkan kita 1000 hari yang lalu, beliau beberapa hari ini telah merepotkan begitu banyak orang. Termasuk hari ini. Namun anehnya, yang direpotkan malah tampak begitu gembira. Begitu bahagia.  Menakjubkan, Gus.

“Duduk di sini aja,” ajaknya sembari menempatkan tubuhnya di bawah layar.  Duduk di pelataran karpet berwarna merah.

Saya melihat pendar dalam matanya. Ada sesuatu yang memancar di balik senyum itu.

Saya mendongakkan kepala atas, sesekali meliriknya. Sudah begitu lama saya tidak melihat bintang di langit Jakarta. Saya curiga jangan-jangan para bintang memang sengaja walk out dari langit Jakarta. Atau barangkali mereka juga sedang duduk di antara penonton menyaksikan pagelaran budaya malam ini. Entahlah.

Dari mata itu pula saya menemukan bintang. Di senyum itu pula saya menemukan cahaya. Dan saya memang salah. Ternyata hari ini adalah purnama. Pantas saja tidak ada bintang, pikirku.

Tapi apakah purnama ini membuat para bintang enggan menampakkan cahayanya?

Saya kira juga tidak. Atau kalau merujuk ke agak teori; asap dan polusi Jakarta yang membuat bintang tidak tampak pada tiap malam. Atau jangan-jangan pendar cahaya dan sinar yang memancar dari senyumn perempuan  itu yang membuat bintang tiada.

Barangkali saya hanya bercanda.

”Nonton dari sini lebih menarik deh,” ajak perempuan itu membuyarkan lamunan nakal saya.

Saya hanya tersenyum. Tidak mengiyakan, tidak juga menolak. Barangkali dia lupa. Ukuran tubuh saya yang menjulang setinggi 175 cm dengan bobot hampir setengahnya tentu tidak mudah untuk duduk, dan secepat kilat harus berdiri kembali. Atau barangkali dia sengaja menyindir saya seperti pelawak saling sindir dan kemudian tertawa bersama-sama.

Ia tampak begitu girang malam itu. Layar berukuran jumbo itu menyuguhkan tampilan yang utuh. Tentu ini lebih baik, terlebih bagi kami yang menonton dari samping panggung dan disibukkan dengan rundown acara. Sedikit hiburan sudah cukup.

Kesuksesan acara tentu menjadi tujuan. Namun tersebarnya ide akan kebersamaan, persaudaraan, dan perdamaian adalah inti dari peringatan ini. Sebagai penanda, sebagai penolak lupa bahwa kita adalah satu; Indonesia. Salut, kawan-kawan Gusdurian.

***

Pertemuan yang biasa tentu akan menimbulkan percakapan yang biasa. Namun pertemuan yang ganjil, tatapan yang ganjil, dan tentu saja senyuman yang ganjil akan menimbulkan pemaknaan yang ganjil pula. Saya harap pertemuan itu menjadi pertemuan yang ganjil. Namun yang terjadi adalah pertemuan biasa.  Tidak ada yang istimewa, belum ada yang bisa dibilang ganjil. Semua berjalan begitu saja.

Selepas acara itu, kami melangkahkan kaki bersama ke sebuah café. Tentu bukan pertemuan yang ganjil, karena kita berjalan bersama-bersama. Bukan berdua. Dan tentu cerita-cerita yang berbeda. Pasti percakapan-percakapan itu akan saya tuliskan, nanti. Entah di sini, atau di catatan-catatan pribadi. Tiap detik begitu berharga, bukan?

Percakapan yang biasa, dengan guyonan yang tentu juga biasa. Di sebuah café, kami bercanda, bercakap dan bergurau bersama. Saya memandang beberapa lukisan yang terpajang. Mengedarkan pandang.

“Old Gringo ada nggak mbak?” tanya saya pada pelayan café itu.

Ia terkaget.  Digelengkanlah kepala berambut hitam pekat itu.

“Pasti nggak ada,” tandas saya. Ia tambah kebingungan. Ia pun membolak-balik daftar menu yang ia bawa,lagi.

”itu novel Carlos Fuentes kok, pasti nggak ada,” canda saya sembari tertawa.

Perempuan yang mengenakan baju hitam dan putih itu tersenyum. Pasti pelayan itu begitu capek, pikir saya, dan semoga  senyum itu sedikit membantu melepaskan ketegangannya malam ini.

Lalu kami pun saling memesan minuman dan makanan masing-masing. Ada pelbagai makanan dengan nama asing. Sumpah, andaikata saya disuruh memilih, tentu saya akan lebih menikmati secangkir kopi di pinggir jalan. Minimal namanya tidak sesusah daftar menu yang terpampang di sini.

Saya pesan minuman hangat, dia dingin. Kami saling mencicipi pesanan masing.

“Hmm… Lebih cocok minumanku, lebih enak, ” selorohnya. Saya mengiyakan.

Gojlokan demi gojlokan saya terima, dan barangkali ia serupa.  Kami duduk berlima. Tepat di samping pintu. Ia duduk menghadap ke utara. Di atasnya ada sebuah sketsa. Sketsa tentang Gambir tahun 20-an. Saya duduk begitu dekat dengannya.

Saya menghadap ke timur. Di depan saya perempuan berkacamata asal Pati, adiknya Savicali, saya lupa namanya. Di  samping perempuan itu Mbak Rahma, dan seorang pria berjanggut dengan blangkon Jawa, itulah Jay, alumnus Filsafat UGM, entah berapa tahun yang lalu.

“Kalian itu cocok. Nah, bagaimana? Kita doakan di 1000 hari Gus Dur ini,” tukas Jay bercanda setelah bosan terus menjodohkan-jodohkan kami. Barangkali inilah derita seorang yang tidak punya kekasih, rela dihina dan sebagai pesakitan kena gojlokan.

Saya memalingkan muka kepadanya. Ia pun sama. Kami saling pandang. Saya pikir tidak ada sesuatu. Dan pasti tidak akan pernah sesuatu. Karena ini memang bercanda. Tapi, saya salah. Mungkin ada sesuatu. Barangkali.

Saya diam. Mereka tertawa semakin renyah.

“Bagaimana, Ta, kapan kita? he… he… ” canda saya. Ia hanya tertawa terbahak-bahak.

Entah kenapa, nama panggilan dari perempuan itu mengingatkan saya pada sebuah film klasik yang hingga saat ini begitu membekas dalam benak saya. Khususnya tentang akhiran kata “ta” yang entah kenapa membuat saya teringat cara Nicholas Saputra memanggil Dian Sastro dalam film Ada Apa Dengan Cinta (AADC).

”Ta… cinta,” kata Rangga.

“Ta… tata,” panggil saya, barangkali.

***

Empat hari telah berlalu, perbincangan demi perbincangan terus berjalan. Percakapan telah dimulai dari sebuah malam yang biasa. Tidak saling ketemu, tidak saling bertatap muka. Hanya dunia maya yang  membantu kami bertegur sapa.

Mulai dari persoalan tulisan yang bertajuk ‘saya, #1000HrGusDur, tentang ketidaksadaran saling menghubungi via pesan singkat, dan tentang ketidaktahuan saya akan sebuah film. Semua berlalu begitu saja. Tapi detik ini tidak boleh lewat, pikirku.

“Entar malam aku balik ke Jogja. Mau ikut?” tulisnya dalam sebuah pesan pendek.

Saya diam sebentar. Saya memutuskan jalan kaki ke warkop terdekat. Memesan kopi item . Mata saya nyalang menyaksikan mahasiswa-mahasiswa yang lewat. Entah apa yang mereka pikirkan saat ini. Sedang otak saya memikirkan jawaban apa yang sekiranya pas untuk menjawabnya.

Tiba-tiba tangan saya tergerak dengan sendirinya.

Barangkali inilah ketidaksadaran seperti yang ia cakap beberapa saat lalu. Dan  acapkali kita memang harus percaya itu, pikirku.

“Yuk. Andai saya bisa ikut. Kita bisa bercakap banyak ragam,” tulis saya.

Waktu seakan berhenti. Saya kembali ke kontrakan.

Lamat-lamat saya mendengar dendang lagu Klasik Katon Bagaskara tentang Jogjakarta..”Pulang ke kotamu, ada setangkup haru, dalam rindu…

Ciputat hujan, saya hanya bisa memandangnya dari jendela kamar. Langit kian muram.

Apakah saya rindu? Entahlah

Ciputat-04-10

@DedikPriyanto

Minggu, 30 September 2012

Ratusan Gusdurian Peringati Harlah Gus Dur



Ratusan pecinta dan penerus cita-cita dan perjuangan Gus Dur (Gusdurian) menghadiri peringatan hari lahir (harlah) KH Abdurahman Wahid yang berlangsung di aula Wahid Institute, Matraman, Jakarta, Jumat (3/8).

Gusdurian tersebut umumnya tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Mereka berasal dari beragam organisasi, profesi, usia dan bahkan iman. Ada yang datang bermobil pribadi, motor, dan jalan kaki. Pakaian mereka mulai dari yang berjaket, koko, berkopiah, dan bersarung; hingga berkaos oblong; dari yang berambut gondrong hingga plontos. 

Acara dimulai pukul 16.00 dengan sambutan Koordinator Gusdurian Alissa Wahid. Ia mengatakan, kini kelompok yang menyatakan diri Gusdurian sudah tersebar di 30 kota. Mereka menyelenggarakan pertemuan-pertemuan yang cair dan membahas apa saja, sesuai dengan kebutahan daerah mereka. 

Didaulat sebagai pembicara pada acara bertajuk Gus Dur dan Kebudayaan tersebut dua budayawan yaitu Mohammad Sobari dan Jaya Suprana. Juga sastrawan gaek Martin Aleida. Dan moderator Dedik Priyanto, Gus Durian muda asal Ciputat. 

Dari diskusi tersebut mengemuka dua sifat Gus Dur, yaitu keteguhan dan keberanian. Keteguhan dalam menggenggam gagasan persaudaraan, persamaan, dalam keragaman dan keberanian dalam menjalankan gagasannya. Apapun risikonya.

Martin Aleida, sastrawan Lekra yang pernah dipenjara Orde Baru berpendapat, karya terbesar Gus Dur adalah meminta maaf.

“Setidaknya buat saya dan orang-orang yang menjadi korban seperti saya. Itu pencapaian yang luar biasa,” ujarnya.

Menurutnya, PKI dan NU pernah berhadap-hadapan pada masa lalu. Tapi luar biasanya, Gus Dur dengan keberaniannya membuka hubungan kembali dengan minta maaf. Hal ini sangat berdampak positif terhadap masa depan anak bangsa. 

Sementara Jaya Suprana juga mempertebal tentang keberanian Gus Dur. Ia mengutip apa yang dikatakan Gus Mus pada sarasehan Kristalisasi Pemikiran Gus Dur beberapa waktu lalu. Menurut Gus Mus, satu hal yang jarang dimiliki tokoh sekarang adalah keberanian. 

“Berani mengatakan yang benar itu benar, yang tidak benar itu, tidak benar. Itulah Gus Dur!” tambah ahli kelirumologi ini.

Mohammad Sobari mengambil sudut pandang lain terhadap Ketua Umum PBNU 1984-2000 dan Presiden RI keempat tersebut. 

“Segala tindak-tanduk Gus Dur menegaskan ke-NU-annya. Dan tidak ada yang seperti itu. Dalam hal taat kepada tradisi aja, Gus Dur itu tidak ada yang menyaingi. Terutama tradisi sowan kepada kyai-kyai,” tegasnya. 

Diskusi kemudian dijeda dengan buka puasa dan shalat maghrib. Acara dilanjutkan kembali dengan tampilnya KH Husein Muhammad. Ia membacakan puisi Matsnawi karya Jalaludin Rumi dan syair Abu Nawas, yang diterjemahkannya. 

Hadir pada kesempatan itu Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Imdadun Rahmat, Direktur Eksekutif The WAHID Institute Ahmad Suaedy, aktor Alex Komang, dan aktivis HAM Usman Hamid, serta aktifis NU Amsar A. Dulmanan. 


Jakarta, 4 Agustus 2012 cek berita asli www.nu.or.id

Saya, #1000HariGD Dan Cerita-cerita Lainnya

Foto seusai acara #1000HrGD di TIM. Tampak dr Ki-ka: Ulin Yusron, Sobih Adnan
Mas Jay, Rosianan Silalahi, Saya, Tata, Inayah W, Anita W,  Alissa W, Hamzah S, Mbak Yun, Farha Cicik dll,

Sebuah tulisan biasanya dimulai dengan ungkapan yang menyentak, atau paling tidak menukil pernyataan seorang tokoh/filsuf untuk menyelematkan pendapatnya dari hantam caci. Ah, syukur-syukur tulisan itu tidak dimulai dengan sebuah kalimat tanya. Orang model begini biasanya hidupnya sengsara.  Kenapa?

Alih-alih membuat pembaca menyunggingkan senyum, lalu secepat kilat menjawab pertanyaan yang diajukan. Terkadang pertanyaan-pertanyaan itu malah menjadi bom Nagasaki yang tanpa sengaja diletakkan begitu saja di dada dan pikiran pembaca. Beruntung jika pembaca itu  orang yang kuat, tegar, dan tentu saja masih muda. Bayangkan jika pertanyaan yang merupa bom itu tidak sanggup ia pikirkan, lalu tiba-tiba pembaca itu memiliki penyakit jantung.

Maka anda tinggal menunggu polisi menggerebek kediaman anda, memborgol dan menangkap atas tuduhan; pembunuhan berancana. Lalu anda akan merutuki diri sendiri, sedangkan kawan-kawan anda hanya bisa tertawa nyinyir karena kesialan anda.  Bukan begitu, bukan?

Tapi tunggu dulu. Saya tidak ingin menakuti-nakuti, saya hanya ingin bercerita tentang sebuah malam, bercakap tentang sebuah pertemuan, dan berkisah tentang sebuah percakapan.

Percakapan yang dimulai dari sebuah ketidaksengajaan. Permulaan yang diawali dari sebuah malam, dan tentu saja berakhir dengan sebuah malam. Malam yang belum pekat, malam yang masih benderang. Malam yang masih menyisakan sebuah tanya;

Bukankah perpisahan selalu mulai dari sebuah pertemuan? Dan tidakkah terlalu sayang jika tidak ada penanda, tidak ada catatan akan pertemuan, dan perpisahan? 

Tiba-tiba saya teringat sebuah malam di Taman Amir Hamzah, selepas saya dan suhu Hamzah Sahal menjemput D Zawawi Imron dan Ahmad Tohari menghadiri sebuah acara kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, maka tugas saya selanjutnya adalah membantu Nyewu #1000HariGD.

Terdorong rasa bersalah yang tiada terkira melihat kawan-kawan Gusdurian berjibaku mempersiapkan pelbagai rangkaian acara, sedang saya terlalu lama bertapa di rumah. Entah apa yang dibantu, saya pun belum tahu. Minimal saya telah berniat membantu. Malam itu saya menghubungi Morenk Mauladi, dan turut ke Ciganjur menumpangi mobil BMW keluaran 1996 milik Savicali yang dikendarai oleh Imam. 

Dengan tekad membulat, dan niat ingin segera berbagi pundak dengan kawan-kawan, atau sekadar menyiapkan minum bagi mereka yang kehausan menyiapkan acara. Atau barangkali jikalau mereka lelah, saya bisa memijit kaki mereka, itu sudah cukup bagi saya. Sebagai penebus dosa kepada saya kepada kawan-kawan Gusdurian, sebagai pelipur lara dan duka. 

Kami bertiga menyusuri jalanan Matraman-Ciganjur dengan pelbagai kicauan, dan tentu saja perdebatan-perdebatan. Terkadang inspiratif, tak jarang sarkastis. Dari hulu ke hilir, perbincangan kami laiknya anak-anak muda dengan gairah yang membara; mengumpat Jakarta lengkap dengan kemacetan yang kian menggurita, tentang Gus Dur, dan tentu saja cinta.

Kata ini, entah sejak kapan, kata ini selalu membuat saya linglung.

Kita bisa mendebat apapun tentang gerakan, atau berdiskusi berhari perihal buku-buku pemikiran dan sastra yang menggetarkan dunia, atau ihwal isu-isu yang kian hari kian memanas berikut dengan penjelasan teori-teori yang acapkali membingungkan. Tapi ketika berbicara soal cinta, saya memilih untuk menepikan diri. Mengedarkan pandangan ke jendela, menyaksikan malam yang kian semarak dengan lampu-lampu ibukota, atau bintang yang entah kapan saya melihatnya bersinar kembali di langit Jakarta.

“Elu udah pernah ciuman, Ded,” tukas Morenk tiba-tiba membuyarkan lamunan saya.

“!!!”

Saya hanya diam.  Sedangkan imam yang sedang mengemudi hanya bisa tertawa bengis. Mereka berdua tertawa terbahak-bahak, saya hanya menelan air liur, dan tersedak. 

“Elu itu kebanyakan baca buku sih. Nyari pacarlah.”

Saya hanya diam. Otak saya berputar, saya mencari referensi dari bacaan yang pernah saya baca. Tentu nukilan atau kata-kata ilmiah perihal cinta tidaklah menjadi sulit bagi saya untuk dipakai jurus melawan. Tinggal mengambilnya dari otak, seperti seorang lapar yang mengambil apa saja dalam kulkas.

Tapi entah kenapa tiba-tiba saya tidak bisa membuka cakrawala itu. Siapa pula yang menggembok, rutuk saya kala itu. Dan semakin saya diam, tawa mereka kian melengking. Kian nyinyir. 

“Belum, gua yakin,” tambah Imam menambah derita saya. 

"Pernah, tapi sekarang enggak," jawab saya datar. 

Tawa mereka kian menggema. Bahkan lebih keras dari suara mobil yang berjalan, lebih nyaring dibanding sirene motor kemacetan yang bersahut-sahutan. Hujan tiba-tiba turun membasahi jalanan ibukota. Tidak terlalu deras, tapi sudah cukup membasahi hati.

Obrolan perihal cinta berhenti ketika Savicali mengajak menjenguk seorang kawan yang sakit di Kalibata.

Setelah kongkow dan ngobrol ngalor ngidul di sana. Kami yang datang membawa banner dll untuk acara Nyewu Gus Dur melanjutkan kembali perjalanan ke Ciganjur. Perjalanan ini berasa begitu lama, begitu jauh. Mirip perjalanan ke barat yang dipimpin oleh Sun Go Kong. Lengkap dengan kuda dan Bhiksu Trivitaka, dan Ciganjur adalah tempat suci itu. Dan saya, ah, jangan-jangan menjadi Panglima Tian Feng yang selalu gagal bercinta 

Kami tiba di Ciganjur kira-kira tepat tengah malam.

Menyaksikan pagelaran wayang Ki Enthus Susmono dengan lakon Kumbakarna Gugur. Saya takjub. Begitu banyak manusia yang setia untuk menonton pagelaran ini. Bahkan hingga pagi hari, saya masih bisa merasakan aura kegembiraan di mata orang-orang ini. Perkiraan saya, masih ada  seribuan orang yang bertahan hingga wayang usai.

Lalu kami melangkahkan kaki ke kediaman Gus Dur, meletakkan banner dan melangkahkan kaki menuju belakang panggung. Ke kantor Puan Amal Hayati, tempat kawan-kawan berkumpul.

Di rumah yang dekat dengan asrama santri Ciganjur tersebut, kami bergabung dengan teman-teman gusdurian lain. Saya agak canggung, karena beberapa tidak saya kenal karena memang kebanyakan bukan dari Jakarta; ada mas jay, mbak yuni, dan Tata, dan lain-lain. 

Perkenalan di situ pun tampak begitu lucu. Bermula dari isu soal saya, pacar dan ciuman. Dan lagi-lagi Tengku Morenk Mauladi (Ah, kenapa saya lebih suka menyebut Mauladi dibanding Beladro. Maafkan..) membuat nalar tertawa kami bangkit.

Derita itu ditambah dengan ‘update’ twit dia di akun @MorenkBeladro yang bertutur ihwal tentang cinta dan kegalauan akan ciuman yang menerpa kawan-kawannya. Sudah pasti yang menjadi bahan sasaran adalah saya dan kegagapan menghadapi cinta.

 Ah, kau, kawan…

Waktu berlalu. Denting kian bertalu. Lengking tawa dari para hadirin yang menyaksikan pertunjukan wayang terus saja menggoda saya untuk keluar dari ruangan itu. Sekadar menikmati gaya postmodernitas perwayangan yang dianggit Ki Enthus, dan tentu saja Megan, sinden asal Amerika yang saat itu sedang tampil bersama Ki Enthus dkk. Namun, urung saya lakukan.

Saya pun berkenalan dengan kawan-kawan Gusdurian baru ini dengan candaan lama,  dengan ‘gojlokan yang lama’ dan dengan komodifikasi yang lama pula; Jomblo dengan segala penderitaannya.

Tiba-tiba.

“Akhirnya ketemu. Saya kira sudah tua, dan memang sudah tua. Saya yang biasa menghubungi teman-teman gusdurian. Heuheu,” paparnya seraya menjulurkan tangan.

Ternyata dia yang kerap menghubungi, dan percakapan bermula.

***

Pagelaran puncak #1000HariGusDur hampir dimulai. Panggung sudah berdiri dengan begitu megah. Tepat di depan Galeri Cipta TIM. Entah kapan dan siapa yang sudah memasang panggung itu.  Beberapa hari lalu saat saya menemani pak Ahmad Tohari masih belum ada apa-apa, hanya beberapa besi penyangga yang tidur manis di samping jalan. Namun sekarang panggung itu telah berdiri dengan gagahnya dan ada foto Gus Dur tertawa di sana. Ah, kita rindu sampean, Gus.

“Eh, katanya mau datang siang,” ujar seorang perempuan yang memakai baju putih lengan panjang bergambar #1000HrGusDur di depannya.

Saya menoleh ke belakang.

“Saya sudah dari tadi kok,” jawab saya singkat.

Saya yang datang agak sorean diminta Hamzah Sahal untuk menemani kiai D. Zawawi di Hotel memang agak telat, dan langsung menuju Hotel Alia yang berada tepat berada di depan TIM.

Namun lagi-lagi, rasa bersalah hadir tanpa diundang, melihat kawan-kawan Gusdurian yang sudah mempersiapkan acara yang tampak bakal begitu meriah. Dan saya pun kembali merutuki diri sendiri.

Acara Ziarah Budaya #1000HrGusDur pun berjalan dengan begitu hebatnya. Kawan-kawan dari lintas agama pun datang ke lokasi yang dibangun oleh Ali Sadikin itu. Tempat yang mula adalah kebun binatang pada jaman Belanda itu riuh oleh para penonton.

Dari hulu ke hilir, saya bisa melihat bahwa apa yang dilakukan Gus Dur telah melampui sekat apapun. Mulai dari  berkulit coklat, hingga berkulit putih. Mereka tumpah ruah di Taman Ismail Marzuki, Cikini (29/30).

Saya yang sudah menahbiskan diri membantu suksesnya acara ini pun begitu begitu gembira. Mata saya berkaca-kaca tatkala mendengarkan paduan suara kawan-kawan GKI Yasmin, serta bagaimana Glen Fredly memulai berbicara soal Gus Dur, soal perjuangan dan persaudaraan, serta lantunkan lagu-lagu perdamaian. Sesekali saya menoleh ke arah para penonton, yang dengan di depan panggung.

Ah, apa yang telah kau lakukan Gus hingga membuat orang-orang ini begitu gembira!  

Malam itu, saya berpindah-pindah tempat. Karena tugas saya adalah menemani kiai Zawawi Imron, maka saya pun mengikuti kemana penyair kelahiran Batang-batang 69 tahun silam itu melangkahkan kaki. Dan ketika kiai tampil ke panggung, tentu saja saya menemani di samping kanan panggung.  Di situ pula saya bercakap dengan teman-teman panitia gusdurian yang bertugas mempersiapkan performance acara ini. 

Di situ pula saya pertama kali bertemu dengan @fahrisalam, wartawan pantau, yang sebelumnya kita saling mengejek di twitter. Dan tentu ia pun berkomentar rambut saya sekarang yang sudah tidak gondrong lagi karena mengejar akademik.

“Yakin mau lulus,” tandasnya.

Saya pun berdiri di situ. Dengan baju lengan panjang berwarna putih, bermotif Gus Dur dengan tautan #1000HrGusDur hasil desain Morenk, mengenakan tas hitam kecil, dan ukuran XL yang agak kekecilan, saya menyaksikan konser dari samping. Berbincang dengan mbak yuni, mbak Alissa, Mbak Inay, Hamzah, jay, da Tata, dan lain-lain.

“Wah ternyata satu angkatan,” ujarnya dengan raut yang membeliak. Entah ketakjuban apa yang telah mendera perempuan itu, atau barangkali kekagetan.

Dia memandang saya, dan tak pelak mata saya pun tertuju padanya. Alunan musik kian bertalu. Tepuk tangan penonton kian riuh. Warna-warni lampu terus saja berganti seiring hentakkan suara dari panggung. 

“Capek ya.” 

Saya menganggukkan kepala. Barangkali ia iba melihat saya berdiri terus, atau ia kasihan pada dirinya sendiri. Entahlah.  

“Kemarin saya malah berdiri terus,” ujarnya.

Ia lalu duduk di bawah layar. Saya tetap berdiri. 

“ Kita 'kan masih  muda,” seloroh saya menyunggingkan bibir. 

Acara #1000HrGusDur yang begitu hebat itupun selesai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ah, entah kenapa saya selalu merindukan peristiwa ini, menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama-sama dengan orang banyak. Berdiri bersama, membusungkan dada, dan bernyanyi bersama.

Sama rindunya ketika dada saya bergemuruh tatkala Indonesia Raya berkumandang di stadion Gelora Bung Karno dalam pertandingan timnas Indonesia. Tampaknya, hanya di kedua peristiwa ini saya merasa begitu bangga melantunkan lagu ciptaan WR Soepratman ini.

Seusai acara, dengan penat yang terus bertambah, dan bangga yang kian bertambah pula, keyakinan akan keindonesiaan menjadi begitu tinggi.

Bukankah kita hidup dengan harapan?

Dengan harapan pula kita percaya akan hari esok. Dan kita percaya bahwa masa depan bangsa ini begitu cerah, dengan senyum-senyum persaudaran, dengan binar-binar perdamaian yang diwariskan Gus Dur dan diteruskan banyak orang, seperti malam ini.

***

Malam sudah kian memburam. Kepala saya arahkan ke atas. Ah, saya sekali lagi tidak menemukan bintang di langit Jakarta. Tapi perasaan itu berbalas dengan bulan yang tampak begitu bulat, begitu purnama, begitu indah.

Saya yakin, purnama malam ini adalah penanda bahwa Gus Dur pun gembira di atas  sana, bahwa anak-anak ideologis beliau makin banyak, yang memperjuangkan keadilan dan perdamaian pun kian meruyak.

Saya pun mengucapkan selamat kepada kawan-kawan Gusdurian yang telah sukses membuat acara #1000HrGusDur, kepada Moreng Beladro dkk.

Seusai acara, sebagian dari kami menghabiskan obrolan di sebuah café, sembari melepas lelah dan membincang acara yang baru saja usai.  Obrolan itupun jadi ngalor ngidul, dan menjadi lingkaran-lingkaran.

Ada lingkaran serius yang menempati pojok café,  ada lingkaran ‘orang-orang tua’ yagn menempati dekat jendela, dan kami, lingkaran anak muda+sebagian jomblo yang menempati lingkaran paling dekat dengan pintu. Tentu isi obrolan berbeda pula, dari persoalan acara, tepuk tangan kesuksesan acara, hingga urusan cinta.

Obrolan itu selesai ketika café itu hendak tutup, menjelang pagi, dan kami berpisah. Saya dan Hamzah harus kembali ke hotel menemai si celurit emas, sedang yang lain ada yang ke Matraman, Ciganjur dll. Tentu mereka lelah, dan tentu saja mereka bangga bahwa acara berjalan sukses, dan fellowship ini akan terus terbangun. Selamat, kawan-kawan Gusdurian. 

***

Sebuah pertemuan akan terasa biasa saja jika tidak ada yang mengabadikannya, tentu saja proses menjadi abadi itu ada pelbagai macam cara. Mulai dari potret memotret, lukis melukis, patung mematung, hingga tulis menulis.

Tiba-tiba ingatan saya meluncur pada percakapan dalam sebuah film Alexandria, sebuah film pop yang entah kenapa saya begitu suka. Ketika Julie Estelle memergoki Fahri Albar sedang sakaw dalam mobil.

“Kamu tahu nggak sesuatu yang paling mahal itu apa?” tanya Julie. 

Fachri hanya diam.

“Detik yang sudah lewat, kita tidak pernah bisa membeli waktu itu lagi," tandasnya. 

Ah…

Saya memiliki ingatan yang begitu buruk. Maka saya pun membiasakan diri bergumul dengan catatan-catatan, dan saya pun tidak mau kehilangan detik yang barusan lewat itu.  Dengan catatan itu saya berusaha mengabadikan segala sesuatu. Termasuk saya pun menuliskan detik-detik ini sebagai pengingat, sebagai penanda bahwa tiap detik begitu berharga. 

Ketika menuliskan catatan ini tiba-tiba ponsel klasik saya berderit. Ada pesan masuk. Saya curiga, jangan-jangan ini pesan dari intel untuk menculik saya, dan hari ini adalah 30 September, atau jangan-jangan ada pesan suruhan dari rektorat yang jengah dengan seorang mahasiswanya yang saban hari membully sang rektor di jejaring sosial.

Mungkin pula kawan yang mengajak ngopi. Uh, saya hilangkan persaaan itu dan membuka isi pesan, ternyata;

”Hey Jomblo, gmana kabar skripshitnya? ”

Terpekur sejenak. Saya mendongakkan kepala ke atas. Sejenak kemudian mata saya  berpendar ke sekitar kamar. Lampu kamar tampak muram seketika.  Bunyi gemericik air yang sedari tadi biasa saja tiba-tiba menguar dengan suara yang begitu keras. 

Saya kenal nomor itu, begitu kenalnya karena saban hari saat acara gusdurian acapkali memakai nomor yang itupula.  Saya membalasnya singkat.

”Tata?”

Ia belum menjawab. 

Ciputat-30-09