Tendang, Terjang, Hadang

Senin, 22 Oktober 2012

Semacam Surat yang Belum Selesai



Tak jarang, kita harus mewakilkan diri kita pada sebuah surat 

Lazimnya sebuah surat, maka saya akan menanyakan kabar terlebih dahulu. Tentu pertanyaan biasa, dan menimbulkan jawaban yang kerap cuma dua, dan itu-itu saja. Baik atau tidak baik, sehat maupun tidak sehat. Biasa saja. Seperti juga hidup, yang memang kadang terjadi secara biasa saja.
Bagaimanakah kabarmu hari ini?

Ah, kamu pasti sedang penat, dengan muka yang mulai beringsut menuju lelah. Aktivitas menggila dan setumpuk pekerjaan tentu membuatmu sukar untuk sekadar mengeringkan keringat yang tiba-tiba bergemericik tanpa kau sadari. Seandainya saya di sana, pasti saya akan menyiapkan secangkir kopi. Kamu begitu menyukai kopi. Walau, katamu,  tidak pernah bisa menandaskannya sampai tuntas.

Iya, kamu begitu menikmati secangkir kopi. Perpaduan antara halusnya serbuk kopi dengan beberapa sendok gula itu barangkali mampu membuatmu sejenak melupakan lelah. Tahukah kamu bahwa menyeduhkan air hingga mendidih, meracik secangkir kopi dan menyajikannya untukmu adalah peristiwa paling heroik yang ingin saya lakukan!

Begitu halnya tatkala jemarimu memegang cangkir berwarna putih, mencium aroma kopi buatanku, lalu perlahan menyorongkan bibir mungil ke tubir cangkir dan meneguknya perlahan-lahan merupakan peristiwa paling relijius yang ingin segera saya tunaikan.

Entah kapan saya bisa memandangmu menghabiskan secangkir kopi, dan tiba-tiba saja di luar hujan. Kita memandangnya bersama dari balkon, atau dari jendela sebuah warung kopi, dan kamu memegang cangkir itu dengan kedua tangan. Biar badan hangat, katamu.

Saya rela tubuh tambun ini menjadi kurus seketika. Kering kerontang guna membayar momen yang entah kapan saya mengalaminya. Maukah kamu saya buatkan segelas kopi? Kamu pasti hanya tersenyum. Begitu manis, bayangku. Dan kotamu, Jogjakarta, adalah salah satu surga. Minimal surga bagi penikmat kopi seperti saya, dan  kamu.

“Lah, kamu pingin pergi kemana?” tanyamu beberapa saat ketika saya menginjakkan kaki di sebuah rumah mungil di sekitaran Pogung. Kira-kira 150 meter dari MM UGM.

“Kamu ‘kan lebih tahu tentang Jogja,” jawab saya sekenanya.

Mata saya tertumbuk dengan mata itu. Kamu hanya tersenyum. Saya kikuk malam itu. Toh kamu bisa tahu ‘kan kegugupan saya. Dan berpura-pura membetulkan letak kacamata adalah siasat paling kejam untuk membunuh dinginnya tubuh yang mulai menggigil ini.

Sekadar pemantik keberanian yang begitu menggebu sejak dalam kereta menuju Jogja, dan tiba-tiba saja beringsut dan menguap seketika sesampainya di rumahmu.

“Dimana?” tanyamu membuyarkan lamunan saya.

“Yang ada kopi, yah?”

Ia diam sebentar. Saya pun menyebutkan beberapa referensi warkop yang biasa tempat ngobrol kawan-kawan aktivis di Jogja, semisal Blandongan, Mato Kopi dst.

“Semesta café, bagaimana?”

Cafe Semesta, di sinilah percakapan bermula. 

Saya hanya mengiyakan. Jujur saya tidak tahu tempat-tempat di Jogja.  Kamu tentu tahu bahwa saya memiliki ingatan yang begitu buruk. Khususnya mengenai tempat-tempat yang baru, bahkan nama yang baru kukenal sekalipun. Sama halnya ketika saya lupa bahwa saya hanya pernah punya dua presiden semenjak saya pertama kali bisa membaca, Bung Karno dan Gus Dur.

Selebihnya, entah kenapa saya tidak ingat nama  mereka. Atau jangan-jangan saya memang tidak punya pemimpin negara selain mereka. Entahlah.

Hey, ada mendung di kotaku sore ini.

Ya, Ciputat mendung dan barangkali akan segera hujan.

Seperti juga malam itu, tepat seminggu yang lalu, hujan menghampiri kita. Setelah perjalanan pendek dengan ragam guyonan, dan semacam kopi yang kamu pesan untuk kutandaskan. Sebuah kopi spesial yang menjadikanmu alasan untuk mengajak saya ke tempat ini, malam ini.

Malam untuk ketiga kali kita bertatap muka secara langsung selepas dua kali tatap pandang dalam pertemuan yang ganjil. Dan hari itu cuma ada saya, dan kamu.

Di sebuah café menghadap ke utara itu, kamu memesan juga sepiring mie, yang katanya begitu enak, dan kamu menawarkan saya untuk menikmatinya. Saya menolak halus.

Bukan karena saya tidak lapar saat itu. Perut saya memang keroncongan, bahkan seingat saya, terakhir kali saya makan adalah sarapan saat jam 11 siang di Ciputat. Hanya rokok dan kopi yang saban detik menemani saya, dan Alhafiz Kurniawan, kawan saya mengarungi kereta ke Jogja.

Tapi entah kenapa, memandangmu menandaskan makanan dan menyorongkannya ke mulut yang mungil itu membuat saya berdegup, dan tiba-tiba saja merasa nyaman. Kenyamanan ini yang membuat saya melupakan segalanya.

Saya merasa kedinginan. Saya memakai sweater coklat. Kamu bertanya, kenapa saya memakai sweater padahal kamu tidak merasa kedinginan? Saya hanya tersenyum.

Tiba-tiba.

“Hujan nih,” katamu mendongakkan kepala ke atas.

“Iya, Ta.”

Rintik mulai  jatuh, dan membuat kami harus berpindah tempat. Kamu mengajakku pindah ke atas. Tempat yang sebetulnya agak ramai. Dan beberapa teman yang kamu sempat bersalaman dengannya. Beberapa wartawan dan aktivis jogja, katamu.

“Seperti yang kamu suka. Hujan malam hari,” tukasmu sembari menyunggingkan senyum.

“Iya, Ta.”

Saya diam sejenak.

Kita memandangi hujan berdua. Sesekali mata saya melirik ke arahmu. Kita pun membincang banyak hal, dan air yang terus berjatuhan, merupa stanza dalam petikan biola Idris Sardi. Dari hulu ke hilir, kita menyaksikan para penghuni café lain yang saling bersitatap, saling berbincang. Dan jarak antar kita yang kian mendekat, serta obrolan yang kian memikat.

Tiada petir yang bergemuruh pada hujan malam itu, kamu tahu itu, namun barangkali kamu tidak tahu bahwa ada gemuruh yang terus menggumpal di sini, di dada ini.

Waktu pun terasa melambat. Sesekali saya melihat ponsel saya, dan sebuah pesan dari kawan twitter saya asal Jogja @wisnu_prasetya menghampiri;

Semesta Jogja mendukung @DedikPriyanto menuntaskan kerinduannya, eaaa...

Apakah hujan ini bentuk dukungan dari semesta Jogja? Ah, kau kawan..

****

Seperti juga malam. Kadang kenangan itu tampak begitu dingin. Dan kenangan memang harus terus diziarahi, kata Puthut EA, salah satu penulis favorit saya.

Kita hidup dan tumbuh dengan kenangan-kenangan. Ia akan terus berpilin merupa bayang-bayang yang tiap hari mendatangi. Kadang kita dibuatnya bergelak tawa, dan tak jarang pula membuat kita muram. Membuat kita tampak begitu rudin, dan ringkih.

Kadang  kenangan merupa bangku di sebuah taman, kita bisa duduk di sana, tapi  tidak untuk selamanya

Ataukah kenangan ini semacam residu yang harus kita buang, sementara hidup terus berjalan?

Ketika malam kian beringsut, dan hujan telah berhenti memuntahkan isinya. Di depan sebuah benteng di jalanan Malioboro, benteng Venderburg. Selepas perbincangan tentang sisik melik dunia gerakan, aktivisme, menulis dan film yang begitu kamu sukai. Dan tentu saja soal kedua pertemuan tak terduga kita tempo lalu.

Percakapan yang tidak kami sadari menumbuhkan sesuatu yang begitu  ganjil. Sesuatu yang tidak bisa saya jelaskan. Absurd.

Dan kenangan tak jarang berbentuk absurd. Karena ia berada di ruang ketidaksadaran. Sebuah tempat yang menuntut kita kadang melupakannya, menutupnya,  sedalam-dalamnya.

“Saya pernah mengalami kenangan yang begitu buruk,” kataku,”dan barangkali kamu juga pernah mengalami peristiwa serupa. Kenangan yang membuatku tidak bisa sedikitpun untuk membukanya. Dan perihal cinta yang belum sampai pada kisah yang terdahulu, saya begitu takut untuk membuka ruang itu lagi. “

Kamu hanya diam.   Tatapan matamu sendu, nanar.

“Saya kerap mencoba belajar untuk memahami itu semua. Saya pernah jatuh pada rasionalitas yang begitu tinggi perihal hubungan antar manusia. Begitu halnya dengan cinta. Tapi beberapa hari ini ada orang yang membuat rasionalitas saya tampak lunglai.

Ia orang yang tidak pernah saya kenal sebelumnya. Tidah pernah saya bayangkan sebelumnya. Dan sebuah pertemuan yang tidak kita duga. Tiba-tiba ia datang, dan menumpulkan nalar saya.”

Malam itu begitu dingin. Karena hujan, katamu. Tapi saya merasa begitu menggigil. Saya lupa kapan terakhir merasakan gigil yang seperti ini. Dan saya yakin, ini bukan dingin karena hujan an sich.

Ada gigil yang lain, gigil yang tidak pernah bisa terjelaskan.

“Jadi, bagaimana soal percakapan yang belum selesai itu?” tanyamu, parau.

Lalu kamu mulai bercerita tentang lukamu, luka kita.

Sebuah kisah yang tiada mungkin bisa saya ceritakan. Sebuah luka yang menuntut orang sepertimu untuk mengindahkan semua. Sebuah rasa yang sudah kamu tutup, dan dikunci begitu rapat.

Kita semua pernah mengalami luka, dan kita pernah sama-sama dikoyak-koyak sepi, seperti kata Chairil. Sunyi,  kataku.

Satu hal lagi yang saya pelajari tentang kenangan. Ia adalah sejenis luka, yang menuntut kita untuk tidak lagi mengingatnya.

***

Denting hampir mendekati pukul 12 malam. Jogja sudah mulai sepi. Jalanan pun hanya hanya beberapa pengendara saja yang lewat.

Andai Jakarta dan Ciputat seperti ini, maka saya akan begitu betah tinggal di sana. Dan nahas sekali, saya harus tinggal di sana sampai waktu yang belum ditentukan, dan dalam tempo yang belum pernah saya pikirkan.

Saya tetap harus berterima kasih dengan kota itu. Karena di sana pula saya mulai belajar banyak tentang kehidupan. Dan di kota ini pula saya bertemu denganmu, Ta. Setelah sebelumnya bertemu kamu dalam dunia maya. Itupun hanya berupa kabar, tak ada rupa.

Biasanya dalam sebuah film yang romantis, seorang lelaki akan mengantarkan perempuan ke rumahnya. Lalu mereka akan saling bertukar pandang sebelum sang perempuan membuka pagar rumah, serta melambaikan tangan penanda perpisahan.

Namun malam itu sebaliknya, saya harus memintamu untuk mengantarkan ke kawanku @che_udin di sebuah daerah di Monjali, di sebuah klinik berbahaya tempat kumpulnya anak muda revolusioner dan berbahaya, klinik EA, markas mereka yang saya kenal di dunia maya.

Iya, kamu tentu masih ingat bukan? Saya pernah berkata dengan agak filosofis tatkala kita melakukan perjalanan thawaf mengitari Vanderburg untuk melakukan perjalanan paling epic yang dilakukan manusia; perjalanan mencari toilet. Dan kita tidak menemukannya sepanjang jalan.

hujan, rintik dan perjalanan. 


Saya curiga jangan-jangan ini hanya akal bulusmu untuk bisa berjalan bersama, menikmati sunyi malam hari, berdua. Entahlah, hanya kamu yang bisa menjawabnya.

“Ta,” kataku saat kita berjalan beriringan.

“Iya,” katamu sembari mendongakkan kepala ke arahku.

“Ketika dua manusia bertemu dan ada jalinan intuisi yang begitu kuat antara mereka. Maka saya begitu yakin, pertemuan pertama hanya akan menimbulkan bayangan. Karena belum tentu mereka akan bertemu lagi.

Dan apabila mereka bertemu untuk kedua kalinya tanpa diduga. Yakinlah bahwa pertemuan kedua hanya akan menimbulkan kenangan. Andaikata jika mereka bertemu untuk ketiga kali, maka hanya akan menimbulkan rasa rindu.”

“Lalu.”

Saya menghela napas.

“Dan intuisi saya berkata bahwa saya mengalami ketiganya. Dan saat ini saya rindu. rindu inilah yang akan menyatukan kita.”

Kami pun berjalan. Malam  bertambah malam. Gigil makin menjadi. Kita pun mulai bercanda sepanjang jalan.

Oh ya, Ta, surat ini kok menjadi begitu panjang. Saya tidak tahu kapan bisa mengakhirinya.

Begitu panjang. Seperti perjalanan kita malam itu. Kamu mengajakku untuk berkeliling Jogja, malam hari, sembari mengantarku ke markas Klinik EA, menemui kawanku asal Bojonegoro, @che_udin.

Kamu tahu saya memang pernah ke Jogja, dan belum pernah berjalan malam hari, denganmu.  Maka kuambil motormu yang diparkirkan, dan kita berjalan.

Kamu marah ketika saya mengendarai motor dengan begitu kencang. Pelan-pelan saja, kita nikmati malam ini, katamu sembari mencubit perut saya yang membuncit ini beberapa kali. Dan kita tertawa lepas bersama.

Kamu bilang cuma lima kilo meter saja, tempatnya, tapi saya curiga untuk kesekian kali, ini adalah akal bulusmu untuk tetap bersamaku. Karena lima kilo tentu begitu dekat dengan tingkat sepinya yang jalanan seperti ini.  Dan tampaknya kamu berhasil menipuku, saat itu. Hebat.

Di sela-sela perjalanan itu, kamu bercakap tentang sesuatu yang membuat semuanya begitu berubah. Momen yang membuat saya melupakan kenangan-kenangan masa lalu.

Saya tidak perlu menceritakan kepadamu, bukan? Tentu kamu tidak perlu menceritakannya padaku. Karena kita mengalami. Kita yang merasakan.

“Jadi bagaimana kita,” tanya saya tepat di depan markas @che_udin dkk.

Ia tersenyum.

“Kalau begitu, kita toss.”

Saya lemparkan tangan kananku, dan ia menyambutnya. Toss…

“Ih, kamu nggak romantis sekali sih,” katamu sembari tersenyum simpul. Manis.

Saya hanya ketawa. Dan kawanku, Udin, ikut tertawa. Entah ia mengerti atau tidak. Semoga saja tidak mengerti. Saya tidak bisa berpikir apa-apa waktu itu, dan ketika malam kami berbincang sembari sesekali diskusi agak serius dengan Udin, Wisnu, Azhar dkk perihal Marxisme Cina, buruh dll, momen ini tidak membuat nalar saya tergerak untuk larut.

Entah kenapa, padahal selain sepakbola, diskusi adalah ibadah suci yang tidak boleh terlewatkan. Jika terlewat, maka saya pastikan hari itu saya akan mengalami hari yang begitu suram. Sesuram hari sabtu-minggu tanpa tontonan bola. Menyedihkan. Apalagi mereka adalah kawan yang acap bertemu di dunia maya. Sebuah kesempatan langka, seharusnya.

Maafkan, kawan!

***

Saya memang tidak romantis, katamu.

Oh ya, kabar saya baik-baik saja di Ciputat. Saya sampai lupa memberitahumu. Rutinitas kembali  menyita, dan entah kenapa ada daya yang membuat saya kembali menemukan sisi puitik yang telah lama menghilang. Salah satunya adalah saya kembali menulis puisi, setelah sekian lama meninggalkannya. Kabar baik, tentunya.

Dan inilah suratku. Tidak romantis, barangkali. Semacam surat yang belum selesai, dan memang tidak akan pernah selesai. Ia membutuhkan kita untuk menyelesaikannya.

dan hujan adalah pengganti rindu yang paling purba. 

Surat ini tidak akan pernah berhenti, Ta. Seperti juga pertemuan yang ketiga kita di tengah bulan itu, barangkali surat ini sebagai pewarta. Pewarta rindu.

Pertemuan kita tidak akan berakhir, dan percakapan kita tidak akan pernah selesai. Kira-kira begitu.


@Dedik Priyanto

Ciputat, 21 Oktober 2012

Rabu, 03 Oktober 2012

Sebuah Pertemuan dan Percakapan yang Belum Selesai

Tugu Jogja

Ada tiga kota yang membuat saya begitu tertarik untuk menghabiskan waktu di sana berlama-lama. Ketiga kota itu adalah Bojonegoro, Ciputat dan Venesia.

Kota pertama adalah tempat saya menimba serat-serat ilmu, bercengkerama dengan keluarga, serta menghabiskan lebih dari 10 tahun hidup menghirup udara sejuk pedesaan.

Kota kedua merupakan lembah pengembaraan. Kota yang membuat nalar bawah sadar saya begitu yakin akan ragamnya dunia. Indonesia adalah bagian dari Ciputat. Maka yakinlah, Indonesia akan terus berdiri tegak jika Ciputat tidak ada yang merusak.

Dan Venesia… Ah, saya hanya bisa membayangkan kota  lewat imajinasi. Saya dan Venesia adalah perpaduan kepercayaan. Saya percaya bahwa nanti saya pasti akan pergi Venesia. Dan tentu kota air di pinggiran Italia itu begitu yakin suatu hari dikunjungi oleh orang Bojonegoro ini.

Kepercayaan ini tertancap begitu saya di benak dan hati saya sejak lama. Barangkali merupa iman dalam narasi agama-agama, atau datangnya ratu adil bagi masayarakat Jawa.  Bukankah keyakinan kadang-kadang hadir tanpa membutuhkan sebab?

Ada sebuah kota lagi yang membuat saya begitu tertarik. Sekadar menikmati secangkir kopi, menghisap batang-batang kretek, berdiskusi dengan kawan-kawan lama, atau sekadar jalan-jalan. Sudah beberapa kali saya ke sana. Dan beberapa kali itu pula saya merindukannya. Kota itu adalah Jogjakarta. Kota dengan jutaan wajah, jutaan peristiwa, dan jutaan cerita.

Dan pada kota ini pula percakapan bermula, lagi.

“Berarti kamu tinggal di Jogja yah,” tanya saya kepada perempuan berbaju putih lengan panjang.

“Ya, Iyalah,” jawabnya singkat.

Saya menganggukkan kepala.

“Masak iya tinggal di sini, “ tambahnya riang sembari menunjuk bawah.

Ia memakai kerudung pink pendek. Berdiri tidak jauh dari tempat saya. kira-kira 5 meter dari tempat saya berdiri. Sesekali ia bercakap dengan teman-temannya. Tangannya mengenggam sebuah ponsel smartphone. Tas kecilnya ia selampangkan dari kanan kiri, sama seperti saya meletakkan tas mungil saya.

Beberapa kali pula ia meninggalkan samping kiri panggung. Tak lama kemudian kembali lagi. Entah apa yang dikerjakannya, tentunya sebagai panitia inti di acara, ia harus siap sedia. Dimanapun, kapanpun. Perempuan hebat, pikirku.

***

Panggung Ziarah Budaya #1000HrGD di TIM itu tampak begitu megah. Desain Morenk yang menghiasai latar panggung yang dianggit Mas Aan dkk itu tampak elegan. Ditambah dengan kalimat menggelitik yang menjadi tema acara; Menggerakkan Tradisi,  Meneguhkan Indonesia.

Tentu membuat acara yang demikian besar ini membutuhkan energi yang tidak sedikit. Penat dan lelah tentu menjadi bumbu  yang menguatkan para anak-anak ideologis Gus Dur ini untuk menyajikan yang terbaik untuk mereka yang sudah merelakan akhir pekannya di acara ini.

Tiba-tiba saya teringat guyonan khas Gus Dur. “Gitu aja kok repot.”

Gus Dur memang bikin repot. Walau beliau telah meninggalkan kita 1000 hari yang lalu, beliau beberapa hari ini telah merepotkan begitu banyak orang. Termasuk hari ini. Namun anehnya, yang direpotkan malah tampak begitu gembira. Begitu bahagia.  Menakjubkan, Gus.

“Duduk di sini aja,” ajaknya sembari menempatkan tubuhnya di bawah layar.  Duduk di pelataran karpet berwarna merah.

Saya melihat pendar dalam matanya. Ada sesuatu yang memancar di balik senyum itu.

Saya mendongakkan kepala atas, sesekali meliriknya. Sudah begitu lama saya tidak melihat bintang di langit Jakarta. Saya curiga jangan-jangan para bintang memang sengaja walk out dari langit Jakarta. Atau barangkali mereka juga sedang duduk di antara penonton menyaksikan pagelaran budaya malam ini. Entahlah.

Dari mata itu pula saya menemukan bintang. Di senyum itu pula saya menemukan cahaya. Dan saya memang salah. Ternyata hari ini adalah purnama. Pantas saja tidak ada bintang, pikirku.

Tapi apakah purnama ini membuat para bintang enggan menampakkan cahayanya?

Saya kira juga tidak. Atau kalau merujuk ke agak teori; asap dan polusi Jakarta yang membuat bintang tidak tampak pada tiap malam. Atau jangan-jangan pendar cahaya dan sinar yang memancar dari senyumn perempuan  itu yang membuat bintang tiada.

Barangkali saya hanya bercanda.

”Nonton dari sini lebih menarik deh,” ajak perempuan itu membuyarkan lamunan nakal saya.

Saya hanya tersenyum. Tidak mengiyakan, tidak juga menolak. Barangkali dia lupa. Ukuran tubuh saya yang menjulang setinggi 175 cm dengan bobot hampir setengahnya tentu tidak mudah untuk duduk, dan secepat kilat harus berdiri kembali. Atau barangkali dia sengaja menyindir saya seperti pelawak saling sindir dan kemudian tertawa bersama-sama.

Ia tampak begitu girang malam itu. Layar berukuran jumbo itu menyuguhkan tampilan yang utuh. Tentu ini lebih baik, terlebih bagi kami yang menonton dari samping panggung dan disibukkan dengan rundown acara. Sedikit hiburan sudah cukup.

Kesuksesan acara tentu menjadi tujuan. Namun tersebarnya ide akan kebersamaan, persaudaraan, dan perdamaian adalah inti dari peringatan ini. Sebagai penanda, sebagai penolak lupa bahwa kita adalah satu; Indonesia. Salut, kawan-kawan Gusdurian.

***

Pertemuan yang biasa tentu akan menimbulkan percakapan yang biasa. Namun pertemuan yang ganjil, tatapan yang ganjil, dan tentu saja senyuman yang ganjil akan menimbulkan pemaknaan yang ganjil pula. Saya harap pertemuan itu menjadi pertemuan yang ganjil. Namun yang terjadi adalah pertemuan biasa.  Tidak ada yang istimewa, belum ada yang bisa dibilang ganjil. Semua berjalan begitu saja.

Selepas acara itu, kami melangkahkan kaki bersama ke sebuah café. Tentu bukan pertemuan yang ganjil, karena kita berjalan bersama-bersama. Bukan berdua. Dan tentu cerita-cerita yang berbeda. Pasti percakapan-percakapan itu akan saya tuliskan, nanti. Entah di sini, atau di catatan-catatan pribadi. Tiap detik begitu berharga, bukan?

Percakapan yang biasa, dengan guyonan yang tentu juga biasa. Di sebuah café, kami bercanda, bercakap dan bergurau bersama. Saya memandang beberapa lukisan yang terpajang. Mengedarkan pandang.

“Old Gringo ada nggak mbak?” tanya saya pada pelayan café itu.

Ia terkaget.  Digelengkanlah kepala berambut hitam pekat itu.

“Pasti nggak ada,” tandas saya. Ia tambah kebingungan. Ia pun membolak-balik daftar menu yang ia bawa,lagi.

”itu novel Carlos Fuentes kok, pasti nggak ada,” canda saya sembari tertawa.

Perempuan yang mengenakan baju hitam dan putih itu tersenyum. Pasti pelayan itu begitu capek, pikir saya, dan semoga  senyum itu sedikit membantu melepaskan ketegangannya malam ini.

Lalu kami pun saling memesan minuman dan makanan masing-masing. Ada pelbagai makanan dengan nama asing. Sumpah, andaikata saya disuruh memilih, tentu saya akan lebih menikmati secangkir kopi di pinggir jalan. Minimal namanya tidak sesusah daftar menu yang terpampang di sini.

Saya pesan minuman hangat, dia dingin. Kami saling mencicipi pesanan masing.

“Hmm… Lebih cocok minumanku, lebih enak, ” selorohnya. Saya mengiyakan.

Gojlokan demi gojlokan saya terima, dan barangkali ia serupa.  Kami duduk berlima. Tepat di samping pintu. Ia duduk menghadap ke utara. Di atasnya ada sebuah sketsa. Sketsa tentang Gambir tahun 20-an. Saya duduk begitu dekat dengannya.

Saya menghadap ke timur. Di depan saya perempuan berkacamata asal Pati, adiknya Savicali, saya lupa namanya. Di  samping perempuan itu Mbak Rahma, dan seorang pria berjanggut dengan blangkon Jawa, itulah Jay, alumnus Filsafat UGM, entah berapa tahun yang lalu.

“Kalian itu cocok. Nah, bagaimana? Kita doakan di 1000 hari Gus Dur ini,” tukas Jay bercanda setelah bosan terus menjodohkan-jodohkan kami. Barangkali inilah derita seorang yang tidak punya kekasih, rela dihina dan sebagai pesakitan kena gojlokan.

Saya memalingkan muka kepadanya. Ia pun sama. Kami saling pandang. Saya pikir tidak ada sesuatu. Dan pasti tidak akan pernah sesuatu. Karena ini memang bercanda. Tapi, saya salah. Mungkin ada sesuatu. Barangkali.

Saya diam. Mereka tertawa semakin renyah.

“Bagaimana, Ta, kapan kita? he… he… ” canda saya. Ia hanya tertawa terbahak-bahak.

Entah kenapa, nama panggilan dari perempuan itu mengingatkan saya pada sebuah film klasik yang hingga saat ini begitu membekas dalam benak saya. Khususnya tentang akhiran kata “ta” yang entah kenapa membuat saya teringat cara Nicholas Saputra memanggil Dian Sastro dalam film Ada Apa Dengan Cinta (AADC).

”Ta… cinta,” kata Rangga.

“Ta… tata,” panggil saya, barangkali.

***

Empat hari telah berlalu, perbincangan demi perbincangan terus berjalan. Percakapan telah dimulai dari sebuah malam yang biasa. Tidak saling ketemu, tidak saling bertatap muka. Hanya dunia maya yang  membantu kami bertegur sapa.

Mulai dari persoalan tulisan yang bertajuk ‘saya, #1000HrGusDur, tentang ketidaksadaran saling menghubungi via pesan singkat, dan tentang ketidaktahuan saya akan sebuah film. Semua berlalu begitu saja. Tapi detik ini tidak boleh lewat, pikirku.

“Entar malam aku balik ke Jogja. Mau ikut?” tulisnya dalam sebuah pesan pendek.

Saya diam sebentar. Saya memutuskan jalan kaki ke warkop terdekat. Memesan kopi item . Mata saya nyalang menyaksikan mahasiswa-mahasiswa yang lewat. Entah apa yang mereka pikirkan saat ini. Sedang otak saya memikirkan jawaban apa yang sekiranya pas untuk menjawabnya.

Tiba-tiba tangan saya tergerak dengan sendirinya.

Barangkali inilah ketidaksadaran seperti yang ia cakap beberapa saat lalu. Dan  acapkali kita memang harus percaya itu, pikirku.

“Yuk. Andai saya bisa ikut. Kita bisa bercakap banyak ragam,” tulis saya.

Waktu seakan berhenti. Saya kembali ke kontrakan.

Lamat-lamat saya mendengar dendang lagu Klasik Katon Bagaskara tentang Jogjakarta..”Pulang ke kotamu, ada setangkup haru, dalam rindu…

Ciputat hujan, saya hanya bisa memandangnya dari jendela kamar. Langit kian muram.

Apakah saya rindu? Entahlah

Ciputat-04-10

@DedikPriyanto