Tendang, Terjang, Hadang

Kamis, 27 Desember 2012

Sekali Lagi Tentang #10Hourstogetyouback

Untuk sahabat saya, Farabi dan Shofi
Abi dan Shofi saat di New York. Foti diambil di linimasa #10hourstogetyouback
Saya barangkali akan mengalami pagi seperti biasa; menyeduh air dan menjerangkannya pada gelas berisi teh hangat tanpa gula,  menyimak dan menerjemahkan pelbagai berita bola dari manca dan mengumpulkan kantuk yang entah kapan meninggalkan saya jika malam tiba.

Namun pagi ini ada sebuah twit dari @shofiawanis: Yang penting kamu di sini sekarang :’). Sontak saya terkaget. Lalu saya mention mahasiswi Singapura ini: @DedikPriyanto: @shofiawanis abi di Jogja jeng? Ia menjawab sederhana: @Shofiawanis: @DedikPriyanto: Iya :’)

Tiba-tiba ingatan saya tergerak pada hestek #10hourstogetyouback. Sebuah narasi epik yang membuat manusia-manusia mengernyitkan dahi, lalu terpekur sejenak dan sejurus kemudian tertawa nyinyir.

Saya sendiri akan bersikap serupa jika tepat di tanggal itu, 23 Oktober 2012, mendapatkan informasi perihal kegaduhan yang kala itu saya anggap keisengan anak-anak kelas menengah alay Jakarta yang kurang kerjaan, atau celoteh para selebtwit yang tak jelas gunanya di linimasa yang begitu riuh itu.

Sekali lagi saya salah. Kira-kira satu atau dua minggu setelah tanggal itu saya bertemu dengan Farabi di kampus. Di sebuah siang yang ranum. Ketika menyimak toga yang berkeliaran di kampus, jepret kamera yang entah lebih banyak mana dari orang yang sedang bernafas kala itu, dan tentu saja pertanyaan-pertanyaan klise soal wisuda yang saya anggap angin lalu. Ah, tapi saya tidak ingin membahas itu.

Saya bertemu dengan Abi setelah sekian lama tidak berjumpa dengan kawanku satu itu. Semenjak saya lebih suka di luar kampus dan hanya sesekali saja nongkrong di kampus 1. Abi bergelut dengan komunitas jurnalismenya, Djuanda, sedangkan saya sesekali demo dan menjadi buruh sebuah media.

Kami pernah begitu dekat, tapi kami merasa seringkali jauh. Saya kangen menghinanya tubuhnya yang ringkih itu. Yakinlah, andaikata Abi dijatuhkan dari helicopter, anda tidak perlu risau. Tubuhnya yang ringan akan terbang bersama angin.

Abi begitu berbeda dengan saya. Barangkali ia sadar itu.  Mulai dari persoalan ideologi, cara pandang terhadap persoalan dan tentu saja pergaulan.

Saya dan Abi hanya bisa disatukan oleh kecintaan kami pada dua bidang, Literasi dan Jurnalisme. Bahkan beberapa kali saya menulis buku sastra bersamanya. Saling memaki malam hari jika deadline kian memburu, sedang penerbit yang meminta seperti ibu kosan yang menteror jika kami telat bayar bulanan. Saya yakin Abi tidak pernah mengalami  ini.

Laiknya dua karib yang tiba-tiba bertemu tanpa diduga, maka di siang itu hinaan terlontar dari kedua mulut kami seperti tukang kredit yang entah berapa busa yang ia hasilkan untuk meyakinkan calon pembeli. Juga pertanyaan-pertanyaan soal Buku dan cinta.

Jangan lagi anda tambahkan dengan pesta. Saya tidak mau glorifikasi masa lalu seperti para pendukung Liverpool yang selalu membincang  masa sejarah tanpa tahu nikmatnya hari ini, atau mahasiswa-mahasiswa yang begitu terperangah denggan generasi '66 dan '98 yang konon reformis dan revolusioner itu.

Saya selalu menganggap urusan hati sebagai persoalan paling privat manusia setelah agama. Mereka selalu tahu jalannya masing-masing. Tak perlu  dipaksa ataupun dilarang. Keduanya selalu selalu bergerak dan tak jarang membutuhkan logika untuk penjelasannya.

Seperti halnya agama, selalu ada jalan bagi hati yang dipilih  untuk mengenal cinta.

Saya mengalami itu dan telah memulainya pada bulan Oktober lalu, tepat tengah bulan di Jogja, selepas bertemu hanya dua kali pandang mata dan tanpa banyak bicara.

Cinta bagi orang yang lupa kapan terakhir melihat senyum indah dari seseorang tentunya akan membuatnya seperti anak kecil yang mendengar bisikan kedatangan jagoan imajinatifnya yang datang ke kampung sebelah. Entah itu benar atau tidak, tapi ia akan begitu yakin dah mengejarnya, berlarian tanpa memakai alas kaki, dan tentu saja siap dianggap gila.

Lalu lewat #10hourstogetyouback yang begitu sedikit diceritakan Abi di siang itu, saya gelisah menelusuri jagat linimaya perihal mereka.

Saya tidak habis pikir, bagaimana seorang bisa mencintai sebegitu besarnya dan meminta maaf dalam rentang 10 jam dari Singapura ke Jakarta? Astagfirullah—siapa pula yang memasukkan kalimat ini di catatanku.

Saya  memang melakukan hal gila ketika Jogja waktu itu, untuk menemui seseorang yang sebelumnya tidak pernah saya kenal, dan hati saya begitu yakin akan menemukan cinta di sana. Namun saya akan berpikir seribu kali jika harus mengejar cinta seperti yang dilakukan Shofi untuk Abi; melintasi dua negara, dan menantang semesta untuk merestui perjalanan  selama 10 jam yang melelahkan itu!

barangkal rumput itu kelak menjadi saksi, cinta memang selalu punya jalannya sendiri.


Saya begitu sentimentil jika berbicara cinta. Kita boleh berdebat apapun tentang agama, ideologi dan sepakbola, tetapi untuk urusan hati, lebih baik anda sendiri yang menafsirkannya. Bukankah Shofi telah membuktikan bahwa logika kerap salah menilai cinta?

Pagi ini Abi menginjakkan kaki di Jogja dan menemui Shofi. Entah kenapa intuisi saya berkata bahwa ini pertemuan pertama mereka setelah tanggal 23 Oktober itu di Jakarta.

Jarak memang menjadi masalah bagi mereka-mereka yang tidak percaya akan kekuatan cinta, namun jika kamu yakin bahwa  muasal masa depan itu terbuat dari hati manusia yang jauh, yakinlah tidak ada jarak ataupun masa. Konon Adam dan Hawa dipisahkan di setengah dunia dan cinta mereka tetap bertemu, bukan?

Mereka bertemu di Jogja? kenapa ada Jogja di antara kita!

Saya tidak tahu dari apa kota ini terbuat. Barangkali dari serpih rindu mereka-mereka yang pernah datang,  atau puisi para penyair yang lupa dibawanya kembali ke kampung halaman, atau jangan-jangan ada magnet yang membuat kenangan-kenangan di sana tidak bisa dibawa pulang?

Pastinya, saat menciptakan kota itu Tuhan sedang tertawa menyaksikan begitu banyak rindu dan kenangan yang berserak di sana. Bahkan saya acapkali curiga, jangan-jangan Tuhan sedang merindukan seseorang atau sesuatu kala menciptakan Jogja. Entahlah...

Buat kalian berdua, cinta selalu menemukan jalannya sendiri. Namun saat ini ia bersembunyi dan menunggu kalian menjemputnya lalu berjalan beriringan menuju tujuan yang kalian inginkan. Kira-kira begitu.

Ciputat, 28/12
@DedikPriyanto

Baca juga :




Selasa, 18 Desember 2012

Catatan


“Sepakbola adalah penenang bagi mereka yang membangkang. Sebagai candu bagi hidup yang kian memburu. Seperti lagu yang tak butuh kata setuju."

Selasa, 04 Desember 2012

Saya Meninggalkan November



Saya meninggalkan November dengan perasaan tak menentu, kalut, cemas dan sedikit muram. Ada jejak yang membuat saya seperti seorang anak kecil yang tiba-tiba saja menyaksikan jagoannya mati dikalahkan para monster dalam serial Power Rangers, atau seorang supporter yang tertipu tiket bodong dan membuatnya gagal masuk ke stadion.

Beruntung ada hujan yang terus datang tanpa pernah diundang sebelumnya, beruntung pula saya mendapatkan dekapan hangat jemari mungil seorang perempuan  pada sebuah malam. Saya memang beruntung. Keberuntungan memang tidak perlu dicari, namun percayalah tidak ada yang lebih beruntung selain meninggalkan November tanpa rutukan.

Harusnya saya bisa menikmati hujan pada bulan ini. Hujan yang tiap tetesnya menyimpan seribu puisi yang tidak bisa dimengerti. Apabila salah satu dari anda menemukan seseorang dengan pakaian lusuh, celana compang-camping, rambut yang tak terurus dan sedang berdiri tak jauh  dari dekat anda, maka sesekali anda harus menegurnya.

Takutnya jika lelaki itu tiba-tiba menyeberang jalanan dan seketika itu pula ada mobil yang menabrak, maka bisa dipastikan anda sebagai tertuduh karena berada di dekatnya.

Kalau toh tidak ditangkap kepolisian, maka saya bisa pastikan nama anda diburu oleh para pewarta berita yang menginginkan laporan ekslusif tentang narasi “matinya seorang muda potensial, penulis kambuhan, dan mahasiswa lawas akibat kelalaian seseorang di pinggir jalan.”

Ah, itu cuma berandai. Sedikit bermisal-misal pun tak apa asal tidak merugikan nasab dan tentu saja kantong anda sebagai pembaca.  Dan harusnya pada November yang diberkahi hujan—lengkap dengan—cerita asmara harusnya menjadi perisitiwa yang subtil, agak epik, dan berharap bernas. Sedikit melankolis, tentu saja dibolehkan.

Saya meninggalkan November dengan nada cemas, seperti lengkingan Idris Sardi yang begitu purna pada lagu Juwita Malam. Kadang kala suram yang begitu tidak enak untuk dikatakan laiknya seorang pembeli di sebuah kafe yang kecewa pada makananan yang tidak sesuai antara nama dan rasa. Tak jarang, merupa rintik air yang tidak terdengar walau tak ada hujan yang menyeberang.

November pula yang membuat saya mengerti arti kematian; kehidupan baru yang mungkin akan dipenuhi senyum. Pada seorang renta yang telah beberapa purnama lagi akan menginjak seratus tahun kesunyian. Bertemu dengan kefanaan selepas bosan pada dunia.

Saya rindu sosok ini, dan kematian yang diidamkan dengan senyum mengembang para pelayat. Juga pada doa-doa yang didaraskan oleh manusia-manusia yang datang sepanjang malam. Lalu sejurus mantra yang acap dibunyikan oleh ratusan pendatang.

Ada juga pada November, yang mengisahkan perjuangan pada seorang guru yang kepadanya saya mencari arti pengabdian. Namun pada sebuah sore, saya mendapatkan pesan singkat tentang kematian tentangnya.

Apakah November selalu berarti kematian?

Saya meninggalkan November dengan sendu, dan berharap menikmati bulan hujan lagi pada bulan ini; Desember.

Saya meninggalkan November. Sudikah kau kemari menemaniku menikmatiku menyimak hujan yang turun dari balik jendela.

Saya melihat mendung di atas sana. Lamat-lamat, saya mendengar lengkingan suara fals dari Cholil Efek Rumah Kaca  …selalu ada/ yang bernyanyi dan berelegi dibalik awan hitam/ Aku selalu suka/ sehabis/ hujan di bulan Desember(Desember, 20 08 self title)

Ciputat   1  Desember 2012
@DedikPriyanto