Tendang, Terjang, Hadang

Minggu, 27 Januari 2013

Catatan Pendek Perihal Film Catatan Harian yang Tak Berumur Pendek

Saya bukanlah generasi 80-an yang akrab dengan Film Catatan Si Boy yang menyuguhkan roman Onky Olexander, Dide Petet, Meriam Bellina dll. Walaupun, harus saya akui, saya suka segalayang berbau jadul hingga saya beberapa kali nonton film ini. Baik kala kisahnya di Indonesia maupun kala berpetualang ke Amerika.

Saya pun mengakrabi jalinan cinta antara Nuke, Boi dan juga kisah kocak Emon. Sama halnya saya menyukai film Lupus atau yang lebih klasik lagi macam Gita Cinta dari SMA, Puspa Indah Taman Hati, Taxi atau segala jenis film dari Rano Karno dan Yessy Gusman. 

Baiklah, saya tidak ingin berpanjang-panjang dengan kebanalan saya ihwal jadul dan sanak saudaranya itu. Saya hanya ingin berkomentar pendek perihal sebuah film yang mengingatkan saya perihal film Catatan Si Boy yang legendaris itu.

Tidak usah ditanya, kamu pasti sudah menonton film Catatan Harian Si Boy (2011) dan sekali lagi, saya selalu telat dengan film jaman sekarang. Tolong jika kamu (siapapun itu) jangan mengejek saya perihal ini.

Bagi saya, film ini cukup menarik sebagai daya antar ingatan dan menyimaknya sebagai sebuah film. Sekali lagi sebagai sebuah film. Bukan sebagai romansa menziarahi masa silam atau sekadar melankolia yang mengingatkan pada Boy.  Film adalah cerita.

Jika toh itu benar, maka saya perlu mengacungkan dua jempol film ini dan akan memasukkannya dalam salah satu folder film Indonesia yang bagus dan layak diapresiasi seperti halnya film pop Indonesia kontemporer berjenre serupa macam AADC (2002), Ungu Violet (2005), Catatan Akhir Sekolah (2007)  dan 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta (2011).

Gaya bertutur film ini saya rasa cukup bagus. Tidak salah, saya melihat ada Salman Aristo, Joko Anwar dan sederet nama populer lain. Apakah ini jaminan mutu?

Saya kira dengan reputasi yang ada, mereka akan membuat film dengan teknik bercerita yang tidak hanya unggul dalam bertutur, tapi kerap jenaka dan tidak terkesan sedikitpuun untuk berjumawa.

Sama halnya dengan karya sastra unggul dalam cerita semisal Tortilla Flat (John Steinbeck) The Adventure of Huckleberry Finn (Mark Twain) atau RDP (Ahmad Tohari). Karya yang bagus tidak pernah menggurui, ia akan menceritakan dirinya sendiri dan pembaca akan terhanyut di dalamnya.

Film ini berkisah soal catatan harian yang ditinggalkan Boy—jika kamu menonton filmnya, pasti tahu bahwa Boy suka mendaraskan mengisi catatan harian—dan kala Nuke sekarat, catatan harian itu bisa saja menyelematkan nyawa Nuke.

Maka Tasya, anak dari Nuke berkeinginan untuk mewujudkannya.  Hingga ia bertemu tidak sengaja dengan Satrio di kantor polisi.

Mereka berdua mencari dan cerita dimulai dari sosok Boy  dari jejak yang ditinggalkannya di catatan harian. Termasuk menemui Nadia dan Emon.

Yang paling kental di sini adalah kisah persahabatan, dan tentu saja cinta. Coba simak kutipan si Boy ini.

“Gua selalu percaya bahwa teman adalah anggota keluarga yang kita pilih dan keluarga adalah nasib yang harus kita terima.”

Saya kira dengan kutipan ini, jelas bahwa cerita dalam film ini sebenarnya bukanlah persoalan cinta semata.

Lebih dari itu adalah jalinan perkawanan yang terkadang subtil, penuh guyon dan terkadang nyinyir.
Lagi-lagi perlu saya terakan, film ini bagus dalam segi penceritaan dan sekali lagi mengingatkan saya—dan bisa jadi kamu juga—bahwa kita harus keluar dari zona nyaman dan sebisa mungkin mempercayai persahabatan laiknya kita mempercaya diri sendiri.

Sekali lagi dan ini yang penting: jangan pernah meninggalkan catatan harian kepada kekasih kamu, jika tidak mau 20 tahun mendatang ada yang menyelidiki dan mencari tahu siapa jati diri lawasmu. Salut!

Ciputat 27/1/13
@DedikPriyanto




Persoalan Jatuh Cinta


Persoalan jatuh cinta memang pelik, membingungkan dan terkadang muram. Mirip-mirip kentut. Terkadang keras membahana dan tidak memberikan bau dan serta rasa apapun kecuali rasa jengkel mereka yang duduk di dekat kamu.  Tapi tak jarang tak bersuara, diam, dan tiba-tiba efeknya merupa bom yang memiliki dampak yang besar. Entah bagi dirinya, terlebih orang lain.  

Dua hari lalu kawan saya bercerita bahwa persoalan cinta ini begitu rumit. Ia sukar jatuh cinta dengan orang lain. Konon menurutnya, agama itu suci dan tidak segampang yang dipikirkan banyak orang. Namun ia kini mengerti, dari kesemuanya itu, satu hal yang paling suci di dunia hanya satu, Cinta.

Kawan saya ini adalah penggemar film dan selepas menonton film apapun itu jenisnya, pasti ia berkisah dengan mimik peresapan yang sulit tertandingi, susah untuk saya deskripsikan. Kamu tahu muka Yamcha saat bertemu Bulma atau perempuan lain di Dragon Ball? Kira-kira tidak jauh mukanya.

Apalagi jika film itu bertemakan hubungan antara manusia. Maka bisa dipastikan, beberapa hari berikutnya orang yang berada di dekatnya harus segera tutup kuping dan telinga.

Jikalau tidak, bisa dipastikan kamu harus mendengar ocehan tidak jelas dan pelbagai ragam opini yang kerap membuat kuping berdesing seperti bisik-bisik ibu-ibu di pagi hari ketika ada tukang sayur melintas di kompleknya.

Satu hal yang pasti, kawan saya ini kira-kira setahun lalu baru berpisah dengan seseorang yang membuatnya tak mampu berkata apa-apa. Lalu ia kini percaya, bahwa memutuskan jatuh cinta berarti harus berani sakit.

“Itu satu paket. Tak dapat ditawar,” selorohnya.

Beda cerita dengan kawan saya yang satu lagi.

Secara penampilan fisik, ia tak jauh dengan para pesolek di teve rumah kamu. Bedanya cuma persoalan nasib dan persoalan jatuh cinta.

Kawan saya berprofesi sebagai wartawan. Harusnya dekat dengan pergaulan antar manusia—dan lawan jenis—tapi tak membuatnya berpaling dari cintanya kepada perempuan yang pernah mengkhianati.

Saya beberapa kali beberapa kali berbicang dengannya agar segera menyintas dari masa lalu dan segera mengambil jarak dengan hati supaya hidup ini terus berjalan. Tapi beberapa kali pula ia menukas,”Tidak sesederhana itu. Tidak sesederhana itu,” katanya.

Ya, memang persoalan jatuh cinta memang tidak sederhana. Jika toh sederhana, barangkali itu Cuma ada di puisi Sapardi. Tapi tidak disemua hidup harus dengan penerimaan dari orang yang kita cintai.

Tapi kawan saya ini tetap bersikeras untuk tetap hidup dan menziarahi kenangan masa silam. Ia pengemar sastra dari kelas wahid, khususnya soal bacaan-bacaan Inggris.

Saya curiga, barangkali ia mengamini Chairil Anwar.

”Hidup Hanya menunda kekalahan,” tukasnya menyitir Chairil.

Saya hanya bisa diam.

Saya pun menjawab sekenanya. “Lagi pula cinta seperti hujan, kadang jatuh dengan bergegas. Tak jarang datang dengan terburu-buru dan menimbulkan banjir jika tidak segera ditanggulangi.”

Ia hanya tertawa pada obrolan singkat beberapa tempo lalu.

Persoalan jatuh cinta ini juga menjangkiti salah satu kawan saya yang juga penulis cerpen. Ia mengaku 7 tahun lebih tidak membina hubungan cinta dengan seseorang. Ia pun tidak tahu mengapa itu bisa terjadi.

Padahal banyak yang menyatakan suka padanya dan selalu ditampiknya seolah tak ada cinta di dunia ini, yang ada hanyalah bualan. Tapi beberapa minggu belakangan saya melihatnya begitu berbeda.

Usut punya usut kawan saya ini sedang menjalani terapi pribadi soal cinta. Bahkan ia mengaku sedang menjalin hubungan asmara dengan 3 orang perempuan sekaligus.

Saya tertegun dengan pengakuan kawan saya ini.

Terlebih saya tahu, lelaki ini amat jarang membicarakan soal hal yang berkaitan dengan perasaan. Lalu tiba-tiba kami saling berbincang di sebuah sore.

“Elu emang masih aja nyari cinta sejati?” tanyanya.
Saya mendongakkan kepala.

Lalu hanya menjawab singkat.”Iya, Bung, gua masih yakin soal itu.”

“Nikmati aja. Gua sedang menikmati saat ini, balas dendam dari akumulasi kejombloan selama 7 tahun.”

Saya terperangah.

Kawan saya satu ini memang eksentrik dan barangkali hanya dirinya dan Tuhan yang tahu apa yang ia percakapkan, atau jangan-jangan Dia juga tidak tahu?

Dari kesemua keanehan ini, yang tampak nyata adalah, kawan saya ini mulai bersolek: menggunakan deodorant, menyetrika baju dan kerap berlama-lama depan kaca.

Persoalan jatuh cinta memang... Ah sudahlah. Sudahkah kamu kentut hari ini? Maaf, maksud saya, sudahkah kamu mengalami sendiri persoalan jatuh cinta?

Jakarta Sore, 26/1/12
@DedikPriyanto






Selasa, 22 Januari 2013

Kisah Sendu Pasien Buta dan Seorang Perawat

Entah tahun berapa film Fly Me to Polaris ini dirilis. Saya juga tidak tahu, apa yang dirasakan orang-orang selepas menonton film ini. Namun film ini mampu menggerakkan tangan untuk mengirimkan pesan singkat kepada kekasih saya,” I love you.”

Saya merasa sentimentil selepas menonton film yang baru tadi malam saya gandakan ke laptop saya ini. Tak ada kisah romantis di dalamnya.

Barangkali ini yang membedakan dengan film-film bergenre serupa. Hanya ada seorang buta yang kerap dipanggil Onion dan perawat manis yang diperankan Cecillia Cheung dan bernama manis pula, Autumn.

Ceritanya sederhana, seorang pasien buta yang jatuh cinta kepada perawatnya. Begitu juga sebaliknya. Mereka hanya berkomunikasi via huruf Braille dan perhatian yang diberikan oleh Autumn. Hingga pada akhirnya maut memisahkan mereka berdua.

Autumn tidak pernah menyatakan cintanya kepada Onion. Dan pasien buta itu, ah kamu tentu tahu, tidak mudah mengatakannya. Toh dengan keadaan seperti itu, pastinya ia tidak akan berani berkata.

Apalagi di tengah mereka, ada Dr. Woo yang jatuh cinta pada Autumn dan jika ia berkata, hemat saya, ia bisa ditinggalkan oleh Autumn. Tapi lagi-lagi ini adalah sebuah cerita.

Suatu hari, Autumn dan Onion duduk di balkon. Laiknya pasien dan perawatnya, mereka pun duduk berdua dan bercakap-bercakap banyak hal.

Mulai dari mata Onion yang ingin segera pulih kembali, soal alunan indah Saxofon yang tiap malam Autumn dengar—dan tidak pernah tahu siapa yang memainkannnya—juga pastinya soal kesehatan Onion.

Onion mengalami kebutaan sejak usia 8 tahun dan baru pada tahun ini ia bertemu dengan perawat baru untuknya yang bernama Autumn. 

Ia terbiasa dengan catatan-catatan harian berhuruf Braille yang ia simpan rapi di lemari. Lengkap dengan tabungan dan catatan-catatan lawas ia sebelum buta. Tabungan itu dimaksudkan untuk sahabatnya yang ingin mendirikan butik bunga dan ia tidak pernah mampu untuk menunaikannya.

Saat di Balkon itu, Onion dan Autumn melihat ada meteor jatuh. Coba simak dialog ini.

“If you see a meteor gliding accros, what wishes would you make?” tanya Autumn.

Onion tidak bisa melihat dan berbicara. Ia pun memberi isyarat dengan dua jari.

“You have two also.”

Autumn sedikit terkaget karena jawabannya sama dengan yang barusan ia lakukan dan Onion menuliskan sesuatu dengan jarinya di telapak tangan Atumn.

Dengan tertawa,”I know, all the blind people recover. How great. And the second?”

Onion hanya tertawa dan tampak akan menuliskan sesuatu di telapak tangan Autumn. Lalu mereka berdua tertawa, Onion hanya menempelkan kata itu tanpa berkata-berkata apa-apa.

Di posisi ini, kamu tentu saja akan berpikir bahwa kisah ini akan berakhir dengan bahagia laiknya film-film biasa. Namun kisah ini bermula dari sini.

Kembalinya Onion

Ya, onion kembali dalam wujud manusia selepas ia kecelakaan sekembalinya dari balkon. Agak absurd, tapi ia mendapatkan ‘jackpot’ kala hendak melewati stasiun dunia. Ini karena permintaan dari dua hati yang baik hati itu saat meteor jatuh.

Ia kembali dalam tubuh orang lain dan tidak mungkin dikenal orang lain. Termasuk Autumn, Dr. Woo, dan teman-temannya yang lain di rumah sakit. Namun ia hanya memiliki waktu selama lima hari.

Apa yang kamu lakukan jika mengalami hal serupa, kembali tapi tidak ada yang bisa mengenalmu?

Sejak kepergian Onion, Autumn begitu terpukul. Semua orang menganggap ini hanyalah kesedihan seorang perawat yang kehilangan pasiennya untuk pertama kali, tapi tidak sesederhana itu.

Beberapa kali itu pula, Dr. Woo datang untuk menenangkan hati Autumn. Namun tetap saja Autumn saja menangis dan menangis.

Tak ada lagi saxofon tiap malam atau senyum riang Onion yang membuatnya gembira.

Tiba-tiba ia kembali via nama Mr. Cheuk petugas asuransi yang mengurus kematian Onion.  Ia pun menemui beberapa sahabatnya dan pada akhirnya beberapa mengetahui firasat kedatangannya dengan gelagat kelakuan Cheuk yang serupa dengan Onion.

Beberapa kali Onium mengirimkan isyarat kedatangannya—ingat ia tidak boleh memberitahu identitas aslinya—dan Autumn menangkap sinyal itu lewat beberapa kejadian. Salah satunya adalah ketika Cheuk diminta membacakan catatan harian yang berbahasa braille milik Onion di cafe. 
Begini;

October, 1/6/97
Sunny Summit
Dr Woo said its medical reaction. A new nurse came taking care of my day. Her name is Autumn Yue. She is Clumsy. She ‘kept’ saying ‘sorry’. She made a mess but i didnt pick on her. I even feel good about her.

November 2nd, 1997
Rainy Night
Autumn said, she’ll come give me  a hait cut after work. Its rainy so hard, she might not come. She is already 49 minutes late. Feeling dissapointed. I heard foosteps hurrying up. She came and ‘sorry. Im late’. I was thrilled she came. Finally she finished. Le looked like an onion. She stars calling me Onion ever since.


Ada beberapa lagi dan membuat Autumn tak kuasa menahan tangis dan menyuruh Cheuck untuk berhenti membaca. Saya pun tak kuasa menuliskannya lagi catatan harian harian itu di catatan sederhana saya ini. 

Meteor dan Saxofon

Meteor akan selalu mengingatkan Autumn pada Onion. Sedangkan bunyi saxofon yang mengalun malam hari membawa sebuah keyakinan,”Onion pasti yang menyanyikannya.” Walaupun Onion sendiri menyangkal itu.

Hingga suatu malam, ia mendengar kembali suara itu mengalun dari balkon.

Sontak, ia pun berlari menuju balkon dan berharap ia akan segera bertemu orang itu. Ia kaget bukan kepalang ternyata yang ia temui adalah Dr. Woo. Ia pun langsung memeluknya.

Dr. Woo merasa bersalah dan memberitahukan bahwa bukan dirinya yang memainkan Saxofon melainkan Cheuk. Autumn semakin yakin dengna firasatnya dan ia berlari mencari Cheuk.

Hingga ia menemukan keyakinan itu kala menggeledah kamar Onion.

Ya, Onion yang memainkan itu dan ternyata ia berasal dari keluarga pemain saxofon. Tangis makin menjadi saat ia tahu ia merupa Cheuk. Tapi waktu makin habis  dan mereka bertemu kembali di Balkon setelah perdebatan dan tangisan panjang di kolam renang.

Entah ini berakhir bahagia atau tidak. Karena mereka tidak pernah bisa bersama. Yang pasti, bagi saya, ini film yang menyentuh. Tak ada kata lain selain itu.

Jakarta, 22 Jan 2012
@DedikPriyanto

NB: Ternyata film ini dirilis tahun 1999 dan mendapatkan 19 penghargaan di Hongkong Awards. Film awal dari Cecilia Cheung dan laris di Eropa :)




Senarai Kisah di Hari Valentine


Saya tergolong telat menonton film ini, Valentine’s Day (2010). Baru beberapa menit yang lalu saya menandaskannya selepas beberapa bulan teronggok di folder movies laptop saya dan tidak saya sentuh sama sekali.

Film ini bertutur soal budaya Valentine’s Day yang semarak di Amerika—dan di negara-negara lain barangkali serupa—perihal hubungan antar manusia dalam narasi paling purba itu; cinta. Pastinya ada kisah bahagia, geram, pilu dan terkadang sumir.

Baiklah, saya akan merangkai beberapa kisah di film yang bertebaran bintang seperti Jessica Alba, Anne Heathaway, Queen Lathifah, Ashton Kutcher, Hector Elizondo, dan Julia Roberts. Tapi tidak akan menyebutkan seluruh nama lakon yang ia perankan sebab saya akan menera beberapa jenis pekerjaan yang menjadi latar dalam film ini.

Kira-kira ceritanya begini;

Seorang florist bernama Creed pada suatu pagi menyatakan cintanya kepada seorang perempuan model. Tepat sebelum si gadis bangun tidur. Sontak, hal itu membuatnya kaget dan serta merta menerima si Florist tadi memakaikan cincin tanda mereka akan segera menikah.

Lalu si florist ini kembali ke toko bunganya yang hari itu tampak ramai. Sangat riuh bahkan. Hal itu dikarenakan 14 Februari makin dekat dan orang-orang di Manhattan sudah mempersiapkan pelbagai ragam hadiah untuk kekasihnya jauh-jauh hari.

Credd adalah pemilik toko ini dan ia memiliki seorang sahabat yang berprofesi sebagai guru di sebuah Elementary Scholl, Julia.

Julia memiliki kekasih seorang doktor spesialis kesehatan dan ia tinggal di San Francisco. Mereka berdua tinggal di sebuah apartemen. Si dokter ini harus pergi dan tidak bisa menemani Julia tepat di tanggal 14 Februari. Walau agak kesal, Julia harus menerimanya.


Di sekolah, Julia memiliki murid yang terkenal cerdas. Namun akhir-akhir ini ia murung. Tak mau makan. Usut punya usut ia sedang mengalami sindrom ‘love sick’. Hal itu menyebabkan kedua kakek yang mengasuhnya kaget dan tertawa.

Kedua kakek dan nenek si anak itu juga hidup dengan romantis. Pagi tanggal 14 Februari ia pun memberi hadiah kepada si Kakek yang sudah menemaninya selama 51 tahun. Begitu halnya si Kakek. 

Ia mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya kerena ibu si anak itu adalah seorang prajurit yang karena tugas tidak bisa menemani tiap hari.

Untuk itulah, ia juga menyewa seorang baby sitter, seorang gadis lulusan senior high school. Gadis itu juga mencintai seorang lelaki yang ia sekolahnya dan saat ini mereka berdua tepat 18 tahun.

Itupula yang melatarbelakangi kedua anak muda ini untuk berhasrat melakukan firs sex mereka di tahun itu, tepat di tanggal 14 Februari.

Kisah lain yang menyerembet soal sex adalah narasi hubungan antara pria Florida yang bekerja di Pos dengan perempuan yang memiliki side job sex phone. Jangan dulu diartikan negatif. Ia menjaga dirinya dari kontak nyata dengan seluruh penggemarnya di sex phone dan ia menutupi pekerjaannya ini dari sang kekasih.

Tak berhenti itu saja, ada cerita soal pemain Footbal America yang risau terhadap media-media yang kerap memojokkan aktivitas pribadinya. Termasuk soal seks. Hingga pada suatu hari ia membuat konferensi pers yang menyatakan bahwa dirinya adalah gay dan ingin menikmati privasinya sebagai manusia.

Inipula yang membuat Jurnalis olahraga memperoleh pekerjaanya kembali karena memiliki berita ekslusif sebelum itu karena dekat dengan agen si pemain.

Agen ini adalah teman si Julia si guru TK. Julia menemukan fakta ia merasa ditipu kekasihnya sudah menikah dan ia pergi meninggakan dirinya karena akan merayakan pesta pernikahan yang ke-15 tahun, tepat di tanggal 14 Februari. 

Mereka akhirnya sepakat untuk membuat pesta ‘hate valentine’s day’. Namun akhirnya, malah si agen jatuh cinta ke pelukan si jurnalis olahraga atas kesamaan rasa soal ‘hate valentine’s day.

Si Jurnalis ini benci karena tepat pada hari itu ia harus dialihkan ke bagian entertainment dari kerjaan sebelumnya. Dan karena bertemu si agen, ia kembali mendapatkan kursinya. Bukan kebetulan, bukan?

Kembali ke Florist, ternyata si anak kecil tadi juga mengirimkan bunga untuk seseorang ke sekolahnya via toko bunga milikinya. Tak dinyana, yang ia beri adalah si Julia bukan gadis lain.
Tentu ini cinta anak kecil kepada sosok keibuan. Dan ia dikasih tahu bahwa anak yang suka dengannya, yaitu si anak dari India.

Dasar anak kecil, Ia pun akhirnya berpaling dan ‘be my valentine’ itu jadi milik si India.

Si Julia yang patah hati dan Florist yang ternyata juga gagal menemukan kenyataan bahwa model yang ia sukai itu tidak mau diajak menikah. Bukan karena dia yang salah, menurut model, tapi karena ia harus fokus pada karirnya dan terhantui sejarah kelam orang tuanya soal menikah. Mereka pun berpisah.

Lalu keduanya bertemu di sebuah danau. Dan mereka sadar, ternyata orang yang dicintai berada dekat dengannya. Tak jauh dan diam-diam mendoakan.
Sahabat adalah cinta. Begitulah mereka.

Perpisahan ini pula yang hampir terjadi pada kakek dan nenek. Ketika tahu bahwa si nenek pernah berselingkuh, si Kakek pun  kaget lalu pergi ke tempat yang selama 51 tahun ini mereka datangi kala Valentine. Ia kecewa.

Pada akhirnya ia mengerti, bahwa kadang ketidakjujuran itu begitu pahit, walaupun itu cinta. Dan di sabana itu, akhirnya kakek memaafkan kejujuran si nenek.

Itu pula yang pada akhirnya membuat petugas pos sadar bahwa mencintai adalah tidak selalu mengaitkan dengan masa lalu si gadis. Apalagi dengan mencintai yang tampak nyata saja.


Toh jika memutuskan untuk mencintai, harus siap menerima segalanya dengan sederhana. Termasuk hal terburuk dari orang kita itu cintai. Itulah cinta.
 
“You know what? You are right. I just spend all night in a cemetary and i actually learned something,” kata si tukang Pos kepada kekasihnya.

Si gadis hanya terdiam seakan tak percaya ia kembali datang.

“In a relationship you have to accept other person for all of what they are, not just the parts are easy to like, and you are stupid if you turn back on something as important... as love,” tambah lelaki itu dan setelahnya, kamu pasti mampu menebak jalannya cerita.

Pada akhirnya, kisah-kisah dalam film ini hanyalah sebagian kecil dari hubungan antar manusia. Valentine's Day hanyalah penanda.
 Cinta tetaplah cinta.  Kisah yang akan terus menyala selama masih ada manusia, bukan begitu bukan?



Ciputat, 20 Januari 2012
@DedikPriyanto


‘a Man Who Cannot Die’

Saya memberikan judul pada catatan sederhana ini ‘a man who cannot die’ serupa dengan tajuk film dokumenter Akira Ray di Discovery Channel perihal lelaki yang tidak akan pernah bisa mati, meskipun tiap hari berpelukan dengan bahaya yang berpotensi untuk melenyapkan nyawanya.  Film terakhir dari sutradara gaek asal India Jash Chopra (1963-2012) dan cukup menarik diperbincangkan.

Laiknya sebuah film, apalagi Bollywood, tema cinta selalu menjadi bumbu utama. Apalagi Jash Chopra yang sukses mengaggit beberapa film India yang cukup populer di tanah air semisal Dil Waale Dulhania La Jayenge, Dil To Pagal Hai dan Dhoom 1/2.

Film berjudul Tab Eik Hain Jaan (2012) ini bersetting daerah konflik Kahsmir, London dan Punjab. Sedangkan lakon utamanya adalah Mayor Samar Anand (Shah Rukh Khan), jurnalis Discovery Cannel Akira Ray (Anushka Sharma) dan gadis London Meera  (Katrina Kaif).

Kisah ini bermula dari catatan harian yang ditinggalkan Mayor Khan di baju yang ia pakaikan kepada Akira Ray. Saat itu Akira sedang membuat film tentang Kahsmir dan menguji kadar dingin daerah sana. Akira tidak kuat dan hampir tenggelam saat berenang akibat dingin. Lalu Tentara itu menyelematkannya dan menyelimutinya dengan baju yang ia kenakan.

Akira membaca kisah itu secara tidak sengaja dan pada akhirnya mengetahui kenapa Mayor Samar memilih untuk mendekatkan diri kepada kematian—menjadi penjinak bom—dan kenapa ia tidak pernah bisa terbunuh dengan 97 bom yang berhasil ia taklukkan. Sesuatu yang membuatnya menjadi perbincangan di kalangan militer. 

Akira lalu berkeinginan untuk membuat film khusus  mengenai dirinya dan ia akhirnya diijinkan dan menjadi ‘main project’ dia yang pertama secara sendirian untuk Discovery Channel. Ia pun dijinkan selama 14 hari untuk mengikuti dan menemani kemanapun pasukan penjinak bom yang dipimpin Mayor Samar bepergian.

Petualangan dimulai—saya selalu suka film bertema seperti ini—Akira semakin terpantik dengan Bom dan bagaimana tentara itu menjalani kehidupan sehari-hari. Seperti halnya kebanyakan jurnalis, ia pun rela hidup di barak-barak tentara dan mengamati tiap lekuk peristiwa di medan yang konon tidak ramah itu.

Selain sebuah penyelamatan yang membuat Akira hampir terbunuh akibat bom yang meledak di dekatnya, ada peristiwa yang membuatnya tersenyum kecut. Yaitu kisah hidup yang pernah ia baca di catatan harian Mayor Samar yang memang pribadi tidak hangat.

“Anda selalu berhadapan dengan maut siang hari dan malam harinya mendendangkan lagu rindu,” ujarnya ketika menyaksikan  tentara itu di sungai sendirian selepas menjinakkan bom.

Tak ayal, peristiwa itu semakin membuatnya penasaran. Beberapa kali ia menanyakan soal catatan itu dan selalu tidak pernah dijawab. Bahkan disuruh untuk melupakan. Justru penolakan itu tidak membuat jera dan membuat Akira tertantang dan ia pun jatuh cinta.

Lambat laun suasana di barak menjadi hangat dan Mayor Samar menjadi ramah. Hal ini karena sikap Akira yang mudah diterima dan pantang menyerah serta passion, sesuatu yang membuat Major Samar teringat pada dirinya dan tak ingin memadamkan passion itu.

Hingga pada akhirnya masa tugas Akira selesai di barak militer dan harus kembali ke Inggris untuk melaporkan hasil kerjanya. Ia pun menutup filmnya dengan wawancara yang ia lakukan dengan dari Major Samar.

“Jadi mayor Samar, ini pertanyaan akhir di perjalanan kita. Kenapa kau tidak pernah memakai pelindung bom hingga sekarang,” tanya Akira sembari memegang video camera.

Tentara itu tersenyum simpul sejenak. Ia pun menjawab.

“Um... Pelindung bom dimaksudkan untuk melindungimu dari bahaya, untuk melindungimu supaya tidak terluka atau sedang terluka. Namun lebih dari sekadar bom, ada sesuatu yang lebih bahaya menyakitimu. Itulah kehidupan.

Setiap sudut ada pengkhianatan, rasa sakit. Jadi kalau kita tidak memakai pelindung bom untuk menyelamatkan kita dari bahaya kehidupan, apa guna memakainya untuk menyelamatkan diri. Setiap hari hidup membunuh kita sedikit demi sedikit. Bom akan membunuh kita hanya sekali.”

Akira tertegun.

Usai wawancara, mereka pun bercakap. Hingga akhirnya Akira mengatakan cintanya pada Major Samar walaupun ia tahu akan berujung dengan kesedihan. Toh ia sadar bahwa pada akhirnya hanya dua nama yang menjadi muasal ‘a man who cannot die’. Dua mana itu adalah London dan perempuan bernama Meera. Di sini kisah itu bermula.

Cinta dan Tuhan yang Iseng

Major Samar Anand 10 tahun lalu bukanlah sosok dingin seperti yang ditemui Akira di barak militer. Ia adalah lelaki yang hidupnya dipenuhi dengan passion, mimpi dan kebahagiaan.

Ia kabur dari Punjab karena tidak mau mengikuti tradisi keluarga menjadi tentara dan memilih jadi imigran dan merantau di London. Hari-harinya dipenuhi dengan kerja keras dan kesenangan. Kerja serabutan, bernyanyi di setiap sore di jembatan london, dan sesekali ikut pesta hippies di sudut kota.

Hingga saat ia part time di dekat gereja tepat saat ia melihat salju untuk pertama kali. Ia melihat ada sosok yang, menurutnya, seperti seorang bidadari bergaun merah berlari tergesa-gesa menuju gereja. Butuh satu detik untuk melihatnya dan ia pun jatuh cinta.

Hingga mereka bertemu lagi saat Samar mengamen di sebuah jembatan di London. Gadis itu adalah orang kaya dan ingin belajar menyanyikan lagu India untuk ulang tahun ke-50 tahun ayahnya.

Sebagai ganti, Samar meminta diajari aksen dan bahasa inggris agar ia mudah bergaul dengan orang. Mereka pun bersahabat dan tumbuh cinta antara mereka. Meera merupakan gadis relijius dan suka melakukan perjanjian dan kesepatkatan dengan Jesus.

Kesepakatan yang ia kerap lakukan jika ia meminta sesuatu yang besar tentang hidupnya dan ia pun berjanji akan merelakan sesuatu yang ia cintai untuk ditinggalkan sebagai imbalan kesepakatan. Meera sangat mempercayai itu.

Hingga pada suatu hari, ia akan dinikahkan kepada lelaki pilihan ayahnya, sedangkan ia jatuh cinta pada Samar. Ia pun tak kuasa menahan permintaan ayah yang telah membesarkannya sendirian sejak berusia 12 tahun.

Ia pun mengajak Samar untuk pergi ke gereja dan membuat kesepakatan untuk hanya menjadi seorang teman dan tak lebih dari itu. Jika dilanggar, maka Tuhan akan mengambil sesuatu yang begitu dicintai Meera dan itu adalah Samar. 

Perjanjian itu dilanggar sendiri oleh Meera.

Itu terjadi terjadi selepas ia menerima kado pernikahan ibunya. Ia pun menemui ibunya selepas 12 tahun tak bertemu.

Hingga akhirnya ia sadar bahwa yang dilakukan ibunya bukanlah salah. Melainkan dorongan cinta. Sesuatu yang tidak pernah ia rasakan tatkala menjadi istri dari ayah Meera.

Di sebuah padang rumput seusai kepulangan dari rumah ibunya itu, Meera akhirnya menyerah pada perasaan cinta yang ia rasakan kala bersama Samar. Ia pun melanggar janji yang ia buat dengan Tuhan dan mengikuti hatinya untuk selalu bersama Samar.

 Laiknya dua pasangan yang dipenuhi gejolak cinta, mereka berdua sepanjang detik, bernyanyi, tertawa dan menikmati hari-hari. Lalu sebuah kecelakaan hampir merenggut nyawa Samar. Tepat beberapa detik selepas mereka berpisah.

Samar pun meregang nyawa tepat di depan mata Meera. Ia yakin ini kutukan dari janji yang telah ia sepakati bersama Tuhan.

Meera pun mulai merapalkan doa dan berjanji jika Tuhan menyelamatkan Samar, Dia boleh mengambil sesuatu yang paling dicintainya; meninggalkan Samar dan tak akan bertemu dengannya lagi sampai kapanpun.

Akhirnya Samar kembali hidup dan janji dan kesepakatan dan Tuhan harus ditepati.
Samar tak percaya Meera melakukan itu.

Meera pun meminta  supaya Samar pergi jauh dari London agar dirinya tetap selamat. Tentu saja tangis terpapar di muka Meera, namun ia begitu percaya itu. Ia menerima itu sebagai sebuah kesepakatan. 

Lalu Samar pergi ke gereja, rumah Tuhan yang kerap ditemui Meera dan membuat kesepakatan dengan-Nya. Ia duduk di kursi gereja. “Ini tidak benar. Itu semua salah. Perang antara diri-Mu dan diriku sudah dimulai. Kau mencuri cintaku.

Aku akan mencuri keyakinanya dari-Mu. Dia percaya jika aku tidak bersamanya, aku akan tetap hidup. Jadi aku akan menerima kematian setiap hari. Kita lihat saja sampai berapa lama aku akan hidup,” terangnya.



Samar pun pergi dan memilih sesuatu yang sangat ditakutinya; militer dan bom. Supaya ia segera mati.

Cinta adalah Waktu

Samar pun berubah menjadi Mayor Samar Anand, dari sosok yang begitu hangat dan ceria menjadi pribadi yang dingin dan tak ramah pada sesama. Inilah ‘a man who cannot die’ yang ditemui Akira dalam barak militer dan mengubah cara pandangnya terhadap hidup dan juga cinta.

Waktu selalu memiliki jalannya tersendiri. Begitulah kira-kira perjalanan Akira sebagai seorang jurnalis.



Akira kembali ke London dan laporannya membuat tim Discovery Channel terperanjat dan ingin menjadikan kisah itu menjadi tajuk utama mereka. Namun itu semua akan terjadi jika Akira mampu membawa Mayor Samar ke London guna mengetahui otensitas film yang dibuat  Akira.

“Tidak mungkin,” pikir Akira.

London akan mengingatkan Mayor kepada Meera. Dan ia memahami itu. Tapi si mayor memberi kejutan dengan datang ke London. Sesuatu yang membuatnya tidak percaya.

Sontak, Akira begitu girang hingga ia hampir tertabrak. Sekali lagi ia diselamatkan oleh Major Samar dan kali ini tentara yang malah tertabrak dan harus dibawa ke Rumah Sakit di London. Ia pun terkena amnesia dan ingatannya mundur 10 tahun ke belakang di masa 2002.

Apakah kecelakaan ini karena ia kembali ke London?

Catatan saya menjadi panjang. Silakan tonton saja sendiri film menarik ini.



Saya hanya  akan menutup catatan ini dengan dengan percakapan antara Meera dan Major Samar di Gereja.

“Ingatan adalah hal yang lucu,” ujar Samar. 

Meera terpaku tak sanggup berkata apa-apa.

Ia melanjutkan ucapanya,” Kita menghabiskan seluruh hidup untuk melupakan sesuatu. Tapi tidak bisa. Lalu saat kita mencoba mengingat beberapa hal kecil kita tak bisa mengingatnya.”

Meera semakin terdiam. Suasana gereja hening. Air mata Meera jatuh perlahan.

“Kau tahu, Meera. Setiap hari di militer aku selalu berpikir,’Mengapa Dia membuatku hidup. Hari ini aku menyadarinya, Dia belum puas dengan apa yang ia lakukan kepadaku.

Pertama, Dia menjauhkanku dari hidupmu. Dia bilang, pergilah. Jalani hidup tanpa dirinya. Jadi aku pergi dan aku hidup dalan pelukan kematian dan berharap mengalahkan Tuhan, tapi di luar sana Dia terus menang, tidak membiarkan aku mati.

Lalu suatu hari seperti sihir, ia membawamu kembali dan kenanganku yang hilang kembali datang. Aku melayang. Lalu dalam sekejap ia  membantingku kembali ke tanah.

Dia membangunkanku dari mimpiku, Dia bilang ‘hidupmu memang seperti itu’. Meera selalu menjadi milik-Ku, takkan pernah jadi milikmu. Karena sampai hari ini, janji yang ia buat lebih besar dari janji yang ia buat untukmu.

Meera masih terdiam.

“Ada satu hal sederhana yang  tidak kau mengerti. Melebihi dirimu, Dia (Tuhan) jatuh cinta kepadaku,” sergahnya.

***

Akira, Major Samar Anand dan Meera pada akhirnya membuat saya bertanya kepada diri saya sendiri—dan barangkali juga semua orang.

Bukankah cinta tidak butuh kesepakatan Tuhan? Atau jangan-jangan ini keisengan Tuhan? Toh ia sendiri menciptakan cinta dalam hati tiap manusia.

Dan cinta tidak butuh janji yang muluk ataupun kesepakatan-kesepakatan yang kerap tidak penting. Biarkanlah cinta berjalan. Ia punya caranya tersendiri dan acapkali tidak mampu dipahami. Serupa tata surya yang memiliki orbit dan jalannya masing-masing.

Pada akhirnya, cinta bukanlah kontrak maupun transaksi. Ia adalah passion. So, find your passion if you will not die like a man who can not die !!!

Ciputat, 20 Januari 2012
@DedikPriyanto

Jumat, 18 Januari 2013

Selepas Menonton The Act of Killing



Empat hari lalu saya diminta teman-teman  persma Institut dan Radio Fidkom (RDK FM) untuk menjadi moderator diskusi film. Awalnya saya enggan mengingat kondisi saya saat itu tidak menjanjanjikan.

Hampir dua hari saya belum tidur. Tapi saya tak kuasa menampik kala film yang bakal ditonton kali ini adalah film dokumenter yang membuat gempar belakangan: The Act Of Killing besutan Joshua Openhaimer.

Bermodal secangkir kopi Mandailing dari Cho Cafe sebagai penahan kantuk, saya berjalan menuju teater Lt.2 Fidkom. Ternyata film sudah hampir dimulai ketika saya datang setengah dua siang. Bangku juga sudah terisi. Terpaksa saya duduk di belakang setelah sebelumnya berbasi-basi dengan beberapa kawan.

Lambat laun saya menyaksikan ruangan mulai gelap. Terang muncul dari layar teater. Entah kenapa, tiba-tiba dada saya berdegup. Pikiran saya mengabur dan mengawang menyaksikan dokumenter yang sempat memicu amarah eksponen Orde Baru itu.
 
Adegan-adegan demi adegan tersaji dengan penuh keterusterangan. Saya menyaksikan bagaimana Anwar Congo sebagai tokoh utama cerita ini menyajikan pelbagai ragam pembunuhan. Lengkap dengan keterkaitan historis dan trik membunuh orang dengan cepat.

Kira-kira cerita dalam film dokumenter berdurasi lebih dari 2,5 jam itu begini;

Tukang bunuh—sengaja saya memakai kata ini—bernama Anwar Congo ingin membuat film dokumenter tentang dirinya sebagai algojo pencabut nyawa orang-orang yang dituduh komunis. Ia ingin mengingatkan orang-orang perihal sejarah masa lalu.

Ia menganggapnya bukan sejarah kelam, namun sejarah yang sudah seharusnya terjadi.

Lalu adegan dimulai dengan trik yang kerap dilakukan oleh Congo dalam membunuh orang-orang itu. Ada yang langsung dipopor dengan senapan, digorok, dibuang ke sungai dan yang paling canggih, menurutnya, adalah dengan dibalut dengan kawat.

Canggih karena efektif, tidak menggunakan alat berat dan tanpa mengeluarkan darah.

Disebutkan juga kehidupan pribadinya dan organisasi yang menaungi, serta melindungi. Juga kedekatan dengan tokoh-tokoh. Walapun hidupnya sendiri di Medan.

Dari kesemua tokoh yang ditemuinya punya satu kesamaan ormas para militer yang ia ikuti: Pemuda Pancasila. Bahkan ia menjadi sesepuh di sana.

Ya, ormas yang dianggap menjadi tempat bernaungnya para preman dan kerap digunakan oleh para pengusaha untuk melindungi bisnisnya itulah yang menjadi salah satu poin dari film ini guna menyibak sejarah kelam bangsa ini.

Kembali ke Congo, narasi hidupnya begitu sumir. Minimal bagi saya. Bayangkan, membunuh orang dengan gampang tak ubahnya aktivitas makan. Mirip dengan kehidupan para gangster di film yang sangat fiksional. Namun ini begitu nyata.

Lalu ketika masa tuanya, ia merasa hidup dihantui oleh para korban. Ia pun jadi susah untuk tidur dan merasa bersalah. Tapi ia selalu menyangkal itu dan terus membisikkan ke dalam hati bahwa apa yang dilakukannya merupakan tugas suci saat itu meskipun ia sendiri tahu pembunuhan yang dulu dilakukanya kerap salah orang. Bahkan ia tidak tahu orangnya.

Ketika membunuh orang-orang ini ia pun selalu memakai minuman keras dan obat-obatan terlebih dahulu. “Biar dibuat enak aja,” tuturnya.

!!!

Entah kenapa saya tidak berani meneruskan catatan saya soal adegan demi adegan film ini. Rasa-rasanya saya tidak tahan menyaksikan darah yang pada saat ini serasa menggenang di otak saya. Juga teriakan-teriakan yang merupa doa yang dirapal tanpa ada balasan dari Tuhan.

Sejujurnya, saya takut dengan imajinasi saya selepas menonton ini.

Lalu apakah Congo dkk tidak merasa takut?

Selepas menonton film, diskusi pun dimulai dan saya ke podium bersama Pak Beki, begitu dosen Fak. Komunikasi ini biasa disapa. Harusnya ada Dr. M. Arif yang merupakan dosen sejarah dan LIPI. Tapi beliau urung datang akibat banjir.

Saya memulai dengan pemantik sederhana,”Saya melihat ada muka-muka sembab di depan saya kali ini atau jangan-jangan perasaan saya saja selepas menonton film ini. “

Pak Beki saya lihat hanya tersenyum. Sejam sebelumnya saya lihat raut mukanya tampak sendu. Ia pun memulai dengan permisalan kekacauan yang dibuat oleh sistem.

”Saya selalu curiga jika ada kekacauan yang terjadi itu pasti ada narasi besar yang bermain. Misal pemberontakan di Irlandia Utara yang sebenarnya terjadi guna menutupi matinya sistem di Britania akibat korupsi.

Begitu halnya dengan Congo dkk yang ada di Medan. Jik mau membunuh, pasti bisa dilakukan dengan sekejap. PKI dengan sekali sapuan pasti habis di tangan militer. Tapi ini menggunakan para militer. Warga sipil.”

Laiknya seorang akademisi, ia pun membumbui perkataanya dengan pelbagai ragam teori. Termasuk soal ‘Collateral Damage’ yang menurutnya sebagai perlintasan orang-orang tak bersalah dan menjadi korban. Walaupun ia sendiri tidak tahu menahu.

Saya melihat teman-teman diskusi menyimak dengan serius.

Ia pun menutup presentasi singkatnya.”Bayangkan jika Bung Karno tidak lengser dan memertahankan Papua dari Freeport. Itu negosiasi terjadi sebelum peristiwa G30/S.

Maka sudah dipastikan tidak ada Collateral Damage dan pembenturan antar warga sipil. Pikirkan juga, sehari selepas kejadian itu New York Times membuat headline ‘ada fajar baru dan harapan dari Asia’ itu menyebutkan keruntuhan PKI di Indonesia.”

Beberapa kawan pun menimpali, “Saya kira, sejarah ini hanyalah jadi jualan saja. Kita lihat generasi hippies di barat.

Sama dengan sekarang di kita dengan jaman ‘suka-suka’. Anak muda yag tidak peduli. Kalau sudah masuk kapital, pada akhirnya sejarah adalah milik mereka.”

Diskusi berjalan hangat dan cukup menggairahkan hingga senja tiba. Pak Beki mengakhiri jawaannya dengan mengutip pemikir asal Italia, Antonio Gramsci.

“Pada akhirnya kita semua berada dalam hidup yang terhegemoni dan hidup dalam dunia kecemasan. Persis seperti yang diutarakan Gramsci, hidup tak lebih dari perulangan dan hegemoni yang memasung manusia. Sejarah hanya menjadi penambal bagi kekuasan.”

Saya menimpali,”Dan tugas kaum cendekia adalah menjadi intelektual organik. Tidak di menara gading dan turut serta di masyarakat. Begitulah Gramsci mengajarkan.

Rekonsiliasi akan terjadi manakala sejarah yang buram diluruskan. Lalu akan terjadi kebenaran sejarah, walaupun nanti dimaafkan ataupun dihukum, biarkan sejarah itu menunjukan kebenarannya.

Toh kebohongan yang terus menerus dilakukan pada akhirnya akan menjadi kebenaran, kata Voltaire, walaupun itu sejatinya merupakan kebohongan,” tutup saya.

Pak Beki di samping saya hanya tersenyum. Sejurus kemudian ia tertawa dan mengambil microphone.

“Sebentar, Anda mengutip Voltaire. Saya jadi ingat soal Banjir. Iya, kita harus menerima bahwa pemerintah sudah serius menangani soal banjir. Ingat itu adalah kebenaran, oh ya itu kebenaran atau kebohongan!” ujarnya dan diringi tawa berderai dari penonton.

Diskusi pun ditutup. Selepas diskusi, saya sempat bercanda sebentar dengan Pak Beki.

”Kok takut takut sekali dengan komunis bangsa kita?”

“Itulah sejarah. Kita kerap salah mendefinisikan komunis dengan sosialisme,” jawabnya ringkas.

“Padahal yang mengimajikan nama Indonesia pertama kali adalah Tan Malaka lewat Naar de Republic. Dan dia Komintern,” jawab saya.

Pak Beki tertawa lebar. Lalu kami berjalan ke luar ruangan. Entah apa yang dipikirkan Pek Beki saat ini, entah apa yang orang-orang rasakan selepas menonton ini.

Saya butuh tidur malam ini.

Bukit Nusa Indah, 14 Januari 2013
@DedikPriyanto



Persoalan Tidur



Siang ini saya terbangun dengan suasana kurang menyenangkan; badan yang lemas, kaki yang lunglai dan serak bunyi klakson yang terus menyentakkan kuping.

Saya tengok jam di ponsel, saya terkejut. Hampir 9 jam saya tertidur dan tidak sedikitpun mengingat apa yang terjadi semalam.

Persoalan tidur ini selalu menghantui saya sejak beberapa bulan terakhir. Biasanya, saya mendaraskan tidur selama 4 atau 5 jam sehari. Itupun biasanya tidak terjadi dengan simultan. Artinya, saya tidur di tempat yang sama dengan durasi waktu sama pula. Bahkan tak jarang baru tertidur selepas 2 hari kemudian.

Tak jarang saya harus berpindah dari satu  satu tempat ke tempat yang lain, dari satu lantai ke lantai yang lain. Tempat favorit saya merebahkan diri adalah kamar depan,  dekat dengan perpustakaan pribadi yang saya miliki. Tapi lagi-lagi dalam seminggu terjadi tiga atau empat kali saja.

Persoalan 5 jam ini sebenarnya saya peroleh dari seorang dosen yang juga alumnus forum studi. Kata dia waktu itu kepada saya, “Kalau kamu tidur dari 6 jam. Itu sama saja dengan tidak adil karena membiarkan tubuh terlalu lama istirahat. Bagaimana mau berlaku adil jika persoalan tidur saja kamu masih belum mampu mengatasinya.”

Ingatan saya terjerat pada kiai-kiai di Pesantren. Seperti halnya saya, kamu pasti juga kerap bertanya, kapan para kiai ini tidur dan beristirahat.

Bayangkan, dari pagi sampai dini hari mereka harus mengajar santri. Tak jarang harus pergi ke daerah lain dan jika subuh tiba sudah tampak kembali mengajar para santri.

Ah, saya bukan seorang kiai. Barangkali jika kamu tahu, sila kasih tahu dan saya akan berterima kasih. Tapi bukan jawaban yang mistis atau rahasia Tuhan yang menjaga manusia-manusia yang mengabdikan diri dalam ritus agama.

Selebihnya, saya ingin jawaban yang sederhana.

Ada lagi persoalan tidur saya yang kerap berbeda dengan orang kebanyakan. Yaitu soal tidur malam. Entah kapan saya terakhir kali menggunakan malam hari untuk tidur. Saya lupa. Barangkali 2 bulan yang lalu atau 4 bulan yang lalu atau lebih dari itu.

Coba kamu bayangkan jika tiap hari harus terbangun dengan perasaan cemas, kalut dan takut kalau hari ini bakal mengalami celaka dan hampir tiap hari kamu alami tanpa pernah dihindari. Padahal kamu pun tidak pernah mengerti, apa gerangan yang membuatu begitu takut.

Konon Pram selalu ingin tidur dengan puas selepas ia terbebas dari Pulau Buru. Sastrawan yang beberapa kali dinominasikan nobel ini kerap berpindah dari lantai ke atas—tempatnya menulis—dengan lantai bawah atau ruang tamu. Itu hampir terjadi tiap hari.

Beberapa kali, katanya, ia tak sanggup untuk terlelap. Entah apa yang ia pikirkan. Namun hidup dan realitas dunia mampi memang beda-beda tipis. Barangkali Pram mengamini itu.

Toh hidupnya dihabiskan untuk melawan, bukan? Dan mereka yang berkecimpung dengan dunia seperti ini tak akan sanggup terlelap jika bayangan soal kekejaman yang merenggut tidur yang nyenyak dari orang-orang.

Ah, saya terlalu serius memandang hidup.
Mungkin kamu juga masih ingat kisah Syahrazad. Ya, raja itu tidak bisa tidur karena terhantui masa lalu. Bahkan ia selalu membunuh mereka yang diajak untuk menemaninya kala malam tiba dan jika pagi ia akan serta merta membunuhnya.

Hingga suatu hari ia dikisahkan rantaian cerita-cerita dari ragam dunia dan membuatnya terlelap dan menghilangkan trauma masa lalu. Itulah mula kisah 1001 malam yang tersohor itu.

Kembali soal tidur, pasti catatan ini akan panjang jika saya meneruskan pelbagai cerita soal tidur. Untuk itu, satu hal yang harus saya dan barangkali kamu mengerti adalah tidur bukanlah ritus yang harus tiap hari dijalani. Kadang ia merupa keheningan yang meminta untuk ditemani. Kira-kira begitu.

18 Jan '13
@DedikPriyanto

Kamis, 17 Januari 2013

Banjir dan Perbincangan Kecil di Warkop

Jangan-jangan banjir adalah tradisi? sumber gambar: mycartoonthing

Hujan yang tak berhenti sedari malam memaksa saya untuk menunda kepulangan dari markas. Lalu dengan gontai saya menuju bilik kamar untuk sejenak melepas kantuk kala siang sudah tepat berada di tengah. Saya baru terbangun tiga jam kemudian. Mudah-mudahan sudah tidak hujan, pikir saya.

Ternyata saya salah. Hujan masih terus saja dan baru benar-benar berhenti ketika matahari sudah mulai mengundurkan diri.

Tiba-tiba ponsel saya berderit. Ada pesan masuk,“Bung dmana?” bunyinya.

Saya lupa ada janji sore ini. Maka saya pun membalas sembari meminta maaf dan mengajaknya untuk ngopi malam ini di warung terdekat.

Dua jam kemudian saya tiba di lokasi dan kawan saya tadi sudah berada di tempat, lengkap dengan semangkuk mie instan yang sudah ia pesan sebelumnya.

Laiknya perbincangan sederhana, ada pelbagai ragam yang kami percakapkan. Ah, kamu tentu bisa mengetahui apa yang kami bicarakan. Jika tidak, pasti kamu belum pernah ngopi di warkop.

Warkop itu berada di Legoso, Ciputat. Selain kami, ada beberapa orang yang sudah berada di sana. Tentu saja kami tidak saling mengenal. Tapi saya masih ingat lekuk wajah dan cara mereka bercakap.

Kebetulan kami mendengar mereka sedang membicarakan banjir.

“Sudah biasa banjir mah. Wong tiap tahun nggak berubah,” ujar salah seorang dengan kumis tipis. Ia mengenakan lengan pendek bermotif hijau.

“Nah, elu mah enak nggak ke pusat. Nah gua, kagak bisa narik, nih,” timpal yang lain.

“Yaelah. Elu tahu sendiri. Kayak baru kebanjiran sekarang aja lu. Santai aja napa.”

“Jokowi mana nih? Yah,” tanya seorang.

“Tuh ‘kan. Gua bilang juga ape. Kagak usah dipikirin yang itu. Kalau sudah berkuasa mah begitu. Sejak jaman engkong gua juga sudah banjir.”

Sebenarnya saya tak sanggup terus menahan diri. Saya ingin turut nimbrung. Tapi urung saya lakukan. Menyimak orang-orang ini membicarakan banjir tampaknya lebih menarik, pikirku, dan kawan saya ternyata juga hanya diam sembari sesekali menyeruput kopinya.

“Setahu gua, sejak dulu pemerintahan kita emang kagak benar ngurusin banjir. Itu yang di sekitaran sungai aja kagak diurusin. Lah, gimana mau nyelesaiin banjir,” tukas seorang sembari mendengus.

“Makanya, elu pada kudu nerima. Hidup lu aja kagak benar, napah ngurusin Jokowi.”

Mereka tertawa.

“Lu kira gampang apa ngurusin jakarta."

“Kaya elu masih hidup di Jakarta aja. Ini mah pinggiran.”

“Ya, kita tertolong sih di pinggir. Encing gua yang di Kampung Melayu aja ke tempat gua buat ngungsi. Makanya lu pada harus bersyukur.“

“Nah. Itu bersyukur di Ciputat. Yah, banjir mah kagak parah amat.”

“Tapi kasihan orang-orang di sono. Udah kebanjiran tiap tahun, eh masih aja hidupnye kagak berubah. Masih susah..”

“Kayak elu nggak susah aja?”

Tawa kembali berderai.

“Ya, minimal gua nggak ngebuat Jokowi tambah ribet ngurusin gua. Cukup dah dia ngurusin orang-orang yang kebanjiran sono.”

Lagi-lagi saya tak kuasa untuk menahan diri. Saya pun sempat melontarkan pertanyaan kecil,”Lah bapak masih yakin dengan Jokowi?”

Mereka saling pandang. Sejurus kemudian ada senyum dalam bibir mereka.

“Ya, mau gimana lagi, Mas. Cuma berharap,” jawab salah seorang.

“Ha... ha... Semoga aja sih, Mas. Mending sih, gua pernah ketemu dia langsung. Baik kayaknya dah. ”

“Moga aja nggak hanya ngarep. Masih baru kok, moga aja tahun depan nggak banjir.”

“Alah, kagak mungkin. Pasti banjir.”

Tawa kembali berderai. Saya dan kawan saya hanya tersenyum. Lalu kami ijin untuk mengundurkan diri terlebih dahulu. Mereka masih bercakap-bercakap.

Tatkala menulis catatan ini. Hujan kembali datang. Saya menyaksikannya jatuh dengan bergegas melalui jendela.

Ya, saya seperti mereka. Hanya harapan yang mampu menjaga nalar kami  untuk senantiasa setia pada Jakarta. Lengkap dengan banjir dan segala hiruk pikuknya.  Toh kita hidup dengan harapan, bukan? Karena ia adalah nyala dalam memandang masa depan.

Pinggiran Jakarta, 17 Jan ‘12
@DedikPriyanto

Selasa, 15 Januari 2013

#15an



“Masa lalu selalu carut dan tidak menarik, masa depan bukan hal yang penting, dan malam yang indah tak ada duanya akan terlupakan. Lalu buat apa hidup?” (Anton Chekov)

Saya selalu memperlakukan tanggal dalam tiap bulan tak ubahnya seperti aktivitas makan. Tak perlu diingat tanggal berapa terakhir kali Anda makan enak atau bergizi.

Laiknya ritus yang  harus dijalani,  biarkan saja hari-hari itu berjalan sebagaimana adanya. Bahkan saya cenderung apatis menyaksikan orang-orang memberikan tanda warna merah pada almanak yang bisu itu, selalu tak memberi jawaban pasti.

Barangkali karena saya terbiasa dengan catatan harian sejak dulu. Catatan-catatan itu terkadang saya publikasikan kepada rekan sejawat, tapi kebanyakan saya buat untuk koleksi pribadi.

Tentu saja di dalamya ada tanggal yang memberi jejak permenungan. Sesekali memang saya tengok. Namun tetap saja sukar untuk diingat. Toh, tanggal lahir saya sendiri sukar diingat dan masih membingungkan—tolong siapa yang curhat di sini.

Selebihnya, tak ada yang saya ingat secara pasti dan senantiasa berceloteh di alam bawah sadar saya. Mungkin juga karena hari-hari saya memang tidak terlalu menyenangkan, acapkali tak patut diceriterakan. Namun seperti halnya makan, walau enggan, saya harus menjalani sebagai permisalan yang terus berulang seperti halnya Orcar Wilde yang menera kisah patung emas dan burung cericit yang tersohor itu.

Jika tidak, maka dipastikan perut akan melilit dan sesekali berontak dengan teriakan-teriakan. Lalu akan ada yang berorasi memakai toa. Sejurus kemudian, Anda mulai berkompromi, bernegosiasi. Maka datanglah  Tapi saya tidak mungkin untuk melupakan sebuah hari, tepat di pertengahan bulan, dan senantiasa datang tiap bulan.

Tanggal itu selalu menyapa dengan riak kecil dari percakapan-percakapan sederhana pernah saya lakukan beberapa bulan lalu.  Juga perihal kenangan akan hidup yang kian rudin dan ringkih, diringi permenungan paling purba manusia; Cinta, katamu.

Bolehkah saya memberi hastag #15an untuk hari yang senantiasa berceloteh di alam bawah sadar saya?

Kala menulis catatan ini, saya menyaksikan hujan turun dengan bergegas.

Ingatan saya terjebak pada kenangan lawas itu, kala rintik yang senantiasa turun dengan lamban, jalanan yang berasa begitu lebar, juga tempo yang tiba-tiba saja berhenti berdetak di kota itu. Kota yang selalu menyimpan rindunya tersendiri.

Peristiwa yang memburamkan nalarku. Seakan puisi tak lagi menjadi sunyi, musik tak mampu memberi arti, dan doa hanya sebagai mantra tak bertuan.

Lalu mendung menjadi payung,  malam berhenti berkelakar dan dingin tak lagi bersahabat. Itu terjadi karena saya merasakan malam yang penuh arti, bersama kamu, pada tangah bulan itu.

Adakah yang lebih subtil dari tatapan sendu dari seseorang yang  bayangnya pun tak pernah kau imajikan! Kemudian ia datang membawa bangku di sebuah taman dan membuat tergerak untuk duduk dan menikmati  hari-hari di sana.

Kira-kira tiga jam yang lalu saya menamatkan cerita klasik Rusia dari  Anton Chekov (1860-1904) perihal Olga Ivanovna, Osip Stepanitch Dyamov dan pelukis tenar Ryabovsky. Kisah ketiga warga Moskow ini terjalin sebab ketidaksadaran ihwal cinta yang kian berpilin dan tidak saling mengetahui.

Dyamov tidak tahu bahwa Ryabovsky menaruh hati pada Olga. Lalu mereka bertemu kala Dyamov yang berprofesi dokter itu tercebur pada dunia pengetahuan yang sukar ditinggalkannya.

Seperti halnya ia cinta pada pengetahuan, sebesar itu juga hatinya tertambat Olga yang dinikahinya.
Olga jatuh cinta pada kesederhanaan Dyamov. Sedang ia menaruh hati pada sisi seni yang dimiliki Ryabovsky.

Lambat laun, Olga menyadari, cinta tak ubahnya misteri yang butuh pemecahan. Kala ia berjalan bersama Ryabovsky,  ada sendu di balik tawa dari segelas bir yang kerap mereka nikmati di depan tungku api yang menghangatkan kala dingin terus menerpa Rusia.

Bahagia yang sederhana kadang tidak dicapai saat Olga memenuhi otak dengan pilihan rasional yang seakan nyata itu. Sedangkan ia merasakan, jauh  di luar ada seseorang yang mendoakan diam-diam, merindukan dengan sederhana dan mencintai dengan sederhana pula. Itulah Dyamov kepada Olga.

Cinta yang sederhana akan selalu nyata walaupun jarak, waktu dan cara pandang kerap berbeda.

Kisah ini, membuat saya bermenung, dimanakah posisi saya yang memandang cinta bukan sekadar perasaan yang dimiliki dua manusia, ataukah membiarkannya terus bergegas dan menidurkan nyali, serta sesekali menjenguknya seperti anak kecil yang merindukan masa kanaknya.

Entahlah. Yang jelas, hari ini adalah tengah bulan, #15an. Dan saya tidak perlu melobangi almanak. Kamu pasti tahu, sudah ada yang memberikan tanda merah di hati saya.

Saya ingat sajak ini sahabat dan abang saya Ahmad Makki  ‘puisi jam tiga pagi’.

“Cinta itu merah, katamu."
“Lihatlah, apa yang ia tinggalkan
di dada kita.”

Saya tidak pernah melupakan itu. Saya selalu percaya, cinta tidak selalu bermuara. Kadang kita masih senantiasa mengayuh sungai dan entah kapan akan tiba. Atau seperti Santiago yang ternyata mendapatkan emas di tanahnya sendiri, walau ia pergi sejauh-sejauhnya.

Bukankah cinta adalah pencarian yang diceritakan Paul Coelho? Dan kerap tidak perlu kita cari dan datang dengan sendirinya.  Ia tahu jalannya sendiri, bukan?

Ciputat, 15 Jan '13
@DedikPriyanto


Rabu, 02 Januari 2013

Ini Januari. Selamat Tahun Baru, Manisku.


Kepada T

Beberapa jam lalu saya masih mendengar lengkingan terompet mengalun bersahutan, ledakan-ledakan yang kerap menyilaukan, juga rangkaian ucapan selamat tahun baru yang merupa serdadu-serdadu merapalkan ujaran komandan untuk berseru; menerjang, hadang! Tak pula menyigi segala perbedaan dalam satu kalimat puitis: semoga tahun depan kami akan lebih baik lagi, dan lagi.

Tak ada yang istimewa di akhir bulan itu, Desember.

Lalu saya menyaksikan beberapa orang meraih tangan kekasihnya, bergenggaman tangan dengan erat dan tertawa riang sembari mendongakkan kepala ke langit. Ada juga yang merangsek ke halaman belakang, saya pastikan bahwa orang ini tidak akan menemui siapa-siapa.

Toh tidak mungkin ia bertemu dengan orang di sana,  tapi saya yakin dia akan menyalakan ponsel dan sejurus kemudian ada riang di raut muka kawan saya ini laiknya anak kecil yang riang tak terpermanai kala menyaksikan para jagoan mereka menggulingkan para monster yang bisa saja menghancurkan dunia rekaan yang telah dibangun dengan riang itu.

Selebihnya, tak ada yang berbeda di akhir bulan ini.

Saya pernah mengalami ini sejak bertahun-tahun lalu. Selalu sama, seperti perulangan-perulangan yang tidak perlu untuk terus dilakukan, atau jangan-jangan saya yang memang tidak pernah bisa menikmati hari ini, seperti kata kawan saya, Alhafiz K, terlalu sering dihinggapi masa lalu dan menyilangkan pada narasi kesadaran saya yang kerap terbata-terbata mengeja segalanya.

Saya menyusuri kepingan yang berserak di akhir bulan itu, saya sendiri belum tahu apa yang hendak saya temukan. Jika toh ada yang bisa membantu, mari sini, saya pastikan kamu akan berjalan-berjalan pada bilur yang mungkin tidak pernah bermuara, atau jembatan yang tiba-tiba saja akan roboh dan sejenak kemudian ada sekoci kecil yang mengantarkan kamu menemui saya menuju ujung yang tak pernah ada itu.

Lamat-lamat saya mendengar petikan puisi dari Soe, di film yang saya pernah membuatku begitu kecewa pada imajinasi yang pernah saya bangun itu, Gie.

Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekkah
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza
Tapi aku ingin menghabiskan waktuku di sisimu, Manisku.
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal, dan lucu,
atau tentang bunga-bunga yang  manis
di lembah Mandalawangi
Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang
Ada bayi-bayi yang lapar di Biafra, tapi aku ingin mati di sisimu, Manisku
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
tentang tujuan hidup yang tak satu setanpun tahu
mari sini, sayangku
kalian yang pernah baik dan simpati padaku
tegaklah ke langit luas atau langit yang 
mendung
... kita tak pernah menanamkan apa-apa,
Kita tak akan pernah kehilangan apa-apa.

Untukmu,

Tak ada kalimat lain selain maaf karena tidak bisa menemani di pergantian tahun yang mungkin kamu tunggu itu.Entah kenapa pilihan rasionalku masih saja berkuasa, senantiasa bermain di akhir bulan ini, seharusnya saya dan kamu menyusuri jalanan di kota itu dengan riang, sesekali saling mengejek dan kamu menggenggam erat tanganku sembari menyaksikan langit malam yang syahdu itu.

Saya akan selalu merindukanmu sejak tatapan sendu di malam itu, pada pertemuan yang tidak pernah bisa saya definisikan. Hanya beberapa kali saya coba untuk tafsirkan dalam bentuk catatan-cataan sederhana. Selebihnya, saya akan selalu mencintaimu dan entah kapan bisa berhenti untuk merindukan cintamu—entah siapa yang memasukkan kalimat ini di catatanku.



Sekali lagi, saya minta maaf seraya membisikkan kalimat rindu di akhir bulan yang tidak bisa saya tunaikan itu.

“Lihatlah catatan sederhana ini sebagai pengganti jarak yang memasung rindu kita untuk saling bertemu. Bukankah konon  Adam dan Hawa juga dipisahkan oleh waktu dan juga jarak lebih dari sepertiga dunia itu dan mereka akhirnya bertemu?

Entahlah, tapi saya ingin selalu merindukanmu  dengan sederhana, seperti ponsel yang selalu rindu akan sinyal di daerah terpencil itu.”



Bulan telah berganti, Januari telah tiba. Mau tidak mau manusia-manusia  harus melewati. Pasti akan ada tantangan, harapan-harapan, serta kenangan-kenangan yang entah tiba ataupun malah bepergian begitu saja.

Mungkin kamu telah menyiapkan resolusi atau apalah itu kalimat yang telah kamu persiapkan di malam tahun baru, juga tujuan-tujuan yang akan bakal kamu capai di tahun yang baru nanti.

Selamat tahun baru, Manisku.

Ciputat, 1 Januari 2013
@DedikPriyanto