Tendang, Terjang, Hadang

Sabtu, 27 April 2013

Lima Novel yang Menemani Saya Tumbuh


Kawan saya tumbuh itu kamu.

23 April adalah hari buku dunia. Tahun lalu, saya menulis di blog saya ini perihal beberapa buku saya yang pernah terbit. Bukan sesuatu yang fenomenal, tapi minimal mereka adalah penanda jejak, bahwa hidup ini cukup layak untuk sekadar dikenang—minimal oleh orang yang pernah membaca. Bahkan jika aku terpaksa meninggalkan dunia hari ini, saya tidak akan terlalu merugi.

Salah. Tentu saja saya akan rugi. Sebab apa yang saya tulis bukan sesuatu yang luar biasa seperti orang-orang kreatif mencipta anak-anaknya. Tapi sudahlah, di hari buku ini, saya hanya ingin berbagi perihal lima novel yang harus dibaca agar kamu tidak merasa rugi pernah singgah di dunia yang ringkih ini.

Tidak ada kriteria khusus tentang pemilihan lima novel ini. Hanya berdasarkan kesukaan saya saja. Juga tak ada pembatasan khusus atas genre tertentu, cuma hobi saya akan tema cinta, kenangan, masa lalu dan humor—dan tentu saja yang pernah saya baca.

Untuk itu, saya akan membagi menjadi lima novel Indonesia saja. Saya tidak bermaksud mendikotomi, tapi minimal lima novel menjadi teman yang begitu akrab dan hangat selama hampir lima tahun ini.

Tapi untuk itu, saya harus menyisihkan beberapa nama penulis lawas dari Indonesia semacam Pramoedya Ananto Toer, Seno Gumira Ajidarma, Mochtar Lubis, Mahbub Djunaidi, Toha Mohtar dan lain-lain. Nah, yang akan saya dedahkan adalah novelis muda yang dibawah 40-an. Saya pikir, merekalah pemegang estafet kepengarangan kita.

Cantik Itu Luka



Cantik Itu Luka. Gambar di sini
Novel ini ditulis Eka Kurniawan, penulis dari Tasikmalaya, generasi penulis Jogja dan salah satu penulis yang selalu saya tunggu karyanya. Entah kenapa saya begitu yakin, novel ini merupakan novel terbaik Indonesia saat ini. Begitu ritmis, liris dan magis. 

Gaya bertutur Eka yang menyerupai dongeng membuat hati saya tergerak untuk mencari sejauh mana istri dari novelis Ratih Kumala ini berproses. Ia pula yang membuat alam bawah sadar saya terus bergejolak dan menyimak narasi kesadaran dari Dewi Ayu, Si Cantik dan Kamerad Kliwon di dunia entah yang bernama Halimunda.

Novel ini mirip Marquez dengan One Years of Solitude dengan Macondo sebagai pijaknya. Tapi, sebagai seorang terinspirasi oleh Marquez—siapa pula yang tidak terinspirasi realisme magis yang diciptakannya—Eka Kurniawan begitu sukses, bahkan sangat sukses melebihi penulis yang ditirunya.

Tapi menyebut Eka tanpa menyibak realitas historis pribadinya adalah kesalahan. Sastra Indonesia adalah bagian dari peradaban dunia. Dan Eka lahir dari peradaban sastra dunia.

Jika kamu sempat membaca proses kreatif kepenenulisan Eka Kurniawan di di On/Off edisi  2006, kamu akan melihat bagaimana seorang lelaki yang diasuh oleh pengarang dunia semacam Knut Hamsun, Yasunawari Kawabata, Miguel de Carvantes dan tentu saja Gabriel Garcia Marquez.  

Tapi saat ini ia memutuskan untuk menyapih diri dari asuhan para penulis dunia ini. Ia pun berkata begini,”Hingga datang waktu saya harus menyapih diri dari para pengasuh, bahkan dari para orang tua, dan mencari sendiri teman, kekasih dan sekaligus musuh. Saya membaca buku apapun yang saya peroleh. Buku pengobatan maupun manual mengoperasikan telepon genggam. Lalu saya mulai menulis, dan dengan cara itulah, seorang pengarang menemui ajalnya."

Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta
Kover yang membuat jatuh cinta


Saya terpikat pertama kali lewat judul novel ini. Proses saya menemukannya pun harus dengan curi baca. Berawal dari kawan saya yang—entah meminjam darimana—membawa buku ini dan dibaca di teras depan kontrakan. Lalu entah kenapa kawan saya ini tiba-tiba ke kamar dan meletakkan bukunya di samping televisi.

Sontak saja, saya langsung membacanya dan menjauh. Tatkala kawan saya bangun dan mencari buku ini, saya sengaja berniat mencurinya. Belakangan ia tahu, saya hanya berdalih, buku itu saya baca dan lupa. Tapi entah kenapa, sampai sekarang, saya ingin mencuri buku itu. walaupun saya tahu, kalau saya merajuk dan meminta pasti dikasih, tapi sekali lagi, saya ingin mencurinya. Itu saja.  Tidak salah, bukan? ?

Kovernya begitu buluk, tapi begitu menyentak; seorang lelaki yang tampak sedang mengayuh sepeda onthel dan dibelakangnya terdapat buku-buku. Sublim.

Novel ini berkisah perihal kehidupan sunyi yang harus dialami ketika orang memutuskan untuk menjadi seorang penulis dan meninggalkan dunia kuliah. Orang yang begitu mencintai dunia menulis dan buku hingga ia menukarkan hidup dan nyawanya hanya untuk membaca.

Tak hanya itu, buku ini juga mengulik dunia penerbitan Jogja yang riuh oleh penerbitan. Lengkap dengan pelbagai tipu daya dan unsur humor tentang dunia yang konon mencerdaskan manusia ini. Buku ini ditulis dengan apik oleh Muhidin M. Dahlan.

Satu hal lagi, buku ini merekam jejak Jogja sebagai kota buku, gerakan dan juga cinta. Juga memotret perdebatan masa awal 2000-an perihal debat buku terjemahan yang memantik sengit antara kubu penulis/penerjemah asal Jogja dan Jakarta yang acapkali sok pintar itu.

Namun, sayang sekali, beberapa bulan lalu saya menemukan buku ini diterbitkan ulang dengan perwajahan yang begitu mengecewakan dan diberi tajuk yang sangat buruk ‘Jalan Sunyi Seorang Penulis’. Ah, saya sungguh tidak simpati.

Jika Gus Muh, begitu ia disapa, membaca catatan sederhana ini, tolong kembalikan cinta saya kepada sosok pria ringkih berambut gondrong yang berada dalam ‘Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta ini.

Dadaisme

Novel absurd dan kedalaman manusia. gambar di sini
Dadaisme adalah novel psikologis paling sublim selepas saya membaca novel klasik dari Toha Mohtar yang berjudul Pulang (1957). Walaupun berbeda cerita dan perwajahan dalam mengemas suasana psikologis, Entah kenapa, saya begitu menyukai novel ini. Novel yang ritmis dan penuh dengan tanda yang tidak akan selesai dengan dibaca satu kali.

Penulisnya masih muda, begitu muda malah. Novel ini pula yang memenangkan sayembara novel DKJ tahun 2005. Di tempat inipula, saya menemukan dunia ganjil yang entah berada di kepala siapa. Bisa saja dunia ini ada di kepalamu tapi tidak pernah bisa kamu mengerti.

Maka, simaklah sekelumit pembuka dalam novel ini, begini;
Sebut saja kota itu sebagai Metropolis—ada banyak alasan mengapa tidak pernah bisa disebutkan namanya—, sebuah kota yang bila mau disamakan seperti layaknya kota-kota besar dimanapun berada. Penuh dengan gedung-gedung besar, jalan-jalan layang membelah langit, mulusnya aspal-aspal yang berkilat disiram cahaya matahari, tidak juga lampu-lampu yang berkelap-kelip, atua lebih mengejanya; neon berwarna.

Begitulah, Dadaisme mencoba untuk tidak memberikan nama untuk bisa membuat orang jatuh cinta. Tapi ia akan membuat pembaca seperti saya jatuh hati pada halaman pertama. Begitu kira-kira.

Cinta Tak Pernah Tepat Waktu

Jika kamu adalah seorang lelaki yang hidup dengan cinta, kenangan dan masa lalu yang mungkin suram atau penuh kesenduan. Maka saya sarankan jangan menbaca novel yang ditulis oleh penulis brengsek yang saya kagumi ini; Puthut EA.
jangan baca buku ini, bakal kecanduan :p

Karena novel ini, saya seakan menemukan diri saya melebur di dalamnya; seorang mahasiswa yang belum lulus, terserap pada dunia masa lalu, soerang pembunuh bayaran dan banyak ragam yang mengitarkan kehidupan yang entah, juga perihal cinta yang selalu kandas—entah siapa yang memasukkan kalimat ini di sini.

Di novel inipula, saya menemukan gaya bertutur yang lincah, penuh dengan humor, acapkali satir dan seringkali suram. Jadi, saya tidak bisa bercakap banyak soal novel dan penulis cerita ini, sila baca dan cari siapa tahu kamu menemukan dirimu juga di sini.

9 Dari Nadira

novel yang liris bernas.
Saya tidak bisa untuk mengeyahkan jalinan cerita dari Leila S. Chudori ini dari catatan ringan saya ini. Dunia rekaan yang dibangun oleh jurnalis Tempo ini memburatkan perwajahan cerita yang begitu ritmis dan penuh dengan tanda tanya.

Saya orang yang sangat suka dengan cerita berbau berita, seperti halnya saya menyukai cinta. Dan lewat 9 dari Nadira, Leila Chudori mampu menampilkan setting kantor berita yang sangat nyata.
Kadang saya berpikir, cerita-cerita di dalam ini merupakan kisah pribadi penulisnya yang sangat muram. Juga perjumpaan dengan Goenawan Mohammad yang lamat-lamat saya baca sebagai bentuk glorifikasi terhadap tokoh yang—terlepas dari kontroversinya—adalah orang yang begitu berjasa pada dunia sastra dan jurnalisme kita hari ini.

Mungkin ketika membaca catatan ini, kamu akan mendebat, bukankah 9 dari Nadira adalah bentuk kumpulan cerpen seperti yang tertera di pembukanya?

Tapi, coba anda perhatikan, pertalian dan pertautan antar mereka adalah jalinan kisah yang saling berjumpa. Saya lebih suka menggolongkan buku ini dalam jenis novel. Toh, kalau kita mau berdebat, bukankah tetralogi Buru karya Pram adalah jalinan kisah yang mampu berdiri sendiri—dan tak akan kehilangan makna jika dibaca bersambung.

Terlepas dari debat itu, kamu akan begitu rugi dalam hidupmu jika belum pernah membaca cerita ini. Bahkan menurut saya, ini lebih dari sublim gaya bercerita daripada Malam Terakhir dan karya terbarunya yang ditunggu khalayak, Pulang (2013).

***

Sekali lagi, lima novel di atas tidak menunjukkan apa-apa. Paling tidak, mereka telah menemani saya tumbuh dengan bacaan-bacaan yagn bermutu—dan dari Indonesia tentunya. Boleh kamu menyebutnya bacaan sastra yagn bermutuh. Toh, seperti kata SGA tempo hari saat ngobrol, tidak disebut sastra juga tidak apa-apa.

Sekali lagi, mereka ini yang menemani saya tumbuh dan bergeliat.

Ada beberapa novel sebenarnya, yang saya akan berdosa jika tidak menyebutnya dan mereka harus bersedia terlempar ke lima besar laiknya klub Liverpool yang selalu gagal masuk ke lima besar beberapa tahun belakangan.

Beberapa novel itu antara lain; Lelaki Harimau (Eka Kurniawan), Kronik Betawi (Ratih Kumala), Negara Kelima (ES Ito) dan tidak dilupakan adalah karya Seno Gumira Ajidarma; Kitab Omong Kosong, Negeri Senja, Kalatidha, dan lain-lain.

Hmm.. catatan saya menjadi panjang. Baiklah, itu lima novel yang menemani saya tumbuh. Kalau kamu?

Ciputat, 23 April 2013
@DedikPriyanto

Apakah Seorang Pemikir Bisa Bahagia?

Makam Soe. gambar di sini

~ untuk Soe

Oktober 1968,  Soe Hok Gie pergi ke Honolulu.  Ia ingin menjadi turis dan sejenak berpikir untuk meninggalkan semuanya, melepaskan segala kepenatan dan berniat menjadi seorang turis semata. Lalu ia melihat dataran Fiji dan Sidney yang luas itu, ia tergelak, otaknya mampat, pikirannya meracau. Tiba-tiba ia merasa begitu sedih, sentimentil.

Soe pergi menuju kawan karibnya, Daniel-Lev, dan mendengarkannya berucap lirih kepadanya. Ia ingin berkeluh perihal otaknya tak bisa sejenak untuk beristirahat dari gelisah yang entah. Bayangan perihal karut-marutnya negeri membuatnya tak berhenti. 

“Soe, kau adalah seorang pemikir. Orang-orang seperti itu selalu menanyakan tentang nilai-nilai dalam masyarakat. Mereka tidak pernah akan bahagia, dan tak akan pernah puas. Terimalah kenyataan ini.”

Soe,

Saya baru baca penutup tulisanmu yang bertajuk ‘Awal dan Akhir’ di harian Sinar Harapan (7 April 1969). Sebuah pertanyaan muncul di benak saya, apakah benar seorang pemikir itu tidak bisa bahagia? Lalu, apa yang kamu—dan orang-orang sepertimu cari?

Saya tidak bisa mendefinisikan apa itu kebahagiaan. Absurd. Tidak adanya kriteria mendasar perihal bahagia ini merupa lembah belukar yang terkadang tak bisa dilalui. Namun semua pasti sepakat, ada yang mampu untuk sekadar membelah belukar itu dan menjadikannya sebuah taman yang asri penuh bunga dan—konon—itulah kebahagiaan.

Seorang pemikir bukanlah mereka yang bekerja hanya dengan pikiran semata, berkehendak dengan otak dan bertutur laiknya nabi yang memberikan petuah. Toh, nabi saya kira bukanlah seorang pemikir. Ia adalah pewarta yang menjadi jembatan antara manusia dan  Tuhan kepada manusia.

Kita bisa berdebat panjang soal itu.

Tapi, seorang pemikir sering diasosiasikan sebagai orang yang murung, berjalan dengan ringkih dan berkacamata tebal, serta tak akan pernah lekang dari buku. Atau jika menemukannya ia termenung, ia akan terus berdiam dan enggan untuk sekadar disapa.

Pun kalau ia berbicara, orang-orang akan siap diberi amanah untuk menjadi kawan bercakap yang entah kapan akan berakhir dengan kesepaktan dan kesepahaman.  Sebab argumentasi yang ndakik dan mungkin serba awang-awang akan tersaji. Beruntung jika kawan bicara ini mempu mengimbangi. Berita buruk jika ia tidak sanggup, maka alamat sengsara.

Nah, seorang pemikir ini biasanya adalah orang yang hidupnya tidak bahagia, seperti kata Daniel Lev. Orang yang tidak pernah bisa berhenti memikirkan segala hal, tak akan usai untuk mengejar harapan, dan tak pernah lekang menimbang segala perbedaan. Itulah sikap atau semacam sembahyang yang dilakukan orang model dirimu.

Konon, seorang pemikir itu makanannya adalah segala yang berbau kericuhan, persoalan bangsa yang tak pernah tuntas. Itu adalah asupan gizi dari makanan saban hari yang harus ia terima seperti halnya Daniel Shilton yang harus terima mendapatkan gol dari Maradona—walaupun itu menggunakan tangan. Hidup bagi mereka adalah sebuah takdir magis yang harus dilalui.

Orang biasa kerap berkilah, bahagia itu sederhana. Misalnya, dengan mendapatkan keluarga yang hidup dengan berkecukupan atau tiba-tiba datang segepok dirham tanpa diduga. Toh, kebahagiaan memiliki bilang makna yang tak terkira.

Tapi bagi mereka yang suka berpikir tak akan pernah selesai dengan sederhana. Ia akan berhenti jika hidup ini berhenti berdenyut. Kamu telah meninggal, memang. Tapi, tidakkah kamu mengerti, bahwa hidup ini akan terus berputar.

Soe,

saya tahu, sekarang ini di dunia kamu saat ini, kamu pasti tidak bisa berhenti berpikir, memikirkan negaramu saat ini yang tambah kacau dan tak menentu; harga-harga yang kian tak terjangkau, pongah para pejabat yang kian tak masuk akal, serta rintih masyarakat yang begitu memekakan telinga.

Umur kita bertaut hampir 60 tahun. Tapi keadaaan saat itu saya yakin hampir serupa dengan jamanku saat ini. Reformasi ’98 tidak memberikan keamanan dan kenyamanan dalam hal ekonomi bagi masyarakat bawah. Tentu saja hal itu serupa saat kalian turun ke jalan memaksa diturunkannya harga-harga pada tahun ’66.

Apakah kamu bahagia di alam sana?

Saya tidak yakin. Tapi mungkin kamu akan sedikit lebih beruntung. Kamu bisa langsung bercakap dengan pelbagai orang yang tidak bahagia sepertimu. Saya membayangkan dirimu tiap pagi membaca koran dan berdiskusi dengan pemikir lintas generasimu seperti Gus Dur, Yap Thiam Thien, Romo Mangunwijaya, Pramodya Ananta Toer, WS Rendra dan mungkin juga dengan Mbah Surip.

Oh ya, Soe. Apakah kamu sudah berbaikan dengan Bung Karno? Saya yakin, kamu malah mengajaknya untuk berdebat. Tapi sejurus kemudian saling cekikian bersama.

Pastinya, sekarang ini Bung Karno tidak akan meledekmu gara-gara setelan safari yang kedodoran kala kamu seperti saat bertandang ke istana negara tempo itu.

Saya tidak bermaksud untuk menulis surat kepadamu, seperti halnya orang-orang yang  menuliskan surat kepada orang yang dikaguminya. Sebenarnya saya tidak terlalu mengagumimu selepas tahu bahwa dirmu adalah eksponen GMSos/PSi dan walaupun—akhirnya—kamu menyadari dan keluar sebab perjuangan mereka adalah lip service semata.

Tapi, apakah kamu sekarang bahagia? Saya tidak bisa menebaknya.

Jakarta, 20 April
@Dedik Priyanto


Senin, 22 April 2013

Segenggam Cerita dari Ode Kampung #4

Gola Gong dan Rumah Dunia

Tepat. Pada pagi itu, tidak seperti biasanya saya bangun lebih pagi. Banyak yang bertanya ihwal itu, mengapa saya bangun pagi? Tidak seperti biasanya, yang harus menunggu matahari duduk bersila di ufuk timur, dan menikmati secangkir kopi pesanan embun. 

Saya bergegas menuju halte UIN Jakarta, saya yakin di sana sudah pasti ditunggu orang-orang. Karena semenjak tadi malam, saya mewanti-wanti untuk berangkat pagi.

Dan ternyata memang demikian. saya sudah ditunggu oleh Erik dkk. Maka kami berangkat menuju Serang, Banten, menaiki Primajasa. Hampir 3 jam kami melalui Jakarta, merak, hingga ke Banten, dan turun di perempatan (entah apa namanya). Naik ojek yang hanya 5 ribu, ke Rumah Dunia; sebuah komunitas yang berada di kampung yang sangat bersahabat.

Adalah Festival Kesenian Banten yang membuat saya tergeragap untuk ke sana. Terbelalak. Begitulah ketika saya melihat riuhnya tempat itu; dengan ornamen bebegig yang menyelimuti tempat yang terdiri.  Eksotis dengan pernik tradisonalnya.

Namun, satu hal yang membuat saya kagum adalah perpustakaan yang ada dibelakang tempat festival itu. tepat di samping kantor Gong Publishing, saya melihat ada tumpukan buku yang siap untuk dilahap; baik itu politik, filsafat maupun sastra. Dan itu hanya satu tempat dengan label perpustakaan dewasa. Karena ternyata ada perpustkaan lagi yang dikhususkan untuk anak-anak yang tentunya dengan jenis buku yang tersendiri.

Lelaki itu bernama Gola Gong yang menginisiasi komunitas ini semua, sebagai medium untuk tempat apresiasi kesenian dan balai pendidikan bagi anak-anak jalanan yang kurang mampu. Lelaki yang menghasilkan novel popular “Balada si Roy” pada tahun ’90-an ini dengan segala keterbatasan yang ia miliki—jangan lupa dia hanya memiliki satu tangan untuk menulis—mampu memberi tafsiran berbeda atas makna keterbatasan, bahwa optimisme dan cinta itu lebih besar daripada keterbatasan.

Suatu hal yang menggelitik adalah Ode Kampung, kerap dipahami sebagai medium alternatif kesenian, dan pertemuan senian,  sebagai bentuk perlawanan dari hegemoni suatu komunitas atas komunitas yang lain yang di Indonesia. Bahkan juga acap disalah artikan sebagai oposisi dari Komunitas Utan kayu dalam hal standarisasi kesenian.

Paling tidak itulah yang berkembang selama hampir 3 tahun ini. Baik di milis, maupun “perang” di media massa. Dan kebanyakan diwakili oleh kubu Saut Situmorang dkk dengan kubu Sitok Srengenge dkk . 

Dan  itu juga yang termaktub dalam manifesto mereka saat Ode Kampung #2, yang mempertemukan segala komunitas yang ada di Indonesia dalam satu tempat; rumah dunia.

Ketika saya bertanya tentang ini kepada mas Gong, begitu saya biasa menyapa, ia hanya menjawab sederhana.”Oh tidak benar itu. Kami tidak pernah merasa oposisi atau melawan. Tapi, kita mewadahi bagi setiap orang. Baik itu seniman maupun sastrawan yang ingin belajar, diskusi tentang segala apapun.

Dan Ode Kampung#2 agaknya mengarah hal itu, bahwa tidak ada hegemoni suatu komunitas atas komunitas yang lain. Dan kami tidak pernah menyebut nama. Itu kerjaannya media,” tuturnya, lengkap dengan kacamata hitamnya yang khas.

Berbeda halnya dengan festival kali ini yang lebih bertemakan “nature”. Ketika saya baru datang misalnya, ada suguhan kesenian Banten, dan sore harinya ada perang puisi antara Ahda Imran dan Sihar Ramses Simatupang. Keduanya adalah penjaga gawang rubrik sastra di harian Pikiran Rakyat dan Sinar Harapan.

Pun perang syair antara Chavchay Saifullah dan Bode Riswandi. Dan agaknya diskusi itu jatuh pada dua tema besar; standarisasi puisi dan pergulatan tema dalam puisi yang menukik pada dua bahasan, estetis atawa realis. Lalu acara selanjutnya, diisi dengan malam seni dan pementasan teater abar bertajuk bebegig.
Pementasan bebegig, sumber gambar di sini


Bebegig artinya orang-orangan sawah dalam bahasa Sunda. Yang membuat pementasan ini begitu riuah adalah orang yang bermain. Bayangkan, ada lebih dari 100 orang bermain bersama di taman lapang. Orang-orang ini membangun dialog yang miris perihal dewa-dewa yang turun gunung sebab bebegig yang mereka ciptakan malah merusak alam.

Pementasan ini coba memotret realitas dunia hari ini yagn penuh dengan keculasan, kemunafikan dan korupsi yang kian menyebar. Bahkan dewa pun marah, apalagi manusia?

Saya dan sahabat saya pun menginap di rumah warga. Kami pun harus merogoh kocek sebesar 25 ribu, tapi yang paling menarik adalah tamu yagn datang dipersilakan untuk langsung bercengkerama dengan warga di Serang.

Menyimak kehidupan mereka dari dekat—lengkap dengan sejarah mereka yang harus dituliskan secara terpisah. Entah kenapa, tiba-tiba saya teringat beberapa seniman dari Serang semacam Misbah Yusa Biran dan peristiwa kanonik 2007 yang menyeret komunitas ini menjadi rumah alternatif untuk melawan ordonansi utan kayu.

Esok harinya, saya dan rombongan menaiki bus yang sudah disediakan untuk pergi ke utara. Menuju laut dan menemui seorang peternak ikan bandeng yagn membuat rumah hijau dengan konsep laut, alam dan modernitas. Namanya Eco Village, rumah di atas tambak bandeng yang menyuguhkan panorama yang sukar untuk dijelaskan. Tempatnya kurang lebih 300 meter dari dermaga Karang Hantu, tempat pelelangan ikan paling terkenal saat itu.

Di tempat itupula, kami memancing, bermain gondola (saya berasa di Venesia), dan membakar ikan bandeng sepuas-puasnya, sebanyak-banyaknya. Saya bersama para turis dari manca lainnya berusaha untuk saling berkejaran naik perahu seperti di film-film itu. kawan dari Lampung, Yudistira, menyebutnya sebagai.”Surga lain dari rumah dunia,” tuturnya.
Banten Eco Village Wong Banten, gambar di sini

Yang paling menarik tentu saja bakar bandeng. Tungggu dulu, ini adalah bandeng lumpur. Sekali lagi, lumpur. Ikan bandeng dibalut dengna lumpur tambak lalu dibakar. Awalnya saya kurang mengerti, tapi setelah tahu mendapat penjelasan dari instruktur, baru saya mengetahui bahwa ini adalah tradisi adat dan secara medis malam membuat bandeng semakin sehat. Terlepas dari itu, rasa bandeng dengan dibakar lumpurnya ini sungguh menggoda iman. Eureka.

Kira-kira pukul 2 siang, rombongan harus segera meninggalkan Eco Village. Kami langsung berjalan menuju Banten tengah, ke arah kerajaan Banten lawas dan menyaksikan pelbagai peninggalan di sana. Sekali lagi, saya tersentak dengan riuhnya pengunjung ke kerajaan—serupa dengan makam-makam sunan-sunan di Jawa Timur. Namun di sana saya tidak bisa lama, sebab malam kian beringsut dan harus mengejar bus ke Jakarta.

Dari Serang, saya minta ijin ke Mas Gola Gong dan Tias Tantaka, kami sempat berfoto bersama dengan beberapa kawan dari lintas komunitas dan tentu saja melihat lebih dekat dengan surga itu, surga bagi mereka yang menyukai kreativitas dan perlawanan.

Ah, kapan saya bisa ke sana lagi.

Jakarta, 20 Desember 2010
@DedikPriyanto
Sebuah Sore saat saya bangun tidur dari perjalanan melelahkan tiga hari di Banten.

NB: Saya terkaget ketika menemukan lagi tulisan ini, ternyata saya bikin catatan pelesir ke Serangn di tahun 2010 silam. Saya edit sedikit soal EYD tanpa mengurangi isi.  Sayang sekali, foto dari kami semua hilang karena kawan saya, Yudistira, terkena musibah kala ia balik dari Lampung, kapalnya kecelakaan dan seluruh barang, termasuk kamera DLSR, laptop dll habis terlalap api, beruntung kawan saya tidak menjadi korban.

Sabtu, 20 April 2013

Selepas Tujuh Purnama Itu


~ Kepada T
I
Mendadak semuanya begitu sendu. Caramu berbicara yang kian lirih, senarai pesan singkat yang terus memberi jawab, gelisah yang saling berbalas, serta pelbagai percakapan tak henti merupa alur hidup yang entah. Tak ada yang lebih menyehatkan daripada senyum gadis manis yang dengan tulus mengajakmu untuk sekadar berjalan membelah malam.

Aku masih ingat betul malam itu, kala kamu dengan genit menggamit tanganku dengan mesra membelah jalanan Malioboro. Hujan rintik menjadi saksi dan hangatnya tawamu adalah opium yang bagaimana aku bisa melupakannya hari itu—hingga kapan—aku tidak pernah bisa mengerti.

Bukankah kenangan dapat tercipta hanya dengan satu sentuhan, satu genggaman tangan, satu malam!

Sebab kangen adalah rasa purba yang tidak pernah mampu terjawab dari dua manusia yang jatuh cinta, dan jarak menjelma guru yang tak henti mengajarkan arti rindu.

Maka jatuh cinta kepadamu adalah nasib yang aku nikmati, walaupun sekali lagi, jarak menjelma guru yang  senanatiasa terus mengajari mengajari arti merindu.

“Bahkan sampai hari ini, kita tidak pernah mengerti siapa kekasih kita masing-masing,” tuturmu tempo hari di sebuah malam.

Lalu ponsel itu berhenti berdenyit, ada tangis sederhana yang lamat-lamat aku dengar dan getar dada yang sukar aku pahami.

Aku lupa, aku sungguh tidak mengingat kapan terakhir kali aku merasa begitu sedih dan begitu ingin pergi ke sebuah tempat yang tidak ada satupun mata yang menatapku. Aku ingin menangis sejadi-jadinya, hilang sejauh-jauhnya dan berteriak sekeras-kerasnya.

Jatuh cinta memang sakit, Puan! Tapi, mencintai adalah menyiapkan hati untuk bahagia dan kecewa sekaligus. Kita tidak pernah bisa memesannya satu hanya satu. Aku menikmatinya. Sungguh.

Salah satu peristiwa yang paling aku hindari dalam hidup adalah melihat seorang perempuan menitikkan air mata. Suara yang parau, denting yang berjalan dengan sesenggukan, dan mata sayu berlinang air adalah perkara yang sukar aku terima.

Aku pernah melihatnya, dan aku tidak mau mengulangi hal yang serupa Aku acapkali melihat ibuku kala menangis dan aku benar-benar tidak sanggup untuk sekadar menatap matanya yang sendu itu. Kadang aku berpikir, betapa tidak adilnya manusia-manusia yang kerap menggangap tangisan adalah perbuatan cengeng, lemah dan goyah.

Bahkan hanya menisbahkan persoalan tangis kepada perempuan semata. Bukankah Che Guevara juga menangis kala mengirimkan surat dari kepada Fidel, isterinya yang tercinta itu, sebelum ditangkap oleh para bolivar yang berkhianat. Apakah sosok revolusioner itu cengeng?

Aku begitu yakin, seorang yang kuat bukanlah mereka yang mampu mengangkat beban ratusan kilogram, melainkan pribadi yang sanggup memberikan ruang bagi hatinya untuk menjadi manusia seutuhnya, yang mengerti bahwa hidup hanyalah perbendaharaan pemahaman kepada manusia lainnya.

Dan mendengarmu sesengguhkan menahan tangis merupakan episode sakit yang tak terperi, lebih sedih dibanding gagang badminton yang pernah tertancap di kaki kiriku kala beranjak dewasa. Seakan pusaran waktu berhenti dan malam terasa begitu panjang aku lalui.

“Terima kasih sudah menyayangiku. Itu adalah hal yang berarti bagiku,“ katamu di sebuah pesan singkat.

II

Mendadak semuanya begitu sederhana. Caramu merajuk dengan sedikit dengusan yang kian renyah, silang cakap yang terus memudarkan gelisah, tawa kecil yang mengitarkan gembira di semesta dan pelbagai perbincangan yang menawarkan pemahaman akan rindu yang terus memuncak. Tak ada kisah yang lebih sendu dari cinta yang menawarkan gelisah.

Aku masih ingat malam itu, sebuah malam ketika kita pertama kali saling menjejakkan pandang, menutupi apa yang tengah bergejolak lewat perbincangan-perbincangan biasa dan mendedahkan rasa yang entah tak bisa aku pahami—dan mungkin kamu juga.

Lalu semuanya menjadi begitu purna, di malam itu. Cinta merupakan putaran nasib yang harus dijalani sekuat-kuatnya. Kadang cinta tak harus disepakati dan sedih adalah pilihan yang harus terterima jika rasa tak bertaut. Semesta akan menjadi kabar dari kesunyian bagi mereka yang percaya akan cinta. 

Nasib adalah kesunyian masing-masing, kata Chairil. Dan cinta merupakan kesenduan masing-masing, kataku.

Lima belas Oktober dua ribu dua belas adalah janji. Janji mengikat rasa yang telah mengudar di semesta. Jika toh bisa, aku ingin membungkus semesta ini menjadi sebuah kado kecil, lalu aku antar ke kantor pos dan membubuhkan alamat rumahmu di sana.

Tak ada keinginan lain melebihi itu.

Hening kerap ternyata dari percakapan-percakapan biasa. Masa bergulir seperti janji yang tak pernah teringkari dan matahari tiap hari menyapa tanpa henti. Tanpa aku sadari, kisah itu sudah berjalan hampir tujuh bulan sejak sebuah malam yang—penuh—gelisah cinta itu.

Aku tidak pernah tahu kisah ini akan berjalan sampai mana, seperti halnya aku tidak pernah tahu kapan akan merasa lelah untuk terus mencintaimu—dan aku tidak pernah berpikir untuk berhenti.

Namun aku yakin, akan datang suatu masa yang bakal menentukan kisah ini bertaut, memilih untuk berada di dermaga sembari memandang lautan yang luas atau berhenti di  terminal dan membuat kita menaiki bus masing-masing ke tujuan yang entah.

Belakangan ini,  beban pekerjaan yang kian menumpuk membuatmu limbung dan jatuh sakit. Entah kenapa aku begitu bingung dan seakan tidak punya daya untuk melangkahkan kaki beberapa hari. Ingin rasanya ragaku ke sana, membuatkan teh hangat untukmu, menyuapimu bubur dan menemanimu meminum obat.

Dunia terasa begitu suram. Apakah aku terlalu berlebihan? Ah sudahlah.

Aku menulis ini dengan iringan lagu Broery Marantika dan Dewi Yull yang berjudul ‘Sepanjang Jalan Kenangan’. Dan jalan kita memang penuh kenangan. Bukan saja untukku, tapi untuk senyum manismu dan semesta yang selalu menyimpan cerita tentang kita.

Jakarta, 18 April 2013
@DedikPriyanto

Kamis, 18 April 2013

Dua Kutipan Cinta dari Pram

"Cinta itu indah, Minke, juga kebinasaan yang mungkin membuntutinya. Orang harus berani menghadapi akibatnya. "
#BumiManusia



"Cinta itu indah, Minke, terlalu indah, yang bisa didapatkan dalam hidup manusia yang pendek ini."
#BumiManusia

Selasa, 09 April 2013

Paisano, Saya dan Anggur Torelli dari John Steinbeck

(Begundal Monterrey, buku diambil di kover buku)
Entah dosa apa yang telah saya perbuat minggu ini. Saya telah membuat seorang sahabat saya menjadi gila, dan bernafsu. Begitu bernafsunya pemuda yang berambut lurus, ringkih dan tampak tinggi menjulang itu , hingga membuat saya harus beberapa kali berpindah tempat tidur. Guna menjaga diri,  lemari  harus lekas-lekas dirapikan. Kamar mandi pun harus dibersihkan. 

Demi kecintaan saya pada Inter Milan, saya berani bersumpah bahwa seumur hidup saya tidak pernah membuka selangkangan di depan umum, atau bertelanjang dada sembari berlarian di jalanan. Sekadar pamer dada saya yang begitu berisi, begitu gembur.

Hingga saya sangat yakin, hanya dada Bang Haji yang mampu menandingi. Apalagi jika menenteng gitar, dan mengacungkannnya ke atas.

Saya sarankan kepada saudari-saudari sekalian, jangan pernah menyuruh saya membuka baju. Karena saya tidak mau Bang Haji nanti turun tangan, dan memdakwa dengan tuduhan pornoaksi. Apalagi subversif. Hanya karena saya membuka mencopot kaos, dan menunjukannya di  hadapan kalian.

Bukankah Bang Haji juga kerap bertelanjang dada?

(Saya begitu yakin, banyak dari kalian begitu bergeliat melihatnya.
Bukankah reaksi ini yang anda anggap porno Bang?)   

Ah, sudahlah. Saya ingin cerita tentang sahabat saya ini. Masih seperti tadi. Sahabat saya itu begitu bernafsu.

“Ayolah, Om,” ujarnya sedikit memaksa. Saya hanya diam.

Lalu  dengan mimik yang begitu jujur, dan sukar dijelaskan, pemuda yang berasal dari Palembang ini mulai mengobrak-abrik lemari saya, entah apa yang dicari. Yang pasti, ia tidak akan menemukan baju, duit, maupun perempuan di lemari saya. Karena saya hanya mempunyai satu lemari, dan itupun sudah penuh dengan pelbagai macam buku.

Tidak elok kiranya saya bercerita tentang nasib saya yang telah menelantarkan buku-buku yang telat datang ke kamar. Karena pasti, nasib mereka tidak lebih baik dari para jomblo yang telah beberapa kali ditolak cinta. Bahkan saya yakin lebih baik dari para pengungsi. Karena tentu, tidak jarang para donator yang akan menolong. Lalu mereka, siapa yang mau menolong?

Mereka harus rela tidur di tempat terbuka, kedinginan, dan kepanasan.  Tak jarang pula menginap di lemari kawan-kawan yang sekadar meminjam.

Syukur-syukur mereka  kembali, karena seringkali lupa pulang, atau jangan-jangan saya curiga, mereka sengaja mencari tempat yang nyaman untuk diperhatikan, guna dibaca. Laiknya Sherif Woody Cs yang mencari lapak baru untuk dimainkan, karena Andy si pemilik Toys Story sudah beranjak dewasa. 

Sahabat muda saya ini begitu bernafsu…

Betul. pemuda ini begitu bernafsu. Begitu bergairah untuk menyelidiki kamar dan lemari saya.  Tidak perlu dijelaskan bahwa saya tinggal di basecamp sebuah forum studi dan tidak punya kamar. Tapi kenyataanya saya punya kamar. Karena di sebuah kamar yang kerap dijadikan bahan “ngamar”  oleh kawan-kawan saya itu, berisi antrian calon penghuni perpustakaan pribadi saya kelak.  

Saya memang sering menyarankan untuk banyak membaca, seperti halnya saya menyarankan kawan saya yang menulis “Membuka Daun Telinga Lewat Tortilla Flat” untuk sering menonton bola. Ya, sekadar mengingatkan bahwa membaca dan menonton bola adalah pekerjaan yang begitu nikmat.

Tidak kalah dengan  anestesi seseorang ketika menulis surat untuk seorang kekasih yang dicintai nun jauh di sana.

"Dari novel yang pernah saya baca. Ini (sembari menenteng Tortilla Flat) yang paling gila dan lucu,” selorohnya sembari ketawa sendirian.

Matanya berbinar menatap kacamata yang sedang saya pakai. Lalu dia bercerita banyak hal, tentang Danny, Pilon, Joe Portogis, Jesus Maria, Pablo dan Bajak Laut. Lengkingan tawa sesekali menyeruak di antara kami. Semenjak itu pula ia minta rekomendasi saya soal bacaan, dan sejurus kemudian saya merekomendasikan Ronggeng Dukuh Paruk untuk dilahap.

“Novel yang menginspirasi Ronggeng Paruh adalah Dataran Tortilla. Karya Steinbeck,” seloroh Si Celurit Emas, D. Zawawi Imron, ketika kami berdiskusi di Pojok Gus Dur beberapa bulan lalu.

Seketika itu pula saya terdiam, dan menolah ke arah Abah.

Sejenak mata kami bertaut, seolah ingin berteriak bersama,”Brengsek Steinbeck!” 

Sungguh. Saya iri dengan sahabat muda saya ini. Baru awal masuk kuliah sudah membaca kebiadaan kaum Paisano yang diterjemahkan dengan begitu brengsek oleh Djoko Lelono.

Sedangkan saya, harus menunggu bertahun-tahun dari mula menjejakkan kaki di Ciputat. Itupun dengan berat hati saya harus memfotocopy dari seorang kawan.

Entah, siapa pula dia?

Saya sendiri membaca buku itu dua kali, dan mata saya begitu tertohok dengan percakapan Pilon dan Pablo di hutan perihal  hujan dan air yang turun saat itu. Mereka berdebat soal bagaimana air hujan yang turun. Ada yang berkata bahwa  jika turun berupa permata. Maka, tentu mereka akan kaya, dan banyak uang untuk dibawa ke Torelli guna dibelikan anggur.

Namun, akhirnya mereka sepakat bahwa air hujan yang turun malam itu alangkah lebih indah jika berupa anggur. Tentu anggur Torelli.  Karena dengan itu,  mereka akan lebih bisa menikmati tiap jengkal, tiap waktu untuk menikmati anggur. Imajinasi ini, bagi saya, begitu gila.

Anggur Torelli begitu merasuki otak saya, dan kerap mengusik alam bawah sadar saya. Bahkan sampai sekarang saya masih terus mencari tempat ini di Ciputat. Jika saudara tahu, ajaklah saya. Bahkan saya yakin, jika pun Tuhan tahu, ia pasti sekarang sedang di Torelli.    

Selepas membaca buku yang kedua kali, entah kenapa saya jadi teringat sebuah film popular Vino G. Bastian. Judulnya Punk In Love (2009) besutan Ody C. Harahap. Beberapa minggu lalu, saya menonton kembali film yang pernah membuat seisi Piramida Circle dirundung tawa tiada berkesudahan.

Barangkali kalau rumah ini berada di dekat kerumunan warga, mereka tiada berdosa untuk sekadar melempar batu ke arah kami, dan kami tentu terus tertawa.

Iya, saya menemukan hal yang serupa.

Walaupun secara eksplisit tidak menyebut bahwa karya ini terinspirasi Steinbeck. Entah, saya begitu yakin bahwa sutradara, atau penulis skenarionya pernah baca Dataran Tortilla. Kita bisa mendebat soal itu. Tapi persahabatan dan kebrengsekan mereka mengingatkan saya pada Danny, Pablo dkk.

Begitulah, selepas baca ini, saya begitu bernafsu untuk mencari karya Steinbeck yang lain, dan juga mencari novel asli. Beberapa kali saya mencari di toko buku konvensional tidak ketemu.

Pernah suatu tempo menemukannya tergeletak di antara buku terjemahan  lainnya, tapi malang tak bisa ditolak, saat itu isi dompet saya hanya setengah dari harga yang tertera di buku tersebut. Dalam hati saya mengumpat, namun juga bahagia.

Gembira karena saya akan mendapatkan buku asli tersebut. Bukan fotocopy, begitu pikir saya. Dan menunjukkan pada mereka yang sering meremehkan para sivitas pemfotocopy. Sebulan selepas peristiwa itu, saya mengumpat kembali sembari mendengar dinginnya seorang kasir berkata lirih,”Sudah tidak ada, Mas. Stok habis kayaknya. “

Sontak, saya kecewa untuk kembali. Saya pun mencari di toko-toko buku langganan. Tapi hasilnya sama; nihil. Dan sampai sekarang saya hanya mempunyai versi fotocopy. Entah bagaimana tawasul saya nanti, seperti kebiasaan saya waktu dulu saat ngaji, yang harus melafalkan doa kepada mereka yang berjasa atas keberadaan buku ini di muka bumi.

Maka, ketika saya ditanya banyak orang tentang sebuah novel yang patut ditempatkan di tempat utama dalam perpustakaan. Jawaban saya bulat, Tortilla Flat karya John Steinbeck.

Sahabat saya tadi sepakat. Anda juga sepakat, bukan?




@DedikPriyanto
 



Madesu

Apa itu masa depan?
Sebut saja namanya Desta, lelaki berparas sunda dengan potongan rambut lurus. Beberapa hari ini ia begitu sedih lantaran takut akan masa depan. “Begitu suram, bung. Rasa-rasanya saya tidak sanggup menyaksikan masa depan hidupku,” ujarnya suatu sore.

Saya pun menawarinya makan bakso di dekat saya. Awalnya ia tidak mau, tapi selepas ia bercerita sedikit sebagai pembuka tentang perkara yang membuatnya takut, ia akhirnya mau juga. Saya pun aga kesal. Coba bayangkan, ia tiba-tiba datang ke kontrakan dan mulai membolak-balikan buku, belum usai ia taruh lalu dibolak-balikan. Ia tampak gusar.

Lalu saya coba untuk bertanya, ia malah tidak menjawab. Saya yang sedang membaca pun tidak nyaman. Buku saya singkirkan, lalu saya mengajaknya berbincang. Baru berbicara beberapa menit, ia ijin untuk tiduran. Ya, terpaksa, saya membolehkan walaupun agak kesal.

Tapi ujung-ujungnya tetap sama. Ia tidak tidur dan saya agak jengkel. Apalagi ia sesekali mendengus. Hingga sore menjelang dan saya mulai lapar. Tapi kawan saya ini masih berperilaku yang sama; murung dan berperilaku tidak jelas.

Hingga akhirnya ia mau cerita, walau hanya pembuka tentang kegelisahannya dan maaf, saya tidak bisa menceritakan segala kegundahannya. Takut-takut ia marah, kalap dan menyuruh seorang sniper untuk menembak saya dari atap kontrakan sebelah.

Tapi, satu hal yang berkali-kali saya katakan kepadanya.”Tidak ada masa depan. Jadi tidak usah ditakuti.”

Kenapa tidak ada masa depan?

Entah kenapa, saya selalu berpikir bahwa masa depan bukanlah hal yang istimewa. Biasa saja, seperti halnya orang makan, tidur dan bercengkerama dengan sesama manusia. Ia adalah siklus hidup yang harus dijalani manusia. Jika pun takut, buat apa hidup.

Tapi kenapa, saya selalu heran dengan sikap orang-orang yang selalu mendefinisikan hidup dengan masa depan.  Khususnya jika

Itupula agaknya hal ini menjadikan saya orang yang begitu selektif—paling tidak—tidak menera sesuatu yang nanti, jatuhnya, akan membuat saya berpikir masa depan pada landasan finansial semata.

Tentu saja tetek bengek urusan ekonomi ini begitu menyita saya ketika mulai membandingkan dengan taraf pendidikan yang akan dan sedang direngkuh oleh seseorang.

Logika umumnya, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, berbanding lurus dengan tingkat pendapatan yang akan diterima. Syukur-syukur ia menjaga pegawai negara, yang harus duduk beberapa jam saja dan digaji dengan tetap tiap bulannya.

Gaji tersebut bisa mencukupi hidupnya. Apalagi jika hidup di daerah yang nilai ekonomisnya lebih rendah dari gaya hidup  sekitar. Namun keluhan itu tidak saja berhenti pada urusan finansial semata.

Banyak orang yang saya lihat hidup sebagai pegawai negara dengan tingkat pendidikan yang ternyata lebih rendah dari biasa.

Mereka ini bisa mereka yang cuma lulusan ala kadarnya tapi mempunyai jaringan yang cukup kurang ajarnya. Bisa jadi karena ayah, kakek atau keluarga lainnya adalah dedengkot yang terbiasa dengan menempatkan orang pada pekerjaan tertentu.

Kalau toh ada yang beruntung, itu pasti manusia-manusia langka yang harusnya mendapatkan penghargaaan.

Sebab mereka tidak mempunyai kekuasaan dan begitu beruntung menjadi masuk ke golongan mereka yang berkuasa (baca: lingkaran pegawai). Tapi jika ia melakukan hal yang serupa dengan orang yang saya sebutkan di atas, baiknya ia disambar petir saja.

Lalu bagi mereka yang mempunyai kedudukan lewat jalur kekuasaan, saya yakin mereka tidak akan memikirkan bagaimana mendapatkan pengalaman. Biasanya hidupnya akan monoton.
Tentu saja saya bertemu dengan ragam orang dengan model begini.

Mereka akan hidup dengan sesukanya, dengan seenaknya, tapi masa depan akan terpampang jelas di mukanya; pegawai. Keluarga akan bahagia dengan materi, mungkin, lalu beranak pinak. Hidup itu sederhana, bukan? Kata mereka.

Menurutku, hidupmu itu tidak menarik, kawan. Tak ada yang kau tinggalkan selain tangis keluarga saaat kamu meninggal.

Lain cerita dengan beberapa orang—mungkin termasuk Desta dan—orang-orang macam saya yang terus berkeluh kesah tentang masa depan yang suram, dan kian mendekati.

Kalau didekati perempuan cantik dengan membawa secangkir kopi tentu bukan perkara yang tidak boleh dihindari, tapi jika yang mendekat adalah wajah suram bernama masa depan yang tidak tentu, tentu kita akan terbirit-terbirit menghindari. Seakan bertemu monster besar yang sewaktu-waktu menerkam.
 
Lalu, kenapa saya jadi berbicara tentang masa depan dan selingkuh pekerjaan karena kedekatan? Biarkan saja menjalani hidupnya, asalkan satu; tidak menyebarkan ketololan itu kepada generasi bawahnya. Sebab orang tolol pantasnya dibelikan eskrim dan dimasukkan dalam kelas TK dan diberi pelajaran soal etika hidup di dunia.

Kawan saya tadi makan dengan lahap dan semoga saya bisa kembali membaca dengan tenang. Begitu.

@DedikPriyanto

Sabtu, 06 April 2013

Kepada Seorang Kawan yang Tak Ingin Kusebut Namanya (2)

Aku tidak tahu harus mengawali darimana suratku ini. Yang pasti,  maghrib ini aku merasa begitu kesepian—dan enggan bercerita kepada siapapun. Sebab segala pergolakan dalam arus informasi membuatku semakin sakit kepala.

Oh tidak, maksudku bukan sakit kepala akibat sakit yang segera akan sembuh dengan menenggak aspirin atau cepat reda dengan secangkir kopi pahit. Tapi aku melihat orang-orang pada sakit dan mereka berjalan-jalan dengan sesuka kepalanya; jalan-jalanan memburam, langit yang risau dan udara yang sesak.

Aku merasakan bahwa dunia ini sudah tidak menarik lagi untuk ditempati. Oh ya, bagaimana kabarmu, Kawan! Aktivitas politik tentu akan menyita perhatianmu saat ini. Perihal konsituen yang tersebar di pelosok dan kamu sambangi saban minggu, atau celoteh para seniormu yang berbusa membincang negara.

Aku pernah berkata bahwa aku sungguh tidak simpatik dengan pilihanmu yang terjun ke politik praktis. Kamu pasti akan berkata, ini sebuah pilihan dan memintaku untuk memahaminya. Syukur kalau kamu tidak memarahiku lantas berlirih bahwa aku kontra politik, nirkesadaran dan terlalu berada di menara gading dengan konsep hidupku ini.

Kawan,

Aku sangat memhami pilihan logismu untuk berpolitik. Tapi jangan lupa, bahwa politik itu merupakan seni yang paling kotor. Orang-orang menyebutnya sebagai seni segala kemungkinan. 
Kemungkinan bisa menjadi begitu buruk dan begitu tidak menarik untuk disalahartikan dalam koridor sempat aras politik kita yang transaksional model—kamu tentu lebih paham dariku soal beginian.

Satu hal yang pasti, aku masih ingat beberapa percakapan-percakapan kita tempo hari, bahwa toh politik adalah tindakan yang menantang, tapi kita tetap saja tidak pernah melepaskannya, seperti halnya tidak pernah melepaskan diri kita dari negara.  Dan lazimnya sebuah tantangan, ia berpotensi untuk sebuah kecelakaan.

Kecelakaan itulah yang kalau boleh memilih—dan aku memilih untuk tidak memilih—harus bisa kamu eleminiasi, bahwa tidak semua kekalahan akan senyap dengan hanya melibatkan prakondisi politik kita yang karut marut selepas Soeharto berkuasa dan ’98 yang menjadi reformasi setengah hati, adalah bentuk tindakan apolitis. Tidak!

Sekali lagi aku tegaskan, tidak! Tentu saja seorang Samin akan tetap menjadi pemelihara walaupun tanpa ada negara, dan ia akan melawan negara. Aku tiba-tiba teringat riungan di warung kopi semalam.”Nikmati hidup sebagai manusia!”

Aku hanya ingin dikenal sebagai manusia, yang bebas. Tapi adakah manusia yang bebas? Bukankah sebuah kebebasan selalu beririsan dengan manusia lain dan konsep kebebasan merupakan bentuk utopia manusia yang kesepian?

Ah, sudahlah, kawan.

Matahari tampaknya sudah bangun dan aku harus segera mematikan komputer. Kamu tahu bahwa aku tidak suka pagi. Sebab pagi menawarkan kegelisahan. Tentu saja untuk ini kita bisa berdebat, dan aku rindu berdebat seorang kawan seperti dirimu. Begitu. 

@DedikPriyanto
(Ditulis saat matahari tidur dan diselesaikan saat matahari bangun)