Tendang, Terjang, Hadang

Sabtu, 14 September 2013

Pindahan

Hari ini saya akan pindah rumah, maksud saya akan pindah dari blog lawas saya ini, ke blog baru ini
 

Saya menyebutnya rumah baru, yang mungkin akan membuat saya kembali menemukan kenyamanan, keramahtamahan dan barangkali kelahiran.

Apa yang perlu dilahirkan? Saya juga tidak tahu.

Rumah lama ini memberikan saya begitu banyak kenangan, perdebatan, pertemuan dan tentu saja persahabatan. Rumah ini adalah rumah saya, tempat beristirahat dari penat, memamah kehidupan dan bersahabat dengan pelbagai kawan.

Saya pun perlu berterima kasih kepada mereka yang telah membaca catatan-catatan saya di sini, baik berupa kisah cinta, catatan-catatan hidup, opini dan tentu saja kisah cinta. Tak lupa, saya minta maaf bagi mereka yang pernah saya sakiti via blog ini. Sungguh, ini tidak saya sadari.

Barangkali seperti halnya sajak Rendra bertajuk 'Kenangan dan Kesepian' begitu halnya keadaan rumah ini.

Rumah tua
dan pagar batu.
Langit di desa
sawah dan bambu.

Berkenalan dengan sepi
pada kejemuan disandarkan dirinya.
Jalanan berdebu tak berhati
lewat nasib menatapnya.

Cinta yang datang
burung tak tergenggam.
Batang baja waktu lengang
dari belakang menikam.

Rumah tua
dan pagar batu.
Kenangan lama
dan sepi yang syahdu

Biarkan rumah ini bakal diasuh oleh semesta, dan kelak ia akan mengisahkan dirinya sendiri.

Jebat erat
@Dedik Priyanto


Untuk Kamu, Terima Kasih

Kepada T

Malam ini, tujuh hari yang lalu, aku masih duduk di dalam kereta; berada di samping jendela dan menyimak lintasan pohon-pohon buram di sampingku yang mungkin berbisik atau sekadar melihatku yang terus melaju bersama kereta malam itu.

Bagiku, kereta dan perjalanan adalah peristiwa memanggil kenangan. Bisa jadi kenangan itu merupakan partitur retak yang tidak sanggup aku abadikan kala bertandang pertama kali, dan memang harus ada penanda kisah yang bisa jadi, adalah pergumulan yang tak tuntas atas sebuah perjalanan.

Tapi untuk itu, aku tidak ingin menjadi manusia yang sama, yang duduk di tepi jendela kereta Yogyakarta-Jakarta 97 hari yang lalu.

Mungkin ini terdengar begitu memuakkan, barangkali ini terlihat terlalu bodoh atau bisa jadi semacam linglung yang tak sanggup aku sadari, kala itu. Sebuah peristiwa guncang yang membuat otak ini tidak bisa berpikir dan terus bergemuruh sedemikian rupa.

Percayalah, tidak air mata yang jatuh kala itu—mungkin aku sendiri tidak percaya dengan perkataanku ini.

Aku masih ingat momen magis kala berjumpa pertama kali. Lalu ada sapa, rengek, mesra, sebal, geram, kesal dan akhirnya aku mengerti, bakal ada ada air mata di puncaknya.

Sebermula dari segalanya adalah canda, begitulah kira-kira. Bukan air mata atau sekadar rengek bahagia seperti halnya Tereza yang mengajak Tomas untuk pergi ke desa dan menghindari kota Praha yang muram dalam narasi Milan Kundera, the Unbereable lightness of Being, penulis favoritku.

Dan akhirnya, desa adalah puncak canda dari akhir genggaman tangan dari Tereza untuk Tomas. Begitu halnya kita, barangkali ini adalah akhir dari segalanya; sebuah perpisahan yang memang sudah seharusnya.

Tapi bagiku, mengenalmu bukanlah sebuah kesalahan yang harus disesali.

Tidak juga harus diratapi sebab kisah yang dibangun atas dasar saling ketidaktahuan ini tidak berakhir sebagaimana rencana—dan memang tidak pernah terencana.

Di ingatanku, ada sebuah sebuah kota. Kota yang penuh dengan dengan canda. Kau mengajakku untuk berkeliling dan menikmati siang di Tamansari, menikmati Brongkos Koyor di selatan alun-alun kidul, taman kota dan segala hal tentangnya, Jogja.

Aku tidak akan pernah melupakan bagaimana saat itu, pertama kali, kita saling menggenggam jemari sepanjang Malioboro, juga tawamu yang renyah kala minta dibangunkan pagi hari.

Ya, kamu tahu itu. Aku begitu kesulitan untuk bangun pagi dan itu tidak hanya sekali. Itu pula yang sering membuatmu marah, apalagi aku punya kebiasaan yang buruk tentang ponsel, dan barangkali pikiran-pikiran yang aneh.

Sudahlah, kamu tahu itu, aku memang orang yang sedikit konyol dan agak sentimentil.

Kadangkala memang aku rindu saat-saat seperti itu; kala pesan-pesan singkat yang entah, dan pelbagai masalah yang kerap kau ceritakan padaku itu seperti kereta panjang tanpa tujuan, dan jarak yang senantiasa membuatku kangen padamu.

Aku menyadari itu, kala jarak dan percakapan kita hampir purna karena beberapa hal yang aku sendiri pun tahu kenapa kita begitu berjarak. Bukan hanya persoalan ribuan kilometer yang tertempuh, tapi lebih karena jarak hati kita yang entah. Toh, seperti katamu, kotamu dan kotaku tidak terlalu jauh, bukan?

Memang, jika kita kisah kita ini diteruskan, dengan segala risiko, aku tidak yakin kita akan saling bahagia. Bisa jadi, kita akan saling menyakiti dengan segala perbedaan ini, dan aku sudah cukup tahu dengan kisah dari sesepuh, serta masa laluku kala masih kanak.

Satu hal yang membuatku masih terngiang adalah tangismu.

Ya, kamu tahu itu, aku paling tidak kuasa melihat orang menangis, apalagi perempuan. Aku jadi teringat ibuku, dan aku tidak ingin kamu menangis, aku tidak ingin melihat orang yang aku cintai bersedih dan menitikkan air mata. 

Maka tatkala aku mendengar cerita dari orang-orang tentang keadaanmu yang begitu labil, lunglai dan tidak berdaya. Bahkan aku mendengar cerita yang lebih buruk dari itu, aku tidak mau.

Aku tidak mau membuatmu terus terpenjara dengan pelbagai ketakutan itu.

Sudah seharusnya kita berjalan sendiri, dan kamu harus melanjutkan hidupmu.

***
Biasanya pagi di hari ini adalah ritual memanggil inspirasi, dengan secangkir kopi dan koran Minggu merupakan penanda bahwa hidup ini tidak akan pernah purna. Tapi untuk kali ini, aku barangkali akan benar-benar merindukan masa-masa di kotamu.

Penanda selalu bercerita tentang segala yang acapkali tidak kita mengerti.

Seperti halnya beberapa tanda yang, sebenarnya aku sudah tahu; perpisahan akan benar-benar terjadi sebentar lagi. Barangkali inilah yang disebut sasmita sebagaimana cinta suci Rahwana kepada segala keturunan Dewi Sri. Ia sudah tahu ia akan terluka, dan ia terus menjalaninya.

Dan waktu itu aku berkata dalam hati, aku tidak ingin terluka, aku tidak ingin melihatmu kecewa dan sakit hati.

Wahai perempuan yang tak pernah bisa aku definisikan, dan benar-benar tidak pernah bisa aku mengartikan. Aku adalah kebalikanmu, lelaki yang suka memahat kenangan, yang akan terus mendirikan bangunan-bangunan kenangan yang entah kapan aku--dan mungkin kau--bakal singgahi kelak.

Suatu ketika, harusnya aku sudah berpulang ke kotaku dan berkumpul dengan keluarga di hari raya, tapi entah kenapa, di hari itu aku memutuskan untuk menziarahi segala jejakmu, merasakan udara yang kau hirup, menikmati langit yang sama denganmu.

Ah, aku bisa gila jika terus begini.

Tapi, seperti kata para filsuf, bukan cinta namanya jika tidak gila.

Ya, aku memang telah memilih menjadi gila, dan itu adalah sebuah pilihan. Walaupun akhirnya aku memutuskan untuk berjalan sendiri selepas tiga purnama yang begitu menguras pikiran.

Jatuh cinta itu sakit. Dan aku tidak mau kamu sakit. Cukuplah aku yang menyimpan segala ini.

***

Kopi pekat adalah bagian dari hidupku. Sebab yang aku pahami, ketika aku mencecap kopi manis, aku bakal membohongi diriku sendiri. Begitu banyak yang manis di luar sana, dan cukup kopi sebagai penanda bahwa hidup tidak hanya persoalan manis, ada getir dan luka.

Kamu adalah pencinta kopi, walaupun kamu seringkali mengeluh soal lambungmu yang kerap tidak kuat. Tapi godaan kopi acapakali membuatmu lupa.

Menata kenangan di Jogjakarta, kotamu, adalah kisah yang mungkin akan selalu aku kenang.  Dan aku begitu menyukai surga kopi di sini; berbincang dengan rekan, menimbang ragam rasa dan menelisik pelbagai kedai.

Seingatku, kamu pernah membuatku secangkir kopi. Ya, kopi itu kopi Bali di sanggar kebudayaan Sorowijan, tempat LkiS. Kamu membuatkan kopi yang begitu pahit.

Gurumu, dan juga guruku juga, Mas Salim, bahkan bertanya, kenapa kamu membuatkanku kopi yang pahit? Kamu menjawab ringan, aku, katamu, suka yang begitu. Dan kamu tersenyum simpul. Manis.

Seketika itu pula aku yakin, kisah tidak akan lama, seperti hangatnya kopi itu.

***

Adakah sebuah peristiwa sederhana yang akan selalu kau kenang dan bakal begitu susah dihilangkan, bahkan akan membuatmu kian jatuh cinta pada orang yang kau kagumi? Seperti halnya aku, yang sudah berusaha untuk melupakan itu.

Ya, ini adalah kisah ketika aku merasa dinaungi cinta yang begitu besar, dan mungkin bagimu adalah peristiwa yang begitu sepele dan tidak penting.

Kamu tentu masih ingat malam dikala aku pergi ke kotamu untuk kepentingan majalah ambisiusku ini. Dan pada malam hari sebelum balik ke Jakarta, aku pergi ke tempatmu bersama sahabat-sahabatmu. Tentunya, kamu masih ingat hari itu, semoga. 

Lebih dari itu, aku masih ingat mimik mukamu kala mendengus.”Fyuh..”. Dan aku bilang,”Kamu cantik malam ini.”

Kamu hanya tersenyum dan mengerlingkan mata.

Aku masih ingat, aku memakai baju hitam dan rambut yang mulai memanjang. Rambutku memang agak kotor, dan terkadang ketombe jatuh, dengan tangan kecilmu itu, kau membersihkan pundakku yang penuh noda putih itu.

Aku menoleh ke wajahmu sebentar, dan kamu masih membersihkannya dengan jemarimu.

Mata itu, ketulusan itu, tangan itu dan kepedulian itu. Seketika itu juga aku merasa jatuh cinta padamu lebih dalam, begitu dalam.

Seketika itu pula aku takut, begitu takut, kita akan berpisah dengan menahan sengsara. 

Dan maaf, aku baru kali ini aku berani menceritakan padamu.

***

Semuanya telah menjadi begitu purna, di senja itu.

Cinta merupakan putaran nasib yang harus dijalani sekuat-kuatnya. Kadang cinta tak harus disepakati dan sedih adalah pilihan yang harus terterima jika rasa tak bertaut, apalagi jika rasa itu tak sanggup dijalani lagi.

Lalu kali ini, kisah ini, adalah jejak-jejak yang tak ingin kuperam terus sebagai sebuah luka yang terus menganga. Tanpa ada obat, tanpa ada prawicara.

Kita telah memilih untuk berjalan sendiri sebab jika terus berlanjut, kita akan saling terus menyakiti. Kamu tahu kisah Zainudin dan Hayati dalamn Tenggelamnya Van der Wijk itu, semoga aku tidak begitu.

***

Harusnya aku tidak boleh mengingat-mengingat pelbagai kejadian ini. Tapi beginilah kenangan itu bekerja tanpa diminta, seperti pisau karatan yang ditusukkan ke dada kita dengan perlahan. Ah, sudahlah...

Terima kasih, ya terima kasih, telah menjadi perempuan yang terus menginspirasi.

Sebab kamu adalah perempuan pertama yang membuatku terus bergetar sepanjang.

“Kita sadar, kita datang dengan pikiran yang sama.”

“Kita memang harus berjalan sendiri-sendiri. Aku tidak mau menyakitimu terus menerus, dan aku tidak mau sakit lagi.”

“Kita bertemu dengan tawa dan canda, dan kita harus berakhir dengan bahagia. Toh, begitulah hidup bekerja.”

“Iya. Kita harus tetap hidup.”

Langit telah gelap di rumah kreatif ini, dan aku harus terus berlajan menapaki sisa umurku di hidupku ini.

Untuk kamu, segera temukanlah hidupmu dan jangan ragu lagi. Terima kasih telah menjadi seorang yang mengembalikan cinta dalam hidupku. Jangan pernah ragukan kata hatimu.

Terima kasih, dan sekali lagi, kamu harus menemukan hidupmu.  

I dont love this memories, I fall in love with it

Bintaro, 10 September 2013

Minggu, 01 September 2013


‘Aku mencintaimu seperti malam pada kegelapan, tapi melebihi segalanya, ternyata aku mencintai kesendirian.’