Hari ini saya akan pindah rumah, maksud saya akan pindah dari blog lawas saya ini, ke blog baru ini
Saya menyebutnya rumah baru, yang mungkin akan membuat saya kembali menemukan kenyamanan, keramahtamahan dan barangkali kelahiran.
Apa yang perlu dilahirkan? Saya juga tidak tahu.
Rumah lama ini memberikan saya begitu banyak kenangan, perdebatan, pertemuan dan tentu saja persahabatan. Rumah ini adalah rumah saya, tempat beristirahat dari penat, memamah kehidupan dan bersahabat dengan pelbagai kawan.
Saya pun perlu berterima kasih kepada mereka yang telah membaca catatan-catatan saya di sini, baik berupa kisah cinta, catatan-catatan hidup, opini dan tentu saja kisah cinta. Tak lupa, saya minta maaf bagi mereka yang pernah saya sakiti via blog ini. Sungguh, ini tidak saya sadari.
Barangkali seperti halnya sajak Rendra bertajuk 'Kenangan dan Kesepian' begitu halnya keadaan rumah ini.
Rumah tua
dan pagar batu.
Langit di desa
sawah dan bambu.
Berkenalan dengan sepi
pada kejemuan disandarkan dirinya.
Jalanan berdebu tak berhati
lewat nasib menatapnya.
Cinta yang datang
burung tak tergenggam.
Batang baja waktu lengang
dari belakang menikam.
Rumah tua
dan pagar batu.
Kenangan lama
dan sepi yang syahdu
Biarkan rumah ini bakal diasuh oleh semesta, dan kelak ia akan mengisahkan dirinya sendiri.
Jebat erat
@Dedik Priyanto
Karena Hidup Itu Bergemericik
Pertemuan, Percakapan, Perdebatan
Sabtu, 14 September 2013
Untuk Kamu, Terima Kasih
Kepada T
Malam ini, tujuh hari yang lalu, aku masih duduk di dalam kereta; berada di samping jendela dan menyimak lintasan pohon-pohon buram di sampingku yang mungkin berbisik atau sekadar melihatku yang terus melaju bersama kereta malam itu.
Bagiku, kereta dan perjalanan adalah peristiwa memanggil kenangan. Bisa jadi kenangan itu merupakan partitur retak yang tidak sanggup aku abadikan kala bertandang pertama kali, dan memang harus ada penanda kisah yang bisa jadi, adalah pergumulan yang tak tuntas atas sebuah perjalanan.
Tapi untuk itu, aku tidak ingin menjadi manusia yang sama, yang duduk di tepi jendela kereta Yogyakarta-Jakarta 97 hari yang lalu.
Mungkin ini terdengar begitu memuakkan, barangkali ini terlihat terlalu bodoh atau bisa jadi semacam linglung yang tak sanggup aku sadari, kala itu. Sebuah peristiwa guncang yang membuat otak ini tidak bisa berpikir dan terus bergemuruh sedemikian rupa.
Percayalah, tidak air mata yang jatuh kala itu—mungkin aku sendiri tidak percaya dengan perkataanku ini.
Aku masih ingat momen magis kala berjumpa pertama kali. Lalu ada sapa, rengek, mesra, sebal, geram, kesal dan akhirnya aku mengerti, bakal ada ada air mata di puncaknya.
Sebermula dari segalanya adalah canda, begitulah kira-kira. Bukan air mata atau sekadar rengek bahagia seperti halnya Tereza yang mengajak Tomas untuk pergi ke desa dan menghindari kota Praha yang muram dalam narasi Milan Kundera, the Unbereable lightness of Being, penulis favoritku.
Dan akhirnya, desa adalah puncak canda dari akhir genggaman tangan dari Tereza untuk Tomas. Begitu halnya kita, barangkali ini adalah akhir dari segalanya; sebuah perpisahan yang memang sudah seharusnya.
Tapi bagiku, mengenalmu bukanlah sebuah kesalahan yang harus disesali.
Tidak juga harus diratapi sebab kisah yang dibangun atas dasar saling ketidaktahuan ini tidak berakhir sebagaimana rencana—dan memang tidak pernah terencana.
Di ingatanku, ada sebuah sebuah kota. Kota yang penuh dengan dengan canda. Kau mengajakku untuk berkeliling dan menikmati siang di Tamansari, menikmati Brongkos Koyor di selatan alun-alun kidul, taman kota dan segala hal tentangnya, Jogja.
Aku tidak akan pernah melupakan bagaimana saat itu, pertama kali, kita saling menggenggam jemari sepanjang Malioboro, juga tawamu yang renyah kala minta dibangunkan pagi hari.
Ya, kamu tahu itu. Aku begitu kesulitan untuk bangun pagi dan itu tidak hanya sekali. Itu pula yang sering membuatmu marah, apalagi aku punya kebiasaan yang buruk tentang ponsel, dan barangkali pikiran-pikiran yang aneh.
Sudahlah, kamu tahu itu, aku memang orang yang sedikit konyol dan agak sentimentil.
Kadangkala memang aku rindu saat-saat seperti itu; kala pesan-pesan singkat yang entah, dan pelbagai masalah yang kerap kau ceritakan padaku itu seperti kereta panjang tanpa tujuan, dan jarak yang senantiasa membuatku kangen padamu.
Aku menyadari itu, kala jarak dan percakapan kita hampir purna karena beberapa hal yang aku sendiri pun tahu kenapa kita begitu berjarak. Bukan hanya persoalan ribuan kilometer yang tertempuh, tapi lebih karena jarak hati kita yang entah. Toh, seperti katamu, kotamu dan kotaku tidak terlalu jauh, bukan?
Memang, jika kita kisah kita ini diteruskan, dengan segala risiko, aku tidak yakin kita akan saling bahagia. Bisa jadi, kita akan saling menyakiti dengan segala perbedaan ini, dan aku sudah cukup tahu dengan kisah dari sesepuh, serta masa laluku kala masih kanak.
Satu hal yang membuatku masih terngiang adalah tangismu.
Ya, kamu tahu itu, aku paling tidak kuasa melihat orang menangis, apalagi perempuan. Aku jadi teringat ibuku, dan aku tidak ingin kamu menangis, aku tidak ingin melihat orang yang aku cintai bersedih dan menitikkan air mata.
Maka tatkala aku mendengar cerita dari orang-orang tentang keadaanmu yang begitu labil, lunglai dan tidak berdaya. Bahkan aku mendengar cerita yang lebih buruk dari itu, aku tidak mau.
Aku tidak mau membuatmu terus terpenjara dengan pelbagai ketakutan itu.
Sudah seharusnya kita berjalan sendiri, dan kamu harus melanjutkan hidupmu.
***
Biasanya pagi di hari ini adalah ritual memanggil inspirasi, dengan secangkir kopi dan koran Minggu merupakan penanda bahwa hidup ini tidak akan pernah purna. Tapi untuk kali ini, aku barangkali akan benar-benar merindukan masa-masa di kotamu.
Penanda selalu bercerita tentang segala yang acapkali tidak kita mengerti.
Seperti halnya beberapa tanda yang, sebenarnya aku sudah tahu; perpisahan akan benar-benar terjadi sebentar lagi. Barangkali inilah yang disebut sasmita sebagaimana cinta suci Rahwana kepada segala keturunan Dewi Sri. Ia sudah tahu ia akan terluka, dan ia terus menjalaninya.
Dan waktu itu aku berkata dalam hati, aku tidak ingin terluka, aku tidak ingin melihatmu kecewa dan sakit hati.
Wahai perempuan yang tak pernah bisa aku definisikan, dan benar-benar tidak pernah bisa aku mengartikan. Aku adalah kebalikanmu, lelaki yang suka memahat kenangan, yang akan terus mendirikan bangunan-bangunan kenangan yang entah kapan aku--dan mungkin kau--bakal singgahi kelak.
Suatu ketika, harusnya aku sudah berpulang ke kotaku dan berkumpul dengan keluarga di hari raya, tapi entah kenapa, di hari itu aku memutuskan untuk menziarahi segala jejakmu, merasakan udara yang kau hirup, menikmati langit yang sama denganmu.
Ah, aku bisa gila jika terus begini.
Tapi, seperti kata para filsuf, bukan cinta namanya jika tidak gila.
Ya, aku memang telah memilih menjadi gila, dan itu adalah sebuah pilihan. Walaupun akhirnya aku memutuskan untuk berjalan sendiri selepas tiga purnama yang begitu menguras pikiran.
Jatuh cinta itu sakit. Dan aku tidak mau kamu sakit. Cukuplah aku yang menyimpan segala ini.
***
Kopi pekat adalah bagian dari hidupku. Sebab yang aku pahami, ketika aku mencecap kopi manis, aku bakal membohongi diriku sendiri. Begitu banyak yang manis di luar sana, dan cukup kopi sebagai penanda bahwa hidup tidak hanya persoalan manis, ada getir dan luka.
Kamu adalah pencinta kopi, walaupun kamu seringkali mengeluh soal lambungmu yang kerap tidak kuat. Tapi godaan kopi acapakali membuatmu lupa.
Menata kenangan di Jogjakarta, kotamu, adalah kisah yang mungkin akan selalu aku kenang. Dan aku begitu menyukai surga kopi di sini; berbincang dengan rekan, menimbang ragam rasa dan menelisik pelbagai kedai.
Seingatku, kamu pernah membuatku secangkir kopi. Ya, kopi itu kopi Bali di sanggar kebudayaan Sorowijan, tempat LkiS. Kamu membuatkan kopi yang begitu pahit.
Gurumu, dan juga guruku juga, Mas Salim, bahkan bertanya, kenapa kamu membuatkanku kopi yang pahit? Kamu menjawab ringan, aku, katamu, suka yang begitu. Dan kamu tersenyum simpul. Manis.
Seketika itu pula aku yakin, kisah tidak akan lama, seperti hangatnya kopi itu.
***
Adakah sebuah peristiwa sederhana yang akan selalu kau kenang dan bakal begitu susah dihilangkan, bahkan akan membuatmu kian jatuh cinta pada orang yang kau kagumi? Seperti halnya aku, yang sudah berusaha untuk melupakan itu.
Ya, ini adalah kisah ketika aku merasa dinaungi cinta yang begitu besar, dan mungkin bagimu adalah peristiwa yang begitu sepele dan tidak penting.
Kamu tentu masih ingat malam dikala aku pergi ke kotamu untuk kepentingan majalah ambisiusku ini. Dan pada malam hari sebelum balik ke Jakarta, aku pergi ke tempatmu bersama sahabat-sahabatmu. Tentunya, kamu masih ingat hari itu, semoga.
Lebih dari itu, aku masih ingat mimik mukamu kala mendengus.”Fyuh..”. Dan aku bilang,”Kamu cantik malam ini.”
Kamu hanya tersenyum dan mengerlingkan mata.
Aku masih ingat, aku memakai baju hitam dan rambut yang mulai memanjang. Rambutku memang agak kotor, dan terkadang ketombe jatuh, dengan tangan kecilmu itu, kau membersihkan pundakku yang penuh noda putih itu.
Aku menoleh ke wajahmu sebentar, dan kamu masih membersihkannya dengan jemarimu.
Mata itu, ketulusan itu, tangan itu dan kepedulian itu. Seketika itu juga aku merasa jatuh cinta padamu lebih dalam, begitu dalam.
Seketika itu pula aku takut, begitu takut, kita akan berpisah dengan menahan sengsara.
Dan maaf, aku baru kali ini aku berani menceritakan padamu.
***
Semuanya telah menjadi begitu purna, di senja itu.
Cinta merupakan putaran nasib yang harus dijalani sekuat-kuatnya. Kadang cinta tak harus disepakati dan sedih adalah pilihan yang harus terterima jika rasa tak bertaut, apalagi jika rasa itu tak sanggup dijalani lagi.
Lalu kali ini, kisah ini, adalah jejak-jejak yang tak ingin kuperam terus sebagai sebuah luka yang terus menganga. Tanpa ada obat, tanpa ada prawicara.
Kita telah memilih untuk berjalan sendiri sebab jika terus berlanjut, kita akan saling terus menyakiti. Kamu tahu kisah Zainudin dan Hayati dalamn Tenggelamnya Van der Wijk itu, semoga aku tidak begitu.
***
Harusnya aku tidak boleh mengingat-mengingat pelbagai kejadian ini. Tapi beginilah kenangan itu bekerja tanpa diminta, seperti pisau karatan yang ditusukkan ke dada kita dengan perlahan. Ah, sudahlah...
Terima kasih, ya terima kasih, telah menjadi perempuan yang terus menginspirasi.
Sebab kamu adalah perempuan pertama yang membuatku terus bergetar sepanjang.
“Kita sadar, kita datang dengan pikiran yang sama.”
“Kita memang harus berjalan sendiri-sendiri. Aku tidak mau menyakitimu terus menerus, dan aku tidak mau sakit lagi.”
“Kita bertemu dengan tawa dan canda, dan kita harus berakhir dengan bahagia. Toh, begitulah hidup bekerja.”
“Iya. Kita harus tetap hidup.”
Langit telah gelap di rumah kreatif ini, dan aku harus terus berlajan menapaki sisa umurku di hidupku ini.
Untuk kamu, segera temukanlah hidupmu dan jangan ragu lagi. Terima kasih telah menjadi seorang yang mengembalikan cinta dalam hidupku. Jangan pernah ragukan kata hatimu.
Terima kasih, dan sekali lagi, kamu harus menemukan hidupmu.
I dont love this memories, I fall in love with it
Bintaro, 10 September 2013
Malam ini, tujuh hari yang lalu, aku masih duduk di dalam kereta; berada di samping jendela dan menyimak lintasan pohon-pohon buram di sampingku yang mungkin berbisik atau sekadar melihatku yang terus melaju bersama kereta malam itu.
Bagiku, kereta dan perjalanan adalah peristiwa memanggil kenangan. Bisa jadi kenangan itu merupakan partitur retak yang tidak sanggup aku abadikan kala bertandang pertama kali, dan memang harus ada penanda kisah yang bisa jadi, adalah pergumulan yang tak tuntas atas sebuah perjalanan.
Tapi untuk itu, aku tidak ingin menjadi manusia yang sama, yang duduk di tepi jendela kereta Yogyakarta-Jakarta 97 hari yang lalu.
Mungkin ini terdengar begitu memuakkan, barangkali ini terlihat terlalu bodoh atau bisa jadi semacam linglung yang tak sanggup aku sadari, kala itu. Sebuah peristiwa guncang yang membuat otak ini tidak bisa berpikir dan terus bergemuruh sedemikian rupa.
Percayalah, tidak air mata yang jatuh kala itu—mungkin aku sendiri tidak percaya dengan perkataanku ini.
Aku masih ingat momen magis kala berjumpa pertama kali. Lalu ada sapa, rengek, mesra, sebal, geram, kesal dan akhirnya aku mengerti, bakal ada ada air mata di puncaknya.
Sebermula dari segalanya adalah canda, begitulah kira-kira. Bukan air mata atau sekadar rengek bahagia seperti halnya Tereza yang mengajak Tomas untuk pergi ke desa dan menghindari kota Praha yang muram dalam narasi Milan Kundera, the Unbereable lightness of Being, penulis favoritku.
Dan akhirnya, desa adalah puncak canda dari akhir genggaman tangan dari Tereza untuk Tomas. Begitu halnya kita, barangkali ini adalah akhir dari segalanya; sebuah perpisahan yang memang sudah seharusnya.
Tapi bagiku, mengenalmu bukanlah sebuah kesalahan yang harus disesali.
Tidak juga harus diratapi sebab kisah yang dibangun atas dasar saling ketidaktahuan ini tidak berakhir sebagaimana rencana—dan memang tidak pernah terencana.
Di ingatanku, ada sebuah sebuah kota. Kota yang penuh dengan dengan canda. Kau mengajakku untuk berkeliling dan menikmati siang di Tamansari, menikmati Brongkos Koyor di selatan alun-alun kidul, taman kota dan segala hal tentangnya, Jogja.
Aku tidak akan pernah melupakan bagaimana saat itu, pertama kali, kita saling menggenggam jemari sepanjang Malioboro, juga tawamu yang renyah kala minta dibangunkan pagi hari.
Ya, kamu tahu itu. Aku begitu kesulitan untuk bangun pagi dan itu tidak hanya sekali. Itu pula yang sering membuatmu marah, apalagi aku punya kebiasaan yang buruk tentang ponsel, dan barangkali pikiran-pikiran yang aneh.
Sudahlah, kamu tahu itu, aku memang orang yang sedikit konyol dan agak sentimentil.
Kadangkala memang aku rindu saat-saat seperti itu; kala pesan-pesan singkat yang entah, dan pelbagai masalah yang kerap kau ceritakan padaku itu seperti kereta panjang tanpa tujuan, dan jarak yang senantiasa membuatku kangen padamu.
Aku menyadari itu, kala jarak dan percakapan kita hampir purna karena beberapa hal yang aku sendiri pun tahu kenapa kita begitu berjarak. Bukan hanya persoalan ribuan kilometer yang tertempuh, tapi lebih karena jarak hati kita yang entah. Toh, seperti katamu, kotamu dan kotaku tidak terlalu jauh, bukan?
Memang, jika kita kisah kita ini diteruskan, dengan segala risiko, aku tidak yakin kita akan saling bahagia. Bisa jadi, kita akan saling menyakiti dengan segala perbedaan ini, dan aku sudah cukup tahu dengan kisah dari sesepuh, serta masa laluku kala masih kanak.
Satu hal yang membuatku masih terngiang adalah tangismu.
Ya, kamu tahu itu, aku paling tidak kuasa melihat orang menangis, apalagi perempuan. Aku jadi teringat ibuku, dan aku tidak ingin kamu menangis, aku tidak ingin melihat orang yang aku cintai bersedih dan menitikkan air mata.
Maka tatkala aku mendengar cerita dari orang-orang tentang keadaanmu yang begitu labil, lunglai dan tidak berdaya. Bahkan aku mendengar cerita yang lebih buruk dari itu, aku tidak mau.
Aku tidak mau membuatmu terus terpenjara dengan pelbagai ketakutan itu.
Sudah seharusnya kita berjalan sendiri, dan kamu harus melanjutkan hidupmu.
***
Biasanya pagi di hari ini adalah ritual memanggil inspirasi, dengan secangkir kopi dan koran Minggu merupakan penanda bahwa hidup ini tidak akan pernah purna. Tapi untuk kali ini, aku barangkali akan benar-benar merindukan masa-masa di kotamu.
Penanda selalu bercerita tentang segala yang acapkali tidak kita mengerti.
Seperti halnya beberapa tanda yang, sebenarnya aku sudah tahu; perpisahan akan benar-benar terjadi sebentar lagi. Barangkali inilah yang disebut sasmita sebagaimana cinta suci Rahwana kepada segala keturunan Dewi Sri. Ia sudah tahu ia akan terluka, dan ia terus menjalaninya.
Dan waktu itu aku berkata dalam hati, aku tidak ingin terluka, aku tidak ingin melihatmu kecewa dan sakit hati.
Wahai perempuan yang tak pernah bisa aku definisikan, dan benar-benar tidak pernah bisa aku mengartikan. Aku adalah kebalikanmu, lelaki yang suka memahat kenangan, yang akan terus mendirikan bangunan-bangunan kenangan yang entah kapan aku--dan mungkin kau--bakal singgahi kelak.
Suatu ketika, harusnya aku sudah berpulang ke kotaku dan berkumpul dengan keluarga di hari raya, tapi entah kenapa, di hari itu aku memutuskan untuk menziarahi segala jejakmu, merasakan udara yang kau hirup, menikmati langit yang sama denganmu.
Ah, aku bisa gila jika terus begini.
Tapi, seperti kata para filsuf, bukan cinta namanya jika tidak gila.
Ya, aku memang telah memilih menjadi gila, dan itu adalah sebuah pilihan. Walaupun akhirnya aku memutuskan untuk berjalan sendiri selepas tiga purnama yang begitu menguras pikiran.
Jatuh cinta itu sakit. Dan aku tidak mau kamu sakit. Cukuplah aku yang menyimpan segala ini.
***
Kopi pekat adalah bagian dari hidupku. Sebab yang aku pahami, ketika aku mencecap kopi manis, aku bakal membohongi diriku sendiri. Begitu banyak yang manis di luar sana, dan cukup kopi sebagai penanda bahwa hidup tidak hanya persoalan manis, ada getir dan luka.
Kamu adalah pencinta kopi, walaupun kamu seringkali mengeluh soal lambungmu yang kerap tidak kuat. Tapi godaan kopi acapakali membuatmu lupa.
Menata kenangan di Jogjakarta, kotamu, adalah kisah yang mungkin akan selalu aku kenang. Dan aku begitu menyukai surga kopi di sini; berbincang dengan rekan, menimbang ragam rasa dan menelisik pelbagai kedai.
Seingatku, kamu pernah membuatku secangkir kopi. Ya, kopi itu kopi Bali di sanggar kebudayaan Sorowijan, tempat LkiS. Kamu membuatkan kopi yang begitu pahit.
Gurumu, dan juga guruku juga, Mas Salim, bahkan bertanya, kenapa kamu membuatkanku kopi yang pahit? Kamu menjawab ringan, aku, katamu, suka yang begitu. Dan kamu tersenyum simpul. Manis.
Seketika itu pula aku yakin, kisah tidak akan lama, seperti hangatnya kopi itu.
***
Adakah sebuah peristiwa sederhana yang akan selalu kau kenang dan bakal begitu susah dihilangkan, bahkan akan membuatmu kian jatuh cinta pada orang yang kau kagumi? Seperti halnya aku, yang sudah berusaha untuk melupakan itu.
Ya, ini adalah kisah ketika aku merasa dinaungi cinta yang begitu besar, dan mungkin bagimu adalah peristiwa yang begitu sepele dan tidak penting.
Kamu tentu masih ingat malam dikala aku pergi ke kotamu untuk kepentingan majalah ambisiusku ini. Dan pada malam hari sebelum balik ke Jakarta, aku pergi ke tempatmu bersama sahabat-sahabatmu. Tentunya, kamu masih ingat hari itu, semoga.
Lebih dari itu, aku masih ingat mimik mukamu kala mendengus.”Fyuh..”. Dan aku bilang,”Kamu cantik malam ini.”
Kamu hanya tersenyum dan mengerlingkan mata.
Aku masih ingat, aku memakai baju hitam dan rambut yang mulai memanjang. Rambutku memang agak kotor, dan terkadang ketombe jatuh, dengan tangan kecilmu itu, kau membersihkan pundakku yang penuh noda putih itu.
Aku menoleh ke wajahmu sebentar, dan kamu masih membersihkannya dengan jemarimu.
Mata itu, ketulusan itu, tangan itu dan kepedulian itu. Seketika itu juga aku merasa jatuh cinta padamu lebih dalam, begitu dalam.
Seketika itu pula aku takut, begitu takut, kita akan berpisah dengan menahan sengsara.
Dan maaf, aku baru kali ini aku berani menceritakan padamu.
***
Semuanya telah menjadi begitu purna, di senja itu.
Cinta merupakan putaran nasib yang harus dijalani sekuat-kuatnya. Kadang cinta tak harus disepakati dan sedih adalah pilihan yang harus terterima jika rasa tak bertaut, apalagi jika rasa itu tak sanggup dijalani lagi.
Lalu kali ini, kisah ini, adalah jejak-jejak yang tak ingin kuperam terus sebagai sebuah luka yang terus menganga. Tanpa ada obat, tanpa ada prawicara.
Kita telah memilih untuk berjalan sendiri sebab jika terus berlanjut, kita akan saling terus menyakiti. Kamu tahu kisah Zainudin dan Hayati dalamn Tenggelamnya Van der Wijk itu, semoga aku tidak begitu.
***
Harusnya aku tidak boleh mengingat-mengingat pelbagai kejadian ini. Tapi beginilah kenangan itu bekerja tanpa diminta, seperti pisau karatan yang ditusukkan ke dada kita dengan perlahan. Ah, sudahlah...
Terima kasih, ya terima kasih, telah menjadi perempuan yang terus menginspirasi.
Sebab kamu adalah perempuan pertama yang membuatku terus bergetar sepanjang.
“Kita sadar, kita datang dengan pikiran yang sama.”
“Kita memang harus berjalan sendiri-sendiri. Aku tidak mau menyakitimu terus menerus, dan aku tidak mau sakit lagi.”
“Kita bertemu dengan tawa dan canda, dan kita harus berakhir dengan bahagia. Toh, begitulah hidup bekerja.”
“Iya. Kita harus tetap hidup.”
Langit telah gelap di rumah kreatif ini, dan aku harus terus berlajan menapaki sisa umurku di hidupku ini.
Untuk kamu, segera temukanlah hidupmu dan jangan ragu lagi. Terima kasih telah menjadi seorang yang mengembalikan cinta dalam hidupku. Jangan pernah ragukan kata hatimu.
Terima kasih, dan sekali lagi, kamu harus menemukan hidupmu.
I dont love this memories, I fall in love with it
Bintaro, 10 September 2013
Minggu, 01 September 2013
Kamis, 29 Agustus 2013
Demak, Suatu Ketika
Aku menyebutnya menziarahi bayangan. Menelusuri jejak-jejak udara yang kau hirup, menyimak deru kendaraan yang bakal mengantarmu dan menyisir tanah yang nanti akan kau pijak.
Aku datang ke kota ini. Tepat ketika kau memberikan kabar di linimasa itu, sebuah kabar yang sebetulnya bukan untukku, tapi untuk semua orang yang kau kenal--tentu saja selain aku.
Lalu aku pun sengaja mengambil bus terakhir mudik dari Jakarta, bukan karena tidak ada kendaraan lagi untuk mudik. Melainkan aku ingin merasakan keberadaanmu yang begitu dekat, barangkali.
Ya, barangkali aku akan mendengar suaramu dari angin.
Aku tidak tahu di daerah mana kota ini kau bakal menjejakkan kaki. Aku pun tidak pernah mengerti, mengapa aku harus datang ke kota ini. Satu hal yang aku sadari, aku pergi ke kota ini karena dorongan hati.
Hatiku berkata bahwa aku akan dekat dengan bayangmu di kota ini, dan di hari ini.
Kepulangan semalam menggunakan bus adalah perjalanan yang istimewa bagiku. Tidak pernah kuprediksi jalurnya, tapi aku melewati kotamu yang lain; Bandung.
Dan seingatku, ada tiga kota dalam hidupmu--begitulah yang sering kau ceritakan dulu (Ah, kenapa aku selalu mengingatmu). Tiga kota itu adalah Yogyakarta, Bandung dan Demak.
Kota pertama merupakan kawah pergulatan hidupmu dengan realitas. Tempat menimba studi dan membangun jaringan, serta lembah bagimu untuk beraktualisasi menjadi dirimu yang sekarang ini--dan aku selalu suka itu.
Di kota ini pula, 56 hari yang lalu kita terakhir bertemu pada sebuah sore yang biasa--dan aku tidak bisa berkisah tentang ini lebih banyak lagi.
Lalu kota kedua adalah Bandung. Entah kenapa, kota ini mengingatkanku pada saling kirim antar pesan singkat yang kita lakukan tahun lalu.
Kau balik dari Jakarta ke Bandung selepas sebuah acara yang kau helat bersama kawan-kawanmu itu, sebuah acara untuk mengenang seorang tokoh yang kau kagumi itu.
Juga sebuah pekerjaan yang membuatmu berkata bahwa kau tersesat di hutan belantara yang penuh dengan beton dan gedung-gedung tinggi. Itulah Jakarta, kota tempat kita pertama kali berjumpa.
Perjalanan menggunakan bus Cipaganti semalam ternyata tidak aku duga. Aku melewati kotamu dan berbuka puasa di Bandung.
Di kota tempat keluargamu tinggal ini aku merasakan dirimu begitu dekat, atau barangkali hatiku yang merasa tenang melihat pemandangan yang begitu menyejukkan mata; gunung, kabut, jembatan kereta api di balik bukit dan senja yang malu-malu di antara ranting pinus.
Aku duduk di paling belakang di bus itu. Kau mungkin bisa mengimajikan, aku duduk di pojok paling belakang bagian kanan dengan posisi duduk paling tinggi dari yang lain.
Aih... Aku tidak bisa melukiskan bagaimana keindahan melewati kotamu. Apakah kau merasakan hal yang serupa jika lewat di Jalanan ini?
Ya, jika kau ke Jatinangor atau Sumedang, maka sebelumnya kau akan melewati dataran indah ini. Seorang kawan di perjalananku ini sampai terkaget, ia belum pernah melihat ini sebelumnya.
Kami, para pejalan ini, mengambil arah Bandung-Cirebon untuk menghindari Cikampek yang begitu riuh dan sangat macet, tentu saja. Bagiku, sungguh menggembirakan bisa datang dan walau sebentar menghirup udara di kotamu yang lain.
Nah, kota ketiga adalah kota ini Demak, yang konon merupakan rumah bagimu. Rumah tempat kau tumbuh dan menghabiskan masa yang disebut waktu paling indah; SMA.
Aku sengaja mengambil tiket dengan kota ini sebagai tujuannya. Aku ingin tiba di sini pada hari Senin, dan akhirnya aku tiba pagi hari tadi, pada kisar 06.35.
Aku memang menginap di salah satu kawanku. Kau pasti tahu, kawan-kawanku begitu banyak dan silaturahmi adalah salah satu cara yang diajarkan agama kita.
Apa yang pertama kali terbersit di otakku kala tiba di kota berjulukan 'Kota Wali' ini?
Ah, kau pasti sudah bisa menebaknya dengan tempo yang secepat-cepatnya seperti seorang pedagang yang bisa menebak harga secara tepat di pasaran. Sebab seperti katamu, aku memang penata kenangan yang baik.
Sebenarnya yang aku harapkan begitu sederhana. Aku ingin merasakan apa yang kau rasakan, menghirup udara yang sama, memakan nasi di kota yang sama dan merasakan senja yang sama.
Kota ini memberikan harapan itu. Walaupun aku tahu, aku tidak akan pernah bertemu denganmu secara nyata di kota ini. Tapi bagiku, melihat bayangmu di kota ini melalui imajinasiku juga itu sudah cukup. Cukup.
Di kota ini, rencananya aku akan ziarah ke makam Sunan Kalijaga dan Arya Penangsang. Seingatku, aku kesini dua tahun lalu.
Akankah kita bertemu secara tidak sengaja di sini? Ah, sudahlah, kebetulan seperti itu hanya ada di film dan cerita belaka.
Hmm... Di kota ini, aku mungkin bisa mencari bayangmu, mungkin merasakan apa yang kau rasakan dan menyimak senja seperti halnya kau menyimaknya. Begitu.
7 Agustus 2013
@DedikPriyanto
post scriptorium: aku menulis ini dengan hape via perjalanan dari Kudus ke Tuban, diselingi deburan ombak sepanjang Rembang. benar kata orang, road is the good listener.
Aku datang ke kota ini. Tepat ketika kau memberikan kabar di linimasa itu, sebuah kabar yang sebetulnya bukan untukku, tapi untuk semua orang yang kau kenal--tentu saja selain aku.
Lalu aku pun sengaja mengambil bus terakhir mudik dari Jakarta, bukan karena tidak ada kendaraan lagi untuk mudik. Melainkan aku ingin merasakan keberadaanmu yang begitu dekat, barangkali.
Ya, barangkali aku akan mendengar suaramu dari angin.
Aku tidak tahu di daerah mana kota ini kau bakal menjejakkan kaki. Aku pun tidak pernah mengerti, mengapa aku harus datang ke kota ini. Satu hal yang aku sadari, aku pergi ke kota ini karena dorongan hati.
Hatiku berkata bahwa aku akan dekat dengan bayangmu di kota ini, dan di hari ini.
Kepulangan semalam menggunakan bus adalah perjalanan yang istimewa bagiku. Tidak pernah kuprediksi jalurnya, tapi aku melewati kotamu yang lain; Bandung.
Dan seingatku, ada tiga kota dalam hidupmu--begitulah yang sering kau ceritakan dulu (Ah, kenapa aku selalu mengingatmu). Tiga kota itu adalah Yogyakarta, Bandung dan Demak.
Kota pertama merupakan kawah pergulatan hidupmu dengan realitas. Tempat menimba studi dan membangun jaringan, serta lembah bagimu untuk beraktualisasi menjadi dirimu yang sekarang ini--dan aku selalu suka itu.
Di kota ini pula, 56 hari yang lalu kita terakhir bertemu pada sebuah sore yang biasa--dan aku tidak bisa berkisah tentang ini lebih banyak lagi.
Lalu kota kedua adalah Bandung. Entah kenapa, kota ini mengingatkanku pada saling kirim antar pesan singkat yang kita lakukan tahun lalu.
Kau balik dari Jakarta ke Bandung selepas sebuah acara yang kau helat bersama kawan-kawanmu itu, sebuah acara untuk mengenang seorang tokoh yang kau kagumi itu.
Juga sebuah pekerjaan yang membuatmu berkata bahwa kau tersesat di hutan belantara yang penuh dengan beton dan gedung-gedung tinggi. Itulah Jakarta, kota tempat kita pertama kali berjumpa.
Perjalanan menggunakan bus Cipaganti semalam ternyata tidak aku duga. Aku melewati kotamu dan berbuka puasa di Bandung.
Di kota tempat keluargamu tinggal ini aku merasakan dirimu begitu dekat, atau barangkali hatiku yang merasa tenang melihat pemandangan yang begitu menyejukkan mata; gunung, kabut, jembatan kereta api di balik bukit dan senja yang malu-malu di antara ranting pinus.
Aku duduk di paling belakang di bus itu. Kau mungkin bisa mengimajikan, aku duduk di pojok paling belakang bagian kanan dengan posisi duduk paling tinggi dari yang lain.
Aih... Aku tidak bisa melukiskan bagaimana keindahan melewati kotamu. Apakah kau merasakan hal yang serupa jika lewat di Jalanan ini?
Ya, jika kau ke Jatinangor atau Sumedang, maka sebelumnya kau akan melewati dataran indah ini. Seorang kawan di perjalananku ini sampai terkaget, ia belum pernah melihat ini sebelumnya.
Kami, para pejalan ini, mengambil arah Bandung-Cirebon untuk menghindari Cikampek yang begitu riuh dan sangat macet, tentu saja. Bagiku, sungguh menggembirakan bisa datang dan walau sebentar menghirup udara di kotamu yang lain.
Nah, kota ketiga adalah kota ini Demak, yang konon merupakan rumah bagimu. Rumah tempat kau tumbuh dan menghabiskan masa yang disebut waktu paling indah; SMA.
Aku sengaja mengambil tiket dengan kota ini sebagai tujuannya. Aku ingin tiba di sini pada hari Senin, dan akhirnya aku tiba pagi hari tadi, pada kisar 06.35.
Aku memang menginap di salah satu kawanku. Kau pasti tahu, kawan-kawanku begitu banyak dan silaturahmi adalah salah satu cara yang diajarkan agama kita.
Apa yang pertama kali terbersit di otakku kala tiba di kota berjulukan 'Kota Wali' ini?
Ah, kau pasti sudah bisa menebaknya dengan tempo yang secepat-cepatnya seperti seorang pedagang yang bisa menebak harga secara tepat di pasaran. Sebab seperti katamu, aku memang penata kenangan yang baik.
Sebenarnya yang aku harapkan begitu sederhana. Aku ingin merasakan apa yang kau rasakan, menghirup udara yang sama, memakan nasi di kota yang sama dan merasakan senja yang sama.
Kota ini memberikan harapan itu. Walaupun aku tahu, aku tidak akan pernah bertemu denganmu secara nyata di kota ini. Tapi bagiku, melihat bayangmu di kota ini melalui imajinasiku juga itu sudah cukup. Cukup.
Di kota ini, rencananya aku akan ziarah ke makam Sunan Kalijaga dan Arya Penangsang. Seingatku, aku kesini dua tahun lalu.
Akankah kita bertemu secara tidak sengaja di sini? Ah, sudahlah, kebetulan seperti itu hanya ada di film dan cerita belaka.
Hmm... Di kota ini, aku mungkin bisa mencari bayangmu, mungkin merasakan apa yang kau rasakan dan menyimak senja seperti halnya kau menyimaknya. Begitu.
7 Agustus 2013
@DedikPriyanto
post scriptorium: aku menulis ini dengan hape via perjalanan dari Kudus ke Tuban, diselingi deburan ombak sepanjang Rembang. benar kata orang, road is the good listener.
Isyarat Cinta yang Keras Kepala
Aku pikir, aku tidak akan bisa melewati badai Desember itu. badai yang sangat sempurna, dan dihadapannya, aku merasa terhormat untuk dihabisi. Aku memang memegang sebuah teori penghabisan: di saat-saat terakhir hanya ada dua kemungkinan yang bisa kita pilih, benteng-benteng kecil untuk bertahan, aku meledakkannya sebagai sebuah pelajaran.
Aku pikir, aku hanya bisa memilih yang terakhir. Habis sudah kekuatanku, ranjau-ranjau peristiwa telah kamu tanam dengan rata hidupku, ledak-ledakannya telah membuatku renta. Kalau mau habis, habislah aku. Tidak ada lagi yang perlu ditangisi. Kalau ada yang mau mengambil pelajaran dari itu, ambillah, aku sudah tidak begitu peduli.
Jika kemudian aku masih bertahan hingga sekarang, di sebuah tempat yang jauh dari masa lampauku, sunggu aku tidak tahu. Mungkin yang bisa kupastikan adalah aku tidak akan sampai di sini, tanpa badai Desembermu. Mungkin juga itu seperti badai sungguhan. Ia bisa menyeret kita masuk ke dalam, menggulung, membuat kita jadi santapan ikan. Tapi ia juga membuat kita terlempar jauh ke sebuah pantai yang penuh hiruk pikuk.
Dan aku terlempar ke sebuah pantai yang asing. Pantai yang sampai sekarang aku masih sulit menjelaskannya, dan terus sulit pula memberi penjelasan bagaimana Badai Desember itu melemparku ke daratan ini.
Lalu aku kembali belajar bergerak. Lebih tepatnya bergerak agar bertahan. Dan di sana, aku merangkaki jarak. Jika kamu tanya padaku, adakah kesumatku padam? Ada. Lalu, adakah terima kasihku padamu? Ada. Untu apa semua itu ada? Aku juga tidak tahu, sama seperti ketika aku tersadar dalam proses merangkaki jarak, hingga kemudian berada di bentangan yang jauh ke sana, aku harus menyelipkan rasa kagum pada diriku sendiri.
Kemudian aku merasa bahwa bagaimanapun harus ada sebuah prosesi untuk menziarahi situs-situs masa laluku denganmu. Itu semua juga tidak mudah. Tapi aku harus melakukannya. Harus ada tahapan maju untuk jarak tempuh yang semakin menjauh.
Mungkin disana dibutuhkan keberanian untuk kembali merasa sakit.
Bagaimanakah harus mengumpulkan ketajaman sebuah benda tajam? Membenturkannya. Mengadunya dengan benda lain yang tak kalah kerasnya. Kalau kita biarkan, mungkin juga akan tumpul, tapi sekali terasah, ia akan kembali menajam. Juga tajam kenangan. Sebab bisa saja kita mencoba melupakannya, tatapi begitu juga sebuah kilatan peristiwa mengasahnya, ia akan menajam, dan mungkin semakin tajam. Aku memilih menziarahi situs masa laluku, menziarahi kesakitanku.
Aku akan terus melakukannya. Paling tidak, ada bekal kuat di diriku. Toh aku sudah mengalami hal yang paling buruk dalam hidupku. Aku pikir tidak ada lagi hal yang paling buruk selain badai Desember yang begitu sempurna. Ini seperti pemberontakan kaum papa, mereka tidak akan kehilangan apa-apa selain rantai yang membelenggu mereka sendiri.
***
Di ingatanku, ada stasiun. Pada pagi yang eblum bangkit, aku sudah menunggumu di sana, di bangku-bangku panjang serupa mayat zaman kolonial. Dan aku sangat menikmati berada di tempat seperti itu. Sebuah pemberhentian sementara, dimana ada semacam pusat kecil, di sana orang-orang berangkat, dan di sana orang-orang berpulang. Langit bangunan yang tinggi, rel yang mengecil dan menjauh, yang cepat tanpa berhenti, burung-burung yang tidak pedulu, perempuan-perempuan tua penjaja makanan yang begitu kuat, pejalan-pejalan yang sedang beristirahat sembil melemparkan pandangnya jauh ke sebuah tempat yang tidak pernah bisa kita bayangkan, lantai yang dingin, angin yang sejuk, orang-orang yang bercakap dengan suara terkontrol, nyala lampu dari balik kaca, peluit serak meninggi, pengumuman demi pengumuman, dan musik khas: ting-tong-ting-tong.... ting-tong-ting-tong..dan bau yang menguar dari dari rel kereat, gerbong-gerbong yang diam sedrta tiang-tiang menjulang, juga mungkin deretan kursi-kursi.. bercampur dengan bau embun dan bau
perjalanan orang-orang yagn sedang tertidur.
Aku punya lima rumah makan di ingatanku. Dua di antaranya telah berani aku kunjungi di dua tahun setelah Badai Desember, dua lagi di tahun ketiga, dan sampai sekarang di tahun keempat, aku masih mempersiapkan diri untuk berani mengunjungi rumah makan kelima.
Awalnya, aku ragu apakah rumah makan itu masih ada? Tapi beberapa hari lalu aku ingin memastikan dengan cara lewat depan rumah makan itu. Masih utuh, masih seperti dulu, hanya catnya yang diperbaharui dengan dominan warna coklat. Mungkin beberapa menu sudah tidak ada atau berganti, tapi aku rasi masih. Tapi mungkin mbak dan mas yang sering kamu bilang sebagai ‘wajahnya baik’, sudah tidak ada di sana lagi, atau mungkin mereka malah menikah? Bukankah sepertinya mereka pasangan yang serasi?
Aku juga mau meluruskan peristiwa yang terjadi di rumah makan itu. kamu ingat saat ada sepasang suami istri dengan dua putra-putrinya yang masih kecil. Sore itu, karena keluarga kecil yang sedang makan dan terlihat bahagia itu, kita bertengkar hebat.
Awalnya, si anak laki-laki melakukan sebuah kesalahan, yang entah apa, lalu si bapak mengingatkan; (ia menyebut anak laki-lakinya), dosa lho, nanti masuk neraka. Mendengar itu aku hanya berkomentar singkat; kasihan. Lalu kamu seperti naik darah dan bilang bahwa seorang bapak yang baik bilang seperti itu pada anaknya kok dibilang kasihan?! Aku hanya menjawab dengan sedikit nyengir tapi serius: bagaimana tidak kasihan, sejak kecil sudah diteror oleh ketakutan-ketakutan yagn tidak perlu, Teror dan ketakutan bagaimana? Ucapmu. Itu, lho, masak ditakut-takuti masuk neraka. Kamu makin naik darah. Kok bisa? Ya habis neraka kan tidak jelas.
Kamu langsung mengambil tas, membayar makanan, pulang. Aku terkaget-kaget.
Sepertinya bukan kali ini saja aku berkomentar untuk hal seperti itu, aku bahkan pernah bilang padamu, aku pkikir orang tua-lah yang pertama yang menyebarkan ketakutan dalam kehidupan rumah tangga dengan hal-hal yang tidak jelas. Aku pikir memberitahumu tentang sesuatu yang baik dan tidak baik, tidak harus dengan ancaman-ancaman yang keji dengan siksa neraka atau hal semacamnya.
Di rumah makan itu pula, beberapa bulan lewat pertengkaran itu, kamu juga ngambek dan pulang. Aku pikir waktu itu aku hanya bercanda. Waktu itu, aku sedang menceritakan kisah temanku yang sangat kukagumi. Entah mengapa kamu bertanya, temanmu agamanya apa sih? Aku pura-pura tidak mengerti arah pertanyaanmu. Lalu kamu menandaskan pertanyaan yang sama.
Aku bilang, o, kamu bertanya tentang penyakit keturunan. Kamu mengernyit dan bertanya: maksudnya? Aku menjawab, ya agama kan mirip penyakit keurunan, apa yang dipeluk orang tuanya, itu dipeluk anaknya. Mukamu terlihat memerah. Tapi dengan sigap kamu membantah, tapi banyak orang yang pindah agama. Lalu aku menjawab, o, berarti kena penyakit menular. Dan kamu langsung pergi.
Percayalah, kamu tidak seserius itu, kamu tahu, aku hanya seorang yang risau dan kadang-kadang agak konyol.
Di ingatanku, kita punya lima jalan yang raya yang sama-sama kita senangi. Hanya ada satu jalan raya yang belum berani kutempuh dan kulewati lagi. Mungkin aku butuh persiapan yang lebih. Di jalan raya itu, ada dua tempat penyewaan VCD yang dulu langganan kita. Ah, tapi kamu pernah sangat cemburu ketika suatu saat aku ditanya sesuatu yang agak penting oleh mbak yang jaga, dan kami berdua terlihat percakapan yang agak serius. Kamu bilang aku tebar pesona.
Ada dua toko buku yang sering kita kunjungi. Maaf untuk yang satu ini, aku sudah mengunjunginya jauh-jauh hari. Soalnya ada banyak keperluanku di sana.
Ada juga pusat perbelanjaan dimana aku sering mengantarmu.
Dua-duanya aku belum pernah masuk lagi, tapi aku pikir kamu tahu masalah sebenarnya, aku tiudak tahan ac di kedua tempat itu. bukankah kamu sering merasa kasihan sama aku karena terlalu lama mengantarmu di sana, lalu mataku memerah, badanku mulai meriang, dan bersin-bersin? Lalu kamu akan bilang padaku agar minum air putih banyak-banyak.
Ada satu tempat yagn sesungguhnya sangat kukenang, tapi sepertinya aku tidak akan memasukinya lagi. Kamar tidurmu. Aku masih mengingatnya dengan baik.
Ada lemari kayu yang besar dan tinggi berisi penuh pakaian-pakaianmu. Ada beberapa bajuku yang tertinggal di sana. Di sebelahnya ada sepasang meja-kursi. Di atas meja itu ada alat-alat tulis, jam kecil dan foto-fotomu ketika bersama orang tuamu, saudara-saudaramu dan sahabat-sahabatmu. Tepat di depan tempat tidur yang membujur, terletak seperangkat audio-visual dan di atasnya ada boneka kecil. Di belakang agak sebelah atas, ada rak buku. Di sana sering terselip buku-bukuku. Di atas tempat tidurmu, ada dua bantal dan satu guling, serta ada sebuah boneka besar.
Aku sering berlama-lama menatap jendela itu, apalagi jika turun hujan. Terakhir, aku mengunjungi kamarmu, ada laptop tergeletak di lantai, sebagian tugas akhirmu ada di dalamnya.
Mengingat kamarmu, aku mengingat bekar kamarku dulu ketika bersamamu. Tentu aku tidak akan menceritakan lengkap. Ada bajumu di lemariku, itu jelas. Tapi sudah kuberikan pada orang.
Kamu pernah menangis meminta aku menurunkan poster seorang artis di tembok kamarku, padahal itu bukan sembarang poster. Artis itu baru bangun tidur, dan itu gambar yang jarang didapat orang.
Lalu aku ingat kamar mandi di dalam kamarku. Kamu sering mengkhawatirkanku ketika berada di dalam kamar mandi padahal aku tidak mandi, tidak sedang kencing dan tidak sedang dalam buang air besar. Aku senang sekali melihat air. Aku juga senang mendengar gemericik air dari kran, yang sengaja kubuka dengan aliran kecil agar bunyinya terdengar nyaring dan biar lama untuk memenuhi bak mandi. Aku senang memerhatikan bagaimana air di dalam bak itu pelan-pelan naik. Aku sering memasang jariku di batas tertentu yang tidak tergenang air dalam bak mandi. Dan aku sangat menikmati ketika pelan-pelan air menyentuh jariku.
Aku juga senang sekali mengamati bagaimana gerakan air yang jatuh dari kran, lalu membuat gelombang dan buih-buih kecil, juga percikan-percikan lembut. Jika aku memejamkan mata dan menikmati percikan-percikan air itu mengenai tanganku, aku seperti sedang diguyur gerimis yang lembut.
Di tembok kamarku, ada sebait puisi tentang misteri waktu yang sangat kamu sukai.
****
Kini, setelah empat tahun berlalul, apa yang tertinggal di kenangamu tentangku? Mungkin sudah tidak ada, sebab memang tidak harus ada. Tapi akan kuceritakan kepadamu tentang sebuah peristiwa di satu setengah tahun yang lewat.
Saat itu, aku sedang berpergian di daerah Timur.
Di sana, seperti biasa, aku bertemu teman-teman lamaku, dan bertemu dengan orang-orang yang baru aku kukenal, yang kelak kemudian menjadi teman-temanmku juga. Salah satu dari mereka, di waktu malam, ketika kebetulan kami sedang berdua di dalam kamar bercerita dengan serius.
Beberapa minggu sebelumnya, ia mengalami sebuah peristiwa yang membuatnya tersedih dan terpukul. Kakek salah satu sahabatnya, yang ia juga sangat akrab dengan si kakek, sakit keras. Seluruh anggota keluarga sahabatnya berkumpul sebab mereka memantg sudah memaklumki bahwa kakek sudah sangat tua. Tetapi sampai berhari-hari, si kakek tidak juga pergi dengan tenang. ia hanya seperti mengingau dengan suara yang tidak terdengar jelas, dan airmatanya terus menerus mengalir.
Seluruh keluarga besar itu bingung. Kawanku yang ikut berada disana, juga bingung.
Hingga akhirnya, ada dua orang teman si kakek yang juga sudah tua, datang menjenguk. Mereka berdua lalu bilang bahwa ada baiknya kami mencari seorang perempuan (dan ia menyebut salah satu nama perempuan yang aku juga lupa). Perempuan itu dulu kekasih si kakek. Dua orang itu bilang, siapa tahu si kakek masih mencintai perempuan itu.
Lalu keluarga besar itu mengutus sahabatnya temanku dan temanku untuk mencari perempuan yang dimaksud. Hampir seminggu mereka mencarinya, dan jaraknya ratusan kilometer. Percayakah kamu, nenek itu juga sedang sakit. Dan di sana berkumpul seluruh keluarganya dengan cemas. Si nenek hanya diam dan matanya nanar menatap langit-langit.
Sudah hampir dua minggu ia seperti itu. Kebetulan mereka berdua masih membawa foto waktu si kakek masih muda dan saat ia sudah tua. Begitu, si nenek melihat foto si kakek, pecahlah airmatanya. Ia menangis tanpa suara. Ia memegang erat erat tangan cucu si kakek, dan tak seberapa lama kemudian si nenek meninggal dunia dengan tenang.
Kini giliran kawanku dan cucu si kakek yang kebingungan.
Oleh keluarga besar si nenek, mereka berdua diberi foto waktu si nenek masih muda dan saat si nenek sudah tua. Mereka berdua lalu pulang. Saat mereka di depan si kakek yang masih ditunggu keluarga besarnya, mereka menunjukkan foto-foto si nenek. Kembali mata kakek banjir air mata. tak seberapa lama kemudian ia meninggal dunia.
Mendengar cerita itu, hatiku berdesir, terasa perih. Aku, tentu saja tidak ingin mengalami kejadian seperti itu. tentu juga kamu tidak menginginkannya. Aku pikir itu sesuatu yang sangat menyedihkan. Tapi, hatiku perih mendengarnya, dan selalu terbayang hal seperti itu bisa menimpaku.
Oleh karena itu, dari awal aku bilang, aku justrus harus berani menghadapi seluruh peristiwa yang telah lewat dan bukan justru menghindarinya. Kenangan tidak bisa dihilangkan. Kenangan hanya bisa dihadapi atau dieperam dengan risiko membusuk di dalam. Aku menghadapinya. Menghadapinya. Menghadapinya.
Mmm... aku kangen kamu saat ini...
Oleh: Puthut EA
Post scriptorium: Cerpen ini saya tulis ulang dari kitab Prosa dengan judul serupa, Isyarat Cinta yang Keras Kepala (Labuh, 2002) . Di naskah ini pula terdapat pelbagai prosa Puthut di pelbagai media dan satu obituari cantik untuk almarhum Mansour Faqih.
Aku pikir, aku hanya bisa memilih yang terakhir. Habis sudah kekuatanku, ranjau-ranjau peristiwa telah kamu tanam dengan rata hidupku, ledak-ledakannya telah membuatku renta. Kalau mau habis, habislah aku. Tidak ada lagi yang perlu ditangisi. Kalau ada yang mau mengambil pelajaran dari itu, ambillah, aku sudah tidak begitu peduli.
Jika kemudian aku masih bertahan hingga sekarang, di sebuah tempat yang jauh dari masa lampauku, sunggu aku tidak tahu. Mungkin yang bisa kupastikan adalah aku tidak akan sampai di sini, tanpa badai Desembermu. Mungkin juga itu seperti badai sungguhan. Ia bisa menyeret kita masuk ke dalam, menggulung, membuat kita jadi santapan ikan. Tapi ia juga membuat kita terlempar jauh ke sebuah pantai yang penuh hiruk pikuk.
Dan aku terlempar ke sebuah pantai yang asing. Pantai yang sampai sekarang aku masih sulit menjelaskannya, dan terus sulit pula memberi penjelasan bagaimana Badai Desember itu melemparku ke daratan ini.
Lalu aku kembali belajar bergerak. Lebih tepatnya bergerak agar bertahan. Dan di sana, aku merangkaki jarak. Jika kamu tanya padaku, adakah kesumatku padam? Ada. Lalu, adakah terima kasihku padamu? Ada. Untu apa semua itu ada? Aku juga tidak tahu, sama seperti ketika aku tersadar dalam proses merangkaki jarak, hingga kemudian berada di bentangan yang jauh ke sana, aku harus menyelipkan rasa kagum pada diriku sendiri.
Kemudian aku merasa bahwa bagaimanapun harus ada sebuah prosesi untuk menziarahi situs-situs masa laluku denganmu. Itu semua juga tidak mudah. Tapi aku harus melakukannya. Harus ada tahapan maju untuk jarak tempuh yang semakin menjauh.
Mungkin disana dibutuhkan keberanian untuk kembali merasa sakit.
Bagaimanakah harus mengumpulkan ketajaman sebuah benda tajam? Membenturkannya. Mengadunya dengan benda lain yang tak kalah kerasnya. Kalau kita biarkan, mungkin juga akan tumpul, tapi sekali terasah, ia akan kembali menajam. Juga tajam kenangan. Sebab bisa saja kita mencoba melupakannya, tatapi begitu juga sebuah kilatan peristiwa mengasahnya, ia akan menajam, dan mungkin semakin tajam. Aku memilih menziarahi situs masa laluku, menziarahi kesakitanku.
Aku akan terus melakukannya. Paling tidak, ada bekal kuat di diriku. Toh aku sudah mengalami hal yang paling buruk dalam hidupku. Aku pikir tidak ada lagi hal yang paling buruk selain badai Desember yang begitu sempurna. Ini seperti pemberontakan kaum papa, mereka tidak akan kehilangan apa-apa selain rantai yang membelenggu mereka sendiri.
***
Di ingatanku, ada stasiun. Pada pagi yang eblum bangkit, aku sudah menunggumu di sana, di bangku-bangku panjang serupa mayat zaman kolonial. Dan aku sangat menikmati berada di tempat seperti itu. Sebuah pemberhentian sementara, dimana ada semacam pusat kecil, di sana orang-orang berangkat, dan di sana orang-orang berpulang. Langit bangunan yang tinggi, rel yang mengecil dan menjauh, yang cepat tanpa berhenti, burung-burung yang tidak pedulu, perempuan-perempuan tua penjaja makanan yang begitu kuat, pejalan-pejalan yang sedang beristirahat sembil melemparkan pandangnya jauh ke sebuah tempat yang tidak pernah bisa kita bayangkan, lantai yang dingin, angin yang sejuk, orang-orang yang bercakap dengan suara terkontrol, nyala lampu dari balik kaca, peluit serak meninggi, pengumuman demi pengumuman, dan musik khas: ting-tong-ting-tong.... ting-tong-ting-tong..dan bau yang menguar dari dari rel kereat, gerbong-gerbong yang diam sedrta tiang-tiang menjulang, juga mungkin deretan kursi-kursi.. bercampur dengan bau embun dan bau
perjalanan orang-orang yagn sedang tertidur.
Aku punya lima rumah makan di ingatanku. Dua di antaranya telah berani aku kunjungi di dua tahun setelah Badai Desember, dua lagi di tahun ketiga, dan sampai sekarang di tahun keempat, aku masih mempersiapkan diri untuk berani mengunjungi rumah makan kelima.
Awalnya, aku ragu apakah rumah makan itu masih ada? Tapi beberapa hari lalu aku ingin memastikan dengan cara lewat depan rumah makan itu. Masih utuh, masih seperti dulu, hanya catnya yang diperbaharui dengan dominan warna coklat. Mungkin beberapa menu sudah tidak ada atau berganti, tapi aku rasi masih. Tapi mungkin mbak dan mas yang sering kamu bilang sebagai ‘wajahnya baik’, sudah tidak ada di sana lagi, atau mungkin mereka malah menikah? Bukankah sepertinya mereka pasangan yang serasi?
Aku juga mau meluruskan peristiwa yang terjadi di rumah makan itu. kamu ingat saat ada sepasang suami istri dengan dua putra-putrinya yang masih kecil. Sore itu, karena keluarga kecil yang sedang makan dan terlihat bahagia itu, kita bertengkar hebat.
Awalnya, si anak laki-laki melakukan sebuah kesalahan, yang entah apa, lalu si bapak mengingatkan; (ia menyebut anak laki-lakinya), dosa lho, nanti masuk neraka. Mendengar itu aku hanya berkomentar singkat; kasihan. Lalu kamu seperti naik darah dan bilang bahwa seorang bapak yang baik bilang seperti itu pada anaknya kok dibilang kasihan?! Aku hanya menjawab dengan sedikit nyengir tapi serius: bagaimana tidak kasihan, sejak kecil sudah diteror oleh ketakutan-ketakutan yagn tidak perlu, Teror dan ketakutan bagaimana? Ucapmu. Itu, lho, masak ditakut-takuti masuk neraka. Kamu makin naik darah. Kok bisa? Ya habis neraka kan tidak jelas.
Kamu langsung mengambil tas, membayar makanan, pulang. Aku terkaget-kaget.
Sepertinya bukan kali ini saja aku berkomentar untuk hal seperti itu, aku bahkan pernah bilang padamu, aku pkikir orang tua-lah yang pertama yang menyebarkan ketakutan dalam kehidupan rumah tangga dengan hal-hal yang tidak jelas. Aku pikir memberitahumu tentang sesuatu yang baik dan tidak baik, tidak harus dengan ancaman-ancaman yang keji dengan siksa neraka atau hal semacamnya.
Di rumah makan itu pula, beberapa bulan lewat pertengkaran itu, kamu juga ngambek dan pulang. Aku pikir waktu itu aku hanya bercanda. Waktu itu, aku sedang menceritakan kisah temanku yang sangat kukagumi. Entah mengapa kamu bertanya, temanmu agamanya apa sih? Aku pura-pura tidak mengerti arah pertanyaanmu. Lalu kamu menandaskan pertanyaan yang sama.
Aku bilang, o, kamu bertanya tentang penyakit keturunan. Kamu mengernyit dan bertanya: maksudnya? Aku menjawab, ya agama kan mirip penyakit keurunan, apa yang dipeluk orang tuanya, itu dipeluk anaknya. Mukamu terlihat memerah. Tapi dengan sigap kamu membantah, tapi banyak orang yang pindah agama. Lalu aku menjawab, o, berarti kena penyakit menular. Dan kamu langsung pergi.
Percayalah, kamu tidak seserius itu, kamu tahu, aku hanya seorang yang risau dan kadang-kadang agak konyol.
Di ingatanku, kita punya lima jalan yang raya yang sama-sama kita senangi. Hanya ada satu jalan raya yang belum berani kutempuh dan kulewati lagi. Mungkin aku butuh persiapan yang lebih. Di jalan raya itu, ada dua tempat penyewaan VCD yang dulu langganan kita. Ah, tapi kamu pernah sangat cemburu ketika suatu saat aku ditanya sesuatu yang agak penting oleh mbak yang jaga, dan kami berdua terlihat percakapan yang agak serius. Kamu bilang aku tebar pesona.
Ada dua toko buku yang sering kita kunjungi. Maaf untuk yang satu ini, aku sudah mengunjunginya jauh-jauh hari. Soalnya ada banyak keperluanku di sana.
Ada juga pusat perbelanjaan dimana aku sering mengantarmu.
Dua-duanya aku belum pernah masuk lagi, tapi aku pikir kamu tahu masalah sebenarnya, aku tiudak tahan ac di kedua tempat itu. bukankah kamu sering merasa kasihan sama aku karena terlalu lama mengantarmu di sana, lalu mataku memerah, badanku mulai meriang, dan bersin-bersin? Lalu kamu akan bilang padaku agar minum air putih banyak-banyak.
Ada satu tempat yagn sesungguhnya sangat kukenang, tapi sepertinya aku tidak akan memasukinya lagi. Kamar tidurmu. Aku masih mengingatnya dengan baik.
Ada lemari kayu yang besar dan tinggi berisi penuh pakaian-pakaianmu. Ada beberapa bajuku yang tertinggal di sana. Di sebelahnya ada sepasang meja-kursi. Di atas meja itu ada alat-alat tulis, jam kecil dan foto-fotomu ketika bersama orang tuamu, saudara-saudaramu dan sahabat-sahabatmu. Tepat di depan tempat tidur yang membujur, terletak seperangkat audio-visual dan di atasnya ada boneka kecil. Di belakang agak sebelah atas, ada rak buku. Di sana sering terselip buku-bukuku. Di atas tempat tidurmu, ada dua bantal dan satu guling, serta ada sebuah boneka besar.
Aku sering berlama-lama menatap jendela itu, apalagi jika turun hujan. Terakhir, aku mengunjungi kamarmu, ada laptop tergeletak di lantai, sebagian tugas akhirmu ada di dalamnya.
Mengingat kamarmu, aku mengingat bekar kamarku dulu ketika bersamamu. Tentu aku tidak akan menceritakan lengkap. Ada bajumu di lemariku, itu jelas. Tapi sudah kuberikan pada orang.
Kamu pernah menangis meminta aku menurunkan poster seorang artis di tembok kamarku, padahal itu bukan sembarang poster. Artis itu baru bangun tidur, dan itu gambar yang jarang didapat orang.
Lalu aku ingat kamar mandi di dalam kamarku. Kamu sering mengkhawatirkanku ketika berada di dalam kamar mandi padahal aku tidak mandi, tidak sedang kencing dan tidak sedang dalam buang air besar. Aku senang sekali melihat air. Aku juga senang mendengar gemericik air dari kran, yang sengaja kubuka dengan aliran kecil agar bunyinya terdengar nyaring dan biar lama untuk memenuhi bak mandi. Aku senang memerhatikan bagaimana air di dalam bak itu pelan-pelan naik. Aku sering memasang jariku di batas tertentu yang tidak tergenang air dalam bak mandi. Dan aku sangat menikmati ketika pelan-pelan air menyentuh jariku.
Aku juga senang sekali mengamati bagaimana gerakan air yang jatuh dari kran, lalu membuat gelombang dan buih-buih kecil, juga percikan-percikan lembut. Jika aku memejamkan mata dan menikmati percikan-percikan air itu mengenai tanganku, aku seperti sedang diguyur gerimis yang lembut.
Di tembok kamarku, ada sebait puisi tentang misteri waktu yang sangat kamu sukai.
****
Kini, setelah empat tahun berlalul, apa yang tertinggal di kenangamu tentangku? Mungkin sudah tidak ada, sebab memang tidak harus ada. Tapi akan kuceritakan kepadamu tentang sebuah peristiwa di satu setengah tahun yang lewat.
Saat itu, aku sedang berpergian di daerah Timur.
Di sana, seperti biasa, aku bertemu teman-teman lamaku, dan bertemu dengan orang-orang yang baru aku kukenal, yang kelak kemudian menjadi teman-temanmku juga. Salah satu dari mereka, di waktu malam, ketika kebetulan kami sedang berdua di dalam kamar bercerita dengan serius.
Beberapa minggu sebelumnya, ia mengalami sebuah peristiwa yang membuatnya tersedih dan terpukul. Kakek salah satu sahabatnya, yang ia juga sangat akrab dengan si kakek, sakit keras. Seluruh anggota keluarga sahabatnya berkumpul sebab mereka memantg sudah memaklumki bahwa kakek sudah sangat tua. Tetapi sampai berhari-hari, si kakek tidak juga pergi dengan tenang. ia hanya seperti mengingau dengan suara yang tidak terdengar jelas, dan airmatanya terus menerus mengalir.
Seluruh keluarga besar itu bingung. Kawanku yang ikut berada disana, juga bingung.
Hingga akhirnya, ada dua orang teman si kakek yang juga sudah tua, datang menjenguk. Mereka berdua lalu bilang bahwa ada baiknya kami mencari seorang perempuan (dan ia menyebut salah satu nama perempuan yang aku juga lupa). Perempuan itu dulu kekasih si kakek. Dua orang itu bilang, siapa tahu si kakek masih mencintai perempuan itu.
Lalu keluarga besar itu mengutus sahabatnya temanku dan temanku untuk mencari perempuan yang dimaksud. Hampir seminggu mereka mencarinya, dan jaraknya ratusan kilometer. Percayakah kamu, nenek itu juga sedang sakit. Dan di sana berkumpul seluruh keluarganya dengan cemas. Si nenek hanya diam dan matanya nanar menatap langit-langit.
Sudah hampir dua minggu ia seperti itu. Kebetulan mereka berdua masih membawa foto waktu si kakek masih muda dan saat ia sudah tua. Begitu, si nenek melihat foto si kakek, pecahlah airmatanya. Ia menangis tanpa suara. Ia memegang erat erat tangan cucu si kakek, dan tak seberapa lama kemudian si nenek meninggal dunia dengan tenang.
Kini giliran kawanku dan cucu si kakek yang kebingungan.
Oleh keluarga besar si nenek, mereka berdua diberi foto waktu si nenek masih muda dan saat si nenek sudah tua. Mereka berdua lalu pulang. Saat mereka di depan si kakek yang masih ditunggu keluarga besarnya, mereka menunjukkan foto-foto si nenek. Kembali mata kakek banjir air mata. tak seberapa lama kemudian ia meninggal dunia.
Mendengar cerita itu, hatiku berdesir, terasa perih. Aku, tentu saja tidak ingin mengalami kejadian seperti itu. tentu juga kamu tidak menginginkannya. Aku pikir itu sesuatu yang sangat menyedihkan. Tapi, hatiku perih mendengarnya, dan selalu terbayang hal seperti itu bisa menimpaku.
Oleh karena itu, dari awal aku bilang, aku justrus harus berani menghadapi seluruh peristiwa yang telah lewat dan bukan justru menghindarinya. Kenangan tidak bisa dihilangkan. Kenangan hanya bisa dihadapi atau dieperam dengan risiko membusuk di dalam. Aku menghadapinya. Menghadapinya. Menghadapinya.
Mmm... aku kangen kamu saat ini...
Oleh: Puthut EA
Post scriptorium: Cerpen ini saya tulis ulang dari kitab Prosa dengan judul serupa, Isyarat Cinta yang Keras Kepala (Labuh, 2002) . Di naskah ini pula terdapat pelbagai prosa Puthut di pelbagai media dan satu obituari cantik untuk almarhum Mansour Faqih.
Kamis, 25 Juli 2013
Lebaran Tanpa Kereta Api (Bag I)
gambar diambil di sini |
Bagi saya, mudik dan kereta merupakan rutinitas yang hampir wajib untuk dilakukan tiap tahun, mungkin seperti halnya para suporter yang menjadikan rutinitas nonton sepakbola di stadion sebagai ritus yang harus dijalani. Jika tidak dilakukan, maka sudah dipastikan hidupnya akan sengsara atau minimal ia akan terus merutuki diri.
Coba bayangkan bagaimana jika absen melakukan sebuah ritus yang hampir tiap tahun dilakukan?
Pada lebaran tahun lalu saya masih menaiki kereta api. Itu pun dengan cerita yang lucu sebab saya sudah memegang dua tiket untuk pulang kampung dengan menaiki moda transportasi bus.
Tapi ketika ada tawaran dari beberapa kawan Semarang untuk naik kereta, langsung saya mengiyakan.
Tentu saja dua tiket saya bakal hangus, tapi itu tidak masalah. Naik kereta api, apalagi di dekat jendela, adalah kenikmatan tersendiri. Juga pelbagai hal akan merupa hal-hal yang tidak biasa. Coba rasakan, pasti kamu akan menemukannya di dekat jendela merupa bayang-bayang yang kerap tak terduga.
Biasanya, saya mudik lebaran dua atau satu minggu sebelum hari raya dan tidak langsung menuju rumah. Melainkan akan melakukan penelusuran ke pelbagai daerah terdahulu, atau minimal bakal menemui ragam kawanku yang tersebar di sekitaran Jawa Tengah atau Jawa Timur.
Baru mendekati lebaran, entah tiga atau empat hari, saya baru akan mudik sebenar-benarnya dan pulang ke rumah orang tua di Bojonegoro.
Satu hal lagi, sejak mula ke Jakarta kisar enam tahun lalu, saya selalu enggan untuk naik kereta api bisnis ataupun eksekutif. Bukan karena soal harga atau hal yang lainnya, atau mungkin saja sebab tidak ada pilihan lain.
Lebih dari itu, dengan naik kereta api ekonomi saya merasa lebih hidup dan merasakan bagaimana manusia berusaha untuk bertahan hidup dan tentu saja menemui sanak keluarga jauh. Pun pelbagai persoalan manusia biasa; kesedihan, tawa dan terkadang kemuraman, saya menemukannya di kereta ekonomi. Bukan di jenis yang lain.
Lamat-lamat, ingatan saya terbetik pada tahun 2009 lalu. Ketika itu saya mudik H-2 dengan menaiki kereta api Kertajaya jurusan Jakarta-Surabaya. Kereta ini adalah primadona bagi orang-orang biasa semacam saya, walaupun untuk itu kita harus siap berdiri seharian selama kurang lebih 13 jam untuk mencapai tujuan.
Pada tahun itu, saya masih ingat. Saya mendapatkan tiket dengan cara yang sungguh saya tidak ingat dan tidak perlu saya tuliskan sebab pastinya saya lupa. Jadi tolong, jangan paksa saya untuk menuliskannnya atau menceritakannya kepada kalian.
Saya bertemu dengan kawan saya, lebih tepatnya kakak kelas saya di sekolah. Saya masih ingat, namanya Muammar yang beda tiga angkatan di atas saya. Lalu kami saling bercakap laiknya orang yang sudah lama tidak jumpa; berkabar keadaaan, berkisah masa lalu dan bertanya aktivititas kekinian. Juga menyiapkan strategi untuk mendapatkan tempat layak di kereta. Kenapa harus ada strategi?
Kereta saat itu memang begitu berbeda dengan sekarang. Tidak ada karcis sekadar menyandarkan pantat. Kami harus berdiri sebab di karcis yang kami miliki adalah tiket terusan yang bebas tempat duduk. Artinya, mau tidak mau, kami harus mental.
Sudah seringkali saya mengalami hal yang beginian, bahkan sejak dulu masih jaman masih di sekolah. Saya beberapa kali main ke kota lain dengan naik kereta. Biasanya kalau ke Surabaya kami Cuma berbekal 10 ribu rupiah sudah bisa bolak-balik Surabaya dengan naik kereta KRD dan duduk bersama para pedagang—lengkap denngan pelbagai ocehan dan gelak tawa antar mereka yang terkadang miris.
Kembali ke soal kawan saya tadi. Entah kenapa, saat itu ia merasa aneh saja. Ternyata, kawan saya ini baru tahun ini merantau ke Jakarta. Tahun lalu ia bertugas di sebuah daerah di Bandung dan baru kali ini ia tidak memesan tiket. Maka dengan terpaksa harus naik begini.
Untuk mengatasinya, kami pun membeli koran bekas. Syukur-syukur kalau nanti bisa dapat tempat duduk di sela-sela tempat duduk penumpang. Tapi ketika saya melihat ke sekitar peron, saya pikir tidak mungkin. Penumpang sudah menyemut untuk menunggu kereta.
Benar saja, kami masuk dengan berhimpitan dan harus berdiri tanpa duduk. Kawan saya itu pun tampak lemas. Saya lihat wajahnya memucat selepas memasuki kereta berjalan. Beruntung, kami sebentar-sebentar duduk di bawah.
Bagi saya, pengalaman ini mengasyikkan sekaligus mendebarkan. Kereta ekonomi menyajikan pelbagai keunikan yang tidak akan kita temukan. Misalnya pertemuan dan wajah yang memucat seperti yang saya lihat di raut muka kawan saya tadi. Belum lagi soal pedagang-pedagang kereta api yang bebas mondar-mondir sembari menjajakan pelbagai ragam makanan. Sungguh, ini sebuah keindahan.
Ah, tapi saya hanya bisa bernostalgia semata. Sebab mulai lebaran kali ini saya tidak akan naik kereta ekonomi. Peraturan tidak jelas dari KA yang tidak memerbolehkan lagi karcis terusan sangat menyiksa penggemar kereta api seperti saya. Belum lagi soal pemesanan yang harus jauh-jauh hari sebelumnya.
Mudik kali ini, saya yakin, bakal tidak menarik. Tidak ada lagi bayangan berkelebat, tidak ada lagi suara-suara pedagang menjajakan ragam kuliner dalam gerbong dan tidak lagi wajah yang memucat seperti kawan saya tadi.
Bintaro, 16 Ramadan
Label:
catatan mudik,
kereta api,
lebaran
Rabu, 24 Juli 2013
Tiga Puluh
Alih-alih membicarakan pernikahan, yang terbersit di otak saya tentu saja adalah kesepian. Betapa tidak, jika kawan saya itu pasti menikah, saya harus bersiap untuk kehilangan dirinya. Sebab pastinya sudah memiliki istri, dan bakal hidup dengan pelbagai deret tanggung jawab yang harus dipenuhi sebagai suami.
Sedangkan saya, harus siap sendiri.
Lain halnya dengan kawan akrab saya yang lain. Ia pemuda betawi dengan intelektualitas yang sukar saya tandingi; agama, filsafat, sastra dan tentu saja terjemahan. Saya juga pernah menuliskan sedikit biografinya yang menurut saya mirip dengan apa yang diperbincangkan Gus Dur tentang tipe kiai kampung.
Tapi entah kenapa, saya merasa ia agak aneh belakangan ini. Usut punya usut, ia habis lamaran dengan seorang gadis. Bahkan konon orang tua sudah saling bertemu dan bersepakat tentang hubungan mereka.
Tentu saja saya terkaget dan agak terbelalak mendapat info itu. Apalagi ia cukup dekat dengan saya sejak dulu, khususnya kala berhubungan dengan kekasihnya yang terdahulu dan obrolan tentang sastra.
Walaupun begitu, saya tetap bergembira. Ternyata kawan saya ini sudah bisa menyintas dari masa lalunya yang menyedihkan bersama kekasihnya dulu dan membuanya tampak suram.
Namun sejenak kemudian saya berpikir bahwa saya akan kehilangan salah satu kawan terbaik saya lagi.
Beda halnya dengan kawan saya satu lagi, ia adalah pemuda pilih tanding, seorang marxis sejati dan penata arsip yang paling baik di antara kami. Umurnya kira-kira akan mendekati tiga puluh tahun.
Kawan saya satu ini memang istimewa, jika banyak orang atau aktivis mendaku diri sebagai kiri, tapi di satu sisi kehidupannya masih borjuis dan cenderung menerima keadaan, maka rumus itu tidak ada dalam dirinya. Bahkan ia kerap menjulukinya dengan marxis yang kekanak-kanakan. Sebab seorang marxis tidak akan mendaku diri sebagai marxis, cukup dengan bekerja dan integritas. Begitulah.
Hampir dua tahun ini kawan saya ini menjalin hubungan dengan seorang gadis, ia merupakan seorang yang enerjik, cerdas dan menyukai sepakbola. Ia juga yang membuat kawan saya ini akhirnya untuk pertama kali menonton sepakbola di stadion.
Hubungan mereka laksana mendung dan hujan, sukar dipisahkan dan akan selalu bersama. Orang tua mereka pun sudah mengiyakan untuk saling mengikat janji ke pelaminan. Tapi sayangnya, kawan saya ini terganjal dengan kampusnya dan baru bisa lulus tahun depan.
“Jadi, kapan kamu menikah?” tanya salah seorang kawan di sebuah malam,
“Tahun depan,” ujarnya santai.
Saya bergembira dengan jawaban ini. Kawan saya bakal menikah. Dan, ah, kenapa saya merasa akan kehilangan salah satu kawan lagi.
Satu orang lagi, tentu saja dia adalah seorang kawan yang sudah menjalin cinta sejak jaman SMA. Pemuda ini merupakan seorang penulis paling produktif di antara kawan-kawan yang saya kenal, saat ini ia sedang menempuh jenjang master sembari menunggu kekasihnya merampungkan studi master juga.
Saya yakin, tinggal waktu yang akan membuatnya pergi meninggalkan kota ini dan menaiki kereta kencana bersama kekasih yang ia cinta itu. “Sudah diperkenalkan kok, Bung, tinggal selesai, lalu nikah. Itu saja,” tuturnya suatu waktu.
Betapa girangnya hati saya mendengar itu. Satu lagi kawan saya bakal menikah dan tentu saja umurnya masih sangat muda dan dibawah umur saya. Bahkan belum mencapai usia peralihan tiga puluh yang menakutkan itu.
Tapi entah kenapa, saya merasa saya bakal lebih sepi lagi.
Sebab ada satu orang kawan yang sejak saya mula menempuh studi sudah menjadi kawan sepenanggungan. Baik dalam tangis, duka maupun kecewa. Umurnya memang hampir menginjak tiga puluh, dan ia sudah bilang tidak akan lagi mencari pacar. Ia akan mencari istri—walaupun untuk itu ia beberapa kali gagal.
Kami pun baru satu bulan belakangan ini pindah kontrakan. Saya gembira sebab ia sudah hampir purna dalam studi dan konon sedang menjalin hubungan serius dengan seorang permpuan. Dan ia nanti akan sangat sibuk, baik dengan pekerjaan ataupun dengan istrinya.
Dan entah kenapa untuk satu hal ini, saya merasa bakal begitu kesepian. Saya merasa bakal berjalan menjalani belukar dengan kaki saya sendiri, mencecap kopi sendirian, baca buku sendirian dan akan menjalani kehidupan dengna penuh kesendirian.
Ya, saya gembira sebab mereka ini, kawan-kawanku ini, bakal menemukan jalan hidupnya sebagaimana orang normal lainnya. Mungkin juga kala mereka saya ajak untuk sekadar ngobrol, mereka akan menawarkan rumahnya untuk dikunjungi. Atau mereka tidak akan bisa lagi saya ajak berbincang hingga larut malam. Ada istri yang menunggu, mungkin ia mereka akan menjawab demikian. Saya hanya bisa memakluki.
Lalu, kamu kapan?
Ah, saya memang tidak berpikiran ke situ.
Dahulu memang saya sempat berpikiran hal serupa, umur tiga puluh adalah patokan. Dalam hal apapun; ekonomi, hidup, percintaan dan segalanya. Tapi itu dulu.
Sekarang ini saya justru menanggapinya dengan berbeda. Bagi saya, sebuah hubungan bukan kontrak. Jika jatuh cinta, ya jatuh cinta saja. jika ingin tinggal bersama, ya silakan tinggal bersama. Jika diperlukan untuk mengikatnya menjadi sebuah hubungan legal-formal berupa pernikahan, ya silakan dengan pelbagai konsekwensi antar keduanya.
Seorang kawan menyebutnya dengan istilah posmo. Bahkan ketika saya sempat berdebat dengannya perihal lembaga pernikahan ia menyebut saya sebagai generasi posmo yang terpengaruh dengan bacaaan yang eksistensialis. Ia tertawa, saya pun serupa.
Tapi ini penting, saya tetap berpikir bahwa jalan utama menuju cinta memang pernikahan. Itu jalan utama. Pastinya ada jalan lain, bukan? Yang mungkin jalan itu bisa berbelok, penuh kerikil, bahkan harus melewati sungai. Tentu tujuannya sama; bahagia.
Lalu jika tujuannya sama, apakah salah jika memilih jalan lain yang mungkin lebih menantang dan menuntut ketahanan yang lebih tinggi. Ah, saya terlalu serius, mungkin saya kurang pikinik :p
Kembali ke soal tiga puluh itu.
Saya harusnya turut bergembira dengan pilihan yang diambil oleh kawan-kawan saya tadi. Ya, saya memang bahagia. Sangat malahan.
Pada akhirnya, betul kata Chairil, Nasib adalah kesunyian masing-masing. Dan aku mungkin akan terus di jalan sunyi itu, seperti halnya Zainudin dalam Van Der Wijk yang tidak bisa memilih atas jalan yang ia lalui itu, atau bahkan seperti Jan Viljean seperti yang dituturkan Victor Hugo dalam Les Mirables.
Menjadi tua itu bukan pilihan yang harus dirayakan, bahkan sekadar mengajak untuk menikmati secangkir kopi di tengah malam yang dingin penuh obrolan pun sebaiknya tak tak perlu dilakukan.
Ah, ada-ada saja saya ini.
Ciputat, 13 Ramadan
Label:
catatan harian,
pernikahan,
persoalan jatuh cinta,
umur 30
Langganan:
Postingan (Atom)