Selasa, 18 Januari 2011
Tritura dan Luruhnya Politik Pencitraan
oleh: Dedik Priyanto *
Peristiwa 10 Januari 1966 agaknya menjadi elemen penting dalam penegakkan kembali kedaulatan, serta kekuatan rakyat dalam menegakkan demokratisasi. Betapa tidak, pada hari itulah momen bersejarah yang membuat jatuhnya rejim penguasa, serta aras konstitusi yang awalnya jatuh pada orde yang sentralistik mampu dikembalikan kepada rakyat. Sesuatu yang mungkin bagi konfigurasi kekinian jatuh pada satu kata populis: pencitraan.
Maka, berawal dari sebuah kegelisahan kultural para mahasiswa yang merasakan panasnya politik yang digagas Bung Karno ihwal penyatuan tiga entitas berbeda; nasionalisme, agama dan komunisme (Nasakom) yang tidak mengena pada substansi persoalan sebagai sebuah bangsa yang beragam. Hingga akhirnya, gagasan itu ternyata diinfiltrasi oleh gerakan separatis yang menginginkan pengubahan ideologisasi negara menuju komunis, serta meledaklah peristiwa G30/S PKI yang membuat sisi kemanusiaan tergeragap.
Hal itu mengakibatkan memuncaknya gairah perlawanan kaum intelektual untuk menentang kekuasaan yang terkesan otoriter, tidak mengesampingkan rakyat, dan hanya dibumbui politik citra dengan idiom konfrontasi dengan negara tetangga, Malaysia. Tidak ada yang salah memang. Tadi dalam hal stabilitas politik, demikian itu menjadi sangat riskan, mengingat secara legalisasi perpolitikan global, Indonesia adalah negara yang relatif baru dan sangat cepat mencuat. Tapi, tidak diikuti dengan tertatanya kehidupan bernegara
Mereka yang sadar terhadap realitas seperti ini kemudian meleburkan diri dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), serta melakukan aksi ke jalan guna mewartakan resolusi tiga tuntutan rakyat (Tritura), yakni pembubaran PKI, perombakan Kabinet Dwikora, serta penurunan harga kebutuhan pokok. Dari ketiga itu, barangkali yang paling relevan jika dikontekstualisasikan dengan keadaan kekiniaan, adalah ihwal penurunan harga. Apa pasal?
Yang paling terlihat adalah kesenjangan ekonomi yang begitu dalam seolah ingin menyentakkan nurani kita sebagai bangsa yang kaya, namun tetap saja hidup dalam lembah kemiskinan yang tiada berujung. Bahkan dijadikan alat politis bagi para pejabat untuk meraih simpati masyarakat luas. Tidak hanya itu, ketiadaan lahan pekerjaan juga menjadi persoalan tersendiri, hingga disparitas antara si kaya dan si miskin semakin menganga, serta sistem tebang pilih dalam penanganan korupsi yang semakin kentara, semakin memperkokoh kekurangpercayaan publik kepada pemerintah.
Kalau kita melihat di pasar-pasar tradisional, misalnya, lonjakan pelbagai kebutuhan pokok sudah sampai pada taraf yang cukup mengkhawatirkan. Harga-harga sudah tidak bisa terkontrol, (sebagai contoh, harga cabai saat ini mencapai 100 ribu/kg), itu agaknya menjadi pukulan telak bagi mereka. Hal ini sangat berbahaya, khususnya bagi level mikro yang digawangi oleh rakyat bawah (grass root) sebagai episentrum utama roda perekonomian.
Sudah jamak diketahui bahwa pemerintahan saat ini adalah rejim yang dipenuhi dengan politik citra. Mulai dari hal remeh-temeh pemakaian bahasa dan kata-kata asing dalam pidato kepresidenan, hingga perebutan tafsir atas keberhasilan tim nasional mencapai final Piala AFF 2010. Semua tidak terlepas dari pelbagai risiko kepentingan, dan menjadi silang sengkarut.
Hal ini menjadi sangat berbahaya ketika suatu pemerintahan yang seharusnya menyuarakan kejujuran dan kebenaran dalam tiap kebijakannya harus diselubungi dengan aneka hal-hal politis. Dan, tidak mendidik ke arah civil society yang berlandaskan Pancasila yang digagas oleh para founding fathers.
Filsuf asal Italia, Niccolo Machiavelli (1467-1572 M), dalam tesisnya mewacanakan bahwa kekuasaan dan politik adalah dua entitas berbeda yang saling bersentuhan erat. Bahkan untuk melegalkan sebuah kekuasaan, maka cara apa pun diperbolehkan. Asalkan itu untuk kepentingan stabilitas politik dalam sebuah rejim penguasa.
Dalam wacana demokrasi, politik pencitraan memang sah dilakukan guna melegalkan kekuasaan. Tapi, jangan lupa, bahwa di sinilah pertarungan ide dan gagasan akan mengemuka dengan semakin banyaknya medium oposisi sebagai pembanding politik citra yang dibangun pada rejim yang berkuasa saat ini.
Pada titik ini, amanat Tritura mendapatkan posisi untuk kembali menghentakkan semangatnya dalam kehidupan bernegara. Paling tidak, penulis melihat ada dua point penting.
Pertama, kembalinya wacana kritis. Hal ini harus menjadi perhatian serius bagi segenap praktisi, dan teoritikus yang bergerak dalam penegakkan civil society. Tidak hanya para intelektual yang menjadi agen perubahan, melainkan juga perlunya penyadaran kepada seluruh masyarakat. Karena, kalau melihat akhir-akhir ini, bangsa ini seolah dininabobokkan dengan pelbagai fasilitas yang tidak mendidik. Seperti, pemberian 'uang gratis' dengan dalih subsidi dan lain sebagainya.
Pada ranah penegakkan hukum, kita setiap hari melihat tontonan yang agak menjemukan. Sebagai contoh, ketika suatu perkara yang sudah tinggal menunggu waktu vonis, akhirnya harus dilipat kembali dan dimasukan dalam map, serta ditutup rapat. Kekecewaan pun hanya menjadi buih di antara lautan yang luas. Karena lagi-lagi, terkalahkan dengan para korporat yang telah berelasi dengan para pemegang kebijakan.
Hal itu terlihat, misalnya, Pada tarik ulur kasus Century yang tidak berujung pangkal. Hingga yang lagi menghangat adalah kasus mafia hukum, Gayus P Tambunan, yang diduga mampu keluar masuk tahanan dengan seenaknya, serta pelesiran ke luar negeri. Semua itu seolah menjadi bola salju yang siap digelindingkan dan membesar suatu saat, dan akan menjadi pukulan telak jika wacana itu tetap dikemas secara kritis.
Kedua, people power dan ruang publik. Dua hal ini merupakan ihtisar dari pengejawantahan civil society yang berpijak pada terbukanya ruang publik kepada khalayak. Jika ranah itu sudah dimiliki sepenuhnya oleh publik, maka people power akan tercipta. Inilah yang nanti akan menentukan bahwa apa pun namanya, politik pencitraan sudah tidak berlaku lagi, serta sudah saatnya rakyat meluruhkannya kepada tempat yang paling dalam. Serta membangkitkan kembali kesejahteraan dan keadilan kepada seluruh rakyat.
Dengan semangat yang dimiliki dalam peristwia Tritura ini, agaknya manusia Indonesia harus berkaca dengan kritis dan konstruktif terhadap segala permasalahan yang melingkupi. Penulis teringat kata-kata dari filsuf Schopenhouer, "Hidup teramat pendek, tapi kebenaran berlaku lama dan berumur panjang. Oleh sebab itu mari kita bicara kebenaran." *
*Peneliti Kajian Sosial dan Politik the Dewantara Institute, jakarta.
Opini ini mendarat di Harian Nasional Suara Rakyat, Selasa 11 Januari 2010
juga bisa diakses di; http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=270170
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar