Ramadhan dan Nasionalisme
Bulan Ramadhan tahun ini tampaknya
bersamaan dengan mulai menyingsingnya fajar nasionalisme Indonesia yang
acapkali ditautkan pada bulan kemerdekaan, Agustus. Gagasan nasionalisme yang
berkembang di Indonesia, seharusnya tidak dipahami hanya dari sudut
perkembangan obyektif politis semata. Tetapi, juga dalam ruang pengumpulan
partitur negara hingga menjadi identitas tunggal. Yakni, sebuah negara kesatuan
Republik yang berdaulat penuh, dan mendapat pengakuan dunia internasional.
Hal demikian menjadi penting,
mengingat begitu riuhnya situasi dengan pelbagai tawaran ideologi dan pemikiran
kala itu. Begitu juga percaturan wacana, serta gagasan-gagasan yang berkembang
laiknya pasar yang menjajakan aneka ragam paham dagangan supaya dipilih sebagai
asas tunggal dalam bernegara. Mulai dari sosialisme, Islam, marhaenisme, dan
komunisme, termasuk kelompok-kelompok etnis dan keturunan Tionghoa dan Arab,
serta komunitas-komunitas lain yang seakan ingin meneguhkan eksistensi sebagai
bangsa. Bisa dibayangkan, bagaimana ramainya arus wacana itu, hingga
semangat nasionalisme akhirnya tumbuh karena kecintaan mereka terhadap negara.
Maka, lahirlah Pancasila sebagai ideologi damai yang mengakomodasi semua
kekuatan dan latar belakang bangsa. Dan, hal itu bukanlah pertarungan yang
mudah. Karena, harus berhadapan penuh dengan pihak yang tidak menginginkan
Pancasila sebagai ideologi.
Tak pelak, pelbagai tindak
separatis maupun pemberontakan sempat muncul pada awal kemerdekaan namun mampu
diredam dan dikembalikan atas nama nasionalisme milik para pendiri
bangsa. Di tengah arus globalisasi, nasionalisme ekonomi dan kultural
kelihatan menemukan momentum baru. Modernisasi dan industrialisasi, yang
berlangsung dalam ukuran relatif cepat dan berdampak luas, mengakibatkan negara
harus menemukan dan mempertahankan pasar untuk produk-produk industri ekonomi,
khususnya di negara-negara maju.
Di sini lain, nasionalisme ekonomi
negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, berhadapan dengan
proteksionisme negara-negara maju, khususnya AS dan Eropa Barat. Dalam hal
nasionalisme, kita seakan masih kalah dengan negara lain yang sudah memancang
pagar besi bagi bagi imperialis modern. Sementara kita masih berada pada
langkah kagum dan silau menyaksikan globalisasi sebagai sebuah sistem dan tata
nilai. Berkah Ramadhan untuk mencapai kesucian dan derajat kemanusiaan
tidak hanya pada tingkat pribadi, individual-personal, tetapi juga dalam
kehidupan sosial-publik. Termasuk pula, dalam ikut menyemangati jiwa
nasionalisme bangsa. Karena, walau bagaimanapun, setiap pojok adalah milik
kita, milik rakyat dan pemuda yang menginginkan tidak adanya tebang pilih dalam
proses hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi.
Jika ini diwujudkan, maka ibadah
puasa Ramadhan kali ini akan menjadi lebih fungsional dalam berbagai aspek
kehidupan. Dua entitas ini, Ramadhan dan nasionalisme, agaknya menemukan
momentumnya pada bulan yang suci ini. Pada satu sisi, Ramadhan menyimpan begitu
banyak telaah dan makna yang nilainya sama dengan nasionalisme yang diusung
pada awal pergerakan di negara kita, yakni perjuangan untuk mengentaskan
kemiskinan. Di samping, berpuasa (menahan diri) untuk tidak melakukan perbuatan
tercela yang dapat menghancurkan cita-cita bangsa dan negara dalam memakmurkan
penduduknya. Di sisi lain, nasionalisme merupakan tindakan cinta terhadap
apa yang kita percayai sebagai pijakan dalam pergerakan untuk tidak lagi mau
diatur oleh segala bentuk ketertindasan dan ketidakadilan yang menyengsarakan
rakyat. Pun, dalam meramu segala tafsir dan wacana untuk menjadikan alat dan
perjuangan menjadi satu tujuan hakiki berdirinya negara, yaitu kesejahteraan
rakyat.
Perlu dicermati pula pendapat
Syekh Imam Ghozali, bahwa ada tiga tingkatan seorang dalam meretaskan dirinya
dalam bulan Ramadhan. Pertama, puasa awwbm (biasa), yaitu mengendalikan
atau menjauhkan diri dari keinginan-keinginan yang berkaitan dengan pemuasan
nafsu makan dan seksual. Ini merupakan titik awal. Ibarat kaca, ini adalah
potret cerminan kebanyakan masyarakat kita pada level ini.
Dan, ini pula gambaran
nasionalisme kita, bahwa kita seperti masih menggeliat untuk hanya membiasakan
kata 'nasionalisme' sebagai sebuah ritus sejarah masa lampau. Tanpa, mampu
untuk mendefiniskan ulang dalam konteks kekinian. Kedua, puasa khawwash
(istimewa), yaitu mengendalikan atau menjaga diri sendiri dari nafsu-nafsu
telinga, mata, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh lainnya dari perbuatan
dzalim dan salah. Puasa semacam ini biasanya dilakukan orang-orang saleh.
Mereka mengendalikan diri untuk
tidak melihat hal-hal yang tidak benar dan tidak diridhoi. Mereka yang mencapai
level ini seakan mengendalikan nafsu lidah dari pada pembicaraan yang tidak
berguna: berbohong, mencela, menyinggung perasaan orang lain, menggunjing, dan
menfitnah. Mereka mengendalikan nafsu telinga dari pada mendengar segala
pembicaraan yang dapat mengacaukan negara, dan pelbagai kebohongan publik
sebagai alat legitimasi seperti yang sering terlihat sekarang.Ketiga, puasa
khawwbsh al-khawwbsh (yang teristimewa), yaitu mengendalikan dan menjauhkan
diri dari pikiran-pikiran yang rendah dan masalah-masalah yang berkaitan dengan
duniawi. Mungkin kita tiada berharap, bahwa para koruptor dan pejabat yang
memiliki tingkatan demikian. Namun, paling tidak, Ramadhan kali ini mampu
ditafsirkan ulang, bahwa pada dasarnya nasionalisme religius inilah yang
menjadi dasar filosofis adanya sebuah bangsa besar yang sedang tertidur bernama
Indonesia. ***
Dedik Priyanto Penulis adalah
peneliti The Dewantara Institute,
sedang menyelesaikan studi
Psikologi Sosial UIN Jakarta.
(bisa diakses di
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=285102)