Tak jarang, kita harus mewakilkan diri kita pada sebuah surat |
Lazimnya sebuah surat, maka saya akan menanyakan kabar terlebih dahulu. Tentu pertanyaan biasa, dan menimbulkan jawaban yang kerap cuma dua, dan itu-itu saja. Baik atau tidak baik, sehat maupun tidak sehat. Biasa saja. Seperti juga hidup, yang memang kadang terjadi secara biasa saja.
Bagaimanakah kabarmu hari ini?
Ah, kamu pasti sedang penat, dengan muka yang mulai beringsut menuju lelah. Aktivitas menggila dan setumpuk pekerjaan tentu membuatmu sukar untuk sekadar mengeringkan keringat yang tiba-tiba bergemericik tanpa kau sadari. Seandainya saya di sana, pasti saya akan menyiapkan secangkir kopi. Kamu begitu menyukai kopi. Walau, katamu, tidak pernah bisa menandaskannya sampai tuntas.
Iya, kamu begitu menikmati secangkir kopi. Perpaduan antara halusnya serbuk kopi dengan beberapa sendok gula itu barangkali mampu membuatmu sejenak melupakan lelah. Tahukah kamu bahwa menyeduhkan air hingga mendidih, meracik secangkir kopi dan menyajikannya untukmu adalah peristiwa paling heroik yang ingin saya lakukan!
Begitu halnya tatkala jemarimu memegang cangkir berwarna putih, mencium aroma kopi buatanku, lalu perlahan menyorongkan bibir mungil ke tubir cangkir dan meneguknya perlahan-lahan merupakan peristiwa paling relijius yang ingin segera saya tunaikan.
Entah kapan saya bisa memandangmu menghabiskan secangkir kopi, dan tiba-tiba saja di luar hujan. Kita memandangnya bersama dari balkon, atau dari jendela sebuah warung kopi, dan kamu memegang cangkir itu dengan kedua tangan. Biar badan hangat, katamu.
Saya rela tubuh tambun ini menjadi kurus seketika. Kering kerontang guna membayar momen yang entah kapan saya mengalaminya. Maukah kamu saya buatkan segelas kopi? Kamu pasti hanya tersenyum. Begitu manis, bayangku. Dan kotamu, Jogjakarta, adalah salah satu surga. Minimal surga bagi penikmat kopi seperti saya, dan kamu.
“Lah, kamu pingin pergi kemana?” tanyamu beberapa saat ketika saya menginjakkan kaki di sebuah rumah mungil di sekitaran Pogung. Kira-kira 150 meter dari MM UGM.
“Kamu ‘kan lebih tahu tentang Jogja,” jawab saya sekenanya.
Mata saya tertumbuk dengan mata itu. Kamu hanya tersenyum. Saya kikuk malam itu. Toh kamu bisa tahu ‘kan kegugupan saya. Dan berpura-pura membetulkan letak kacamata adalah siasat paling kejam untuk membunuh dinginnya tubuh yang mulai menggigil ini.
Sekadar pemantik keberanian yang begitu menggebu sejak dalam kereta menuju Jogja, dan tiba-tiba saja beringsut dan menguap seketika sesampainya di rumahmu.
“Dimana?” tanyamu membuyarkan lamunan saya.
“Yang ada kopi, yah?”
Ia diam sebentar. Saya pun menyebutkan beberapa referensi warkop yang biasa tempat ngobrol kawan-kawan aktivis di Jogja, semisal Blandongan, Mato Kopi dst.
“Semesta café, bagaimana?”
Cafe Semesta, di sinilah percakapan bermula. |
Saya hanya mengiyakan. Jujur saya tidak tahu tempat-tempat di Jogja. Kamu tentu tahu bahwa saya memiliki ingatan yang begitu buruk. Khususnya mengenai tempat-tempat yang baru, bahkan nama yang baru kukenal sekalipun. Sama halnya ketika saya lupa bahwa saya hanya pernah punya dua presiden semenjak saya pertama kali bisa membaca, Bung Karno dan Gus Dur.
Selebihnya, entah kenapa saya tidak ingat nama mereka. Atau jangan-jangan saya memang tidak punya pemimpin negara selain mereka. Entahlah.
Hey, ada mendung di kotaku sore ini.
Ya, Ciputat mendung dan barangkali akan segera hujan.
Seperti juga malam itu, tepat seminggu yang lalu, hujan menghampiri kita. Setelah perjalanan pendek dengan ragam guyonan, dan semacam kopi yang kamu pesan untuk kutandaskan. Sebuah kopi spesial yang menjadikanmu alasan untuk mengajak saya ke tempat ini, malam ini.
Malam untuk ketiga kali kita bertatap muka secara langsung selepas dua kali tatap pandang dalam pertemuan yang ganjil. Dan hari itu cuma ada saya, dan kamu.
Di sebuah café menghadap ke utara itu, kamu memesan juga sepiring mie, yang katanya begitu enak, dan kamu menawarkan saya untuk menikmatinya. Saya menolak halus.
Bukan karena saya tidak lapar saat itu. Perut saya memang keroncongan, bahkan seingat saya, terakhir kali saya makan adalah sarapan saat jam 11 siang di Ciputat. Hanya rokok dan kopi yang saban detik menemani saya, dan Alhafiz Kurniawan, kawan saya mengarungi kereta ke Jogja.
Tapi entah kenapa, memandangmu menandaskan makanan dan menyorongkannya ke mulut yang mungil itu membuat saya berdegup, dan tiba-tiba saja merasa nyaman. Kenyamanan ini yang membuat saya melupakan segalanya.
Saya merasa kedinginan. Saya memakai sweater coklat. Kamu bertanya, kenapa saya memakai sweater padahal kamu tidak merasa kedinginan? Saya hanya tersenyum.
Tiba-tiba.
“Hujan nih,” katamu mendongakkan kepala ke atas.
“Iya, Ta.”
Rintik mulai jatuh, dan membuat kami harus berpindah tempat. Kamu mengajakku pindah ke atas. Tempat yang sebetulnya agak ramai. Dan beberapa teman yang kamu sempat bersalaman dengannya. Beberapa wartawan dan aktivis jogja, katamu.
“Seperti yang kamu suka. Hujan malam hari,” tukasmu sembari menyunggingkan senyum.
“Iya, Ta.”
Saya diam sejenak.
Kita memandangi hujan berdua. Sesekali mata saya melirik ke arahmu. Kita pun membincang banyak hal, dan air yang terus berjatuhan, merupa stanza dalam petikan biola Idris Sardi. Dari hulu ke hilir, kita menyaksikan para penghuni café lain yang saling bersitatap, saling berbincang. Dan jarak antar kita yang kian mendekat, serta obrolan yang kian memikat.
Tiada petir yang bergemuruh pada hujan malam itu, kamu tahu itu, namun barangkali kamu tidak tahu bahwa ada gemuruh yang terus menggumpal di sini, di dada ini.
Waktu pun terasa melambat. Sesekali saya melihat ponsel saya, dan sebuah pesan dari kawan twitter saya asal Jogja @wisnu_prasetya menghampiri;
Semesta Jogja mendukung @DedikPriyanto menuntaskan kerinduannya, eaaa...
Apakah hujan ini bentuk dukungan dari semesta Jogja? Ah, kau kawan..
****
Seperti juga malam. Kadang kenangan itu tampak begitu dingin. Dan kenangan memang harus terus diziarahi, kata Puthut EA, salah satu penulis favorit saya.
Kita hidup dan tumbuh dengan kenangan-kenangan. Ia akan terus berpilin merupa bayang-bayang yang tiap hari mendatangi. Kadang kita dibuatnya bergelak tawa, dan tak jarang pula membuat kita muram. Membuat kita tampak begitu rudin, dan ringkih.
Kadang kenangan merupa bangku di sebuah taman, kita bisa duduk di sana, tapi tidak untuk selamanya |
Ataukah kenangan ini semacam residu yang harus kita buang, sementara hidup terus berjalan?
Ketika malam kian beringsut, dan hujan telah berhenti memuntahkan isinya. Di depan sebuah benteng di jalanan Malioboro, benteng Venderburg. Selepas perbincangan tentang sisik melik dunia gerakan, aktivisme, menulis dan film yang begitu kamu sukai. Dan tentu saja soal kedua pertemuan tak terduga kita tempo lalu.
Percakapan yang tidak kami sadari menumbuhkan sesuatu yang begitu ganjil. Sesuatu yang tidak bisa saya jelaskan. Absurd.
Dan kenangan tak jarang berbentuk absurd. Karena ia berada di ruang ketidaksadaran. Sebuah tempat yang menuntut kita kadang melupakannya, menutupnya, sedalam-dalamnya.
“Saya pernah mengalami kenangan yang begitu buruk,” kataku,”dan barangkali kamu juga pernah mengalami peristiwa serupa. Kenangan yang membuatku tidak bisa sedikitpun untuk membukanya. Dan perihal cinta yang belum sampai pada kisah yang terdahulu, saya begitu takut untuk membuka ruang itu lagi. “
Kamu hanya diam. Tatapan matamu sendu, nanar.
“Saya kerap mencoba belajar untuk memahami itu semua. Saya pernah jatuh pada rasionalitas yang begitu tinggi perihal hubungan antar manusia. Begitu halnya dengan cinta. Tapi beberapa hari ini ada orang yang membuat rasionalitas saya tampak lunglai.
Ia orang yang tidak pernah saya kenal sebelumnya. Tidah pernah saya bayangkan sebelumnya. Dan sebuah pertemuan yang tidak kita duga. Tiba-tiba ia datang, dan menumpulkan nalar saya.”
Malam itu begitu dingin. Karena hujan, katamu. Tapi saya merasa begitu menggigil. Saya lupa kapan terakhir merasakan gigil yang seperti ini. Dan saya yakin, ini bukan dingin karena hujan an sich.
Ada gigil yang lain, gigil yang tidak pernah bisa terjelaskan.
“Jadi, bagaimana soal percakapan yang belum selesai itu?” tanyamu, parau.
Lalu kamu mulai bercerita tentang lukamu, luka kita.
Sebuah kisah yang tiada mungkin bisa saya ceritakan. Sebuah luka yang menuntut orang sepertimu untuk mengindahkan semua. Sebuah rasa yang sudah kamu tutup, dan dikunci begitu rapat.
Kita semua pernah mengalami luka, dan kita pernah sama-sama dikoyak-koyak sepi, seperti kata Chairil. Sunyi, kataku.
Satu hal lagi yang saya pelajari tentang kenangan. Ia adalah sejenis luka, yang menuntut kita untuk tidak lagi mengingatnya.
***
Denting hampir mendekati pukul 12 malam. Jogja sudah mulai sepi. Jalanan pun hanya hanya beberapa pengendara saja yang lewat.
Andai Jakarta dan Ciputat seperti ini, maka saya akan begitu betah tinggal di sana. Dan nahas sekali, saya harus tinggal di sana sampai waktu yang belum ditentukan, dan dalam tempo yang belum pernah saya pikirkan.
Saya tetap harus berterima kasih dengan kota itu. Karena di sana pula saya mulai belajar banyak tentang kehidupan. Dan di kota ini pula saya bertemu denganmu, Ta. Setelah sebelumnya bertemu kamu dalam dunia maya. Itupun hanya berupa kabar, tak ada rupa.
Biasanya dalam sebuah film yang romantis, seorang lelaki akan mengantarkan perempuan ke rumahnya. Lalu mereka akan saling bertukar pandang sebelum sang perempuan membuka pagar rumah, serta melambaikan tangan penanda perpisahan.
Namun malam itu sebaliknya, saya harus memintamu untuk mengantarkan ke kawanku @che_udin di sebuah daerah di Monjali, di sebuah klinik berbahaya tempat kumpulnya anak muda revolusioner dan berbahaya, klinik EA, markas mereka yang saya kenal di dunia maya.
Iya, kamu tentu masih ingat bukan? Saya pernah berkata dengan agak filosofis tatkala kita melakukan perjalanan thawaf mengitari Vanderburg untuk melakukan perjalanan paling epic yang dilakukan manusia; perjalanan mencari toilet. Dan kita tidak menemukannya sepanjang jalan.
hujan, rintik dan perjalanan. |
Saya curiga jangan-jangan ini hanya akal bulusmu untuk bisa berjalan bersama, menikmati sunyi malam hari, berdua. Entahlah, hanya kamu yang bisa menjawabnya.
“Ta,” kataku saat kita berjalan beriringan.
“Iya,” katamu sembari mendongakkan kepala ke arahku.
“Ketika dua manusia bertemu dan ada jalinan intuisi yang begitu kuat antara mereka. Maka saya begitu yakin, pertemuan pertama hanya akan menimbulkan bayangan. Karena belum tentu mereka akan bertemu lagi.
Dan apabila mereka bertemu untuk kedua kalinya tanpa diduga. Yakinlah bahwa pertemuan kedua hanya akan menimbulkan kenangan. Andaikata jika mereka bertemu untuk ketiga kali, maka hanya akan menimbulkan rasa rindu.”
“Lalu.”
Saya menghela napas.
“Dan intuisi saya berkata bahwa saya mengalami ketiganya. Dan saat ini saya rindu. rindu inilah yang akan menyatukan kita.”
Kami pun berjalan. Malam bertambah malam. Gigil makin menjadi. Kita pun mulai bercanda sepanjang jalan.
Oh ya, Ta, surat ini kok menjadi begitu panjang. Saya tidak tahu kapan bisa mengakhirinya.
Begitu panjang. Seperti perjalanan kita malam itu. Kamu mengajakku untuk berkeliling Jogja, malam hari, sembari mengantarku ke markas Klinik EA, menemui kawanku asal Bojonegoro, @che_udin.
Kamu tahu saya memang pernah ke Jogja, dan belum pernah berjalan malam hari, denganmu. Maka kuambil motormu yang diparkirkan, dan kita berjalan.
Kamu marah ketika saya mengendarai motor dengan begitu kencang. Pelan-pelan saja, kita nikmati malam ini, katamu sembari mencubit perut saya yang membuncit ini beberapa kali. Dan kita tertawa lepas bersama.
Kamu bilang cuma lima kilo meter saja, tempatnya, tapi saya curiga untuk kesekian kali, ini adalah akal bulusmu untuk tetap bersamaku. Karena lima kilo tentu begitu dekat dengan tingkat sepinya yang jalanan seperti ini. Dan tampaknya kamu berhasil menipuku, saat itu. Hebat.
Di sela-sela perjalanan itu, kamu bercakap tentang sesuatu yang membuat semuanya begitu berubah. Momen yang membuat saya melupakan kenangan-kenangan masa lalu.
Saya tidak perlu menceritakan kepadamu, bukan? Tentu kamu tidak perlu menceritakannya padaku. Karena kita mengalami. Kita yang merasakan.
“Jadi bagaimana kita,” tanya saya tepat di depan markas @che_udin dkk.
Ia tersenyum.
“Kalau begitu, kita toss.”
Saya lemparkan tangan kananku, dan ia menyambutnya. Toss…
“Ih, kamu nggak romantis sekali sih,” katamu sembari tersenyum simpul. Manis.
Saya hanya ketawa. Dan kawanku, Udin, ikut tertawa. Entah ia mengerti atau tidak. Semoga saja tidak mengerti. Saya tidak bisa berpikir apa-apa waktu itu, dan ketika malam kami berbincang sembari sesekali diskusi agak serius dengan Udin, Wisnu, Azhar dkk perihal Marxisme Cina, buruh dll, momen ini tidak membuat nalar saya tergerak untuk larut.
Entah kenapa, padahal selain sepakbola, diskusi adalah ibadah suci yang tidak boleh terlewatkan. Jika terlewat, maka saya pastikan hari itu saya akan mengalami hari yang begitu suram. Sesuram hari sabtu-minggu tanpa tontonan bola. Menyedihkan. Apalagi mereka adalah kawan yang acap bertemu di dunia maya. Sebuah kesempatan langka, seharusnya.
Maafkan, kawan!
***
Saya memang tidak romantis, katamu.
Oh ya, kabar saya baik-baik saja di Ciputat. Saya sampai lupa memberitahumu. Rutinitas kembali menyita, dan entah kenapa ada daya yang membuat saya kembali menemukan sisi puitik yang telah lama menghilang. Salah satunya adalah saya kembali menulis puisi, setelah sekian lama meninggalkannya. Kabar baik, tentunya.
Dan inilah suratku. Tidak romantis, barangkali. Semacam surat yang belum selesai, dan memang tidak akan pernah selesai. Ia membutuhkan kita untuk menyelesaikannya.
dan hujan adalah pengganti rindu yang paling purba. |
Surat ini tidak akan pernah berhenti, Ta. Seperti juga pertemuan yang ketiga kita di tengah bulan itu, barangkali surat ini sebagai pewarta. Pewarta rindu.
Pertemuan kita tidak akan berakhir, dan percakapan kita tidak akan pernah selesai. Kira-kira begitu.
@Dedik Priyanto
Ciputat, 21 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar