(logo komunitas kami, tongkrongan sastra Senjakala) |
Tak ada yang lebih menyakitkan selain menyaksikan peristiwa kematian yang tampak begitu nyata di depan kita. Ketika nafas tersengal-sengal, tubuh yang kian layu, tatapan nanar kerabat sekitar, serta lirih tangis yang kian berebutan. Lalu secepat kilat akan ada seorang tetua menghampiri, merapalkan bait-bait kudus untuk diikuti, dan malaikat yang setia menanti. Sedang kita, hanya mampu berdiri dan sesekali merutuki diri sendiri.
Membincang komunitas adalah menerka sejauhmana ia mengisi lembaran-lembaran karya yang dihasilkan penghuninya. Paling tidak ia menginspirasi mereka yang tidak sanggup menjadi ronin, sendiri menerjang sepi untuk menyelesaikan pekerjaan sucinya; membunuh, dan berkarya. Di komunitas kami ini ada bait-bait kalimat suci; menuliskannya, menghabisinya. Lalu diikuti semacam pledoi selepas diskusi yang melelahkan.
Senjakala namanya. Sebuah komunitas yang saya sempat begitu lama bergumul di dalamnya. Saya sempat terpekur berkali-kali akan nama yang dianggit oleh keempat pemuda berbahaya ini; Kenyot Addisatva, Abraham Zakky, Nadd Caffsin dan Hasyim Zein. Beberapa kali itu pula saya mencari makna, dan tetap; tidak ada jawaban pasti. Seperti juga hidup, ia kerap mengabarkan ketidakpastian, dan tentu saja kemuraman. Atau jangan-jangan ia tidak perlu dimaknai laiknya puisi buram Afrizal yang kerap kita gagal pahami, tetap kita nikmati.
pamflet bedah buku, dua tahun lalu, dihadiri Teguh Esha (Novelis, penulis Ali Topan Anak Jalanan) dan Ade Faiz (Gatra) |
Ingatan saya terjegal pada pusaran 2009-2011. Kira-kira setahun yang lalu. Tempo ketika produktivitas saya sebagai ronin begitu tinggi, dan pertautan saya dengan kawan-kawan komunitas ini begitu dekat, seakan tak ada sekat. Barangkali sedekat seorang kekasih yang lama tidak berjumpa dengan kekasihnya di sebuah kota yang begitu jauh. Serasa tidak ingin dipisahkan, tidak pula ingin ditinggalkan.
Lazimnya komunitas, orang-orang bisa datang dan pergi. Mereka bisa bergegas laiknya pengendara motor di jalanan yang begitu rindu berjumpa istri. Tak jarang ada yang tertatih-tatih untuk tiba seperti pria muram yang habis putus cinta. Kita selalu menerima dengan lapang, dan tentu secangkir teh hangat kita sajikan. Maka mereka-mereka inilah yang ingin saya ceritakan. Orang-orang yang sempat mengisi lembar pengajian di serambi Senjakala.
Kenyot Addisatva
Saya lupa pertama kali mengenalnya. Barangkali di sebuah diskusi yang ranum tentang gerakan di kampus, atau pada pementasan baca puisi, atau di warung kopi. Pastinya bukan diskusi pertama kali di senjakala. Wajahnya familiar di mata kawan-kawan aktivis, khususnya bagi mereka yang tidak hanya berbicara politik.
Kenyot Addisatva, penyair yang kini menjadi seorang ayah, dan editor di sebuah penerbitan |
Mereka yang terbiasa menikam kampus dengan kebudayaan, pasti mengenal sosok bertubuh tambun dan berambut ikal ini. Mereka memanggil lelaki ini dengan nama yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya; Kenyot.
Ia adalah lurah—istilah kami untuk mengganti kordinator—pertama di Tongkrongan Senjakala. Ia pula yang membuat pasemon perihal Sastra Merdeka di kampus. Saya mengenal pribadinya seperti Rangga dalam AADC. Tidak lebay, Bukan? bedanya cuma satu; ia mengikuti hampir semua tentang Chairil Anwar; bacaan, bohemian, pakaian dan barangkali percintaan.
Zakky Zulhazmi
Aktivis cum cerpenis, semoga kelak menjadi Mahbub Djunaidi |
Membincang Sastra dan Senjakala di kampus UIN Jakarta tentu tidak terlepas dari pribadi pria penyuka sepeda alumnus MAPK Solo. Pria yang begitu mencintai seorang perempuan yang konon terbuat dari kenangan, perempuan yang hingga kini masih setia menemaninya merampungkan tugas akhir akademik yang kian mencekik untuk segera ditandaskan.
Pria ini begitu terobsesi pada gerakan. Hingga ia lupa, darah yang mengalir pada dirinya begitu berbeda dengan organisasi yang menaungi pikiran nakalnya. Saya berharap kawan saya satu ini bisa menikmati ziarah kubur di makam-makam seperti halnya ia begitu menikmati lembaran-lembaran novel Eka Kurniawan, seorang pengarang Indonesia yang begitu ia sukai. Semoga saja ia segera menerbitkan Kabar Dari Kesunyian.
Kalau di Kuba kita mengenal Fidel Castro dan Che Guevara sebagai penggerak revolusi dan penentang Zapatista, maka saya mengibaratkan Kenyot dan Zakki adalah motor sastra perlawanan. Bedanya, mereka tidak mampu menjungkal kekuasaan yang begitu apatis terhadap kesusastraaan, bahkan cenderung menepi, merapikan kekuatan, lalu lupa kembali ke medan pertarungan untuk sekadar melawan, sekadar mengingatkan.
Saat ini, kawan saya satu ini masih menjabat sebagai ketua sebuah organ ekstra parlementer di kampus. Sebuah organisasi oposisi tentunya. Semoga kawan ini tidak seperti kawan-kawan saya sesudahnya, dan melupakan petuah Pram.” idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki seorang pemuda. “
Asep Sofyan
Kang Asep, bareng istri tercinta Teh Desy, dan anaknya yang diberi nama Cahaya Senja |
Di antara para ronin yang tidak jelas karyanya ini, barangkali sosok Asep Sofyan adalah pengecualian. Mantan aktivis mahasiswa begitu menyukai Ebiet G Ade ini adalah prototype penulis cum aktivis berandalan. Betapa tidak, dari sebuah fakultas kecil, pada masanya, ia mampu menjadi orang pertama di organisasi mahasiswa ekstra parlementer tertua, dan tentu saja terbesar di kampus. Prestasi yang membanggakan, bukan?
Tunggu dulu, bukan itu maksud saya. Bukan aktivitas politiknya yang ingin saya terakan. Melainkan cara dia menulis, dan tentu saja aktivitas membaca. Barangkali lelaki ini adalah generasi terakhir Mazhab Ciputat yang begitu terkenal. Ia adalah penulis cerita yang baik, penulis yang kerap mengisi lembaran Horison, Republika, Media Indonesia, Jurnas dll. Kakak kelas saya dengan rentang begitu jauh di Fakultas Psikologi UIN Jakarta.
Beberapa bulan lalu lelaki ini telah telah memiliki seorang buah hati. Saya membayangkan tiap sore Kang Asep, begitu saya biasa menyapa, mengajak teh Desy berjalan-berjalan menyisir sore di dekat rumahnya di bilangan BSD. Lalu mereka duduk di sebuah taman, Kang Asep menenteng gitar, dan memainkan lagu sendu pengiring senja. Anak mereka yang mungil turut tertawa, dan Desy berlirih pada suaminya.
”Kamu manis sekali memberi nama anak kita ‘Cahaya Senja’. Lihat senja sore ini, manis dan indah bukan? Kita akan selalu bersama, Sayang. bertiga selamanya. “
Saya begitu menunggu lelaki berkacamata ini menerbitkan karya yang akan begitu sublim untuk dibaca. Juga ingin bercerita bahwa saya telah menemukan cinta, sesuatu yang telah lama saya lupakan dan saya endapkan. Saya telah menemukan inspirasi itu, dan menunggu inspirasi selanjutnya dari karya anda. Sungguh.
Arief Mahmudi
Mas Arief, saat wisuda, tahun kemarin. Pemuda berbahaya yang tidak pernah lepas dari kacamata. |
Pada lelaki ini, saya begitu percaya bahwa menulis bukan hanya persoalan bakat semata. Menulis bisa dipelajari jika orang itu tekun, ulet dan usaha. Saya menemukan sosok pribadi ini pada lelaki yang sempat akan jadi wartawan di Republika ini. Lelaki yang tekun menyelami sajak-sajak Sapardi dan menuliskannya menjadi cerita ‘Perburuan Sebilah Pisau’ yang membuat panelis pada launcing Kumcer kami terpukau.
Yang paling diingat dari lelaki yang tinggal di Pasar Rebo, Jaksel, ini adalah cara dia berpakaian. Saya tidak bisa bisa membayangkan jika saya harus tiap hari harus mengenakan celana kain berwarna hitam, sepatu resmi jenis pantovel berwarna hitam, kemeja putih lengan panjang, dan sesekali memakai jas guna menunjang penampilan.
Ah, andai saja semua manusia sepakat untuk berpenampilan seperti dia, dan akan menjatuhkan hukuman bagi mereka yang tidak mau berpakain resmi, maka dengan senang hati saya akan mencari dunia lain yang bisa ditempati. Tapi tunggu dulu, dibalik penampilannya yang begitu resmi, pemuda ini begitu berbahaya soal bacaan. Barangkali.
Saya sedih karena akhir-akhir ini dia tidak bisa menulis. Entah karena kesibukannya bekerja sebagai tim penyeleksi akreditasi di kampus, atau karena sedang mengendapkan amunisi yang barangkali nanti akan dikeluarkannya untuk menggemparkan dunia sastra. Seperti halnya saya yang meremang dan katarsis tatkala membaca cerpen-cerpennya. Semoga.
Hasyim Zein &Amelia Fitriany
Barangkali mereka merupakan pasangan biasa. Seorang aktivis gerakan ekstra yang menjalin hubungan asmara dengan jurnalis kampus, seorang aktivis pers mahasiswa Namun membincang Senjakala tanpa membincang dua sejoli ini ibarat bercinta tanpa ada aktivitas mesra sebelumnya. Sungguh hambar, bukan?
Cak Hasyim, santri kosmopolit penyuka puisi Zawawi |
Hasyim merupakan orang NU tulen. Seorang santri asal Ponorogo, memiliki pergaulan yang cukup luas di kalangan aktivis pemerintahan. Saya dan Hasyim pernah terjebak di organisasi sayap sebuah partai politik, lalu kita sama-sama tobat, dan berhari-hari merutuki diri. Barangkali kita telah mandi tujuh kali, di tujuh sumur berbeda. Semacam pengakuan dosa.
Amel, begitu saya biasa menyapa, merupakan perempuan asal Bogor dengan bakat menulis yang alami. Sesuatu yang saya anggap selesai untuk urusan menulis. Juga memiliki imajinasi yang kadang di luar kita kebanyakan. Pernah menulis cerpen surealitis ‘Tempat Penitipan Hati’ yang membuat nalar kami kebanyakan tergagap-gagap membacanya. Begitu bernas.
Amel, dan kekasihnya yang sedang mengintip; Cak Hasyim. |
Saya begitu merindukan mereka berdua menulis bersama. Barangkali bisa seperti Abidah El-Kholiqi dengan suaminya yagn juga penyair Hamdi Salad. Mereka hampir serupa; novelis, wartawan, penyair, dan akademisi. Jika kalian membaca catatan saya ini, percayalah saya begitu merindukan cara kalian saling cemberut, dan muka masam kalian berdua.
Muham Fahdi.
Pria ini paling muda di antara kami, dan tampaknya paling sebentar bergabung dan sadar memilih jalur bergabung dengan para ronin macam kami. Ia adalah Carek—sekretaris diskusi jaman Zakki—Jejak rekamnya kira-kira begini; lulusan Roudalatul Ulum, Pati, adik kelas dari mahasiswa cum penulis produktif Ahmad Musthofa Haroen, dan bercita-cita S2 di Malaysia bidang ekonomi.
semoga cepat menjadi ekonom, kawan... |
Tipe mahasiswa kebanyakan, tapi yang membuat beda, katanya, ia suka sastra.
Jujur saya tidak pernah melihat sosok satu ini sebagai penerus senjakala. Pakaiannya yang rapi, serta ketidaksukaannya pada sepakbola adalah merupakan kontradiksi. Namun ia selalu mengikuti diskusi, walau kadang-kadang hanya mendengar saja.
Pernah menulis sebuah cerpen berjudul artikel ‘kamu kafir’ yang konon terilhami ketika pencekalan yang dialaminya tatkala membina sebuah media di pesantrenn. Namun saya sedih ketika dia ikut sekolah trainer, dan akibatnya saya tidak lagi melihat tulisannya. Saya masih ingat, dia juga yang meminjam buku klasik saya, Mahbub Djunaidi yang berjudul Angin Musim. Barangkali ia lupa...
Ubay F
pada pemuda ini, barangkali saya bisa berharap |
Menyaksikan ubay membaca puisi laksana menyaksikan layang-layang yang terbang ditiup angin. Bukan karena indahnya, tapi karena tubuhnya yang begitu ringkih. Maaf, tapi ringkih seringkih-ringkihnya. Saya yakin, jika toh dia duduk sendirian di beranda, dan tiba-tiba ada angin datang, lelaki fakultas Dakwah ini akan turut bersama mereka, dibawa angin terbang.
Saya suka lelaki ini tatkala mendeklamasi puisi. Namun sebagai komunitas sastra yang dituntut untuk menulis sebuah karya sastra, saya tidak pernah menemukan karya dari lelaki ini. Tapi entah kenapa, saya memiliki sebuah kepercayaan bahwa Ubed mampu membangkitkan Senjakala dari tidur panjangnya.
Paling tidak kepercayaan ini mengakar begitu dalam, laiknya munculnya ratu adil pada masyarakat Jawa. Ataukah utopia?
Oh ya, lelaki ini memiliki kelebihan di bidang otak-atik komputer. Saya beberapa kali minta tolong membetulkan komputer saya yang rusak. Beberapa kali itupula ia dengan senang hati membantu. Maka jika ada PC, Laptop atau gadget anda rusak, datanglah padanya. Barangkali ia juga bisa membantu menyembuhkan hati yang rusak. Jika toh bisa, tentu ia tidak jomblo selamanya.
Ada beberapa nama lain sebenarnya, seperti Mbak Corrie dengan kemampuan sastra arabnya, Maharini dengan pemikiran underground dan urban, Okky dengan sosialisme borjuisnya, Apen dengan perlawannya pada kata, Melodia dengan eksistensialismenya dll. Semua tidak bisa saya sebutkan satu-satu. Tapi minimal mereka yang saya sebut ini adalah inti melankolia saya akan tongkrongan saya.
***
Saya menuliskan ini dengan dada bergemuruh. Hujan di luar sana terus bergumul dengan angin. Ada senja yang tertutup kabut, ada geram yang bergelayut, ada rindu yang semakin redup; sejenis harap yang mengarsir pada sebuah tongkrongan yang sekarat.
Hari ini rabu, harusnya kita berdiskusi hingga petang menjelang. Malam sudah kian merangsek. Saya hanya ingin sekadar berkisah akan sebuah tongkrongan yang biasa meramaikan senja di selasar Ushuludin. Komunitas yang telah dan tengah begitu lama bergumul dengan ketiadaannya sendiri. Barangkali ia mengamini Chairil; ia mati, iseng sendiri.
Semoga saya menarik kembali ucapan ini; Rest in Pece Tongkrongan Sastra Senjakala. #RIPSenjakala…
beberapa terbitan komunitas kami, buletin bernama Teh Hangat |
Ciputat, 22 11 '12
@DedikPriyanto
semoga si penyair, ubed, itu bisa segera menyalakan kembali rona senjakala meski tanpa ada sulutan dari mana saja. yakadu zaituha yudhi'u walau lam tamsashu nar . . .
BalasHapusSemoga Bung..
Hapus