Minggu, 13 Februari 2011
Ashadi, Sang Ideolog Jurnalisme
Oleh: Dedik Priyanto *
Judul : Ashadi Siregar; Sang Penjaga akal kampus biru
Penulis : Daniel Dakhidae dkk
Penerbit : Kepustakan Populer Gramedia (KPG)
Tahun : I, Juli 2010
Tebal : xxii+374 Hal.
Sepeninggal orde lama, geliat kebebasan pers dan gempita demokrasi mulai mendapat titik terang. Namun, apa lacur, awal medio 70-an bangsa ini digemparkan dengan pembredelan majalah Sendi asal Jogjakarta. Hal ini cukup membelalakkan mata,. Padahal masih terngiang dengan jelas akan luluh lantaknya rezim otoritarian Soekarno. Apa pasal pembredelan ini?
Lelaku kenakalan media yang diinisiasi oleh para aktivis inilah penyebabnya. Khususnya keberanian mereka dalam menyibak kebusukan di balik megaproyek pemerintahan Soeharto dalam pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Itulah agaknya yang menjadi pemantik geram penguasa istana. Apalagi kala itu pemerintah sedang meneguhkan posisinya di mata rakyat pasca mangkatnya Soekarno dari tampuk kepemimpinan.
Maka dialah Ashadi Siregar yang menjadi pemimpin redaksi majalah kritis itu. Sosok inilah yang juga menjadi motor pergerakan, sekaligus generator yang membengkeli otak para aktivis dalam menentang arogansi orde baru. Pria yang kerap dijuluki suhu para wartawan ini juga merupakan penulis yang produktif. Tak kurang puluhan buku ia tulis, mulai dari Jurnalistik, Komunikasi, hingga sastra yang melambungkan namanya lewat trilogi legendaris Cintaku di Kampus Biru yang akhirnya difilmkan.
Kehadiran media yang dipimpinnya tersebut juga menjadi oase di tengah mulai keringnya keberanian di kalangan para jurnalis, serta minimnya daya nalar kritis mahasiswa yang kian terbenam dengan heroisme kebesaran angkatan ’66 yang berhasil merontokkan orde lama. Buntutnya, majalah itu dibredel, dan bersama para aktivis lainnya diinterogasi serta dipenjara.
Laiknya bunga rampai biographi orang besar, buku ini juga menguak lika-liku kiprah pria asal Pematang Siantar ini dalam perpspektif yang beragam. Luasnya spektrum pemikirannya juga ditelisik oleh beberapa pakar dan analis dari berbagai segi. Daniel Dakhidae misalnya, menelaah ruang egalitarian Ashadi dalam renik yang cukup menggelitik dan mendalam, yakni aktivisme pembangkangan terhadap penguasa kala masih menjadi mahasiswa.
Lain pula penuturan Butet Kertarajasa. Budayawan kondang ini bahkan menamai Bang Hadi, sapaan akrab beliau, sebagai manusia budaya. Menurutnya, hal ini untuk menegaskan bahwa beliau bukan manusia ekonomi, atau manusia politik yang masing-masing memiliki watak dasar yang berbeda, bahkan cenderung bertolak belakang dengan prinsip-prinsip manusia budaya yang tiada lelah memperjuangkan kemanusiaan (Hal.222).
Menjadi manusia budaya bukanlah hal yang mudah. Agaknya hal ini juga diakui Garin dalam esainya yang menisbahkan laiknya punakawan dalam dunia mistisisme pewayangan. Mengingat sangat jarangnya seorang tokoh dengan multivarian pengetahuan yang kompleks seperti Ashadi. Karena manusia budaya adalah sosok yang mengerahkan segenap diri guna perbaikan sesama manusia, khususnya perihal konsep dasar individu sejati; kemanusiaan yang tidak berpihak.
Pada titik inilah gagasan tentang etika jurnalisme yang akarnya adalah kemanusiaan bersua dengan kebebasan pers. Sesuatu yang dahulu acapkali saling berkelindan, bahkan cenderung tumpang tindih dengan pelbagai kecacatan yang kerap ditengarai sebagai pemantik buramnya makna kebebasan. Ashadi percaya bahwa biar bagaimanapun, pers tetaplah harus netral dan melaksanakan tugasnya sebagai ruang mediasi antara rakyat dan negara. Juga sebagai pengawas tindak-tanduk pemerintah dalam menjalankan amanat negara.
Konsistensinya dalam mempertahankan filosofi jurnalisme itulah yang mengantarnya sebagai sosok yang cukup disegani dalam percaturan dunia pers di Indonesia. Bahkan beliau sangat layak disebut sebagai ideolog yang dengan tangguhnya mampu mendamaikan akal, hati dan data jurnalistik dalam melerai tiap jengkal peristiwa. Guna diolah menjadi sebuah berita yang tidak hanya bernas dan akurat, tapi juga santun dalam memaparkan segala hal dengan jernih dan tidak berpihak.
*Peresensi adalah Pustakawan Forum Kajian Sosial Piramida Circle Jakarta, bergiat di Serambi Sastra Ciputat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar