Oleh: Dedik Priyanto
Judul : Mereka Akhirnya Menemukan Allah; Sang Ilmuwan
Penulis : Lukman Santoso AZ
Penerbit : Diva Press, Jogjakarta
Tahun : I, Juli 2010
Tebal : 143 Hal.
Persoalan agama selalu menyita perhatian yang serius. Tidak hanya para filsuf dan teolog yang saling memperdebatkan makna ideologis dan relasi keberagamaan yang berkembang. Pergolakan dan pertentangan dalam memperebutkan nilai hakiki kebenaran seakan menjadi bara dalam terjal hidup mereka. Tak terkecuai para aktor ilmu ilmuwan, yang notabene lebih mengutamakan rasionalisme empiris dalam segala tindakan.
itulah renik yang yang coba dipotret oleh Lukman Santoso AZ melalui buku ini. Mereka yang ditulis adalah adalah sivitas akademis modern, yang kerap melihat segala hal lewat kacamata rasionalitas dan telaah ilmiah dalam tiap nalar serta lelaku mereka. Namun, tatkala mencapai puncak piramida pengetahuan yang mereka geluti, lagi-lagi, kekeringan akan makna hidup dan spiritualitas melanda.
Jeffrey Lang misalnya, ia merupakan seorang professor ternama. Pelbagai penelitian tentang ilmu hitung menghantarkannya menjadi pakar matematika tersohor di Amerika. Apalagi disiplin ilmu yang digelutinya tersebut sangat rasionalistik, dan searah dengan nalar positivistik barat yang akhirnya membuat beliau menjadi seorang atheis sejak kecil.
Pilihan tersebut membuatnya berpikir tentang makna dirinya di dunia. Pun pengamatannya akan kehidupan modern yang cenderung hedonistik, serta kehilangan ruh humanisme yang merupakan inti ilmu pengetahuan. Hingga suatu ketika seorang mahasiswanya menghadiahi sebuah mushaf. Di situlah, akhirnya, ia menemukan jawaban filosofis yang acapkali menyesaki alam bawah sadarnya tentang makna dan eksistensi diri, serta keberadaan Tuhan.
Lain halnya dengan kisah Prof. Dr. Maurice Baille. Ilmuwan bedah terkemuka Prancis yang meneliti tentang mumi ini tergeragap saat menemukan fakta yang mencengangkan. Jasad yang diteliti tersebut ternyata mirip dengan cerita Fir’aun yang tenggelam. Sisa-sisa garam dalam tubuh semakin meneguhkan tesisnya tersebut. Padahal, narasi itu sudah diperbincangkan para teolog muslim ratusan abad lalu. Sedangkan ia sendiri baru sanggup membuktikan penelitiannya pada abad ke-19.
Enam belas kisah yang terangkum, merupakan titik kisar cerminan manusia yang coba menguak ihwal ketidakmampuan mereka dalam memahami realitas ruhani yang kerap menghantui nalar kritis, serta perasaan para ilmuwan. Sesuatu yang oleh sains modern cenderung dipisahkan. Begitulah, para ilmuwan tersebut seolah ingin meneliti tentang dirinya sendiri dan menjawab segala kesah yang kerap menggelayuti nalar kritis mereka.
Begitu juga yang dialami aerofisikawan asal Prancis, Prof. Bruno Guiderdoni. Beliau yang merupakan peneliti di Badan Antariksa Eropa menelaah perihal sains modern yang seakan hanya berhasil menemukan mekanisme segala hal. Namun, tiada mampu menjawab secara pasti tentang kandungan filosofis yang terjadi di dunia.
Adanya paradigma falsifikasi, dalam terminologi Karl Popper, seolah membuat ilmu pengetahuan modern tiada lagi menjadi hal yang murni kebenaran an sich dalam kaidah ilmiah saintifik. Hal demikian yang membuat beliau melakukan safari religius ke berbagai negara dengan lintas bacaan profetik, dan menyibak pelbagi tirai tentang kausalitas yang berkaitan dengan agama, serta kegelisahan akan dunia modern.
Tentang kegetirannya memandang hiruk pikuk modernitas itu, ia berujar lirih, ketika saya mempelajari sains, saya mendapati adanya sesuatu yang hilang dalam pendekatan ilmiah terhadap dunia. Ketika saya mencari pengetahuan lainnya, saya tersadar bahwa pencarian saya adalah pencarian religius. (Hal. 50).
Maka narasi pilu tentang pencarian Tuhan dalam dunia yang cenderung materialistik ini mampu diejewantahkan dengan langgam jurnalistik yang cukup cair dan inspiratif. Hingga membuat alam bawah sadar kita seakan tergelak untuk terus belajar dalam pencarian sifat hakiki manusia yang tardalam; eksistensi Tuhan dalam diri manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar