Catatan narasi seusai kelas di Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa (SPPB) di Megawati Institute, diampu Bu Mega, Yudi Latif dan Peter Kasenda
Oleh: Dedik Priyanto
Membincang
Bung Karno memang tidak akan pernah selesai dengan satu paradigma berpikir.
Banyak varian yang ternyata kalau diceruk lebih dalam, banyak yang tidak kita sadari. Salah satu di antaranya adalah
nasionalisme dan persatuan, yang menurut Peter Kasenda, adalah ruh dari
pelbagai banyaknya spektrum yang digarap sang
pemimpin besar Revolusi.
Dalam
orasinya, Ibu Megawati Soekarnoputri, yang merupakan anak biologis Bung Karno,
menarasikan hidupnya tatkala orba memimpin negara, dan perlakukan tidak layak
yang diterima. Bukan hanya itu, banyak anak ideologis mereka yang tidak dapat
mengecap pendidikan, bahkan terlempar dari masyarakat, hanya karena kekuasaan an sich.
Fakta
terpapar dengan gamblang ketika ibu membawa buku ‘Di Bawah Bendera Revolusi’
dan cukup mengagetkan ketika ia menyayangkan teman-teman muda yang dinilai
keluar dari rel perjuangan. Hal ini sangat kontras dengan jaman para Founding Fathers, yang tidak hanya
mencurahkan seluruh dirinya untuk negara, lebih dari itu ketidakmampuan anak
muda sekarang yang—bahkan—sering berperang dengan sesama. Ini karena tidak
adanya musuh bersama seperti pada jaman kolonial.
Kolonialisme
gaya baru inilah yang harus diperhatikan oleh banyak kaum muda. Peter Kasenda
menyebut Soekarno sebagai ‘pemersatu’. Ini pula yang menjadi titik diskusi,
bagaimana bisa dikatakan pemersatu jika Nasakom yang dibuatnya justru membelah
negara?
Tiga
konsep yang digabung ini, kerap dicederai dengan pemerataan soal komunisme.
Bahwa segala yagn berbau Nasakom adalah komunis, dan tidak ada yang lebih jahat
dari komunisme di dunia ini, karena bagi mereka yang paling penting adalah
revolusi. Cara pandang seperti ini yang ditiupkan oleh orba, bahwa
penyamarataan komunisme dengan Soekarno menjadi bias, jika kita berkaca pada
konsep Nasakom.
Bagaimana
Nasionalisme dikebiri menjadi sangat kecil bernama Komunisme/sosialisme?
Peter
Kasenda dengan menyitir Ruth Mc Avey (1986),
menyatakan sebagai sebuah ‘ketakutan’ terhadap ide besar sang pemimpin.
Bahkan seperti ditulis dalam makalah seluruh kegiatan mereka dikebiri, kegiatan politik, dibatasi lebih lanjut sehingga hampir tidak
mungkin bagi para pemimpin Indonesia untuk menyebarkan ide-ide kritis ( Ruth McVey,
1986 : 30 - 31 )
Agama sebagai bagian Nasakom lebih banyak dihuni
orang islam Nasionalis (NU) dibandingkan yang bercorak islam kenegaraan semacam
Masyumi dlsb. Mahbub Djunaidi adalah pencatat yang cukup baik tentang ini,
bahkan ia menyebut pikiran Soekarno tentang Pancasila sebagai falsafah yang
hakiki, bahkan lebih sublim dari Declaration of Indepence nya Thomas Jefferson
dan Komunisme Hegel dan Marx.
Penulis
bertanya tentang keterkaitan orang eks-PSI (Partai Sosialis Indonesia) dalam
meruntuhkan pemerintahan Soekarno, dan bagaimana kaum eksil menjadi orang
berdiaspora di negara-negara timur. Peter Kasenda memberi jawaban yang cukup
gamblang, bahwa inilah salah satu cara mereka berdiplomasi sebagai partai kecil
dan berafiliasi ke barat.
Menarik
lagi ketika Budiarto Shambazy menambahkan soal peran militer. Terutama soal
dewan jenderal yang dihembuskan oleh mereka. Terlihat sangat jelas bagaimana
isu ini menjadi garing. Dan menemukan banyak eksil yang menjadi orang yang
cukup berpengaruh di tempat pembuangan. Misalnya, ada beberapa yang jadi guru
besar di Hongaria, Rusia, dan negara di timur. Dan karena Soeharto, mereka
tidak bisa pulang karna dianggap bagian dari bung Karno.
Jika
menengok pendapat Ruth Mc Avey bahwa antara Aidit dan Njoto terjadi perbedaan
yang signifikan tentang gerakan komunisme. Bahwa Aidit mengingkan revolusi
secara cepat, sedangkan Njoto ingin perlahan dengan memerhatikan situasi, serta
perkembangan Soekarno. Untuk itu, ia tidak setuju dan cenderung tidak tahu
menahu ihwal kudeta PKI.
Hingga peristiwa ini sebagai alat politik
menjungkilkan pemerintahan Demokrasi Terpimpin. Selepas itu, tak ayal
ketegangan terbangun. Soekarno dihimpit olehi semua sisi orba. Bahkan para anak
ideologis dan biologisnya tidak mendapatkan akses yang layak sebagai warga
negara. Ini pula yang diwartakan Bu Mega, bahwa di jaman kolonial pun
pendidikan bisa agak mudah mereka terima, tapi keti bangsa sendiri yang
memimpin sangat berebda. Mereka
kesulitan mengakses pendidikan.
Inilah ironi, terlepas dari itu Bung Karno
tetaplah pemersatu yang kadang dilupakan oleh bangsanya sendiri.
NB: tidak sengaja saja saya menemukan tulisan ini, saya tulis ulang dan beginilah hasilnya. Tanpa diubah isi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar