Wawancara Imajiner dengan Tan Malaka
Oleh: Dedik Priyanto
Hati
dan jiwa Datuk Ibrahim Tan Malaka (110
tahun) tak pernah padam untuk Indonesia. Dalam pelariannya di hampir sepertiga
dunia, ia masih terus menunjukan kecintaan kepada negara dan pengetahuan.
Terlihat ia membawa sebuah buku dan pena.
Begitulah
kegiatan sehari-hari lelaki yang dijuluki macan dari lembah Suliki ini. Mengapa
ia terlihat gusar melihat kondisi saat ini? Sambil tertawa, sosok yang selalu
berapi-api jika berbicara tentang nasionalisme itu bercerita tentang keadaan
negara saat ini.
Bung, bagaimana anda melihat negara
Indonesia?
Saya
terenyuh dengan pertanyaan anda, Bung. Kenapa harus Indonesia. Bukankah kita
belum merdeka. Di mana-mana masih saja merasa tertindas. Apa itu makna
kemerdekaan.
Tapi bukankah Indonesia sudah 66
tahun merdeka?
Benar.
Itu secara tertulis. Namun, bukan itu yang saya maksud. Kemerdekaan dapat
terjadi tatkala kita mampu berdiri sendiri. Di atas kaki kita sendiri. Tidak
ngikut ke asing. Dimana logikanya? Nah, itu tidak terjadi saat ini.
Termasuk juga soal kedaulatan NKRI?
Orang
jaman sekarang itu harusnya berbahagia tidak mengalami pengejaran seperti yagn
saya alami. Sipadan dan Ligitan sudah menjadi contoh nyata. Kadang saya
berpikir, kenapa pemerintah sekarang ini begitu konsisten dalam kebodohan
mereka? Apakah tidak berpikir bahwa untuk memperjuangkan dan menyejahterakan
rakyat, tidaklah kepintaran saja. Bahkan nyawa harus siap dipertaruhkan.
Kasus kepulauan Camar Bulan
menarik. Karena pemerintah menyatakan bahwa kita masih negara berdaulat.
Bagaimana menurut bung sendiri?
Tidak
ada bagaimana. Coba anda tengok lagi! Dalam segala sendi kita menjadi budak
asing. Kita tidak bisa menggunakan apa yang seharusnya menjadi hak kita. Tanah
ini milik kita. Tidak ada satu jengkal pun yang boleh diambil orang. Ini
menjadi bukti landasan teoritik mereka dalam membangun mental bernegara tidak
ada. Bahkan menjadi kecil di mata internasional. Kebanyakan hanya memaknai
politik sebagai cara memperoleh kekuasaan, bukan kekuataan untuk memerangi
ketertindasan dan ketidakadilan.
Seperti yang anda tulis di Madilog
dan Naar de Republic, bukan?
Bah,
saya sudah menuliskan banyak hal kepada kau, anak muda. Termasuk dua itu. Coba
tengok, bukankah negara ini sudah tidak lagi menjadi dirinya sendiri.
Kebudayaan sendiri. Banyak hal yang harusnya terjadi bagian dari kita. Benar.
Kalau bung baca lagi. Maka akan menemukan bahwa kolonialisme telah berubah
bentuk. Termasuk hegemoninya yang tidak lagi tertentu pada meterialisme semata.
Untuk itu perlu ditelaah secara dialektik, dan menggunakan logika yang tidak
semata rasional, melainkan harus teoritik. Karena lawan kita menggunakan tiga
pisau itu untuk mencengkeram Indonesia.
Lalu, sebagai generasi hari ini,
apakah harus berdiam diri?
Itulah
yang sering dikatan orang hari ini, ia
merasa inlander. Tidak. Harus berani bercakap dan tanggap. Banyak baca buku,
sering berjalan untuk melihat realita, dan jangan lupa selalu berpikir kritis
yang dialektis. Tujuannya cuma satu, rebut kembali kemerdekaan kita.
Kemerdekaan 100 % milik, dan untuk rakyat. Tidak ada kata lain. Sudah terlalu
lama rakyat menderita. Berikan darahmu untuk tanah air. Usir orang asing yang
merusak negara ini. Revolusi, hanya itu.
Dilema
Sang Revolusioner
Tan
Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka lahir di Nagari Pandan Gadang,
Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 – wafat di Jawa Timur, 21 Februari 1949. Seorang
pemimpin pergerakan, dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang
militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran
yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan
Indonesia.
Jauh sebelum tokoh-tokoh yang lain membincang
kemerdekaan, ia sudah menabuh genderang menyuarakan kemerdekaan, dan
mempublikasikan pemikirannya yang membincang soal negara dan relasinya dengan
kolonialisme. Madilog adalah bukunya yang paling terkenal, dan menjadi pegangan
para aktivis gerakan pada masa itu. Namun, kematiannya begitu tragis, karena dibunuh
oleh bangsanya sendiri di Kediri, dan misterius sampai sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar