orang-orang Senjakala
Wajahnya biasa saja. Perawakannya biasa saja. Apalagi cakepnya, juga biasa saja. Praktis, dia adalah lelaki yang biasa saja. Mungkin yang membedakan adalah cara dia bertutur. Cak Nun, begitulah mereka menyebutnya, dan nama yang nyeleneh, dan cenderung senewen untuk ukuran orang-orang Ciputat: Kenyot Addisatva!
Laiknya Perburuan Sebilah Pisau yang ditulis Arief Mahmudi, sebuah cerpen yang dipuji-puji oleh lelaki yang biasa itu. Maka saya akan menyisir siapa lelaki biasa ini, dan patutkah ia ditulis sebagai yang biasa saja. Maka dengan biasa saja pula saya mengingat kejadian tiga tahun yang lalu. Kira-kira, ceritanya begini:
Ketika baru memasuki Ciputat, tatkala orang-orang memasuki dunia kampus dengan harapan besar, dan kata sukses menjadi harga mati. Maka adagium itu tidak ada dalam kamus hidupnya. Ia mengalirkannya seperti air yang turun dari langit melalui bedeng rumah.
Bukan. Ia tidak seperti motivator yang selalu yang selalu menghembuskan manis di telinga, maupun ustad teve yang tiap hari menyeru untuk menangis, mengiba kepada kehidupan. Lelaki itu berlelaku seperti apa yang ingin ia cecap sendiri. Termasuk untuk ukuran kesuksesan.
Saya yakin dia lupa, bahwa saya pernah menanyakan perihal itu, disela melipat buletin Teh Hangat di Barkah. Enteng sekali dia menjawab, “Nanti juga sukses.”
Saya diam sembari sesekali melirik rambutnya yang ikal, tak terurus. Persis seperti para sastrawan yang berlicentia poetica. Jika anda bertanya siapakah tokoh mirip dengan lelaki biasa ini? Seketika itu pula saya akan menjawab; Chairil Anwar.
Bedanya, Chairil berperawakan kurus dan sesekali mempermainkan perempuan-perempuan. Sedangkan ia bertubuh agak tambun dan begitu mencintai kekasih yang dikenalnya sejak SMA. Sekali lagi, sejak lama. Sumpah, saya belum menemukan lelaki yang begitu setia seperti dirinya. Atau jangan-jangan sejak di peraduan ibunya, ia sudah mencintai kekasihnya?
***
Kebanyakan orang menulis karena banyak alasan. Bagi saya, menulis tidak hanya melulu tentang karya, pertarungan ide, maupun aktualisasi. Jujur lebih dari itu, saya ingin mendapatkan sedikit tambahan untuk menyambung hidup. Dan kemampuan yang saya miliki adalah menulis di koran maupun majalah. Tapi, tidak dengan lelaki biasa itu.
Di tangan pencipta cerita Hari Ketujuh itu, tulisan ibarat anak, yang harus dengan sungguh dipelihara, dibina. Barangkali tidak pernah terlesat dari benaknya, terpatri dalam jemarinya, bahwa menulis adalah seperti saya, yang kalau tidak menulis akan kebingungan untuk makan esok hari. Dialah yang akan memberi makan buat si anak, hingga tulisan itulah yang nanti akan meruap bersama tumbuh penciptanya.
Barangkali itupula yang melatarbelakanginya untuk meretas Sastra Merdeka, sebagai jalur estetis yang diusung Tongkrongan Sastra Senjakala. Komunitas yang ia dirikan bersama pemuda berbahaya Zakky Zulhazmi, sebagai reaksi mandegnya sastra di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sastra baginya adalah ruang pembebas dan medium pembersih segala yang kotor. Sastra tidak harus berkubu pada satu pihak. Melainkan ia harus merayakan banyaknya kubu yang kian menaburkan diri di jagad. Bukan pula menjatuhkan, bahkan hegemoni seperti yang ada kebanyakan. Begitulah ia menamakan jalur estetisnya dengan nama Sastra Merdeka.
Itulah kemerdekaan bersastra yang diusungnya di tengah pluralitas kebangsaan, dan kesenian yang tidak menentu. Maka ia menempatkan diri sebagai pihak yang tidak berkelompok. Melainkan mengarahkan diri, merangkul pelbagai kubu yang acapkali saling bertikai dan berselisih.
Di situlah posisi mimbar terbuka menjumpai tempatnya di tangan lelaki biasa ini, dan menyatu sebagai bagian dari komunitas yang ia dirikan di kampus.
Suatu tempo, dengan Abraham Zakky, kita pernah pergi ke tadarus Cak Nun, Kenduri Cinta di bilangan Taman Ismail Marzuki (TIM), dan barangkali dia sudah lupa bahwa saya diminta nyetir motor bergigi 2 milik temannya.
Bisa dibayangkan, saya yang sudah lama tidak membawa motor yang demikian, harus menyetir sekaligus membonceng lelaki biasa ini menuju tengah kota, Cikini, dan ternyata ia pun tidak bisa—dalam hal ini saya unggul daripada dia.
Setelah bersusah payah, rintangan menerjang, serta berkali-kali motor ngadat sampai jualah di tempat tujuan. Oh, saya baru ingat, kala itu lelaki biasa itu memakai kaos dan celana pendek untuk pergi ke sebuah pertemuan, atau lebih tepatnya pengajian. Baru kali ini saya menemukan orang dengan lelaku aneh, bahkan cenderung destruktif jika menengok kacamata barat positivis.
Namun, lamat-lamat saya menemukan sisi perlawanan, dan keteguhan untuk menjadi diri sendiri. Tanpa tedeng apa dan siapa, si lelaki biasa itu nanti akan bertemu. Inipula yang jarang dimiliki oleh orang lain, yang cenderung mengiyakan perkataan yang bukan dari diri.
Singkat cerita, di sana ia duduk paling depan. Mendengar ceramah dari Cak Nun, dan beberapa pesaji yang siap bercerita tentang banyak hal yang tiada mungkin didapat pengajian, maupun majlis taklim yang ada di Jakarta, yang hanya bertutur pada ritualistik ibadah, dan metode berakhlak ria. Pengajian itu, sudah melampaui hal itu semua.
Saya memandang lelaki itu, tampaknya ia terus bergeming dan memanggut-manggut pada perkataan pesaji. Bahkan sampai dini hari ia tetap demikian, sembari sesekali menyeruput kopi, dan berpindah posisi duduk karena karpetnya agak basah bekas gerimis tadi sore. Hingga lamunan kami buyar karena dia mengajak pulang, dengan alasan motor mau dipakai.
Lelaki itu menulis apa yang ingin ia tulis.
Bukan pula tentang uang yang sangat dibutuhkan oleh mahasiswa perantauan. Pun anasir lain sebagai pemantik dalam menulis. Termasuk juga puisi, saya pernah menuliskan analisis tentang salah satu puisi dia tentang “Adhinanggar” yang saya juga dimuat di koran Solo Pos. Agak panjang pula saya meraba apa yang ingin disampaikan pada khalayak.
Pisau analisis saya pun masih rendah, karena bacaan saya masih sangat sedikit, kala itu. Itu pun dimuat di Teh Hangat, dan ketika mendiskusikannya seperti biasa di Rabo Sore, ia hanya berlirih sinis,”Terserah itu tafsir. Sah,”ringkasnya,”tapi sebenarnya salah.”
Sontak, hal demikian membuat saya agak ciut kepada lelaki asal Wonosobo ini, bahwa apresiasi saya tidaklah berarti dalam menyusup terhadap anaknya. Hal ini, semakin menguatkan saya bahwa anaknya yang berupa puii adalah apa yang ia pikirkan, dan tetap dibebaskan seperti halnya seorang dewasa yang mencoba melindungi anaknya yang imut dari dunia luar.
Kita bisa berdebat soal definisi, tapi sastra yang ia percayai inilah yang menjadikannya orang yang sangat berbeda, karena dengan ini juga ia mampu menelisik hal substansial dalam hidup. Termasuk juga dalam menera bangku kuliah. Kebanyakan menilai, menjadi aktivis akan kuliah lama, dan bertahan lama dalam menyoal sistem yang tidak berpihak bagi mahasiswa yang aktif di luar lingkar kampus.
Pisau itu tidaklah berlaku bagi lelaki biasa itu. Toh, ia mampu lulus dengan sempurna. Tepat empat tahun, toga yang dihargai Rp. 40.0000/kepala oleh Rektor itu akhirnya mampu ia kenakan. Kontras dengan banyak orang yang ada di sana, bahwa tatkala banyak orang yang menilai kampus UIN sangat mendiskreditkan mahasiswa yang di luar bendera mereka, ia mampu menjadi contoh yang agaknya cukup baik dalam hal akademik. Dan sayangnya, saya sendiri tidak bisa menghadiri acara sakral itu, dan hanya mampu melagukan Iwan Fals, Sarjana Muda.
Begitu halnya dengan keikhlasannya dalam membiayai segala publikasi senjakala. Hingga mampu menjadi satu-satunya media di kampus Ciputat yang masih eksis yang, semoga sampai detik kini, dan esok. Maka, jika saya ditanya orang tentang siapa orang yang paling bertanggung jawab atas perkembangan sastra alternatif dan independen di UIN Ciputat saat ini, maka jawaban saya adalah dua orang; Zakky Zulhazmi dan lelaki biasa itu, Kenyot Addisatva.
Ternyata lelaki biasa itu memang seorang yang biasa saja. Yang biasa saja dalam memengaruhi kehidupan sastra di Ciputat menjadi semarak. Bahkan mampu hidup, dan memunculkan banyak pegiat baru akibat ulah Senjakala yang terus mengeluarkan publikasi tiap bulan. Mungkin kuping merah panas, bahkan dengan bantuan dana dari rektorat pun mereka tidak mampu menyemarakkan kampus yang mulai hedonistis, katanya.
Maka, ia tetaplah lelaki biasa, yang mampu menginspirasi banyak orang dengan sepotong sajak cinta yang disimbolkan dengan hadirnya Tongkrongan Sastra Senjakala di kampus, yang katanya, pembaharu dan peletak dasar filosofis perjuangan sastra merdeka yang tidak hegemonik. Bahkan cenderung apresiatif, adaptif, dan kritis terhdapa apapun.
Saya mendengar lelaki biasa itu menikah. Berarti, lelaki biasa itu juga telah menyeleksi dirinya sendiri untuk tetap di jalur kehidupan. Bahwa ia pernah menukil perkataan Rendra, ‘dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata’.
Benar. Ia membuktikan kelakar di sebuah diskusi hari Rebo.
”Selepas lulus, aku nikah!”
Mungkin juga ia lupa apa yang dikatakannya itu.
Barangkali ini hanyalah kado kecil, dari seorang sahabat, yang mungkin tidak dimasukkannya dalam daftar pertemanan di buku kecil yang ia miliki. Tentu, karena lelaki biasa itu memiliki banyak teman luar biasa di luar sana, dan karena lelaki itu hanyalah biasa saja.
Dan saya begitu merindukan lelaki ini menulis lagi seduhan penutup yang menemani kami berbincang saat senja tiba.
Jakarta, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar