Tendang, Terjang, Hadang

Kamis, 10 Mei 2012

Narasi Pilu Penduduk Pulau


Judul               :  Lelaki Laut; Mengayuh Cita-Cita dan Harapan dari Pulau Seribu
Penulis             : Alamsyah M. Dja’far
Penerbit           : Gramedia, Jakarta.
Terbit               : I, Desember 2010
Tebal               : 204 hal.



Acapkali kita mendengar kelakar mendayu bahwa nenek moyang bangsa ini merupakan seorang pelaut. Bahkan ribuan pulau yang berderet sepanjang nusantara adalah bukti kejayaan masa lampau. Namun apa jadinya jika semua itu tidak mampu mensejahterakan penduduknya?

Tak ayal, yang terjadi adalah ketimpangan yang deras menimpa mereka. Geliat inilah yang coba dikemukakan oleh penulisnya, Alamsyah M. Dja’far, dalam novel yang bertajuk “Lelaki Laut” ini. Pria yang juga merupakan jurnalis ini adalah produk asli pesisir Pulau Tidung. Sebuah  gugusan dari Kepulauan Seribu yang terkenal multi etnik.

Adalah Bang Jar, lelaki yang dikisahkan dalam novel ini, yang terlahir diantara tumpukan ketidakadilan yang dialami penduduk pulau. Betapa tidak, secara geografis letak mereka tidaklah jauh dari pusat pemerintahan. Sudah selayaknya daerah tersebut mendapat perlakuan  yang sama dalam segala bidang. Baik sarana fisik, ekonomi, maupun pendidikan.

Alih-alih mendapatkan semua itu, yang diperoleh hanya kesenjangan yang semakin dalam antara pemodal dengan penduduk asli yang rata-rata nelayan dan buruh. Pun masuknya budaya-budaya asing yang menggerogoti pluralitas masyarakat pulau. Terutama kaum muda yang seolah berbangga ria jika sukses mengadopsi lelaku barat dalam kesehariannya.

Di sinilah posisi lelaki itu seolah menjadi representasi paradigma berpikir generasi muda yang ada di pulau. Bahwa menjadi nelayan dan menjelajah lautan yang luas agaknya lebih menjanjikan dibanding harus berlelah keringat di bangku sekolah. Tak terkecuali Bang Jar. Padahal orang tuanya relatif mampu dibanding penduduk pulau lainnya.

Kelihaian penulisnya teruji dengan tidak menempatkan tokoh utama sebagai pihak subordinat laiknya novel kebanyakan. Melainkan memosisikannya pada ranah yang tidak sulit dijangkau logika.  Realis dan bernas.  Yang dalam kacamata positivistik, harusnya berjalan sesuai dengan arah peradaban yang semakin membaik tatkala didukung dengan pelbagai fasilitas.

Goncangan hebat terjadi ketika ayahnya wafat di Mekah untuk menunaikan ibadah haji.  Ia depresi, juga kecewa dengan dirinya sendiri yang dinilai gagal menjadi anak yang berbakti. Minum-minuman keras mulai diakrabi. Juga segala bentuk keburukan lainnya. Sedang untuk menghidupi dirinya, ia berkelana dan mengamen di Jakarta. Hingga tersungkur karena obat-obatan terlarang di pusat rehabilitasi.

Pada titik ini, ia berkontemplasi dengan segala keadaan kacau itu. Apalagi di sudut lain, adiknya yang bernama Lalam, mulai menapaki hasil jerih payahnya dari bangku kuliah, serta mulai dikenal sebagai calon intelektual muda yang cukup berpengaruh di kalangan para pemikir.  

Akhirnya, ia tersadar akan tanggung jawab dan eksistensinya sebagai manusia. Maka ia pun keluar dari dunia kelam yang telah menjerumuskannya itu. Dan mulai menapaki jalan lurus.  Hingga ia pun menikahi perempuan asal Mojokerto, Nurul. Walau kala itu ia masih menjadi pengangguran. Tapi tetap saja, himpitan hidup terus mendera Bang Jar dan istrinya.

Hasratnya kian menggebu untuk mengejar ketertinggalan. Ia pun melanjutkan kuliah D3 sembari bekerja di sebuah majalah. Kegigihan dan dedikasinya untuk merengkuh pendidikan membuatnya berhasil meraih gelar sarjana. Bahkan sempat menjadi asisten dosen. Bahkan mendirikan beberapa taman bacaan untuk membantu penduduk pulau mengejar ketertinggalan.

Malang tak bisa ditolak. Tuhan memanggilnya kala ia menggapai mimpinya itu. Tepat sehari setelah ia diwisuda. Novel ini ini menyugukan bahasa jurnalisme yang tidak hanya investigatif, melainkan juga santun dalam bingkai sastrawi, serta dibalut dengan dengan narasi pesisir laut yang memikat. Guna mengurai fenomena menggelitik yang acapkali tak tersentuh oleh modernitas yang cenderung eksploitatif terhadap alam dengan segala perniknya.

Dedik Priyanto, Penikmat Buku. Jurnalis Majalah Surah: Medan Sastra Indonesia. Kord. Forum Studi Mahasiswa Piramida Circle Jakarta.

NB: Saya lupa pernah menulis review ini dulu. Ketika Bang Alamsyah M Dja'far , senior saya menulis novel dan kawan2 Piramida Circle, PMII Komfakda Ciputat dan Senjakala meminta untuk diskusi dan bedah buku beberapa tahun lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar