Tendang, Terjang, Hadang

Kamis, 24 Mei 2012

Syahrir, Si Ahli Diplomasi




Bung kecil, begitulah sosok itu biasa disapa. Namanya Sutan Syahrir. Beliau adalah lelaki yang yang cukup berpengaruh dalam pergerakan, dan memiliki peran sentral pada masa kemerdekaan.

Pendidikan mula lelaki berdarah Minang ini adalah mengenyam pengajaran di ELS (Europe Lagere School), yakni sekolah dagang milik orang kulit putih. Kemudian melanjutkan ke MULO di Medan, sekolah setingkat SMP. Di sana beliau sudah mengakrabkan diri  dengan pelbagai  buku-buku asing, khususnya dari Belanda. Mulai dari sejarah, sosial dan novel-novel.

Bandung, kota itu kemudian dipilih guna melanjutkan studi. Setelah tiga tahun di sana, beliau terpilih untuk melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda, dan masuk ke Fakultas Hukum Universitas Amsterdam. Sempat juga kuliah di Leiden Universitie. Namun tidak selesai karena hobinya yang suka bergelut dengan organisasi luar. Di tempat itu pula beliau berteman dengan Bung Hatta, yang sedang membangun pergumulan indiscjhe partij (persatuan Indonesia).

Tak lama, dia kembali ke tanah air  pada penghujung tahun 1931. Laiknya burung yang baru keluar dari sarang, melihat realitas negara yagn ternyata tidak semaki membaik, hati lelaki asal Minangkabau ini gelisah. Masih sama, tidak ada perubahan pada masa penjajahan. Untuk itulah, ia bergabung dengan PNI yang dipimpin oleh Bung Karno, dan terpilih jadi ketua PNI pada kongres 1932, dalam usia yang relatif muda 32 tahun.

Maka, bersama para pejuang lainnya, mereka pun melakukan perlawanan yang tidak hanya pada level perjuangan fisik. Melainkan juga pada ranah intelektual, dan diplomasi yang mampu mengobarkan semangat anti imperialisme. Anti Belanda. Hingga organisasi ini dibubarkan karena dianggap mengganggu stabilitas nasional. Tapi, berkat kelihaiannya, ia mampu mendirikan PNI baru yang rebih radikal dari PNI yang lama.

Malang tak dapat ditolak, kekuasaan Belanda begitu kuatnya hingga ia pun ditangkap dan dijebloskan ke penjara, serta dibuang ke Boven Digul bersama Bung Hatta, dan dilepaskan tatkala Jepang masuk ke Indonesia.

Rekontekstualisasi kekinian

Sutan Syahrir merupakan seorang pribadi yang unggul yang pernah dimiliki ibu pertiwi. Baik dalam masalah intelejensia maupun kehidupan bersosial. Keberanianya yang tinggi patut kita jadikan sebagai acuan kita dalam bertindak. Hal itu dibuktikan oleh beliau dengan tindakanya yang cukup frontal dalam menghadapi Belanda dan Jepang. Tatkala para pemimpin nasional mau bekerjasama dengan pihak pendudukan, Syahrir tidak mau dan malah membuat gerakan bawah tanah. Karena menurutnya Jepang sama saja dengan pejajah yang lain,  sama-sama penjajah yang hanya menginginkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari bangsa Indonesia.

Beliaulah yang menghimpun para intelektual, mahasiswa, dan orang-orang yang pro-revolusi untuk membuat sebuah gerakan perlawanan pada saat pendudukan Jepang. Beliau menjadi seorang motivator ulung yang memberi semangat, serta mampu menyalakan api keberanian dalam diri para pemuda untuk tidak hanya tinggal diam dalam menghadapi para penjajah.

Saat masih menempuh pendidikan di Belanda, keberanianya itulah yang membawanya mengenal orang-orang “kiri dan sosialis”  dan menceburkan diri dengan orang-orang sosialis. Pengalaman-pengalaman itulah yang mengantarkan Syahrir menjadi seorang yang sangat disegani walaupun usianya relatif muda. Serta menjadi pemimpin kaum muda yang paling diperhitungkan Selain bung Karno dan Bung Hatta. Bahkan ketiga orang ini disebut sebagai tiga serangkai pengantar revolusi.

Ada sebuah kisah menarik saat Syahrir menjadi perwakilan Indonesia dalam PBB. Saat itu tangggal 14 Agustus 1947. Syahrir berpidato di muka sidang Dewan Keamanan PBB. Beliau berani berhadapan dengan para pemimipin negara-negara sedunia.

Beliau menjelaskan tentang negara Indonesia dulunya merupakan bangsa yang besar yang secara berabad-berabad telah hidup da nmempunyai kebudayaan yang tinggi, dengan beraneka ragam penduduk dan kekayaan alam yang melimpah, lantas semua itu dieksploitasi oleh para kolonial.  Kemudian, secara piawai Syahrir mematahkan satu per satu argumen yang sudah disampaikan wakil Belanda, Van Kleffens.

Dengan itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional. PBB pun turut campur, sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya.

Van Kleffens dianggap gagal membawa kepentingan Belanda dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Berbagai kalangan Belanda menilai kegagalan itu sebagai kekalahan seorang diplomat ulung yang berpengalaman di gelanggang internasional dengan seorang diplomat muda dari negeri yang baru saja lahir. Van Kleffens pun ditarik dari posisi sebagai wakil Belanda di PBB menjadi duta besar Belanda di Turki.

Syahrir pun populer di kalangan para wartawan yang meliput sidang Dewan Keamanan PBB, terutama wartawan-wartawan yang berada di Indonesia semasa revolusi. Beberapa surat kabar menamakan Syahrir sebagai The Smiling Diplomat. Beliau juga orang yang tidak suka kekerasan. Ada satu cerita menarik perihal sikap konsekuen pribadi Syahrir yang anti-kekerasan. Di akhir Desember 1946, Perdana Menteri Syahrir dicegat dan ditodong pistol oleh serdadu NICA. Ketika di todongkan itu pistolnya tiba-tiba macet dan tidak bisa ditembakan, karena kesal, akhirnya gagang pistol tersebut dipukulkan ke wajahnya hingga mukanya memar dan lebam.

Berita itu kemudian tersebar lewat Radio Republik Indonesia (RRI). Mendengar itu, Syahrir dengan mata sembab membiru memberi peringatan keras agar siaran itu dihentikan, sebab bisa berdampak fatal dibunuhnya orang-orang Belanda di kamp-kamp tawanan oleh para pejuang republik, ketika tahu pemimpinnya dipukuli.

Salah satu sifatnya yang paling menonjol adalah sikap empati dan kepekaannya melihat keadaan sosial yang ada di masyarakat. Beliau menjadi orang yang sangat prihatin dengan keadaan rakyat yang terus terhimpit dalam kesusahan, kelaparan, kesejahteraan, dan kesulitan dalam akses penddikan. Pendirian sekolah Tjahja Volksuniversiteit (Cahaya Universitas Rakyat) untuk membantu para rakyat kecil, merupakan sebuah bukti yang nyata akan kepedulianya terhadap bangsa. Bahkan sekolah itu pun dibuat saat beliau masih sekolah, dan dengan uang hasil pementasanya dalam teater ketika masih di Belanda.

Kecintaanya akan ilmu pengetahuan sangat besar sekali, itulah yang mendorongnya untuk terus menerus dalam belajar, bahkan dengan kecerdasanya itu beliau dapat meneruskan pendidikan ke luar negeri. Tapi, beliau bukanlah seorang akademisi yang selalu bergulat dengan buku dan pelajaran dalam kuliah saja, lebih dari itu, beliau belajar dari kehidupan dari pergaulan dan organisasi. Walaupun seperti itu beliau bukanlah orang yang menyombongkan diri, hal itu terlihat dalam keseharinya yang sangat dekat dengan kaum kecil, itu juga merupakan penerapan dari asas sosialisme yang ia anut, yang selau mengayomi kaum proletar.

 Begitulah, Bung Kecil menjadi salah satu sosok yang percik pemikirannya masih terus diperbincangkan sampai saat ini. Maka, sudah sepatutnya, sosoknya tidak lagi menjadi perca maupun patung yang hanya dibaca, ditelaah. Melainkan harus diimplementasi dalam bentuknya yang kongkret. Yakni perjuangan dalam membela bangsa, serta kepekaan dalam menera realitas.


NB: saya menemukan tulisan ini tidak sengaja di  laptop kawan. Kira-kira 2008. Sengaja saya tidak ubah tulisan di atas, walaupun perspektif saya tentang Syahrir saat ini begitu berbeda dengan apa yang saya tulis.  Sembari mengupload ini, saya ketawa-ketiwi sendiri 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar