Senin, 01 April 2013
Gairah Mahasiswa Baru di Dunia yang Sunyi
Malam ini saya didatangi beberapa teman mahasiswa baru di UIN Jakarta, mereka ingin belajar menulis dan berdiskusi bersama saya. Beberapa terlihat begitu semangat untuk berdiskusi tentang pelbagai hal; antropologi kampus, gerakan ataupun dunia kepenulisan. Tapi entah kenapa, saya acapakali ragu dengan permintaan yang terakhir.
Bukan karena apa-apa, saya punya pengalaman—dan mungkin kawan-kawan yang serupa—untuk perihal penulisan di kampus yang mulai redup. Bahkan ada kawan yang bilang mulai mati secara perlahan-lahan seperti halnya perlawanan mahasiswa yang kian hari makin redup. Saya merasa mengalami peristiwa yang terus belulang. Semacam de javu.
Ya, saya beberapa kali bertemu dengan situasi yang serupa; anak yang belajar menulis dengan menggebu-gebu tapi kemudian lelah dan tidak melakukan apa-apa karena kritik atau mereka memang hanya mencari identitas. Proses pencarian identitas inilah yang agaknya mengganggu saya jika harus berbagi ke mereka.
Orang ini pun ribuan alasan untuk diterakan, misalnya, sebagai alasan mereka belajar menulis. Ada yang bilang untuk kebutuhan sebagai mahasiswa, ada yang bilang untuk memenuhi kebutuhan hidup (urusan ini saya malah tidak paham) bahkan ada yang berkata terpengaruh dengan kakak-kakak senior.
Biasanya dalam setiap gerombolan ada saja sosok sok tahu.
Manusia model begini biasanya memiliki beberapa asumsi yang harus dikeluarkan sebagai jurus untuk bertemu dengan orang-orang baru. Tapi seperti halnya biasanya, saya punya ribuan jurus untuk membuatnya tak berkutik laiknya seorang pendekar yang menguji pendekar lain dan memiliki jurus andalan.
Maka sebut saja namanya Rudi, mahasiswa baru asal daerah X. Ia bertanya tentang perbedaan tulisan ini dan itu dan jenis filosofinya apa. Pernah ia bertanya soal salah satu tokoh penulis/sastrawan bernama X. Ia akan menggebu-gebu dan saling mengutip dengan menggunakan nama si tokoh tadi.
Tapi tunggu dulu, untuk orang model begini, cobalah kamu bertanya soal referensi buku. Pasti ia akan menjawab dengan tiga kemungkinan.
“Maaf, Bang. Saya pernah baca di buku X?”
“Saya lupa dimana, tapi itu... “
Yang lebih parah, ia akan menjawab begini;
“Iya, saya pernah dengar nama itu bicara?”
Lah, pernah dengar? Apakah tidak ada yang lebih lucu dari yang lain, misalnya, saya mengutip itu dari udara yang beterbangan atau dapat info dari intelijen atau dapat info dari pacar—itupun kalau dia punya.
Nah, orang dengan model sok tahu ini biasanya tidak akan bertahan lama. Beruntung ia masih ikut pertemuan pelatihan selama tiga kali. Parahnya, biasanya ia akan berhenti menulis dan mulai menceritakan keburukan dan tuduhaan bla.. bla.. bla.. ke khalayak.
Dunia Sunyi itu Menulis
Menulis itu tindakan, bukan sekadar omongan atau gosip yang biasa terwarta di warung kopi atau di televisi. Laiknya sebuah tindakan, ia membutuhkan konsekwensi logis yang harus dijalani ketika memilih dalam tindakan yang bernama menulis.
Konsekwensi logis ini biasanya terwujud lewat pelbagai tindakan, misalnya, kesiapan untuk berdiam di komputer dalam jangka waktu yang lama, membaca dengan ragam tema dan menyiapkan diri dalam kesunyian dalam masa yang tak berjangka.
Seorang penulis pasti akan memiliki tiga elemen ini atau paling tidak memiliki salah satu di antara ketiga pilihan logis ini. Hanya memiliki satu elemen adalah selemah-lemahnya iman dalam kepenulisan. Jika tidak memiliki salah satu di antara ketiganya, silakan kamu pergi dan jangan kembali ke tempat ini untuk belajar menulis.
Baiklah, saya akan menjelaskan kenapa tiga hal itu menjadi penting. Pertama, komputer adalah jalan menuju dunia lain. Dunia lain inilah yang menjadi medium seorang penulis dan tulisan yang akan dilahirkan kelak.
Tentu saja kamu harus betah berada di depan komputer, sekuat-kuatnya, selama-lamanya. Bahkan dibutuhkan waktu sembilan bulan lamanya bagi seorang ibu untuk melahirkan seoarang bayi, bukan?
Kedua, menulis tanpa membaca adalah sebuah kemustahilan, sedangkan seorang yang membaca terlalu banyak tanpa menuliskannya merupakan kekonyolan. Sila simak dan tafsirkan kalimat barusan, syukur jika ada jus dingin yang menemanimu.
Ketiga, menyiapkan diri untuk berteman dengan kesunyian. Kenapa saya memberi tajuk muka tulisan ini, menulis adalah dunia sunyi?
Realitas adalah guru yang terbaik dalam menulis. Tapi dari dalam prakteknya, ketika menulis kita akan berada dalam kesendirian dan kesunyian. Pengolahan realitas menjadi sebuah tulisan akan membuat tempurung kita berpikir dan proses pengolahannya akan membuat nalar kita terus berpikir, menelaah dan memilah mana yang sesuati dengan keinginan kita.
Dan kesunyian bukan berarti kesepian. Kita bisa dalam hiruk pikuk, tapi tetap saja kita akan merasa sunyi jika harus menulis. Sebab yang ada dalam kesunyian adalah diri kita—dan mungkin anak-anak kita kelak yang bernama tuliasn—ialah yang nanti menjadi teman paling akrab dalam proses menulis.
Selain itu, dunia menulis itu penuh dengan tantangan dan tipu daya. Hanya orang yang memiliki mental baja yang mampu bertahan dari pelbagai terpaan dan ragam godaan. Godaan itu bisa berupa tawaran uang yang menggiurkan dan kebahagiaan transedental yang kerap menipu. Misalnya; menulis yang mencerahkan, menulis dapat kaya dan lain-lain.
Begitu halnya malam ini. Saya bilang ke kawan-kawan mahasiswa baru yang datang ke kontrakan saya malam ini dengan nada agak keras.”Silakan kalian pergi ke tempat lain jika tidak berkarya. Tidak menulis. Aku tidak mau menjadi komunitas gosip.”
Selamat memasuki dunia sunyi bagi yang memilih menulis sebagai bagian dari hidupnya.
2 April
@DedikPriyanto
Label:
catatan harian,
Gramsci,
istirahat.,
jakarta,
kampus,
mahasiswa,
percakapan,
UIN Jakarta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar