Aku tidak tahu harus mengawali darimana suratku ini. Yang pasti, maghrib ini aku merasa begitu kesepian—dan enggan bercerita kepada siapapun. Sebab segala pergolakan dalam arus informasi membuatku semakin sakit kepala.
Oh tidak, maksudku bukan sakit kepala akibat sakit yang segera akan sembuh dengan menenggak aspirin atau cepat reda dengan secangkir kopi pahit. Tapi aku melihat orang-orang pada sakit dan mereka berjalan-jalan dengan sesuka kepalanya; jalan-jalanan memburam, langit yang risau dan udara yang sesak.
Aku merasakan bahwa dunia ini sudah tidak menarik lagi untuk ditempati. Oh ya, bagaimana kabarmu, Kawan! Aktivitas politik tentu akan menyita perhatianmu saat ini. Perihal konsituen yang tersebar di pelosok dan kamu sambangi saban minggu, atau celoteh para seniormu yang berbusa membincang negara.
Aku pernah berkata bahwa aku sungguh tidak simpatik dengan pilihanmu yang terjun ke politik praktis. Kamu pasti akan berkata, ini sebuah pilihan dan memintaku untuk memahaminya. Syukur kalau kamu tidak memarahiku lantas berlirih bahwa aku kontra politik, nirkesadaran dan terlalu berada di menara gading dengan konsep hidupku ini.
Kawan,
Aku sangat memhami pilihan logismu untuk berpolitik. Tapi jangan lupa, bahwa politik itu merupakan seni yang paling kotor. Orang-orang menyebutnya sebagai seni segala kemungkinan.
Kemungkinan bisa menjadi begitu buruk dan begitu tidak menarik untuk disalahartikan dalam koridor sempat aras politik kita yang transaksional model—kamu tentu lebih paham dariku soal beginian.
Satu hal yang pasti, aku masih ingat beberapa percakapan-percakapan kita tempo hari, bahwa toh politik adalah tindakan yang menantang, tapi kita tetap saja tidak pernah melepaskannya, seperti halnya tidak pernah melepaskan diri kita dari negara. Dan lazimnya sebuah tantangan, ia berpotensi untuk sebuah kecelakaan.
Kecelakaan itulah yang kalau boleh memilih—dan aku memilih untuk tidak memilih—harus bisa kamu eleminiasi, bahwa tidak semua kekalahan akan senyap dengan hanya melibatkan prakondisi politik kita yang karut marut selepas Soeharto berkuasa dan ’98 yang menjadi reformasi setengah hati, adalah bentuk tindakan apolitis. Tidak!
Sekali lagi aku tegaskan, tidak! Tentu saja seorang Samin akan tetap menjadi pemelihara walaupun tanpa ada negara, dan ia akan melawan negara. Aku tiba-tiba teringat riungan di warung kopi semalam.”Nikmati hidup sebagai manusia!”
Aku hanya ingin dikenal sebagai manusia, yang bebas. Tapi adakah manusia yang bebas? Bukankah sebuah kebebasan selalu beririsan dengan manusia lain dan konsep kebebasan merupakan bentuk utopia manusia yang kesepian?
Ah, sudahlah, kawan.
Matahari tampaknya sudah bangun dan aku harus segera mematikan komputer. Kamu tahu bahwa aku tidak suka pagi. Sebab pagi menawarkan kegelisahan. Tentu saja untuk ini kita bisa berdebat, dan aku rindu berdebat seorang kawan seperti dirimu. Begitu.
@DedikPriyanto
(Ditulis saat matahari tidur dan diselesaikan saat matahari bangun)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar