Senin, 01 April 2013
Cinta yang Muram di Jalanan Amsterdam
“Bunga dapat menghadirkan cinta, namun juga dapat menghadirkan kematian”
Sosok Jun Ji Hyun dan Jung Wong Sung membuat saya terpantik untuk menonton film bertajuk Daisy (2006) ini. Saya mengenal keduanya lewat dua film melodramatik Korea; I’ll Mare (2000) dan Remember Me (2002) yang liris dan menarik dalam gaya bertutur. Dua film yang penuh emosi dan membuat kamu bertahan menyaksikannya hingga usai.
Sebab dua film tadi merupakan kisah yang ganjil, maka saya berharap kisah film ini akan bertutur dengan menyimpang dan lebih-lebih menjadi narasi yang absurd. Cinta yang ganjil ini maksudnya bukan seperti yang terjadi dalam film kebanyakan; dua orang saling jatuh cinta dengan musuh orang ketiga, atau orang tua yang tidak merestui atau cinta karena persahabatan. Tolong, sediakan keranjang sampah untuk film cinta model begini!
Awal melihat film ini, saya diajak untuk berkeliling di kota Harleem dan Amsterdam. Lengkap dengan suasana jalanan yang ranum; burung dara yang beterebangan, trem yang melintas di tengah kota dan para pelukis jalanan yang menyediakan jasa di jalanan. Lalu, sejurus kemudian diajak untuk mendatangi sebuah sabana di pinggiran kota Amsterdam dan bunga-bunga yang bermekaran menjadi penanda musim semi.
Di sinilah kisah bermula, Jung Ji Hyun yang merupakan seorang pelukis terinspirasi bunga karya Van Gogh dan berusaha untuk melukis hal yang sama. Tapi keinginan itu berbentur dengan terjalnya daerah. Namun ia sudah terpikat dengan sebuah tempat yang—pikirnya—sangat menarik untuk dilukis.
Ia pun harus melewati satu daerah yang terdapat aliran sungai dan hanya satu batang pohon sebagai jembatan. Saat berusaha lewat, ia pun terjatuh ke sungai dan seluruh alat lukisnya terhanyut.
Alat-alat lukisnya itu ditemukan oleh Jung Wong Sung, ia merupakan seorang pembunuh bayaran profesional. Lelaki itu pun bertekad membantu si gadis, tapi ia tidak mau identitasnya diketahui. Maka dibuatkan sebuah jembatan yang besar untuk si gadis dan membuat si gadis pun dapat menyeberang dan melukis pemandangan yang ia inginkan.
Sebab si gadis tidak mengetahui siapa yang menolongnya, maka ia buatkan sebuah lukisan yang ia gantung di jembatan. Selepas hari itu, si gadis selalu mendapatkan bunga daisy tiap tanggal itu di depan rumahnya dan si gadis tidak pernah tahu siapa mengirimnya.
Singkat cerita, di jalanan Amsterdam si gadis yang terbiasa melukis dan menunggu sosok lelaki yang telah menolongnya. Waktu berlalu dan akhirnya ia bertemu dengan sosok pria yang membawa bunga daisy, serta memintanya untuk melukis. Entah kenapa, si gadis ini begitu penasaran dengan lelaki ini.
Lelaki ini merupakan interpool dan kesalahpahaman si gadis dialihrasakan oleh lelaki ini. Mereka berdua lalu merajut kasih dengan kebohongan dari si lelaki yang sedang menyamar mencari tahu soal mafia dan pembunuh bayaran.
Waktu berjalan dan di jalanan Amsterdam kala si gadis bertemu dengan lelaki yang menyamar itu, terjadilah bentrokan antara mafia dan polisi. Si gadis pun terkena tembakan nyasar dan membuatnya kehilangan pita suara. Lalu si gadis ditinggalkan oleh lelaki yang menyamar ini saat ia kehilangan suara dan merasa sendiri.
Pada saat itu, datanglah si lelaki pembunuh minta dilukis. Mereka bertemu dan kisah yang lain bermunculan. Hati gadis itu sudah terluka dan menyatakan bahwa ia tidak bisa mencintai orang itu sebab ia sudah menemukan orang yang menolong dirinya di jembatan. Sosok itu menurutnya adalah si penyamar, bukan si lelaki pembunuh.
Cinta Itu Memberi
Cinta yang tulus akan selalu memberi, itu kata banyak orang. Begitu halnya dengan lelaki pembunuh dalam memosikan diri sebagai orang lain dalam kisah cinta si gadis. Ia pun memberikan segenap perhatian meskipun membuat hatinya miris; mencari si penyamar ke kepolisian tempatnya bekerja, menziarahi kenangan si gadis dengan si penyamar dan memberikan bunga.
Lalu ketika si gadis bertemu dengan si penyamar, ia tertawa miris dan bertanya soal kebenaran siapa orang yang di jembatan. Si penyamar hanya tertawa dan akhirnya ia terbunuh oleh sebuah kasus yang ia kerjakan di mafia. Si gadis pun menuduh si lelaki itu yang membunuh dan di sini pula kedoknya terkuak selepas si gadis.
Ia pun kaget saat mendapati lukisan itu berada di rumahnya dan beberapa kejadian yang membuatnya yakin, ia lah seseorang yang selama ini ia dicari, bukan seorang penyamar. Namun kisah ini berakhir di muram. Persis seperti halnya baku tembak antara pihak intelijen polisi dengan para mafia di film ini yang begitu sering di jalanan Amsterdam.
Ia baru bisa menatap mata si lelaki itu kala ia tertembak peluru. Di akhir kisahnya, ia tersenyum sebab menemukan lelaki yang menolongnya dan hanya mampu diimajinasikannya dalam sebuah kanvas.
Cerita yang berakhir dengan bahagia tapi dibalut dengan sebuah kematian. Kisah cinta yang muram di jalanan Amsterdam dan memantik sebuah penegasan; cinta itu memberi tanpa harus meminta balasan. Pada akhirnya, cinta adalah pencarian atas pelbagai kemuraman dan memberi jembatan yang dicintai merupakan perjalanan sunyi cinta sejati.
Laiknya penggal lirik dalam film ini.”Cinta yang telah aku impikan, semua sangat dekat denganku. Namun yang bisa aku lakukan. Hanya melihatmu dengan kata-kata. Di Kota asing ini, aku hidup hari demi hari melukiskan cinta. Menunggu dan berharap kamu akan berada disini dengan aroma bung daisy. Meskipun terlambat, aku akhirnya mengenalmu.”
3 Maret
@DedikPriyanto
Label:
catatan harian,
Celoteh,
kisah romantis,
review film,
Saddness Story
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar