Gola Gong dan Rumah Dunia |
Tepat. Pada pagi itu, tidak seperti biasanya saya bangun lebih pagi. Banyak yang bertanya ihwal itu, mengapa saya bangun pagi? Tidak seperti biasanya, yang harus menunggu matahari duduk bersila di ufuk timur, dan menikmati secangkir kopi pesanan embun.
Saya bergegas menuju halte UIN Jakarta, saya yakin di sana sudah pasti ditunggu orang-orang. Karena semenjak tadi malam, saya mewanti-wanti untuk berangkat pagi.
Dan ternyata memang demikian. saya sudah ditunggu oleh Erik dkk. Maka kami berangkat menuju Serang, Banten, menaiki Primajasa. Hampir 3 jam kami melalui Jakarta, merak, hingga ke Banten, dan turun di perempatan (entah apa namanya). Naik ojek yang hanya 5 ribu, ke Rumah Dunia; sebuah komunitas yang berada di kampung yang sangat bersahabat.
Adalah Festival Kesenian Banten yang membuat saya tergeragap untuk ke sana. Terbelalak. Begitulah ketika saya melihat riuhnya tempat itu; dengan ornamen bebegig yang menyelimuti tempat yang terdiri. Eksotis dengan pernik tradisonalnya.
Namun, satu hal yang membuat saya kagum adalah perpustakaan yang ada dibelakang tempat festival itu. tepat di samping kantor Gong Publishing, saya melihat ada tumpukan buku yang siap untuk dilahap; baik itu politik, filsafat maupun sastra. Dan itu hanya satu tempat dengan label perpustakaan dewasa. Karena ternyata ada perpustkaan lagi yang dikhususkan untuk anak-anak yang tentunya dengan jenis buku yang tersendiri.
Lelaki itu bernama Gola Gong yang menginisiasi komunitas ini semua, sebagai medium untuk tempat apresiasi kesenian dan balai pendidikan bagi anak-anak jalanan yang kurang mampu. Lelaki yang menghasilkan novel popular “Balada si Roy” pada tahun ’90-an ini dengan segala keterbatasan yang ia miliki—jangan lupa dia hanya memiliki satu tangan untuk menulis—mampu memberi tafsiran berbeda atas makna keterbatasan, bahwa optimisme dan cinta itu lebih besar daripada keterbatasan.
Suatu hal yang menggelitik adalah Ode Kampung, kerap dipahami sebagai medium alternatif kesenian, dan pertemuan senian, sebagai bentuk perlawanan dari hegemoni suatu komunitas atas komunitas yang lain yang di Indonesia. Bahkan juga acap disalah artikan sebagai oposisi dari Komunitas Utan kayu dalam hal standarisasi kesenian.
Paling tidak itulah yang berkembang selama hampir 3 tahun ini. Baik di milis, maupun “perang” di media massa. Dan kebanyakan diwakili oleh kubu Saut Situmorang dkk dengan kubu Sitok Srengenge dkk .
Dan itu juga yang termaktub dalam manifesto mereka saat Ode Kampung #2, yang mempertemukan segala komunitas yang ada di Indonesia dalam satu tempat; rumah dunia.
Ketika saya bertanya tentang ini kepada mas Gong, begitu saya biasa menyapa, ia hanya menjawab sederhana.”Oh tidak benar itu. Kami tidak pernah merasa oposisi atau melawan. Tapi, kita mewadahi bagi setiap orang. Baik itu seniman maupun sastrawan yang ingin belajar, diskusi tentang segala apapun.
Dan Ode Kampung#2 agaknya mengarah hal itu, bahwa tidak ada hegemoni suatu komunitas atas komunitas yang lain. Dan kami tidak pernah menyebut nama. Itu kerjaannya media,” tuturnya, lengkap dengan kacamata hitamnya yang khas.
Berbeda halnya dengan festival kali ini yang lebih bertemakan “nature”. Ketika saya baru datang misalnya, ada suguhan kesenian Banten, dan sore harinya ada perang puisi antara Ahda Imran dan Sihar Ramses Simatupang. Keduanya adalah penjaga gawang rubrik sastra di harian Pikiran Rakyat dan Sinar Harapan.
Pun perang syair antara Chavchay Saifullah dan Bode Riswandi. Dan agaknya diskusi itu jatuh pada dua tema besar; standarisasi puisi dan pergulatan tema dalam puisi yang menukik pada dua bahasan, estetis atawa realis. Lalu acara selanjutnya, diisi dengan malam seni dan pementasan teater abar bertajuk bebegig.
Pementasan bebegig, sumber gambar di sini |
Bebegig artinya orang-orangan sawah dalam bahasa Sunda. Yang membuat pementasan ini begitu riuah adalah orang yang bermain. Bayangkan, ada lebih dari 100 orang bermain bersama di taman lapang. Orang-orang ini membangun dialog yang miris perihal dewa-dewa yang turun gunung sebab bebegig yang mereka ciptakan malah merusak alam.
Pementasan ini coba memotret realitas dunia hari ini yagn penuh dengan keculasan, kemunafikan dan korupsi yang kian menyebar. Bahkan dewa pun marah, apalagi manusia?
Saya dan sahabat saya pun menginap di rumah warga. Kami pun harus merogoh kocek sebesar 25 ribu, tapi yang paling menarik adalah tamu yagn datang dipersilakan untuk langsung bercengkerama dengan warga di Serang.
Menyimak kehidupan mereka dari dekat—lengkap dengan sejarah mereka yang harus dituliskan secara terpisah. Entah kenapa, tiba-tiba saya teringat beberapa seniman dari Serang semacam Misbah Yusa Biran dan peristiwa kanonik 2007 yang menyeret komunitas ini menjadi rumah alternatif untuk melawan ordonansi utan kayu.
Esok harinya, saya dan rombongan menaiki bus yang sudah disediakan untuk pergi ke utara. Menuju laut dan menemui seorang peternak ikan bandeng yagn membuat rumah hijau dengan konsep laut, alam dan modernitas. Namanya Eco Village, rumah di atas tambak bandeng yang menyuguhkan panorama yang sukar untuk dijelaskan. Tempatnya kurang lebih 300 meter dari dermaga Karang Hantu, tempat pelelangan ikan paling terkenal saat itu.
Di tempat itupula, kami memancing, bermain gondola (saya berasa di Venesia), dan membakar ikan bandeng sepuas-puasnya, sebanyak-banyaknya. Saya bersama para turis dari manca lainnya berusaha untuk saling berkejaran naik perahu seperti di film-film itu. kawan dari Lampung, Yudistira, menyebutnya sebagai.”Surga lain dari rumah dunia,” tuturnya.
Banten Eco Village Wong Banten, gambar di sini |
Yang paling menarik tentu saja bakar bandeng. Tungggu dulu, ini adalah bandeng lumpur. Sekali lagi, lumpur. Ikan bandeng dibalut dengna lumpur tambak lalu dibakar. Awalnya saya kurang mengerti, tapi setelah tahu mendapat penjelasan dari instruktur, baru saya mengetahui bahwa ini adalah tradisi adat dan secara medis malam membuat bandeng semakin sehat. Terlepas dari itu, rasa bandeng dengan dibakar lumpurnya ini sungguh menggoda iman. Eureka.
Kira-kira pukul 2 siang, rombongan harus segera meninggalkan Eco Village. Kami langsung berjalan menuju Banten tengah, ke arah kerajaan Banten lawas dan menyaksikan pelbagai peninggalan di sana. Sekali lagi, saya tersentak dengan riuhnya pengunjung ke kerajaan—serupa dengan makam-makam sunan-sunan di Jawa Timur. Namun di sana saya tidak bisa lama, sebab malam kian beringsut dan harus mengejar bus ke Jakarta.
Dari Serang, saya minta ijin ke Mas Gola Gong dan Tias Tantaka, kami sempat berfoto bersama dengan beberapa kawan dari lintas komunitas dan tentu saja melihat lebih dekat dengan surga itu, surga bagi mereka yang menyukai kreativitas dan perlawanan.
Ah, kapan saya bisa ke sana lagi.
Jakarta, 20 Desember 2010
@DedikPriyanto
Sebuah Sore saat saya bangun tidur dari perjalanan melelahkan tiga hari di Banten.
NB: Saya terkaget ketika menemukan lagi tulisan ini, ternyata saya bikin catatan pelesir ke Serangn di tahun 2010 silam. Saya edit sedikit soal EYD tanpa mengurangi isi. Sayang sekali, foto dari kami semua hilang karena kawan saya, Yudistira, terkena musibah kala ia balik dari Lampung, kapalnya kecelakaan dan seluruh barang, termasuk kamera DLSR, laptop dll habis terlalap api, beruntung kawan saya tidak menjadi korban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar