(Selo atau Sibuk... zzzzzz) |
Saya jadi terpantik, sebenarnya apakah hidup kita memang selo atau memang kita butuh selo untuk bisa menikmati hidup atau selo memang menjadi sebuah tujuan! Tapi sebelum kesana, mari kita beremeh-temeh soal kata selo.
Terlahir dari bahasa inggris ‘Slow’ yang bermakna ‘santai’. Tentu saja kata ini merupakan pendadaran dari bahasa prokem (baca: bahasa pop) yang coba mendefinisikan diri sendiri dalam bentuk ketidakberdayaan yang ringan.
Maksud saya, selo ini merupakan bentuk aktivitas yang meniadakan membutuhkan aktivitas yang membuat dahi berkerut, keringat bercucuran dan menghabiskan waktu laiknya pekerjaan lainnya, atau bahasa dalam bahasa sederhana; waktu senggang.
Di kawan-kawan Jogja—atau mungkin saya salah, tapi saya menemukan pertama kali di blogger dari Jogja—ada istilah yang cukup membuat saya terpingkal-pingkal sebagai bentuk kritik terhadap urban culture yang dihinggapi kelas pekerja di kota.
Khususnya mereka yang menghabiskan diri untuk bergelut dengan aktivitas pekerjaan yang hipokrit, sibuk dan kadang menjemukan. Menjemukan, sebab segala kesibukan itu seakan meniadakan kreativitas sebagai tumpuan jelajah yang harusnya dipakai manusia untuk menelisik tiap pekerjaan agar paripurna, dan mencipta hal yang baru.
Bukan malah menjadi peneguh atas kelas pekerja dan kesibukan yang kian membuat manusia menjadi rudin dan ringkih.
Kalimat itu berbunyi begini “menselokan masyarakat dan memasyarakatkan selo.”
Pertama kali saya bertemu kalimat ini beberapa tahun silam, saya jadi berpikir, apakah ini dipopulerkan oleh mereka-meraka yang tidak punya pekerjaan atau memang sebagai bagian dari budaya massa; bentuk anti tesis dari lema kebudayaan massa yang terus mencari.
Proses pencarian ini selalu nirkapital dan berusaha meneguhkan diri dalam bentuk yang lebih muda dan cenderung radikal. Bahkan tak jarang menjadi basis perlawanan terhadap hegemoni kebudayaan yang dicipta mainstream.
Generasi biru (hippies) di Amerika medio 60 an yang akrab dengan narkoba, sex dan urakan merupakan bentuk tesa sederhana untuk memantik perihal perlawanan terhadap kebudayaan mainstream.
Pihak yang berkuasa ini biasanya coba berusaha menaklukan perlawanan ini dengan pelbagai tuduhan; sebagai gerakan anak bawang, rendahan dan tak bermutu. Namun, fakta berbicara lain, gerakan perlawanan ini malah menyebar dan laku di antara para anak muda.
Ujungnya tetap serupa, proses vis a vis yang sengaja digerakkan oleh kaum biasa ini tercium oleh kapital. Identifikasi yang dilakukan pun berujung pada proses material yang berbentuk sendu; membentuk gumpalan yang kurang lebih sama dengan kebudayaan mainstream yang mereka lawan, dan berakhir dengan harakiri. Kata Chairil, mati iseng sendiri.
(Ah, siapa pula yang mengajak saya berbicara soal hippies)
Tapi, baiklah, saya tidak akan berbicara panjang lebar soal gerakan perlawanan mainstream ini. Toh masih banyak yang lain dan seperti halnya yang saya cakapkan di muka, saya hanya ingin berbicara remeh temeh soal Selo.
Persoalan selo ini masih mengganggu pikiran saya. Toh, orang yang mendaku diri sebagai kaum selo bisa dicurigai sebagai mereka yang memagn tidak punya kesibukan dan pekerjaan.
Orang yang tidak punya pekerjaan biasanya akan mencari-cari alasan agar terlihat memiliki kesibukan atau paling tidak mereka akan mencari segela pembenaran untuk meneguhkan posisi mereka sebagai menusia nirpekerjaan. Syukur-syukur ia tidak pergi ke tempat anda, merajuk dan minat dikasih pekerjaan.
Tapi tunggu dulu, itu satu model.
Konon, Tan Malaka, pejuang kesepian itu, merupakan seorang penggangguran. Suatu hari ia ditanya oleh ibunya perihal pekerjaan. Sebagai orang tua, tentu saja ibunya sedih melihat anaknya itu luntang-lantung tidak jelas.
Untuk membuat ibunya gembira dan tidak sedih lagi, ia mengaku sudah mendapatkan pekerjaan. Ia pun membiasakan diri untuk tiap pagi pergi ke luar rumah dan pulang pada malam harinya seperti halnya orang kerja. Ketika ia ditanya, ia hanya menjawab.
”Saya bekerja di Komintern, Bu.”
Kira-kira begitulah Tan Malaka berkilah. Jika mau teliti, apakah itu komintern? Bukankah itu akronim dari Komunisme Internasional?
Betul, komintern merupakan sebuah organisasi dan lazimnya organisasi, tentu saja bukanlah tempat untuk bekerja lazimnya kebanyakan orang. Tapi sejarah membuktikan, orang yang selo seperti Tan Malaka yang mula berimajinasi tentang sebuah republik masa depan yang bernama Indonesia melalui bukunya Naar de Republic (1927).
Buku mungil yagn diselundupkan ke tanah air itu itu yang menjadi pegangan para pejuang dan juga menginspirasi WR Soepratman membuat Indonesia Raya—WR Soepratman ini merupakan Ahmadiyah, jadi jika ada yang diskriminatif terhadap mereka sungguh orang-orang ini tuna sejarah.
Nah, persoalan selo dan pengangguran ini ada guyonan di antara teman-teman. Kira-kira begini;
”Janganlah kalian buat diri kalian sibuk, toh karena menggaggur Bung Karno dan Hatta mampu membuat pekerjaan?”
“Apa maksudnya?”
“Lah, iya. Coba kalau mereka punya pekerjaan tetap, pasti ya disibukkan pekerjaan.”
“Wah, bisa diuraikan?”
“Sebab mereka tidak punya pekerjaan. Jadi ya pekerjaannya mikir. Mikir apalagi kalau tidak mikir negara. Maka jadilah Indonesia berawal dari tangan para penggangguran.”
Saya tergelak dan sukar menahan untuk tidak ketawa.
***
Persoalan selo ini memang biasa dan sederhana. Tentu saja kita tidak bisa menyamaratakan semua pekerja sonder bertanya perihal apa yang dikerjakannya.
Bahkan jadi, orang yang sukar mendapatkan waktu selo adalah mereka yang sedang memperjuangkan keadaan negara—seperti kekasih saya yang nun jauh disana, barangkali.
Atau bisa jadi, mereka yang tidak memiliki waktu selo adalah pengabdi kapita.
Atau bisa jadi orang yang selo adalah penggangguran.
Atau bisa jadi orang selo adalah aku.
Ciputat, 3 April
@DedikPriyanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar