Tendang, Terjang, Hadang

Sabtu, 02 Juni 2012

Tan Malaka: Rebut Kembali Kemerdekaan 100 %

wawancara imajiner dengan Tan Malaka
Oleh: Dedik Priyanto



Hati dan jiwa Datuk Ibrahim Tan Malaka  (114 tahun) tak pernah padam untuk Indonesia. Dalam pelariannya di hampir sepertiga dunia, ia masih terus menunjukan kecintaan kepada negara dan pengetahuan. Terlihat ia membawa sebuah buku dan pena.


Begitulah kegiatan sehari-hari lelaki yang dijuluki macan dari lembah Suliki ini. Mengapa ia terlihat gusar melihat kondisi saat ini? Sambil tertawa, sosok yang selalu berapi-api jika berbicara tentang nasionalisme itu bercerita tentang keadaan negara saat ini.


Bung, bagaimana anda melihat negara Indonesia?

Saya terenyuh dengan pertanyaan anda, Bung. Kenapa harus Indonesia. Bukankah kita belum merdeka. Di mana-mana masih saja merasa tertindas. Apa itu makna kemerdekaan.

Tapi bukankah Indonesia sudah 66 tahun merdeka?

Benar. Itu secara tertulis. Namun, bukan itu yang saya maksud. Kemerdekaan dapat terjadi tatkala kita mampu berdiri sendiri. Di atas kaki kita sendiri. Tidak ngikut ke asing. Dimana logikanya? Nah, itu tidak terjadi saat ini.

Termasuk juga soal kedaulatan NKRI?

Orang jaman sekarang itu harusnya berbahagia tidak mengalami pengejaran seperti yagn saya alami. Sipadan dan Ligitan sudah menjadi contoh nyata. Kadang saya berpikir, kenapa pemerintah sekarang ini begitu konsisten dalam kebodohan mereka? Apakah tidak berpikir bahwa untuk memperjuangkan dan menyejahterakan rakyat, tidaklah kepintaran saja. Bahkan nyawa harus siap dipertaruhkan.

Kasus kepulauan Camar Bulan menarik. Karena pemerintah menyatakan bahwa kita masih negara berdaulat. Bagaimana menurut bung sendiri?

Tidak ada bagaimana. Coba anda tengok lagi! Dalam segala sendi kita menjadi budak asing. Kita tidak bisa menggunakan apa yang seharusnya menjadi hak kita. Tanah ini milik kita. Tidak ada satu jengkal pun yang boleh diambil orang. Ini menjadi bukti landasan teoritik mereka dalam membangun mental bernegara tidak ada. Bahkan menjadi kecil di mata internasional. Kebanyakan hanya memaknai politik sebagai cara memperoleh kekuasaan, bukan kekuataan untuk memerangi ketertindasan dan ketidakadilan. 

Seperti yang anda tulis di Madilog dan Naar de Republic, bukan?

Bah, saya sudah menuliskan banyak hal kepada kau, anak muda. Termasuk dua itu. Coba tengok, bukankah negara ini sudah tidak lagi menjadi dirinya sendiri. Kebudayaan sendiri. Banyak hal yang harusnya terjadi bagian dari kita. Benar. Kalau bung baca lagi. Maka akan menemukan bahwa kolonialisme telah berubah bentuk. Termasuk hegemoninya yang tidak lagi tertentu pada meterialisme semata. Untuk itu perlu ditelaah secara dialektik, dan menggunakan logika yang tidak semata rasional, melainkan harus teoritik. Karena lawan kita menggunakan tiga pisau itu untuk mencengkeram Indonesia.  

Lalu, sebagai generasi hari ini, apakah harus berdiam diri?

Itulah yang sering dikatan orang hari  ini, ia merasa inlander. Tidak. Harus berani bercakap dan tanggap. Banyak baca buku, sering berjalan untuk melihat realita, dan jangan lupa selalu berpikir kritis yang dialektis. Tujuannya cuma satu, rebut kembali kemerdekaan kita. Kemerdekaan 100 % milik, dan untuk rakyat. Tidak ada kata lain. Sudah terlalu lama rakyat menderita. Berikan darahmu untuk tanah air. Usir orang asing yang merusak negara ini. Revolusi, hanya itu.
            
Dilema Sang Revolusioner

Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 – wafat di Jawa Timur, 21 Februari 1949. Seorang pemimpin pergerakan, dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Jauh sebelum tokoh-tokoh yang lain membincang kemerdekaan, ia sudah menabuh genderang menyuarakan kemerdekaan, dan mempublikasikan pemikirannya yang membincang soal negara dan relasinya dengan kolonialisme. Madilog adalah bukunya yang paling terkenal, dan menjadi pegangan para aktivis gerakan pada masa itu. Namun, kematiannya begitu tragis, karena dibunuh oleh bangsanya sendiri di Kediri, dan misterius sampai sekarang.  


(2011)