Tendang, Terjang, Hadang

Rabu, 25 April 2012

Mengintip Jakarta Lewat Kue Subuh


sebuah catatan kuliner
oleh : Dedik Priyanto


Pria paruh baya itu sedang memanaskan motor di depan rumah yang berada di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Di samping lelaki itu telah berjejer dua keranjang besar yang berisi aneka ragam kue kering dan basah, Lima menit sebelum pukul satu pagi. Tak berapa lama, ia pun menaruh keranjang besar itu di jok belakang motor, sembari diikat dengan sebuah tali. Lelaki itu bernama Sabuan (41 th), seorang pedagang kue subuh. Dirasa siap, dipaculah motor menuju Pusat Jajanan Kue Subuh Pasar Senen,

Kala kebanyakan sivitas sedang terlelap tidur, ia terus memacu motornya di jalanan yang lengang. Kurang dari setengah jam ia sampai. “Tidak ada macet kalau malam. Enak, bukan!” tandasnya, yang kalau malam hari, ia memilih jalur Tebet-Salemba, jalan yang tidak akan dipilihnya ketika siang karena sering macet. Waktu menunjukan pukul 02.00. WIB, beberapa motor sudah terparkir di luar area blok III PD. Pasar Senen. Beberapa kios dengan aneka jajanan pun mulai terjejer dan saling berebut perhatian para pembeli yang datang ke tempat ini.

Geliat perdagangan di pusat jajajan ini sebenarnya sudah mulai berhembus sejak matahari tenggelam, dan mulai ramai tatkala menjelang atau setelah azan subuh berkumandang. Perpindahan antara para pedagang pun terjadi dengan simfoni yang teratur. Ketika pagi dan siangnya dipakai untuk aneka baju dan pertokoan. Sedang pada malam hari, para pedagang kue mulai merapikan dan berbenah tempat berjualan, serta menempatkan kue-kue yang dijajakan.

“Kalau datang malam hari, berbagai mobil berjejer panjang di sini. Ramai sekali. Apalagi kalau menjelang pagi, ” ujar Romi (37 th), padagang asongan yang tiap hari mangkal di depan Pasar Senen sembari menunjuk areal jalan raya yang sering dipakai buat parkir. Tepat berada di depan Blok III, dibawah jembatan yang sedang berlangsung.



Beberapa kue basah yang dijajakan di antaranya adalah lemper, cucur, risol, dadar gulung, bolu, lapis kanji, bika, pastel, tahu is, pastel, dan kue soes. Selain itu, ada juga kue kering yang diwadahi toples transparan seperti kripik singkong, tempe kering, kastangle, kacang atom, dan nastar, dan lainnya. Tidak hanya jajanan tradisional saja dijual. Pun makanan yang didaulat modern tak luput menunggu pembeli datang seperti brownies, donat, blac forest, pizza bahkan aneka kue tart untuk ulang tahun.

“Beberapa kali juga ada yang pesan sehari sebelumnya, dan kita akan membuatkannya,” papar Yati (34 th) yang juga menceritakan tentang banyak mahasiswa yang sengaja datang pagi hari untuk membeli kue tart bikinannya, guna memberi kejutan temannya yang sedang ulang tahun. Tepat sebelum mereka bangun tidur. “Ya, tidak akan ketemu di toko kue biasa, Mas, kalau pagi hari begini,” imbuhnya sembari menunjukan beberapa jenis kue yang sudah dipesan.

Harga yang dipatok juga tidak tarlalu menguras kantong pembeli. Harga yang ditawarkan tergolong miring. Misalnya, kue basah semacam pisang goreng dijual Rp500-1.000/potong, kue kering Rp2.500-15.000/toples, atau yang sudah diberi wadah dengan pelbagai macam kue bisa Rp. 5000/pcs. Sedang untuk kue yang agak besar seperti kue tar, brownies, cake pisang dll dilepas dengan kisaran Rp25.000 sampai Rp100.000.

“Misalnya, yang ini (menunjuk sebuah kue-red) kalau sudah agak siang, saya menjualnya dengan harga yang lebih murah. Bisa-bisa setengah harga. Seperti kue ini, sebungkus yang isinya banyak ini, 2 ribu saya jual,” tambah Sabuan yang jam sembilan pagi sudah balik ke rumahnya.

Omzet yang para pedagang pun bervariasi. Ada yang sampai 2 juta/bulan, bahkan 5 juta/bulan tergantung dari jumlah yang terjual. Rata-rata penjual di sini bukan pemilik langsung, mereka menjualkan milik pemodal yang telah menyiapkan kue. “Enaknya, kita hanya menjual. Jadi kalau siangnya saya bisa tidur, dan kerja pada malam hari. Gajinya pun cukup, dan tidak perlu membayar sewa karena sudah diurus bos, ” tutur pria yang enggan disebutkan namanya dan mengaku baru dua tahun berjualan di pasar ini.

Adalah Justinus Cornelis Vincke, pejabat VOC yang mula mengendus bahwa Batavia yang mereka kuasai nantinya akan menjadi kota besar dan ramai. Untuk itu, di samping dijadikan pusat pemerintahan, tentu membutuhkan pusat perdagangan yang mampu menjadi titik perekonomian. Pada tahun 1735, lelaki yang juga arsitek ini membangun pasar yang letaknya tak jauh dari lokasi Istana Weltevreden, dan berdekatan dengan Pasar Tanah Abang yang lebih dahulu eksis, dan diberi nama Vincke Paseer, serta beroperasi hanya pada hari senin. Lambat laun, masyarakat pun menyebutnya dengan pasar senen.



Pada tahun 1795, guna memudahkan akses transportasi dua pasar buatannya, Tanah Abang dan Senen, Vincke membangun sebuah jalan yang menghubungkan keduanya dan membujur timur ke selatan, karena dirasa Pasar Senen lebih menjanjikan dibanding Tanah Abang yang didiami oleh kebanyakan warga Arab dan keturunan. Perkembangannya pun begitu pesat, hingga lambat laun mulai menggantikan kawasan Kota, Jakarta Barat, sebagai pusat pertemuan para warga Jakarta, tidak hanya ekonomis, melainkan tempat bertemunya segala elemen masyarakat.

Lamat-lamat terdengar suara azan berkumandang di antara riuhan pembeli yang mulai berjubel memenuhi kios-kios yang menjajakan pelbagai macam kue. Terdengar tawar menawar harga diselingi tawa dan candaan para penjual yang mencoba memikat para pembeli dengan gurauan khas mereka. “Ayolah, ini bolu paling murah se dunia. Tidak ada di tempat lain. Silakan dicicip,” ujar salah seorang penjual kepada Romlah (43), yang mengaku membeli kue di sini untuk dijualnya kembali di tempat asal.

“Karena saya menjualnya kembali. Toh, sudah punya banyak langganan di sini. Jadi ya, di sini pusatnya murah,” tukasnya sembari melirik ke arah penjual, tak lama setelah ia mencoba sebuah kue bolu. Ia pun menuturkan bahwa dibanding kue subuh yang lain. Di Jakarta sendiri ada sekitar titik pasar serupa, yakni di kawasan Blok M, Jatinegara dan Bintaro.



Para pembeli ini datang dari pelbagai macam tempat di seantero Jakarta. Kebanyakan dari mereka adalah para pedagang yang menjual kembali jajanan yang dibelinya di tempat mereka masing-masing. Ada pula yang membeli dengan borongan, dengan jumlah yang partai besar.”Seringkali kalau ada hajatan, pembeli akan membeli dengan harga borongan. Wah, kalau seperti itu kita jadi senang. Karena akan ada tambahan,” paparnya.

Geliat perekonomian di Pasar ini semakin menunjukan kemajuan yang signifikan. Sejak era 1900-an, pasar senen tumbuh sebagai pasar yang paling modern pada masanya, dan didominasi oleh orang-orang Tionghoa dan para perantau yang datang dari berbagai penjuru Indonesia. Begitu halnya selepas kemerdekaan. Dibangunnya, Terminal dan Atrium Senen semakin menambah ramainya Pasar Senen. Termasuk Pasar Kue Subuh yang mulai tumbuh pada tahun 70-an hingga sekarang.

Pada masa masa Ali Sadikin menjadi gubernur DKI, bangunan lama mulai dihancurkan dan dibangun Proyek Senen yang modern. Ini membuat pasar semakin ramai walau berada di tengah himpitan pusat perbelanjaan modern yang terus menggurita. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, para pedagang inipun bergabung dan membuat organisasi Paguyuban Pedagang Kue Pasar Senen (PKPS), yang diharapkan menjadi payung pelindung bagi mereka tatkala mempunyai masalah.

Pagi mulai menyingsing, beberapa kios sudah merapikan tempat dagangannya untuk diamankan. Tak ayal, Sabuan harus secepat pula merapikan tempat dagangannya. Tepat pukul 08.00 WIB, ia harus bergantian tempat dengan para pedagang baju yang akan menjajakan dagagannya. Setelah dianggapnya rapi, ia kembali menghidupkan mesin motor untuk kembali ke rumah. Lelaki yang harus menghidupi dua orang anak, Sari (5 th) dan Andri (16 th), apalagi tahun depan anaknya akan memasuki jenjang sekolah menengah.

“Iya, beginilah hidup. Ini demi anak dan istri,” tutupnya sembari memacu motor meninggalkan pasar Senen.

Begitulah, Jakarta tiada pernah tidur, dan barangkali kehidupan juga demikian; tidak pernah akan tertidur.

NB: Tulisan bisa dibaca di portal angkringanwarta.com atau di link tulisan di sini

Senin, 23 April 2012

Bung Karno dan Persatuan Yang Dilupakan


Catatan narasi seusai kelas di Sekolah Pemikiran Pendiri  Bangsa (SPPB) di Megawati Institute, diampu Bu Mega, Yudi Latif dan Peter Kasenda
Oleh: Dedik Priyanto


Membincang Bung Karno memang tidak akan pernah selesai dengan satu paradigma berpikir. Banyak varian yang ternyata kalau diceruk lebih dalam, banyak yang  tidak kita sadari. Salah satu di antaranya adalah nasionalisme dan persatuan, yang menurut Peter Kasenda, adalah ruh dari pelbagai banyaknya spektrum yang digarap sang  pemimpin besar Revolusi.

Dalam orasinya, Ibu Megawati Soekarnoputri, yang merupakan anak biologis Bung Karno, menarasikan hidupnya tatkala orba memimpin negara, dan perlakukan tidak layak yang diterima. Bukan hanya itu, banyak anak ideologis mereka yang tidak dapat mengecap pendidikan, bahkan terlempar dari masyarakat, hanya karena kekuasaan an sich

Fakta terpapar dengan gamblang ketika ibu membawa buku ‘Di Bawah Bendera Revolusi’ dan cukup mengagetkan ketika ia menyayangkan teman-teman muda yang dinilai keluar dari rel perjuangan. Hal ini sangat kontras dengan jaman para Founding Fathers, yang tidak hanya mencurahkan seluruh dirinya untuk negara, lebih dari itu ketidakmampuan anak muda sekarang yang—bahkan—sering berperang dengan sesama. Ini karena tidak adanya musuh bersama seperti pada jaman kolonial.

Kolonialisme gaya baru inilah yang harus diperhatikan oleh banyak kaum muda. Peter Kasenda menyebut Soekarno sebagai ‘pemersatu’. Ini pula yang menjadi titik diskusi, bagaimana bisa dikatakan pemersatu jika Nasakom yang dibuatnya justru membelah negara?

Tiga konsep yang digabung ini, kerap dicederai dengan pemerataan soal komunisme. Bahwa segala yagn berbau Nasakom adalah komunis, dan tidak ada yang lebih jahat dari komunisme di dunia ini, karena bagi mereka yang paling penting adalah revolusi. Cara pandang seperti ini yang ditiupkan oleh orba, bahwa penyamarataan komunisme dengan Soekarno menjadi bias, jika kita berkaca pada konsep Nasakom.

Bagaimana Nasionalisme dikebiri menjadi sangat kecil bernama Komunisme/sosialisme?

Peter Kasenda dengan menyitir Ruth Mc Avey (1986),  menyatakan sebagai sebuah ‘ketakutan’ terhadap ide besar sang pemimpin. Bahkan seperti ditulis dalam makalah seluruh kegiatan mereka dikebiri, kegiatan politik, dibatasi lebih lanjut sehingga hampir tidak mungkin bagi para pemimpin Indonesia untuk menyebarkan ide-ide kritis ( Ruth McVey, 1986 : 30 - 31 )

Agama sebagai bagian Nasakom lebih banyak dihuni orang islam Nasionalis (NU) dibandingkan yang bercorak islam kenegaraan semacam Masyumi dlsb. Mahbub Djunaidi adalah pencatat yang cukup baik tentang ini, bahkan ia menyebut pikiran Soekarno tentang Pancasila sebagai falsafah yang hakiki, bahkan lebih sublim dari Declaration of Indepence nya Thomas Jefferson dan Komunisme Hegel dan Marx.

Penulis bertanya tentang keterkaitan orang eks-PSI (Partai Sosialis Indonesia) dalam meruntuhkan pemerintahan Soekarno, dan bagaimana kaum eksil menjadi orang berdiaspora di negara-negara timur. Peter Kasenda memberi jawaban yang cukup gamblang, bahwa inilah salah satu cara mereka berdiplomasi sebagai partai kecil dan berafiliasi ke barat.

Menarik lagi ketika Budiarto Shambazy menambahkan soal peran militer. Terutama soal dewan jenderal yang dihembuskan oleh mereka. Terlihat sangat jelas bagaimana isu ini menjadi garing. Dan menemukan banyak eksil yang menjadi orang yang cukup berpengaruh di tempat pembuangan. Misalnya, ada beberapa yang jadi guru besar di Hongaria, Rusia, dan negara di timur. Dan karena Soeharto, mereka tidak bisa pulang karna dianggap bagian dari bung Karno.

Jika menengok pendapat Ruth Mc Avey bahwa antara Aidit dan Njoto terjadi perbedaan yang signifikan tentang gerakan komunisme. Bahwa Aidit mengingkan revolusi secara cepat, sedangkan Njoto ingin perlahan dengan memerhatikan situasi, serta perkembangan Soekarno. Untuk itu, ia tidak setuju dan cenderung tidak tahu menahu ihwal kudeta PKI.  

Hingga  peristiwa ini sebagai alat politik menjungkilkan pemerintahan Demokrasi Terpimpin. Selepas itu, tak ayal ketegangan terbangun. Soekarno dihimpit olehi semua sisi orba. Bahkan para anak ideologis dan biologisnya tidak mendapatkan akses yang layak sebagai warga negara. Ini pula yang diwartakan Bu Mega, bahwa di jaman kolonial pun pendidikan bisa agak mudah mereka terima, tapi keti bangsa sendiri yang memimpin sangat  berebda. Mereka kesulitan mengakses pendidikan. 

Inilah ironi, terlepas dari itu Bung Karno tetaplah pemersatu yang kadang dilupakan oleh bangsanya sendiri. 

NB: tidak sengaja saja saya menemukan tulisan ini, saya tulis ulang dan beginilah hasilnya. Tanpa diubah isi. 


Tan Malaka: Rebut Kembali Kemerdekaan 100 %


Wawancara Imajiner dengan Tan Malaka
Oleh: Dedik Priyanto

Hati dan jiwa Datuk Ibrahim Tan Malaka  (110 tahun) tak pernah padam untuk Indonesia. Dalam pelariannya di hampir sepertiga dunia, ia masih terus menunjukan kecintaan kepada negara dan pengetahuan. Terlihat ia membawa sebuah buku dan pena.

Begitulah kegiatan sehari-hari lelaki yang dijuluki macan dari lembah Suliki ini. Mengapa ia terlihat gusar melihat kondisi saat ini? Sambil tertawa, sosok yang selalu berapi-api jika berbicara tentang nasionalisme itu bercerita tentang keadaan negara saat ini.


Bung, bagaimana anda melihat negara Indonesia?
Saya terenyuh dengan pertanyaan anda, Bung. Kenapa harus Indonesia. Bukankah kita belum merdeka. Di mana-mana masih saja merasa tertindas. Apa itu makna kemerdekaan.

Tapi bukankah Indonesia sudah 66 tahun merdeka?
Benar. Itu secara tertulis. Namun, bukan itu yang saya maksud. Kemerdekaan dapat terjadi tatkala kita mampu berdiri sendiri. Di atas kaki kita sendiri. Tidak ngikut ke asing. Dimana logikanya? Nah, itu tidak terjadi saat ini.

Termasuk juga soal kedaulatan NKRI?
Orang jaman sekarang itu harusnya berbahagia tidak mengalami pengejaran seperti yagn saya alami. Sipadan dan Ligitan sudah menjadi contoh nyata. Kadang saya berpikir, kenapa pemerintah sekarang ini begitu konsisten dalam kebodohan mereka? Apakah tidak berpikir bahwa untuk memperjuangkan dan menyejahterakan rakyat, tidaklah kepintaran saja. Bahkan nyawa harus siap dipertaruhkan.

Kasus kepulauan Camar Bulan menarik. Karena pemerintah menyatakan bahwa kita masih negara berdaulat. Bagaimana menurut bung sendiri?
Tidak ada bagaimana. Coba anda tengok lagi! Dalam segala sendi kita menjadi budak asing. Kita tidak bisa menggunakan apa yang seharusnya menjadi hak kita. Tanah ini milik kita. Tidak ada satu jengkal pun yang boleh diambil orang. Ini menjadi bukti landasan teoritik mereka dalam membangun mental bernegara tidak ada. Bahkan menjadi kecil di mata internasional. Kebanyakan hanya memaknai politik sebagai cara memperoleh kekuasaan, bukan kekuataan untuk memerangi ketertindasan dan ketidakadilan. 

Seperti yang anda tulis di Madilog dan Naar de Republic, bukan?
Bah, saya sudah menuliskan banyak hal kepada kau, anak muda. Termasuk dua itu. Coba tengok, bukankah negara ini sudah tidak lagi menjadi dirinya sendiri. Kebudayaan sendiri. Banyak hal yang harusnya terjadi bagian dari kita. Benar. Kalau bung baca lagi. Maka akan menemukan bahwa kolonialisme telah berubah bentuk. Termasuk hegemoninya yang tidak lagi tertentu pada meterialisme semata. Untuk itu perlu ditelaah secara dialektik, dan menggunakan logika yang tidak semata rasional, melainkan harus teoritik. Karena lawan kita menggunakan tiga pisau itu untuk mencengkeram Indonesia.  

Lalu, sebagai generasi hari ini, apakah harus berdiam diri?
Itulah yang sering dikatan orang hari  ini, ia merasa inlander. Tidak. Harus berani bercakap dan tanggap. Banyak baca buku, sering berjalan untuk melihat realita, dan jangan lupa selalu berpikir kritis yang dialektis. Tujuannya cuma satu, rebut kembali kemerdekaan kita. Kemerdekaan 100 % milik, dan untuk rakyat. Tidak ada kata lain. Sudah terlalu lama rakyat menderita. Berikan darahmu untuk tanah air. Usir orang asing yang merusak negara ini. Revolusi, hanya itu.

Dilema Sang Revolusioner

          Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka lahir di Nagari Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 – wafat di Jawa Timur, 21 Februari 1949. Seorang pemimpin pergerakan, dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
 Jauh sebelum tokoh-tokoh yang lain membincang kemerdekaan, ia sudah menabuh genderang menyuarakan kemerdekaan, dan mempublikasikan pemikirannya yang membincang soal negara dan relasinya dengan kolonialisme. Madilog adalah bukunya yang paling terkenal, dan menjadi pegangan para aktivis gerakan pada masa itu. Namun, kematiannya begitu tragis, karena dibunuh oleh bangsanya sendiri di Kediri, dan misterius sampai sekarang.  


Saya dan Beberapa Buku yang Pernah Terbit

Oleh: Dedik Priyanto

Saya pernah menulis beberapa buku. Ya, walaupun itu hanyalah buku biasa, tapi ini cukup berarti untuk perkembanganku dalam menulis. Minimal sebagai rekam jejak sebelum serius menapaki dunia kreatif menulis. Berangkali  kalau  mati muda, minimal aku punya sesuatu yang bisa dikenang.


1). Demam World Cup 2010. Buku tentang Piala Dunia 2010, saya menulis ini dengan teman saya, Desy Arisandy, perempuan misterius yang   hobinya nonton bola. Khususnya tim idolanya yang sempat berkibar, Persita Tangerang.  Pernah dibedah di beberapa tempat, semisal IBF Bogor, UIN dll. Buku ini, katanya sih, sudah cetakan kedua, saat itu. Tapi ini kan fresh book dan insidental.

Saya survei kecil-kecilan, ini buku tentang piala dunia kedua setelah 100+ Fakta Unik Piala Dunia yang ada di Toko Buku, khususnya Gramedia, dan selepas itu, Beuh, banyak nian buku dengan genre yang serupa.  Terpampang di rak-rak buku. Mereka kreatif, tap bukan assabiqunal awwalun. Sekali lagi, bukan Sang Pemula.



2).  Bolot, lagi-lagi soal sepakbola, tapi ini lebih kepada bacaan terhadap teman muda yang sedang tumbuh. Terbit 2011


3). Pemuda dalam Pergerakan (Sebuah Refleksi) ini yang paling misterius, saya malah tidak punya hard filenya. Hilang. Refleksi sejarah, sayang saya dulu belum memiliki pengetahuan sejarah yang cukup. kalau ini saya tulis sekarang, perspektifnya tentu berbeda. Misal, pasti ada Tan Malaka, Cokroaminoto dll di situ.  Tapi, beginilah sejarah. Kadang kita tidak tahu kapan akan menuliskannya.


4). Kado Terindah Rafi dan Sampah Mak Isah (2010) Ini cerita. yang pertama, cerita tentang anak, persahabatan dan keluarga. Awalnya judulnya bukan ini, tapi diganti ama penerbit. Untuk judul asli lebih keren, tapi menjadi rahasia gue aja :p. Sedangkan kedua, merupakan kisah inspiratif tentang masyarakat kita. Keduanya untuk menemani mereka yagn sedang tumbuh. Saya tulis bersama kawanku, Erik Purnama S dan Farabi Fardiansyah. Sekarang mereka dua malah jadi jurnalis. Entah. Mungkin mengikuti jejak saya: menjadi pewarta berita.




Dari Semua, Barangkali buku di bawah ini yang paling saya suka dan merasuk dalam hati. Betapa tidak, saya bersama kawan di Komunitas Senjakala membuat Kumcer pertama di UIN Jakarta. Bukan karena pertamanya, tapi karena perjuangannya. Entah, sekarang hanya tinggal saya dan Zaki yang masih bertahan. Minimal untuk sekadar menulis dan terus berkarya.
Antologi Cerpen Sunyi;
Dedik Priyanto, Zakky Zulhazmy dkk


Begitulah, Mungkin beberapa buku yang di atas bukanlah apa-apa. Tapi bagi saya, mereka tetaplah bagian dari sejarah hidupku yang akan selalu tergoret dalam dinding dada ini. Semoga saja akan terus berkarya. Dan harus berkarya dengan serius.

Hidup hanya sekali, untuk itu, mari harus menjadi orang berarti!

23 April, selamat hari buku!

Kamis, 19 April 2012

Dede Supriyatna membincang Dedik Priyanto

Ternyata, Ia penggemar Bola

Oleh Dede Supriyatna*
Kala berjumpa dengannya entah itu langsung atau di FB, ia acapkali berbicara tentang bola atau lebih tepatnya sepak bola. Mungkin, apabila diberikan kesempan, ia tak lagi sungkan untuk menerima dengan senang hati menjadi komentator bola, apalagi untuk komentator salah satu klub kesayanganya.

Gara-gara bola juga, ia pernah mendapat balasan oleh salah satu temanya dalam guyunan, waktu itu, awal saya bersamanya menghabiskan malam di warung angkringan yang terletak depan UIN Jakarta. Memang jauh sebelumnya, saya sempat berkenalan melalui sebuah tulisan, ia menulis tentang sebuah jawaban terhadap opini yang pernah saya muat dalam terbitan Tabloid INSTITUT, atau bahasa tepatnya, ia mengkritik opini saya, jika ingin ingin tahu apa yang dikritik silahkan klik di sini atau kunjungin catatanya di FB Dedik Priyanto.

Iya, ia adalah Dedik Priyanto dan kesan awal mulanya terhadapnya, ia merupakan seorang yang serius, pemikir, apalagi melihat dari segi fisiknya yang bertubuh besar dengan memakai kaca mata, belum lagi ulasanya yang membawa para pemikir semodel Gramsci, dengan imbel-imbel intelektual organik, ideologi untuk penguat argumentasinya.

Belum lagi, sesuatu yang menjadikan semakin penguat pandangan saya terhadapnya, yakni sebuah pengakuan dirinya, bahwa dia adalah "Penulis Menyukai kopi dan diskusi. Menggiati Sosial kebudayaan di Piramida Circle Jakarta sembari kongkow di Tongkrongan Sastra Senjakala."

Oh, ternyata di balik semuanya, ia merupakan penggemar bola atau bisa dikatakan orang yang gila sama bola. Hal tersebut diperlihatkan dalam beberapa hari ini setelah pertemuaan pertama di warung angkringan. Ia menghubungi lewat SMS, dan maksud dari pesan itu, bahwa ada undangan untuk www.angkringanwarta.com.

Singkat cerita, ia datang ke kosan saya tengah malam dengan tujuan menyerahkan sebuah undangan tersebut, yakni sebuah undangan untuk acara "Malam Budaya, Rakyat Merdeka" yang bertempatkan di Balai Sudirman. Waktu itu, tepatnya dua hari yang lalu.

Dan tak hanya sebuah undangan yang ia bawa, ia juga membawa sesuatu yang mengendap dalam tempurungnya dan ingin dimuntahkan dalam bentuk ucapan, perihal artikel analisis tentang bola. Dalam artikel tersebut, dikumukakan kurang lebih, "Suatu saat orang-orang yang bertikai bukan lagi antar spoter daerah semisal Bandung dan Jakarta, atau Malang, atau Surabaya, atau yang lain.

Tapi, yang berkelahi adalah antar fans club, dan hal tersebut pernah menimpa saya, meskipun tidak secara fisik. Waktu itu, saya sedang menonton pertandingan sepak bola, dalam pertandingan tersebut adalah kedua klub yang saling bermusuhan atau bisa dikatakan musuh bubuyutan, jika keduanya bertemu tak ayal pertandingan akan berjalan secara kasar dan hujan kartu.

Saat saya menyaksikan di Warung Kopi (Warkop) tiba-tiba berdatangan para pencinta klub yang berbeda denga saya, habislah saya diledek. Selanjutnya ia mencontohkan semisal seorang datang menonton bola dengan memakai kaos dari musuh bubuyutannya. Setalah pertandingan usai dan skor akhir pertandingan dimenangkan oleh tim pengguna kaos tersebut, lalu apa kira-kira yang akan terjadi?

Tak hanya itu, ia terus saja berbicara tentang bola dan klub idolanya, hinga teradapat seorang yang merasa diasingkan karena bisa dikatakan ia tak suka bola. Berbicara tentang bola, terlampau banyak hal yang bisa menjadi penyebabnya, gara-gara bola juga ia berhasil menulis dan menjadikan sebuah buku, para politikus berperang, Indonesia berteriak nasionalis, Sindhunata menulis bola, begitu pula dengan Abdurahman Wahid atau biasa dipanggil Gus Dur, dan karena bola tawuran terjadi, Raja minyak berdatangan untuk membeli saham klub. Dan tak luput ketinggalan Iwan Fals pernah menyanyi tentang bola, salah satunya adalah "Mereka Ada Di Jalan" sebuah lagu yang menunjukan status sosial, sebagaimana terdapat dalam liriknya

.................

.................

. ................

. ................

Tiang gawang puing-puing

Sisa bangunan yang tergusur

Tanah lapang hanya tinggal cerita

Yang nampak mata hanya para pembual saja

Anak kota tak mampu beli sepatu

Anak kota tak punya tanah lapang

Sepak bola menjadi barang yang mahal

Milik mereka yang punya uang saja

Dan sementara kita di sini Di jalan ini

.............. 
...........

Satu hal lagi, gara-gara bola anak-anak hanya bisa bermain di dunia PS atau melihat pertandingan sepak bola, sebab tak ada tanah lapang untuk dijadikan tempat permainan bola.

*Penulis adalah penyuka kopi, rokok dan keduanya akan terasa lebih nikmat, jika dinikmatinya sambil nongkrong. Tambahan ditunggu kritikannya kembali.

NB: Dede Supriyatna adalah pemuda berbahaya, pemilik portal citizen jurnalisme angkringanwarta.com, mantan ketua UKM LPM Insititut UIN Syahid Jakarta, dan aktivis dan wartawann muda berbakat. Terima kasih udah nulis buat saya. link tulisan: http://www.angkringanwarta.com/2012/01/ternyata-ia-penggemar-bola.html

Sabtu, 07 April 2012

Pekerja Kota












dua orang berkejaran, membawa
pagi di tangan kiri dan malam yang tak
selesai
(2011)

Sajak Pengawal Presiden yg Takut Kehilangan Jabatannya

pagi ini buta sekali, tuan.
dan anda begitu sibuk mengumpulkan
tanda tangan
(2011)

Narasi Pilu Lelaki Portal Busway

Pekat sudah memenuhi langit. Titik air mulai berjatuhan, membasahi aspal yang mengeluarkan asap karena sedari siang terik begitu menyengat. Tak ayal, beberapa pedagang bergegas merapikan tempat dagangannya. Selang beberapa menit, mereka berhamburan dan menepi di sekitar jembatan SMK 46 Pejaten. Bergabung dengan beberapa pengendara yang sudah terlebih dahulu meneduhkan motornya di bawah jembatan.



Begitu halnya dengan Adang (39 th), lelaki yang sejak tahun 90-an sudah berjualan siomay di sekitar tempat tersebut. “Kalau hujan seperti ini, ya kita menepi, Mas, daripada dagangan saya kena hujan,” tuturnya. Seketika itu pula jalanan menjadi agak lengang. Hanya mobil-mobil dan beberapa motor yang masih melaju di tengah guyuran hujan. Kebanyakan mamilih untuk berhenti, berteduh di pinggir-pinggir jalan.

“Lihat, hujan deres begini, tapi orang itu terus saja berdiri,” tunjuk Adang kepada seorang laki-laki berbaju biru yang berada di samping portal Busway. Pria yang beristrikan perempuan dari kota Madiun ini menjelaskan bahwa lelaki itu adalah para penjaga portal Busway yang tiap pagi dan sore hari bertugas untuk membuka dan menutup portal Busway.

Lelaki yang disebut bapak Adang tadi bernama Adit (37 th), seorang penjaga portal Bus Transjakarta Koridor VI (Ragunan-Dukuh Atas) yang sudah hampir setahun ini bekerja sebagai seorang Portal Security. Tugasnya yang terpenting adalah memastikan tidak ada pengendara yang menerobos jalur busway dan melempangkan jalan bus Transjakarta untuk bisa tepat waktu.

Selama bekerja, Adit hanya dibantu dengan topi dan rompi berwarna oranye muda untuk melindungi diri. Panas dan hujan menjadi teman yang tiap hari menyatroni. Cuaca di Jakarta yang kerap berubah-ubah seringkali menjadi penghalang bagi dirinya dalam bekerja. Apalagi tidak diperbolehkan untuk meninggalkan pos dalam jam kerja yang telah disepakati.

Penjagaaan itu dimulai pada jam-jam macet, yakni pada pagi hari pukul 06.00 hingga pukul 11.00 WIB. Sedangkan shift kedua sore hari, dan dimulai pukul 16.00-21.00 WIB. Tepat ketika orang mulai pergi dan pulang dari kerja. Sebelum bertugas, ia pun harus apel pagi di Ragunan untuk diberi pengarahan terlebih dahulu. Ruinitas itu dilakukannya tiap hari.

Soal terobos menerobos jalur Busway ini, Adit bercerita bahwa tidak hanya para pengendara biasa saja yang acapkali melanggar jalan. Banyak pula para petugas memberikan contoh buruk. “Biasanya mereka berdalih untuk tugas, Mas,” tuturnya. Bahkan tak jarang pula para petugas ini mengacungkan pistol jika portal tidak dibuka, seperti beberapa kali terjadi.

Risiko yang begitu besar juga kerap membayangi sebagai orang yang hidup di jalanan. Tak jarang pula ia keserempet stang motor yang memaksa masuk ke jalur Busway. Belum terhitung gaji yang didapatkan dari pekerjaan ini bisa dikatakan belum memadai untuk memenuhi kebutuhan istri dan satu anaknya yang masih kecil.

“Gaji?” tanya Adit sembari tersenyum,”pokoknya cukuplah buat anak. Makanya isteri juga kerja,” imbuhnya. Tiap bulan, ia juga mendapatkan insentif berupa bonus duit, dan jaminan sosial berupa kartu kesehatan. Hal yang tidak didapatnya ketika dulu bekerja di sebuah restoran di daerah Bekasi.

Jalanan yang membujur panjang dari Ragunan, Pejaten, Mampang menuju kota ini memang terkenal sebagai salah satu titik macet. Kebanyakan adalah para pengendara motor ataupun kendaraan pribadi, serta beberapa angkutan yang melintasi. Adanya jalur Busway, tampaknya belum begitu menolong untuk mengurangi kemacetan di Jakara Selatan.

“Ditambah pula ada portal, ‘kan. Macet pula. Makin lama jarak tempuh kita ini,” keluh Pria berbaju kotak di depan kemudi P.20 jurusan Lebak Bulus-Pasar Senen ini, sesaat setelah ia membelokkan arah busnya, kala menerobos jalur Busway.

Banyak yang kesal dengan penutupan jalur Busway ini. Para pengendara ini biasanya memanfaatkan jalur busway yang kosong untuk mempercepat jarak tempuh ke tempat tujuan. Hal ini turut mengurangi kemacetan. “Jadi tidak numpuk kayak gini,” tutur sopir itu menggerutu.

Senada dengan sopir bus itu, Abdullah Nuri, seorang aktivis di sebuah lembaga zakat yang kantornya berada di Mampang berseloroh,”Kalau pemerintah serius, harusnya ia tidak mengorbankan kita para pengguna jalan.” Ia yang tiap hari harus memakai jasa bus melewati Jalanan Warung Buncit Raya ini, menuturkan penutupan jalur Busway ini memiliki dua sisi yang kerap berbenturan. Yaitu Bus Transjakarta bisa melaju terus, namun kemacetan makin menggila.


Menurutnya, pemerintah harusnya serius dalam menata jalur transportasi ini. Adanya jalur Busway harusnya menjadi solusi. Bukan menambah macetnya jalanan karena semakin mempersempit jalan yang ada, karena mengambil hampir separuh ruas jalanan. Hal ini diperparah dengan adanya penjaga portal yang melarang mereka mempergunakan jalur Busway sebagai alternatif.

“Ini ‘kan buat mengurangi kemacetan juga. Tugas mereka ya begitu. Toh sudah hampir dua tahun ini berjalan. Tidak ada masalah kok, ” papar Heri, penanggung jawab Koridor IV, yang hampir tiap hari memonitor laju jalur Busway.

Adit terus saja berdiri. Makin deras hujan, bertambah pula air berjatuhan membasahi sekujur tubuh yang hanya dilindungi setelan baju mirip satpam itu. “Kalau geledek besar aja, baru kita berteduh. Toh, kita membantu masyarakat,” paparnya seraya berharap masyarakat mengikuti aturan dan tidak menyerobot, dan memaksa masuk jalur Busway. (Dedik Priyanto)N

link tulisan:
http://www.angkringanwarta.com/2012/03/narasi-pilu-lelaki-portal-busway.html

Jumat, 06 April 2012

Kala Gus Dur Menulis Kiai

Judul      : Kiai Nyentrik Membela Pemerintah
Penulis   : Abdurrahman Wahid
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 1997

Laiknya orang Betawi kebanyakan, lelaki ini begitu paham jalanan Jakarta. Rokok kretek menjadi temannya yang paling dekat kemanapun kaki dilangkahkan. Rambutnya agak gondrong. Tiap malam Jumat ia harus mengajar tafsir Jalalain di majelis ta’lim, dan menjadi rujukan sisik melik urusan agama di kampungnya.

Namun, kala membincang Marxisme, Sosialisme Tan Malaka, Soekarno hingga Lenin, tampak ia begitu fasih dan berapi-api. Seakan lupa bahwa ia memiliki julukan prestisius di tengah masyarakat: Kiai muda dari Betawi.

Begitulah gambaran Kiai muda ini. Agak aneh memang, jika mau mengikuti pemahaman umum bahwa istilah kiai adalah mereka yang tidak hanya memiliki pesantren, namun juga selalu bergumul dengan teks-teks keagamaan klasik dan kitab kuning. Bukan teks putih. Apalagi pemikiran barat, dan kiri. Maka tidak salah jika menyebutnya sebagai prototip kiai ‘nyeleneh’, yang berbeda dengan khalayak kebanyakan (Khorijdl ‘Adah). Namun, ia tidak sendiri.

Jauh-jauh hari, pada tahun 80-an, Gus Dur sudah memotret fenomena menggelitik itu di kalangan pesantren dalam ‘kitab putih’ yang bertajuk Kiai Nyentrik Membela Membela Pemerintah. Mulai dari kiai senior macam Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Ahmad Shiddiq, Gus Miek, hingga kiai-kiai kampung  yang kadang tidak kita ketahui kiprah dan tempatnya. Kenapa?

Rumus umum sering mewartakan bahwa sejarah adalah milik mereka yang berkuasa, atau yang mempunyai kekuasan maupun pengaruh di tengah masyarakat. Begitu halnya dengan sejarah para kiai. Mereka yang memiliki kekuasan atau kekuatanlah yang memilik daya tawar untuk dituliskan dan dikenal khalayak. Bukan hanya karena keluasaan ilmu yang dimiliki semata, tapi juga  ketidakpopuleran mereka di mata masyarakat.
Padahal para kiai ini adalah mereka yang tercebur, atau sengaja diceburkan sebagai manusia yang harus siap menjadi Khodim (pelayan) bagi masyarakat. Terutama dalam urusan agama, dan kehidupan sehari-hari. Rumus inilah diperkenalkan oleh Gus Dur, bahwa sejarah itu juga berhak dimiliki oleh mereka yang bukan ‘kiai terkenal’, dan cenderung tidak familiar di telinga khalayak.

Namun mempunyai peranan yang besar, menyitir pendapat Dr. Hiroko Horikoshi (1987), memiliki peranan dalam aras perubahan sosial, ketika peneliti asal Jepang ini meneliti Kiai dan Perubahan Sosial di Jawa Barat.
Banyak ragam kiai yang tidak kita ketahui. Bahkan cenderung nyentrik. Bagaimana misalnya mendefinisikan Kiai Zainal, yang disebut Gus Dur, sebagai ‘kiai tingkat lokal’ dan mempunyai pandangan yang sangat ‘nyata’ dan sedikit keluar dari ‘jalur umum ke-kiain-an’. Padahal, ia sejak kecil sudah dijejali dengan ilmu-ilmu agama. Bahkan sampai bermukim di Mekah guna mendalami Islam. Tentu, kelak ia mengikuti jalur kiai pada umumnya; memimpin dan bertindak sesuai dengan arah pendidikannya, yakni hukum agama sebagai pijakan utama.

Pendapatnya soal penyelenggaraan zakat yang akan dirumuskan sebagai kewajiban organisatoris seperti pajak, dan sangsi bagi yang tidak menjalankannya. Sedangkan hukum fiqih menyebut kewajiban zakat ini jatuh pada keuntungan berdagang, pertanian, harta tetap (mal), emas dan perak. Tentu yang lain tidak terkena hukum zakat. Lalu, apa pendapat Kiai Zainal?

”Persoalannya bukan demikian,” katanya. “Apa yang dirumuskan kitab fiqih itu hanya pada negara Islam. Pada zaman Rasulullah ada sanksi kalau orang tidak menyerahkan zakat. Kerena  yang dipergunakan adalah perundang-udangan islam secara total. Jadi tidak ada panitia zakat dan kelengkapan administratif lagi. Negara bertanggung jawab atas kesejahteraan masing-masing warga negara,” tuturnya sebagaimana diilustrasikan Gus Dur .

Kiai ini menohok hal yang sangat fundamental soal relasi individu dengan negara, yakni tugas pokok negara sebagai “orang tua”, yang berwenang soal kesejahteraan masyarakat. Tidak hanya memandang pada ranah agama saja, karena dunia ‘nyata’ kekinian tidak selalu berbanding lurus dengan agama.

Tentu, kita bukan negara Islam, kata Gus Dur, dan Kiai Zanal memiliki daya tangkap yang cukup relevan dengan kebutuhan masa depan, serta keadaan nyata.

Esai yang membuat saya terpingkal-pingkal, dan sesaat kemudian termenung adalah narasi tentang seorang dokter idealis yang bertemu dengan seorang kiai formalis. Gus Dur memulai tulisannya dengan fakta bahwa pada jaman dahulu profesi dokter adalah prototip pekerja sosial yang idealis, lalu keadaan bergeser dan berubah. Banyak dokter yang lebih banyak memikirkan kekayaan melalui praktek medis. Terbukti dengan banyaknya rumah sakit yang tega menolak orang miskin karena ketiadaan dana.

Untunglah, kata Gus Dur,  tidak semua dokter bersikap seperti itu. Banyak pula dari mereka yang bersikap kebalikannya, serta mencari kepuasaan rohaniah; menolong mereka yang kesusahan dan bukti kehebatan professional seorang dokter. Justru di sinilah konflik bermula, khususnya tatkala pertemuan dengan dunia nyata ketika finansial menjadi kendala, dan terus bertemu dengan pelbagai renik birokratisasi yang membelenggu mereka mengabdi.

Gus Dur mencontohkan seorang dokter muda di Jawa, yang karena sifatnya yang idealis dan berpikiran jernih, selalu mendapat tantangan dan dicurigai. Bahkan sulit naik pangkat. Di tengah kusutnya keadaan itu, ia bertemu dengan pasien yang mempunyai ayah seorang kiai tarekat. Anak itu menderita penyakit yang mengharuskan kulitnya ditambal.

Kata dokter, ia akan mengambil kulit dari pantat anaknya. Sontak, kiai formalis yang berpegang teguh pada hukum itu menolak. Baginya, pantat adalah aurat, berarti harus ditutup saat sembahyang. Sedang yang perlu ditambalnya adalah bagian bibir ke belakang yang rusak. Lalu, kata kiai, apakah harus memakai tutup ketika mau sholat, seperti Zorro, misalnya.

Agak kesal, dokter berseloroh, “Kulit  menjadi aurat hanya ketika berada di bagian yang dinamakan aurat. Begitu dipindahkan, ia sudah bukan aurat lagi.”

Kiai tersebut agak naik pitam, seakan belum puas dengan jawaban dokter.

”Kalau ‘anunya’ seorang laki-laki dipasang ke mukanya, dan ternyata bergerak jika ada rangsangan, apakah juga bukan aurat?”

Lagi-lagi dokter bertemu hal yang sangat birokratis, formalistik. Gus Dur seperti biasa mengakhiri tulisannya dengan sebuah pertanyaan, “Akan lunturkah idealismenya?”

Formalisasi inilah yang agaknya membuat saya terpekur, dan mengimajinasikan bagaimana kalau posisi dibalik, si dokter yang formalis dan kiai yang idealis? Lalu bagaimana dinamisnya soal proses perumusan hukum dalam fiqih?

Formalisme tetap menjadi tantangan menghadapi modernisme atau sebaliknya modernitas seringkali membenturkan diri dengan formalitas. Begitu halnya dengan agama. Gus Dur memotret ini pada tahun 80-an. Bayangkan!

Hal yang kontekstual barangkali adalah sikap persahabatan dan persaudaraan antar para kiai ini, sebagai perwujudan tauladan, pemimpin kultural di masyarakat.  Di saat para pemimpin kita hari ini selalu meributkan soal perbedaan, dan pembedaan antarindividu atau kelompok, para kiai ini justru kebalikannya. Gus Dur misalnya mencontohkan bagaimana debatnya Kiai Wahab Chasbullah dengan Kiai Abdul Jalil Kudus ihwal DPRGR.

Bolehlah mereka selalu berurat nadi dan berotak panas tatkala merumuskan sebuah keputusan. Bahkan tak sungkan menggunakan kata-kata rendahan untuk menjatuhkan dalil lawannnya seperti kelakar Kiai Wahab pada Kiai Abdul Jalil, ”Kitab yang sampeyan gunakan ‘kan cuma cetakan Kudus. Kalau kitab yang menunjukan pendapat saya ini cetakan luar negeri.” Di luar, mereka tetap bersaudara, karena tujuan mereka serupa: untuk rakyat, untuk masyarakat.

Hampir semua tulisan Gus Dur di buku Kiai Nyentrik Membela Pemerintah ini diawali dengan narasi sastrawi memikat, kaya bahasa dan imajinatif untuk ukuran saat itu dan sekarang ini. Tidak terkesan parlente, serta begitu merakyat.

Saya kira, hal ini sangat dipengaruhi oleh iklim intelektualisme pada tahun 80-an. Bahkan Gus Dur pernah menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta, sesuatu yang begitu ‘nyentrik’ mengingat posisinya sebagai kiai di tengah multitafsirnya seni ketika dibenturkan dengan agama.

Buku ini hadir tidak seperti para pengamat luar yang membaca masyarakat—pesantren dan hiruk pikuknya—sebagai objek. Gus Dur menjadikan orang-orang ini sebagai subjek yang mampu berdiri sendiri di tengah tudingan tradisional, kolot, konservatif, jumud dan seabrek pandangan stereotif pada kaum santri atau kiai. Gus Dur mampu menunjukkan kiai sebagai menjadi intelektual organik di tengah masyarakat tertindas dan budaya kampus yang elit.

Lamat-lamat saya mendengar selurer berdering. Ada pesan masuk dari kawan saya, kiai muda dari Betawi ini. Secepat kilat saya membacanya, “Kiai bagi gua adalah intelektual rakyat. Tempat di mana mereka (rakyat) mengadukan masalah duniawi dan ukhrowi. Singkatnya, kiai adalah mereka pengawal dan penjaga akal sehat rakyat. Selain itu, kiai itu khadamul ilmi, khodamus salaf, dan khadam rakyat.”

"Benar, kawan. Gus Dur yang membuat kita bangga akan ragam kearifan para kiai,” Jawab saya singkat. (Dedik Priyanto, Koordinator Forum Studi Piramida Circle, Ciputat dan aktif di komunitas sastra Senjakala, alumni Pesantren Attanwir Bojonegoro, Jawa Timur) 

tulisan ini dimuat di nu.or.id
http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,12-id,35628-lang,id-c,buku-t,Kala+Gus+Dur+Menulis+Kiai-.phpx