Tendang, Terjang, Hadang

Rabu, 21 November 2012

RIP Senjakala...



(logo komunitas kami, tongkrongan sastra Senjakala)

Tak ada yang lebih menyakitkan selain menyaksikan peristiwa kematian yang tampak begitu nyata di depan kita. Ketika nafas tersengal-sengal, tubuh yang kian layu, tatapan nanar kerabat sekitar, serta lirih tangis yang kian berebutan.  Lalu secepat kilat akan ada seorang tetua menghampiri, merapalkan bait-bait kudus untuk diikuti, dan malaikat yang setia menanti.  Sedang kita, hanya mampu berdiri dan sesekali merutuki diri sendiri.

Membincang komunitas adalah menerka sejauhmana ia mengisi lembaran-lembaran karya yang dihasilkan penghuninya. Paling tidak ia menginspirasi mereka yang tidak sanggup menjadi ronin, sendiri menerjang sepi untuk menyelesaikan pekerjaan sucinya; membunuh, dan berkarya. Di komunitas kami ini ada bait-bait kalimat suci; menuliskannya, menghabisinya. Lalu diikuti semacam pledoi selepas diskusi yang melelahkan.

Senjakala namanya. Sebuah komunitas yang saya sempat begitu lama bergumul di dalamnya. Saya sempat terpekur berkali-kali akan nama yang dianggit oleh keempat pemuda berbahaya ini; Kenyot Addisatva, Abraham Zakky, Nadd Caffsin dan Hasyim Zein. Beberapa kali itu pula saya mencari makna, dan tetap; tidak ada jawaban pasti. Seperti juga hidup, ia kerap mengabarkan ketidakpastian, dan tentu saja kemuraman. Atau jangan-jangan ia tidak perlu dimaknai laiknya puisi buram Afrizal yang kerap kita gagal pahami, tetap kita nikmati.
pamflet bedah buku, dua tahun lalu, dihadiri Teguh Esha (Novelis, penulis Ali Topan Anak Jalanan) dan Ade Faiz (Gatra)
Saya tidak lupa pada gelak tawa pada sebuah sore tiap senja; pada obrolan dan percakapan-percakapan yang kita kerap sok tahu itu. Ihwal sastra lengkap dengan dapur dan gosipnya. Juga tentang penerbitan yang dengan tersaruk-saruk tetap kita tunaikan tiap bulan. Tentu saja akan menjadi sebuah kenangan tatkala mengingat sebuah buku kumpulan cerita berjudul ‘Sunyi’. Sebuah peristirahat dari gelisah anak-anak muda yang terpaut pada ritus yang kudus bernama Sastra. Juga pada kampus yang tidak peduli pada mereka.

Ingatan saya terjegal pada pusaran 2009-2011. Kira-kira setahun yang lalu. Tempo ketika produktivitas saya sebagai ronin begitu tinggi, dan pertautan saya dengan kawan-kawan komunitas ini begitu dekat, seakan tak ada sekat. Barangkali sedekat seorang kekasih yang lama tidak berjumpa dengan kekasihnya di sebuah kota yang begitu jauh. Serasa tidak ingin dipisahkan, tidak pula ingin ditinggalkan.

Lazimnya komunitas, orang-orang bisa datang dan pergi. Mereka bisa bergegas laiknya pengendara motor di jalanan yang begitu rindu berjumpa istri. Tak jarang ada yang tertatih-tatih untuk tiba seperti pria muram yang habis putus cinta. Kita selalu menerima dengan lapang, dan tentu secangkir teh  hangat kita sajikan. Maka mereka-mereka inilah yang ingin saya ceritakan. Orang-orang yang sempat mengisi lembar pengajian di serambi Senjakala.

Kenyot Addisatva

Saya lupa pertama kali mengenalnya. Barangkali di sebuah diskusi yang ranum tentang gerakan di kampus, atau pada pementasan baca puisi, atau di warung kopi. Pastinya bukan diskusi pertama kali di senjakala. Wajahnya familiar di mata kawan-kawan aktivis, khususnya bagi mereka yang tidak hanya berbicara politik.
Kenyot Addisatva, penyair yang kini menjadi seorang ayah, dan editor di sebuah penerbitan

Mereka yang terbiasa menikam kampus dengan kebudayaan, pasti mengenal sosok bertubuh tambun dan berambut ikal ini. Mereka memanggil lelaki ini dengan nama yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya; Kenyot.

Ia adalah lurah—istilah kami untuk mengganti kordinator—pertama di Tongkrongan Senjakala. Ia pula yang membuat pasemon perihal Sastra Merdeka di kampus. Saya mengenal pribadinya seperti  Rangga dalam AADC. Tidak lebay, Bukan? bedanya cuma satu; ia mengikuti hampir semua tentang Chairil Anwar; bacaan, bohemian, pakaian dan barangkali percintaan.

Zakky Zulhazmi
Aktivis cum cerpenis, semoga kelak menjadi Mahbub Djunaidi

Membincang Sastra dan Senjakala di kampus UIN Jakarta tentu tidak terlepas dari pribadi pria penyuka sepeda alumnus MAPK Solo. Pria yang begitu mencintai seorang perempuan yang konon terbuat dari kenangan, perempuan yang hingga kini masih setia menemaninya merampungkan tugas akhir akademik yang kian mencekik untuk segera ditandaskan.

Pria  ini begitu terobsesi pada gerakan. Hingga ia lupa, darah yang mengalir pada dirinya begitu berbeda dengan organisasi yang menaungi pikiran nakalnya. Saya berharap kawan saya satu ini bisa menikmati ziarah kubur di makam-makam seperti halnya ia begitu menikmati lembaran-lembaran novel Eka Kurniawan, seorang pengarang Indonesia yang begitu ia sukai. Semoga saja ia segera menerbitkan Kabar Dari Kesunyian.

Kalau di Kuba kita mengenal Fidel Castro dan Che Guevara sebagai penggerak revolusi dan penentang Zapatista, maka saya mengibaratkan Kenyot dan Zakki adalah motor sastra perlawanan. Bedanya, mereka tidak mampu menjungkal kekuasaan yang begitu apatis terhadap kesusastraaan, bahkan cenderung menepi, merapikan kekuatan, lalu lupa kembali  ke medan pertarungan untuk sekadar melawan, sekadar mengingatkan.

Saat ini, kawan saya satu ini masih menjabat sebagai ketua sebuah organ ekstra parlementer di kampus. Sebuah organisasi oposisi tentunya. Semoga kawan ini tidak seperti kawan-kawan saya sesudahnya, dan melupakan petuah Pram.” idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki seorang pemuda. “

Asep Sofyan
Kang Asep, bareng istri tercinta Teh Desy, dan anaknya yang diberi nama Cahaya Senja

Di antara para ronin yang tidak jelas karyanya ini, barangkali sosok Asep Sofyan adalah pengecualian. Mantan aktivis mahasiswa begitu menyukai Ebiet G Ade ini adalah prototype penulis cum aktivis berandalan. Betapa tidak, dari sebuah fakultas kecil, pada masanya, ia mampu menjadi orang pertama di organisasi mahasiswa ekstra parlementer tertua, dan tentu saja terbesar di kampus. Prestasi yang membanggakan, bukan?

Tunggu dulu, bukan itu maksud saya. Bukan aktivitas politiknya yang ingin saya terakan. Melainkan cara dia menulis, dan tentu saja aktivitas membaca. Barangkali lelaki ini adalah generasi terakhir Mazhab Ciputat yang begitu terkenal. Ia adalah penulis cerita yang baik, penulis yang kerap mengisi lembaran Horison, Republika, Media Indonesia, Jurnas dll. Kakak kelas saya dengan rentang begitu jauh di Fakultas Psikologi UIN Jakarta.

Beberapa bulan lalu lelaki ini telah telah memiliki seorang buah hati. Saya membayangkan tiap sore Kang Asep, begitu saya biasa menyapa, mengajak teh Desy berjalan-berjalan menyisir sore di dekat rumahnya di bilangan BSD. Lalu mereka duduk di sebuah taman, Kang Asep menenteng gitar, dan memainkan lagu sendu pengiring senja. Anak mereka yang mungil turut tertawa, dan Desy berlirih pada suaminya.

”Kamu manis sekali memberi nama anak kita ‘Cahaya Senja’. Lihat senja sore ini,  manis dan indah bukan? Kita akan selalu bersama, Sayang. bertiga selamanya. “

Saya begitu menunggu lelaki berkacamata ini menerbitkan karya yang akan begitu sublim untuk dibaca. Juga ingin bercerita bahwa saya telah menemukan cinta, sesuatu yang telah lama saya lupakan dan saya endapkan. Saya telah menemukan inspirasi itu, dan menunggu inspirasi selanjutnya dari karya anda. Sungguh.

Arief Mahmudi
Mas Arief, saat wisuda, tahun kemarin. Pemuda berbahaya yang tidak pernah lepas dari kacamata. 

Pada lelaki ini, saya begitu percaya bahwa menulis bukan hanya persoalan bakat semata.  Menulis bisa dipelajari jika orang itu tekun, ulet dan usaha. Saya menemukan sosok pribadi ini pada lelaki yang sempat akan jadi wartawan di Republika ini. Lelaki yang tekun menyelami sajak-sajak Sapardi dan menuliskannya menjadi cerita ‘Perburuan Sebilah Pisau’ yang membuat panelis pada launcing Kumcer kami terpukau.

Yang paling diingat dari lelaki yang tinggal di Pasar Rebo, Jaksel, ini adalah cara dia berpakaian. Saya tidak bisa bisa membayangkan jika saya harus tiap hari harus mengenakan celana kain berwarna hitam, sepatu resmi jenis pantovel berwarna hitam, kemeja putih lengan panjang, dan sesekali memakai jas guna menunjang penampilan.

Ah, andai saja semua manusia sepakat untuk berpenampilan seperti dia, dan akan menjatuhkan hukuman bagi mereka yang tidak mau berpakain resmi, maka dengan senang hati saya akan mencari dunia lain yang bisa ditempati. Tapi tunggu dulu, dibalik penampilannya yang begitu resmi, pemuda ini begitu berbahaya soal bacaan. Barangkali.

Saya sedih karena akhir-akhir ini dia tidak bisa menulis. Entah karena kesibukannya bekerja sebagai tim penyeleksi akreditasi di kampus, atau karena sedang mengendapkan amunisi yang barangkali nanti akan dikeluarkannya untuk menggemparkan dunia sastra. Seperti halnya saya yang meremang dan katarsis tatkala membaca cerpen-cerpennya. Semoga.

Hasyim Zein &Amelia Fitriany

Barangkali mereka merupakan pasangan biasa. Seorang aktivis gerakan ekstra yang menjalin hubungan asmara dengan jurnalis kampus, seorang aktivis pers mahasiswa Namun membincang Senjakala tanpa membincang dua sejoli ini ibarat bercinta tanpa ada aktivitas mesra sebelumnya. Sungguh hambar, bukan?
Cak Hasyim, santri kosmopolit penyuka puisi Zawawi

Hasyim merupakan orang NU tulen. Seorang santri asal Ponorogo, memiliki pergaulan yang cukup luas di kalangan aktivis pemerintahan. Saya dan Hasyim pernah terjebak di organisasi sayap sebuah partai politik, lalu kita sama-sama tobat, dan berhari-hari merutuki diri. Barangkali kita telah mandi tujuh kali, di tujuh sumur berbeda. Semacam pengakuan dosa.

Amel, begitu saya biasa menyapa, merupakan perempuan asal Bogor dengan bakat menulis yang alami. Sesuatu yang saya anggap selesai untuk urusan menulis. Juga memiliki imajinasi yang kadang di luar kita kebanyakan. Pernah menulis cerpen surealitis ‘Tempat Penitipan Hati’ yang membuat nalar kami kebanyakan tergagap-gagap membacanya. Begitu bernas.
Amel, dan kekasihnya yang sedang mengintip; Cak Hasyim. 


Saya begitu merindukan mereka berdua menulis bersama. Barangkali bisa seperti Abidah El-Kholiqi dengan suaminya yagn juga penyair Hamdi Salad. Mereka hampir serupa; novelis, wartawan, penyair, dan akademisi. Jika kalian membaca catatan saya ini, percayalah saya begitu merindukan cara kalian saling cemberut, dan muka masam kalian berdua.

Muham Fahdi.

Pria ini paling muda di antara kami, dan tampaknya paling sebentar bergabung dan sadar memilih jalur bergabung dengan para ronin macam kami. Ia adalah Carek—sekretaris diskusi jaman Zakki—Jejak rekamnya kira-kira begini; lulusan Roudalatul Ulum, Pati, adik kelas dari mahasiswa cum penulis produktif Ahmad Musthofa Haroen, dan bercita-cita S2 di Malaysia bidang ekonomi.
semoga cepat menjadi ekonom, kawan... 

Tipe mahasiswa kebanyakan, tapi yang membuat beda, katanya, ia suka sastra.

Jujur saya tidak pernah melihat sosok satu ini sebagai penerus senjakala. Pakaiannya yang rapi, serta ketidaksukaannya pada sepakbola adalah merupakan kontradiksi. Namun ia selalu mengikuti diskusi, walau kadang-kadang hanya mendengar saja.

Pernah menulis sebuah cerpen berjudul artikel ‘kamu kafir’ yang konon terilhami ketika pencekalan yang dialaminya tatkala membina sebuah media di pesantrenn. Namun saya sedih ketika dia ikut sekolah trainer, dan akibatnya saya tidak lagi melihat tulisannya. Saya masih ingat, dia juga yang meminjam buku klasik saya, Mahbub Djunaidi yang berjudul Angin Musim. Barangkali ia lupa...

Ubay F
pada pemuda ini, barangkali saya bisa berharap

Menyaksikan ubay membaca puisi laksana menyaksikan layang-layang yang terbang ditiup angin. Bukan karena indahnya, tapi karena tubuhnya yang begitu ringkih. Maaf, tapi ringkih seringkih-ringkihnya. Saya yakin, jika toh dia duduk sendirian di beranda, dan tiba-tiba ada angin datang, lelaki fakultas Dakwah ini akan turut bersama mereka, dibawa angin terbang.

Saya suka lelaki ini tatkala mendeklamasi puisi. Namun sebagai komunitas sastra yang dituntut untuk menulis sebuah karya sastra, saya tidak pernah menemukan karya dari lelaki ini. Tapi entah kenapa, saya memiliki sebuah kepercayaan bahwa Ubed mampu membangkitkan Senjakala dari tidur panjangnya.

Paling tidak kepercayaan ini mengakar begitu dalam, laiknya munculnya ratu adil pada masyarakat Jawa. Ataukah utopia?

Oh ya, lelaki ini memiliki kelebihan di bidang otak-atik komputer. Saya beberapa kali minta tolong membetulkan komputer saya yang rusak. Beberapa kali itupula ia dengan senang hati membantu. Maka jika ada PC, Laptop atau gadget anda rusak, datanglah padanya. Barangkali ia juga bisa membantu menyembuhkan hati yang rusak. Jika toh bisa, tentu ia tidak jomblo selamanya.

Ada beberapa nama lain sebenarnya, seperti Mbak Corrie dengan kemampuan sastra arabnya, Maharini dengan pemikiran underground dan urban, Okky dengan sosialisme borjuisnya, Apen dengan perlawannya pada kata, Melodia dengan eksistensialismenya dll. Semua tidak bisa saya sebutkan satu-satu. Tapi minimal mereka yang saya sebut ini adalah inti melankolia saya akan tongkrongan saya.

***

Saya menuliskan ini dengan dada bergemuruh. Hujan di luar sana terus bergumul dengan angin. Ada senja yang tertutup kabut, ada geram yang bergelayut, ada rindu yang semakin redup; sejenis harap yang mengarsir pada sebuah tongkrongan yang sekarat.

Hari ini rabu, harusnya kita berdiskusi hingga petang menjelang. Malam sudah kian merangsek. Saya hanya ingin sekadar berkisah akan sebuah tongkrongan yang biasa meramaikan senja di selasar Ushuludin. Komunitas yang telah dan tengah begitu lama bergumul dengan ketiadaannya sendiri. Barangkali ia mengamini Chairil; ia mati, iseng sendiri.

Semoga saya menarik kembali ucapan ini; Rest in Pece Tongkrongan Sastra Senjakala. #RIPSenjakala…





beberapa terbitan komunitas kami, buletin bernama Teh Hangat

















Ciputat, 22 11 '12
@DedikPriyanto




Selasa, 20 November 2012

Hujan dan Ingatan Akan Mbah Nang



Saya begitu suka hujan. Apalagi hujan yang sebentar. Hujan yang gemericiknya bisa saya nikmati dari balik jendela; memandang rintik yang turun ke tanah berebutan, menyaksikan riak kecil genangan hujan, dan kecipak tanah yang berebut bunyi dengan hentakan kaki orang-orang yang bergegas mencari tempat berteduh.

Hujan selalu menyeret pada kebahagian kecil yang pernah  saya cecap, tatkala masih ingusan, masih belia.

November adalah mula musim penghujan di hampir sebagian wilayah negara kami. Hujan yang begitu saya tunggu, hujan yang terus mereka tunggu. Hampir lima bulan—bahkan lebih—saya tidak bisa menikmati hujan, mereka tidak bisa memanfaatkan hujan; ladang-ladang tandus, pohon-pohon jati meranggas, dan alam yang kian memanas. Toh, November telah mengakhiri kegundahan saya akan hujan, kerinduan mereka pada hujan.

Seperti juga malam, hujan kerap menyimpan kemuraman. Sesuatu yang saya anggap teman paling setia dalam hidup ini. Tentu saja selain sepi. Berkumpul dengan kawan-kawan adalah acara mencari kesepian. Apalagi kawan-kawan yang sudah begitu lama tidak berjumpa. Di situ, saya bisa menemukan bentuk paling sepi yang dimiliki manusia-manusia; kesunyian dalam gelak tawa mereka.  Saya kerap memerhatikan raut muka mereka saat tertawa, barangkali mereka juga tidak menyadari, barangkali saya terlalu memaknai.

Saya mengalami bentuk sepi ketika pada suatu malam, selepas diskusi yang melelahkan, permainan kartu yang begitu membosankan, batang-barang kretek yang tak sanggup saya hempaskan, dan beberapa gelas kopi yang tak selesai saya tandaskan. Saya merasa sepi di antara riuh percakapan-percakapan. Saya merasa begitu sunyi, bagaikan suara saksofon yang berbunyi sendirian di sebuah taman, seperti lengkingan radio yang serak pada lelap pemiliknya. Tiada pernah tahu kapan berhenti, tidak pernah mengerti kenapa terjadi.

Saya merasa malam itu bukan malam yang biasa. Tentu saja bukan malam sederhana. Ternyata memang benar, adanya. Ada pilu yang tiba-tiba menusuk, ada tangis yang secepat kilat  hinggap. Dada saya bergemuruh, hati saya lindap bagai batang edelweiss yang tidak sanggup tumbuh. Ada duka yang tak sanggup saya bicarakan, tidak sanggup saya wartakan.

Saya merindukanmu, Mbah Nang. Saya kangen pada perintahmu untuk mengisi tempat wudhu. Saya kangen pada hardikanmu jika sore sudah menyergap. Saya kangen pada ajakanmu untuk potong rambut di sebuah pasar. Saya kangen mengantar sarapanmu ke ladang. Saya kangen kau suruh mengisi bak-bak mandi. Saya kangen kau marahi.

Hujan selalu menyimpan rindu. Hari ini saya rindu pada lelaki 97 tahun itu. Lelaki sederhana dengan orang-orang sederhana di sampingnya. Lelaki yang kerap minta saya bocengkan sekadar silaturrahim ke tempat yang kerap tidak pernah saya ketahui. Lelaki yang dalam renta itu pernah menangis tersedu-sedu karena lupa tidak menghadap-MU.

Lelaki yang karena dia tiap malam saya mendengar lengkingan wayang dari suara radionya yang serak. Lelaki yang sepanjang hidupnya selalu menyegerakan memberi bantuan mereka yang membutuhkan dibanding rengek cucunya minta dibelikan mainan.

Saya tidak sanggup menangis, Mbah Nang, sampean pasti tahu itu. Barangkali tangis saya merupa hujan di malam ini. Hujan telah mewakili tangis paling getir yang pernah saya rasakan. Kenapa sampean pergi pada saat November?

Ah, barangkali sampean telah berkolaborasi dengan Tuhan, supaya mereka-mereka yang sampean tinggalkan tidak menangis tersedu. Sudah ada hujan mewakili, sudah ada hujan sebagai pengganti.

Saya selalu suka hujan. Hujan yang sebentar. Hujan yang tidak membuat kita merutuki semesta. Hujan yang terkadang menyimpan rindu, tak jarang merupa pilu.

Malam ini hujan turun dengan sebentar, Mbah. Langit tampak murung, tepat pada delapan hari sampean meninggalkan kita semua. Saya suka dengan suasana ini. Saya merasa sampean begitu dekat. Saya merasa sampean sedang tertawa renyah menyaksikan kami.

Mbah, kapan kita nonton bola lagi?

Saya kerap ke Stadion GBK, menonton pertandingan bila. Saya tahu, sepanjang hayat sampean begitu ingin ke sini. Saya juga tahu, sampean kerap memandang hujan dari jendela, dengan secangkir teh,  dan kopyah hitam yang tidak pernah lepas dari sempean kenakan.

Saya selalu suka hujan. Apalagi hujan yang sebentar. Hujan yang tidak bergegas. Hujan yang membuat saya duduk lebih lama di balik jendela. Memandang rintik yang tiba-tiba turun ke bumi dengan kecipaknya yang tidak meraung.

Entahlah, hujan malam ini membuat saya merindukanmu, Mbah…

Ciputat 19-11-12
@DedikPriyanto

Senin, 19 November 2012

Memulung Kenangan di Lempuyangan


Hari ini, sebulan yang lalu, saya masih duduk terdiam di stasiun Lempuyangan, sebuah stasiun yang menyisakan kenangan tentang sebuah kota, Jogja. Saya dan barangkali anda pernah mengalami hal demikian; kereta yang berderit sesaat sebelum berjalan, parau bel kereta yang merupa lengkingan sirine pemadam kebakaran, orang-orang bergegas mencari tempat singgah melanjutkan perjalanan, dan tentu saja lambaian tangan dari mereka-mereka yang ditinggal.

Selalu ada perpisahan di stasiun.

Perpisahan selalu tidak enak. Sama tidak enaknya seperti lengkingan musik dari kamar sebelah yang kita tidak tahu kapan ia berhenti, dan kita tidak pula berani sekadar menegur. Ada geram yang tak mampu kita luapkan, ada getir yang kadang tak selesai dengan sebuah tangisan.

Stasiun adalah persinggahan antara perpisahan pelbagai manusia, dan tentu saja selalu ada harapan dibaliknya. Harapan akan pertemuan-pertemuan yang barangkali menjadi candu bagi mereka yang ingin bertemu kembali orang yang melambaikan tangan dari balik jendela kereta yang kau tumpangi. Mereka yang dikasihi, mereka yang selalu ingin ditemui.

Lalu, apakah di stasiun kita bisa memulung kembali kenangan-kenangan yang berserak?

Saya tidak tahu jawaban anda, tapi saya tahu dengan pasti jawaban saya, Iya. Saya mengalami itu; kenangan-kenangan yang tiba-tiba merasuk dan menjejali alam bawah sadar saya. Bahkan tempat duduk saat kita kereta melaju juga begitu berpengaruh pada jalinan kenangan yang tiba-tiba saja merambat pada diri kita lazimnya parasit pada sebuah pohon yang sukar kita enyahkan. Butuh racun barangkali, atau golok untuk menebang parasit itu.

Kenangan itu dingin, adanya. Saya tidak tahu dari apa ia terbuat, mungkin dari serpih paling sunyi yang dititahkan Tuhan kepada manusia. Lebih sepi dari kebahagiaan, kegembiraan, dan bahkan kebohongan-kebohongan.

Saya tidak tahu, saya tidak pernah mengerti itu. Kenangan itu merayap begitu saja, kadang ia bisa memakan sendi-sendi rasionalitas yang terbangun sebagai sebuah bangunan yang sudah terbangun dengan utuh. Tak jarang, ia menjadi merupa tiang. Tiang yang begitu rapuh, pastinya.

Saya begitu sukar untuk menghalau kenangan-kenangan ini. Di stasiun, kenangan-kenangan begini tidak tersedia pada peron-peron yang menyediakan karcis untuk ditinggalkan. Juga tidak mungkin ada penitipan dan sewa yang menyediakan harga khusus bagi jasa penitipan kenangan. Kalau toh ada, dengan senang hati, saya akan menyewanya.

Kita hidup dengan kenangan-kenangan yang kita tidak pernah tahu kapan datangnya. Kadangkala kenangan itu manis, namun kebanyakan berupa tebing yang curam dan kita berasa berdiri di sana, memandang dari tubir, di bawahnya penuh dengan kesedihan, kesunyian. Sebisa mungkin kita menutupnya, sebisa mungkin anda membuangnya.

Barangkali inilah sifat kenangan; bisa ditutup, tidak bisa dihilangkan. Begitu tidak menyenangkan, bukan? Kadang kenangan ini membutuhkan pemantik laiknya revolusi pada ketidakdilan yang terus menggurita.

Saya menemukan pemantik itu pada seorang perempuan. Seseorang yang tidak pernah saya imajinasikan sebelumnya, yang tiba-tiba datang dan mengajak saya untuk melompati jurang kenangan-kenangan.

Perempuan yang menyeru kepada saya untuk memandang dengan berbeda kenangan yang begitu tampak dingin, begitu sunyi. Perempuan yang membuat dada saya bergetar tatkala mendengar namanya disebut, perempuan yang membuat saya  tidak mempercayai keindahan lain selain senyumnya, di malam itu.

Perempuan itu, perempuan yang tidak pernah bisa saya definisikan.

Di Lempuyangan ini, saya menemukan arsiran kenangan-kenangan yang berserak. Saya memulung kenangan lawas saya, ihwal perasaan cinta yang entah kapan saya lupa terakhir kali saya merasakannya. Saya menemukannya kembali, tidak sengaja, dalam sebuah pertemuan yang tidak pernah saya rencanakan sebelumnya. Semua terjadi begitu saja, dan saya tidak pernah bisa berpaling; menjumput satu per satu kenangan itu lalu membingkainya rapat-rapat. Untuk siapa? Ah, saya enggan menjawabnya.

Apakah anda juga pernah mengalami ini? Hanya anda yang bisa menjawab.

Ciputat 15 Nov '12
@DedikPriyanto