Tendang, Terjang, Hadang

Rabu, 25 April 2012

Mengintip Jakarta Lewat Kue Subuh


sebuah catatan kuliner
oleh : Dedik Priyanto


Pria paruh baya itu sedang memanaskan motor di depan rumah yang berada di daerah Tebet, Jakarta Selatan. Di samping lelaki itu telah berjejer dua keranjang besar yang berisi aneka ragam kue kering dan basah, Lima menit sebelum pukul satu pagi. Tak berapa lama, ia pun menaruh keranjang besar itu di jok belakang motor, sembari diikat dengan sebuah tali. Lelaki itu bernama Sabuan (41 th), seorang pedagang kue subuh. Dirasa siap, dipaculah motor menuju Pusat Jajanan Kue Subuh Pasar Senen,

Kala kebanyakan sivitas sedang terlelap tidur, ia terus memacu motornya di jalanan yang lengang. Kurang dari setengah jam ia sampai. “Tidak ada macet kalau malam. Enak, bukan!” tandasnya, yang kalau malam hari, ia memilih jalur Tebet-Salemba, jalan yang tidak akan dipilihnya ketika siang karena sering macet. Waktu menunjukan pukul 02.00. WIB, beberapa motor sudah terparkir di luar area blok III PD. Pasar Senen. Beberapa kios dengan aneka jajanan pun mulai terjejer dan saling berebut perhatian para pembeli yang datang ke tempat ini.

Geliat perdagangan di pusat jajajan ini sebenarnya sudah mulai berhembus sejak matahari tenggelam, dan mulai ramai tatkala menjelang atau setelah azan subuh berkumandang. Perpindahan antara para pedagang pun terjadi dengan simfoni yang teratur. Ketika pagi dan siangnya dipakai untuk aneka baju dan pertokoan. Sedang pada malam hari, para pedagang kue mulai merapikan dan berbenah tempat berjualan, serta menempatkan kue-kue yang dijajakan.

“Kalau datang malam hari, berbagai mobil berjejer panjang di sini. Ramai sekali. Apalagi kalau menjelang pagi, ” ujar Romi (37 th), padagang asongan yang tiap hari mangkal di depan Pasar Senen sembari menunjuk areal jalan raya yang sering dipakai buat parkir. Tepat berada di depan Blok III, dibawah jembatan yang sedang berlangsung.



Beberapa kue basah yang dijajakan di antaranya adalah lemper, cucur, risol, dadar gulung, bolu, lapis kanji, bika, pastel, tahu is, pastel, dan kue soes. Selain itu, ada juga kue kering yang diwadahi toples transparan seperti kripik singkong, tempe kering, kastangle, kacang atom, dan nastar, dan lainnya. Tidak hanya jajanan tradisional saja dijual. Pun makanan yang didaulat modern tak luput menunggu pembeli datang seperti brownies, donat, blac forest, pizza bahkan aneka kue tart untuk ulang tahun.

“Beberapa kali juga ada yang pesan sehari sebelumnya, dan kita akan membuatkannya,” papar Yati (34 th) yang juga menceritakan tentang banyak mahasiswa yang sengaja datang pagi hari untuk membeli kue tart bikinannya, guna memberi kejutan temannya yang sedang ulang tahun. Tepat sebelum mereka bangun tidur. “Ya, tidak akan ketemu di toko kue biasa, Mas, kalau pagi hari begini,” imbuhnya sembari menunjukan beberapa jenis kue yang sudah dipesan.

Harga yang dipatok juga tidak tarlalu menguras kantong pembeli. Harga yang ditawarkan tergolong miring. Misalnya, kue basah semacam pisang goreng dijual Rp500-1.000/potong, kue kering Rp2.500-15.000/toples, atau yang sudah diberi wadah dengan pelbagai macam kue bisa Rp. 5000/pcs. Sedang untuk kue yang agak besar seperti kue tar, brownies, cake pisang dll dilepas dengan kisaran Rp25.000 sampai Rp100.000.

“Misalnya, yang ini (menunjuk sebuah kue-red) kalau sudah agak siang, saya menjualnya dengan harga yang lebih murah. Bisa-bisa setengah harga. Seperti kue ini, sebungkus yang isinya banyak ini, 2 ribu saya jual,” tambah Sabuan yang jam sembilan pagi sudah balik ke rumahnya.

Omzet yang para pedagang pun bervariasi. Ada yang sampai 2 juta/bulan, bahkan 5 juta/bulan tergantung dari jumlah yang terjual. Rata-rata penjual di sini bukan pemilik langsung, mereka menjualkan milik pemodal yang telah menyiapkan kue. “Enaknya, kita hanya menjual. Jadi kalau siangnya saya bisa tidur, dan kerja pada malam hari. Gajinya pun cukup, dan tidak perlu membayar sewa karena sudah diurus bos, ” tutur pria yang enggan disebutkan namanya dan mengaku baru dua tahun berjualan di pasar ini.

Adalah Justinus Cornelis Vincke, pejabat VOC yang mula mengendus bahwa Batavia yang mereka kuasai nantinya akan menjadi kota besar dan ramai. Untuk itu, di samping dijadikan pusat pemerintahan, tentu membutuhkan pusat perdagangan yang mampu menjadi titik perekonomian. Pada tahun 1735, lelaki yang juga arsitek ini membangun pasar yang letaknya tak jauh dari lokasi Istana Weltevreden, dan berdekatan dengan Pasar Tanah Abang yang lebih dahulu eksis, dan diberi nama Vincke Paseer, serta beroperasi hanya pada hari senin. Lambat laun, masyarakat pun menyebutnya dengan pasar senen.



Pada tahun 1795, guna memudahkan akses transportasi dua pasar buatannya, Tanah Abang dan Senen, Vincke membangun sebuah jalan yang menghubungkan keduanya dan membujur timur ke selatan, karena dirasa Pasar Senen lebih menjanjikan dibanding Tanah Abang yang didiami oleh kebanyakan warga Arab dan keturunan. Perkembangannya pun begitu pesat, hingga lambat laun mulai menggantikan kawasan Kota, Jakarta Barat, sebagai pusat pertemuan para warga Jakarta, tidak hanya ekonomis, melainkan tempat bertemunya segala elemen masyarakat.

Lamat-lamat terdengar suara azan berkumandang di antara riuhan pembeli yang mulai berjubel memenuhi kios-kios yang menjajakan pelbagai macam kue. Terdengar tawar menawar harga diselingi tawa dan candaan para penjual yang mencoba memikat para pembeli dengan gurauan khas mereka. “Ayolah, ini bolu paling murah se dunia. Tidak ada di tempat lain. Silakan dicicip,” ujar salah seorang penjual kepada Romlah (43), yang mengaku membeli kue di sini untuk dijualnya kembali di tempat asal.

“Karena saya menjualnya kembali. Toh, sudah punya banyak langganan di sini. Jadi ya, di sini pusatnya murah,” tukasnya sembari melirik ke arah penjual, tak lama setelah ia mencoba sebuah kue bolu. Ia pun menuturkan bahwa dibanding kue subuh yang lain. Di Jakarta sendiri ada sekitar titik pasar serupa, yakni di kawasan Blok M, Jatinegara dan Bintaro.



Para pembeli ini datang dari pelbagai macam tempat di seantero Jakarta. Kebanyakan dari mereka adalah para pedagang yang menjual kembali jajanan yang dibelinya di tempat mereka masing-masing. Ada pula yang membeli dengan borongan, dengan jumlah yang partai besar.”Seringkali kalau ada hajatan, pembeli akan membeli dengan harga borongan. Wah, kalau seperti itu kita jadi senang. Karena akan ada tambahan,” paparnya.

Geliat perekonomian di Pasar ini semakin menunjukan kemajuan yang signifikan. Sejak era 1900-an, pasar senen tumbuh sebagai pasar yang paling modern pada masanya, dan didominasi oleh orang-orang Tionghoa dan para perantau yang datang dari berbagai penjuru Indonesia. Begitu halnya selepas kemerdekaan. Dibangunnya, Terminal dan Atrium Senen semakin menambah ramainya Pasar Senen. Termasuk Pasar Kue Subuh yang mulai tumbuh pada tahun 70-an hingga sekarang.

Pada masa masa Ali Sadikin menjadi gubernur DKI, bangunan lama mulai dihancurkan dan dibangun Proyek Senen yang modern. Ini membuat pasar semakin ramai walau berada di tengah himpitan pusat perbelanjaan modern yang terus menggurita. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, para pedagang inipun bergabung dan membuat organisasi Paguyuban Pedagang Kue Pasar Senen (PKPS), yang diharapkan menjadi payung pelindung bagi mereka tatkala mempunyai masalah.

Pagi mulai menyingsing, beberapa kios sudah merapikan tempat dagangannya untuk diamankan. Tak ayal, Sabuan harus secepat pula merapikan tempat dagangannya. Tepat pukul 08.00 WIB, ia harus bergantian tempat dengan para pedagang baju yang akan menjajakan dagagannya. Setelah dianggapnya rapi, ia kembali menghidupkan mesin motor untuk kembali ke rumah. Lelaki yang harus menghidupi dua orang anak, Sari (5 th) dan Andri (16 th), apalagi tahun depan anaknya akan memasuki jenjang sekolah menengah.

“Iya, beginilah hidup. Ini demi anak dan istri,” tutupnya sembari memacu motor meninggalkan pasar Senen.

Begitulah, Jakarta tiada pernah tidur, dan barangkali kehidupan juga demikian; tidak pernah akan tertidur.

NB: Tulisan bisa dibaca di portal angkringanwarta.com atau di link tulisan di sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar