Tendang, Terjang, Hadang

Senin, 06 Mei 2013

Percakapan yang Sendu

Malam yang biasa. Lilin yang sederhana dan seorang perempuan datang dengan gaun biru, tas biru di lengan kiri, serta senyum sumringah yang entah.

“Gus...”

Mata saling bertaut, sepersekian detik tangan perempuan itu sudah berada dalam genggaman tangan dari laki-laki berkacamata.

“Aku senang banget akhirnya kamu ajakin aku keluar. ‘Kan nggak sehat tahu pacaran di kamar terus. Tiap ke kampus aku harus pake topeng.”

Lelaki berkacamata itu memerhatikan tlekuk tubuh perempuan. Sejenak, ia tampak terpana dengan sosok yang di atasnya.

“Kamu cantik banget, malam ini.”

Perempuan tersipu.

“Kamu belum pernah secantik seperti malam ini.”

Kemudian keduanya duduk, di sudut cafe yang temaram itu, lelaki itu menundukkan kepala.

“Lan...”

Perempuan itu menatap lekat wajah lelaki berkacamata.

“Kayaknya hubungan kita harus udahan.”

Raut muka perempuan tiba-tiba berubah, ada getir yang tersembunyi dari mimiknya.

“Bisa kamu ulang?”

“Menurut saya, sebaiknya kita putus. Dan jangan ketemu lagi.”

“Boleh aku tahu kenapa?”

“Saya sayang dia.”

Mata perempuan itu berkaca.

“Dia juga sayang sama saya.”

Lalu pelayan berbaju putih datang.

”Minumannya, Mas?”

Lelaki berkacamata menoleh.

“Nanti, Kang.”

“Tapi ini sudah saya buat...”

“Nanti!”

Lelaki berkacamata memerhatikan sosok perempuan yang berkaca-kaca di depannya.

“Saya sadar. Kamu itu lebih dibanding dia. Tapi itu bukan alasan seseorang mutusin pacarnya.”

“Bukankah seseorang itu mencari yang terbaik untuk dirinya ya, Gus?”

“Kalau saya terus mencari yang lebih baik. Suatu saat, saya juga pasti bakal ninggalin kamu. Saya harus punya komitmen. Dia juga kayak begitu. Kita berdua sudah mau berubah. “

Perempuan itu makin terisak.

“Gus, denganku kamu nggak mesti berubah. Jiwa dan hati ini menerima kamu apa adanya.”

“Itu, yang membuat saya jatuh cinta sama kamu.”

“Berani-beraninya sekarang kamu ngomong cinta. “

“Saya memang cinta sama kamu. Tapi saya harus punya komitmen. Kalau nanti saya gagal sama Rita, saya rela buat balik lagi sama kamu. Buat ngemis-ngemis lagi sama kamu, buat diinjek-injek lagi sama kamu juga saya rela. "

Pelayan berwajah putih datang lagi.

“Minumya, Kang.”

Lelaki berkacamata itu kesal.

“!!!”

“Taruh saja sini, Kang.”

Meletakkan minuman di meja.

“Ini minumnya. Dan ini tisunya.”

Lelaki berkacamata mendongak, mengitarkan pandang ke baberapa pelayan berbaju putih yang menyimak lelaki berkacamata dan perempuan itu bercakap, dan menangis.

Agak kesal ia bercakap.

”Ngapain kalian di situ.”

Dan mereka pun mengalihkan pandang, seolah tidak tahu.

“Gus, aku punya dua permintaan. Pertama, jangan pernah ketemu aku lagi. Kedua, jangan pernah kamu negur aku lagi. “

“Setuju.”

Perempuan itu kesal.

“Sebenarnya aku ngarepin respon yang lebih dramatis dari itu, Gus.”

“Kalau saya kenal kamu lagi. Saya leleh lagi sama kamu. “
Terisak.

“Terus. Jangan pernah kamu ke rumah aku lagi.”

Lelaki berkacamata itu memegang tangan si perempuan.

“Kamu itu yang terbaik dalam hidup saya.”

Air mata terus berlinang.

“Gus, saya sayang sama kamu.”

“Saya juga sayang banget sama kamu.”

Diam sesaat.

“Tiap tetes embun akan mengingatkan saya pada kamu.”

Perempuan itu kian terisak, bibirnya mengatup dan air mata yang jatuh dengan bergegas.

“Tiap hari?”

“Sampai saya mati.”

Ada sedikit senyum, dan tangis tetap berderai.

Dan sebuah lagu yang dilantunkan Candil Seurius... Tak akan ada cinta yang dapat merebut hatiku...


Tsah...

(Cuplikan percapan sendu dalam film Jomblo antara Ringgo dan Nadila)

@DedikPriyanto