Tendang, Terjang, Hadang

Kamis, 24 Mei 2012

Syahrir, Si Ahli Diplomasi




Bung kecil, begitulah sosok itu biasa disapa. Namanya Sutan Syahrir. Beliau adalah lelaki yang yang cukup berpengaruh dalam pergerakan, dan memiliki peran sentral pada masa kemerdekaan.

Pendidikan mula lelaki berdarah Minang ini adalah mengenyam pengajaran di ELS (Europe Lagere School), yakni sekolah dagang milik orang kulit putih. Kemudian melanjutkan ke MULO di Medan, sekolah setingkat SMP. Di sana beliau sudah mengakrabkan diri  dengan pelbagai  buku-buku asing, khususnya dari Belanda. Mulai dari sejarah, sosial dan novel-novel.

Bandung, kota itu kemudian dipilih guna melanjutkan studi. Setelah tiga tahun di sana, beliau terpilih untuk melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda, dan masuk ke Fakultas Hukum Universitas Amsterdam. Sempat juga kuliah di Leiden Universitie. Namun tidak selesai karena hobinya yang suka bergelut dengan organisasi luar. Di tempat itu pula beliau berteman dengan Bung Hatta, yang sedang membangun pergumulan indiscjhe partij (persatuan Indonesia).

Tak lama, dia kembali ke tanah air  pada penghujung tahun 1931. Laiknya burung yang baru keluar dari sarang, melihat realitas negara yagn ternyata tidak semaki membaik, hati lelaki asal Minangkabau ini gelisah. Masih sama, tidak ada perubahan pada masa penjajahan. Untuk itulah, ia bergabung dengan PNI yang dipimpin oleh Bung Karno, dan terpilih jadi ketua PNI pada kongres 1932, dalam usia yang relatif muda 32 tahun.

Maka, bersama para pejuang lainnya, mereka pun melakukan perlawanan yang tidak hanya pada level perjuangan fisik. Melainkan juga pada ranah intelektual, dan diplomasi yang mampu mengobarkan semangat anti imperialisme. Anti Belanda. Hingga organisasi ini dibubarkan karena dianggap mengganggu stabilitas nasional. Tapi, berkat kelihaiannya, ia mampu mendirikan PNI baru yang rebih radikal dari PNI yang lama.

Malang tak dapat ditolak, kekuasaan Belanda begitu kuatnya hingga ia pun ditangkap dan dijebloskan ke penjara, serta dibuang ke Boven Digul bersama Bung Hatta, dan dilepaskan tatkala Jepang masuk ke Indonesia.

Rekontekstualisasi kekinian

Sutan Syahrir merupakan seorang pribadi yang unggul yang pernah dimiliki ibu pertiwi. Baik dalam masalah intelejensia maupun kehidupan bersosial. Keberanianya yang tinggi patut kita jadikan sebagai acuan kita dalam bertindak. Hal itu dibuktikan oleh beliau dengan tindakanya yang cukup frontal dalam menghadapi Belanda dan Jepang. Tatkala para pemimpin nasional mau bekerjasama dengan pihak pendudukan, Syahrir tidak mau dan malah membuat gerakan bawah tanah. Karena menurutnya Jepang sama saja dengan pejajah yang lain,  sama-sama penjajah yang hanya menginginkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari bangsa Indonesia.

Beliaulah yang menghimpun para intelektual, mahasiswa, dan orang-orang yang pro-revolusi untuk membuat sebuah gerakan perlawanan pada saat pendudukan Jepang. Beliau menjadi seorang motivator ulung yang memberi semangat, serta mampu menyalakan api keberanian dalam diri para pemuda untuk tidak hanya tinggal diam dalam menghadapi para penjajah.

Saat masih menempuh pendidikan di Belanda, keberanianya itulah yang membawanya mengenal orang-orang “kiri dan sosialis”  dan menceburkan diri dengan orang-orang sosialis. Pengalaman-pengalaman itulah yang mengantarkan Syahrir menjadi seorang yang sangat disegani walaupun usianya relatif muda. Serta menjadi pemimpin kaum muda yang paling diperhitungkan Selain bung Karno dan Bung Hatta. Bahkan ketiga orang ini disebut sebagai tiga serangkai pengantar revolusi.

Ada sebuah kisah menarik saat Syahrir menjadi perwakilan Indonesia dalam PBB. Saat itu tangggal 14 Agustus 1947. Syahrir berpidato di muka sidang Dewan Keamanan PBB. Beliau berani berhadapan dengan para pemimipin negara-negara sedunia.

Beliau menjelaskan tentang negara Indonesia dulunya merupakan bangsa yang besar yang secara berabad-berabad telah hidup da nmempunyai kebudayaan yang tinggi, dengan beraneka ragam penduduk dan kekayaan alam yang melimpah, lantas semua itu dieksploitasi oleh para kolonial.  Kemudian, secara piawai Syahrir mematahkan satu per satu argumen yang sudah disampaikan wakil Belanda, Van Kleffens.

Dengan itu, Indonesia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa yang memperjuangan kedaulatannya di gelanggang internasional. PBB pun turut campur, sehingga Belanda gagal mempertahankan upayanya untuk menjadikan pertikaian Indonesia-Belanda sebagai persoalan yang semata-mata urusan dalam negerinya.

Van Kleffens dianggap gagal membawa kepentingan Belanda dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Berbagai kalangan Belanda menilai kegagalan itu sebagai kekalahan seorang diplomat ulung yang berpengalaman di gelanggang internasional dengan seorang diplomat muda dari negeri yang baru saja lahir. Van Kleffens pun ditarik dari posisi sebagai wakil Belanda di PBB menjadi duta besar Belanda di Turki.

Syahrir pun populer di kalangan para wartawan yang meliput sidang Dewan Keamanan PBB, terutama wartawan-wartawan yang berada di Indonesia semasa revolusi. Beberapa surat kabar menamakan Syahrir sebagai The Smiling Diplomat. Beliau juga orang yang tidak suka kekerasan. Ada satu cerita menarik perihal sikap konsekuen pribadi Syahrir yang anti-kekerasan. Di akhir Desember 1946, Perdana Menteri Syahrir dicegat dan ditodong pistol oleh serdadu NICA. Ketika di todongkan itu pistolnya tiba-tiba macet dan tidak bisa ditembakan, karena kesal, akhirnya gagang pistol tersebut dipukulkan ke wajahnya hingga mukanya memar dan lebam.

Berita itu kemudian tersebar lewat Radio Republik Indonesia (RRI). Mendengar itu, Syahrir dengan mata sembab membiru memberi peringatan keras agar siaran itu dihentikan, sebab bisa berdampak fatal dibunuhnya orang-orang Belanda di kamp-kamp tawanan oleh para pejuang republik, ketika tahu pemimpinnya dipukuli.

Salah satu sifatnya yang paling menonjol adalah sikap empati dan kepekaannya melihat keadaan sosial yang ada di masyarakat. Beliau menjadi orang yang sangat prihatin dengan keadaan rakyat yang terus terhimpit dalam kesusahan, kelaparan, kesejahteraan, dan kesulitan dalam akses penddikan. Pendirian sekolah Tjahja Volksuniversiteit (Cahaya Universitas Rakyat) untuk membantu para rakyat kecil, merupakan sebuah bukti yang nyata akan kepedulianya terhadap bangsa. Bahkan sekolah itu pun dibuat saat beliau masih sekolah, dan dengan uang hasil pementasanya dalam teater ketika masih di Belanda.

Kecintaanya akan ilmu pengetahuan sangat besar sekali, itulah yang mendorongnya untuk terus menerus dalam belajar, bahkan dengan kecerdasanya itu beliau dapat meneruskan pendidikan ke luar negeri. Tapi, beliau bukanlah seorang akademisi yang selalu bergulat dengan buku dan pelajaran dalam kuliah saja, lebih dari itu, beliau belajar dari kehidupan dari pergaulan dan organisasi. Walaupun seperti itu beliau bukanlah orang yang menyombongkan diri, hal itu terlihat dalam keseharinya yang sangat dekat dengan kaum kecil, itu juga merupakan penerapan dari asas sosialisme yang ia anut, yang selau mengayomi kaum proletar.

 Begitulah, Bung Kecil menjadi salah satu sosok yang percik pemikirannya masih terus diperbincangkan sampai saat ini. Maka, sudah sepatutnya, sosoknya tidak lagi menjadi perca maupun patung yang hanya dibaca, ditelaah. Melainkan harus diimplementasi dalam bentuknya yang kongkret. Yakni perjuangan dalam membela bangsa, serta kepekaan dalam menera realitas.


NB: saya menemukan tulisan ini tidak sengaja di  laptop kawan. Kira-kira 2008. Sengaja saya tidak ubah tulisan di atas, walaupun perspektif saya tentang Syahrir saat ini begitu berbeda dengan apa yang saya tulis.  Sembari mengupload ini, saya ketawa-ketiwi sendiri 

Kamis, 17 Mei 2012

Sastra, Addisatva, dan Sepotong Sajak Cinta


orang-orang Senjakala


Wajahnya biasa saja. Perawakannya biasa saja. Apalagi cakepnya, juga biasa saja. Praktis, dia adalah lelaki yang biasa saja. Mungkin yang membedakan adalah cara dia bertutur. Cak Nun, begitulah mereka menyebutnya, dan nama yang nyeleneh, dan cenderung senewen untuk ukuran orang-orang Ciputat: Kenyot Addisatva!

Laiknya Perburuan Sebilah Pisau yang ditulis Arief Mahmudi, sebuah cerpen yang dipuji-puji oleh lelaki yang biasa itu. Maka saya akan menyisir siapa lelaki biasa ini, dan patutkah ia ditulis sebagai yang biasa saja. Maka dengan biasa saja pula saya mengingat kejadian tiga tahun yang lalu. Kira-kira, ceritanya begini:

Ketika baru memasuki Ciputat, tatkala orang-orang memasuki dunia kampus dengan harapan besar, dan kata sukses menjadi harga mati. Maka adagium itu tidak ada dalam kamus hidupnya. Ia mengalirkannya seperti air yang turun dari langit melalui bedeng rumah.

Bukan. Ia tidak seperti motivator yang selalu yang selalu menghembuskan manis di telinga, maupun ustad teve yang tiap hari menyeru untuk menangis, mengiba kepada kehidupan.  Lelaki itu berlelaku seperti apa yang ingin ia cecap sendiri. Termasuk untuk ukuran kesuksesan.

Saya yakin dia lupa, bahwa saya pernah menanyakan perihal itu, disela melipat buletin Teh Hangat di Barkah. Enteng sekali dia menjawab, “Nanti juga sukses.”
Saya diam sembari sesekali melirik rambutnya yang ikal, tak terurus. Persis seperti para sastrawan yang berlicentia poetica. Jika anda bertanya siapakah tokoh mirip dengan lelaki biasa ini? Seketika itu pula saya akan menjawab; Chairil Anwar.

Bedanya, Chairil berperawakan kurus dan sesekali mempermainkan perempuan-perempuan. Sedangkan ia bertubuh agak tambun dan begitu mencintai kekasih yang dikenalnya sejak SMA. Sekali lagi, sejak lama. Sumpah, saya belum menemukan lelaki yang begitu setia seperti dirinya. Atau jangan-jangan sejak di peraduan ibunya, ia sudah mencintai kekasihnya?
***
Kebanyakan orang menulis karena banyak alasan. Bagi saya, menulis tidak hanya melulu tentang karya,  pertarungan ide, maupun aktualisasi. Jujur lebih dari itu, saya ingin mendapatkan sedikit tambahan untuk menyambung hidup. Dan kemampuan yang saya miliki adalah menulis di koran maupun majalah. Tapi, tidak dengan lelaki biasa itu.

Di tangan pencipta cerita Hari Ketujuh itu, tulisan ibarat anak, yang harus dengan sungguh dipelihara, dibina. Barangkali tidak pernah terlesat dari benaknya, terpatri dalam jemarinya, bahwa menulis adalah seperti saya,  yang kalau tidak menulis akan kebingungan untuk makan esok hari. Dialah yang akan memberi makan buat si anak, hingga tulisan itulah yang nanti akan meruap bersama tumbuh penciptanya.

Barangkali itupula yang melatarbelakanginya untuk meretas Sastra Merdeka, sebagai jalur estetis yang diusung Tongkrongan Sastra Senjakala. Komunitas yang ia dirikan bersama pemuda berbahaya Zakky Zulhazmi, sebagai reaksi mandegnya sastra di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.



Sastra baginya adalah ruang pembebas dan medium pembersih segala yang kotor. Sastra tidak harus berkubu pada satu pihak. Melainkan ia harus merayakan banyaknya kubu yang kian menaburkan diri di jagad. Bukan pula menjatuhkan, bahkan hegemoni seperti yang ada kebanyakan. Begitulah ia menamakan jalur estetisnya dengan nama Sastra Merdeka.

Itulah kemerdekaan bersastra yang diusungnya di tengah pluralitas kebangsaan, dan kesenian yang tidak menentu. Maka ia menempatkan diri sebagai pihak yang tidak berkelompok. Melainkan mengarahkan diri, merangkul pelbagai kubu yang acapkali saling bertikai dan berselisih.

Di situlah posisi mimbar terbuka menjumpai tempatnya di tangan lelaki biasa ini, dan menyatu sebagai bagian dari komunitas yang ia dirikan di kampus.

Suatu tempo, dengan Abraham Zakky, kita pernah pergi ke  tadarus Cak Nun, Kenduri Cinta di bilangan Taman Ismail Marzuki (TIM), dan barangkali dia sudah lupa bahwa saya diminta nyetir motor bergigi 2 milik temannya.

Bisa dibayangkan, saya yang sudah lama tidak membawa motor yang demikian, harus menyetir sekaligus membonceng lelaki biasa ini menuju tengah kota, Cikini, dan ternyata ia pun tidak bisa—dalam hal ini saya unggul daripada dia.

Setelah bersusah payah, rintangan menerjang, serta berkali-kali motor ngadat sampai jualah di tempat tujuan. Oh, saya baru ingat, kala itu lelaki biasa itu memakai kaos dan celana pendek untuk pergi ke sebuah pertemuan, atau lebih tepatnya pengajian. Baru kali ini saya menemukan orang dengan lelaku  aneh, bahkan cenderung destruktif jika menengok kacamata barat positivis.

Namun, lamat-lamat saya menemukan sisi perlawanan, dan keteguhan untuk menjadi diri sendiri. Tanpa tedeng apa dan siapa, si lelaki biasa itu nanti akan bertemu. Inipula yang jarang dimiliki oleh orang lain, yang cenderung mengiyakan perkataan yang bukan dari diri.

Singkat cerita, di sana ia duduk paling depan. Mendengar ceramah dari Cak Nun, dan beberapa pesaji yang siap bercerita tentang banyak hal yang tiada mungkin didapat pengajian, maupun majlis taklim yang ada di Jakarta, yang hanya bertutur pada ritualistik ibadah, dan metode berakhlak ria. Pengajian itu, sudah melampaui hal itu semua.

Saya memandang lelaki itu, tampaknya ia terus bergeming dan memanggut-manggut pada perkataan pesaji. Bahkan sampai dini hari ia tetap demikian, sembari sesekali menyeruput kopi, dan berpindah posisi duduk karena karpetnya agak basah bekas gerimis tadi sore. Hingga lamunan kami buyar karena dia mengajak pulang, dengan alasan motor mau dipakai.

Lelaki itu menulis apa yang ingin ia tulis.

Bukan pula tentang uang yang sangat dibutuhkan oleh mahasiswa perantauan. Pun anasir lain sebagai pemantik dalam menulis. Termasuk juga puisi, saya pernah menuliskan analisis tentang salah satu puisi dia tentang “Adhinanggar” yang saya juga dimuat di koran Solo Pos. Agak panjang pula saya meraba apa yang ingin disampaikan pada khalayak.



Pisau analisis saya pun masih rendah, karena bacaan saya masih sangat sedikit, kala itu.  Itu pun dimuat di Teh Hangat, dan ketika mendiskusikannya seperti biasa di Rabo Sore, ia hanya berlirih sinis,”Terserah itu tafsir. Sah,”ringkasnya,”tapi sebenarnya salah.”

Sontak, hal demikian membuat saya agak ciut kepada lelaki asal Wonosobo ini, bahwa apresiasi saya tidaklah berarti dalam menyusup terhadap anaknya. Hal ini, semakin menguatkan saya bahwa anaknya yang berupa puii adalah apa yang ia pikirkan, dan tetap dibebaskan seperti halnya seorang dewasa yang mencoba melindungi anaknya yang imut dari dunia luar.

Kita bisa berdebat soal definisi, tapi sastra yang ia percayai inilah  yang menjadikannya orang yang sangat berbeda, karena dengan ini juga ia mampu menelisik hal substansial dalam hidup. Termasuk juga dalam menera bangku kuliah. Kebanyakan menilai, menjadi aktivis akan kuliah lama, dan bertahan lama dalam menyoal sistem yang tidak berpihak bagi mahasiswa yang aktif di luar lingkar kampus.

Pisau itu tidaklah berlaku bagi lelaki biasa itu. Toh, ia mampu lulus dengan sempurna. Tepat empat tahun, toga yang dihargai Rp. 40.0000/kepala oleh Rektor itu akhirnya mampu ia kenakan. Kontras dengan banyak orang yang ada di sana, bahwa tatkala banyak orang yang menilai kampus UIN sangat mendiskreditkan mahasiswa yang di luar bendera mereka, ia mampu menjadi contoh yang agaknya cukup baik dalam hal akademik. Dan sayangnya, saya sendiri tidak bisa menghadiri acara sakral itu, dan hanya mampu melagukan Iwan Fals, Sarjana Muda.

Begitu halnya dengan keikhlasannya dalam membiayai segala publikasi senjakala. Hingga mampu menjadi satu-satunya media di kampus Ciputat yang masih eksis yang, semoga sampai detik kini, dan esok. Maka, jika saya ditanya orang tentang siapa orang yang paling bertanggung jawab atas perkembangan sastra alternatif dan independen di UIN Ciputat saat ini, maka jawaban saya adalah dua orang; Zakky Zulhazmi dan lelaki biasa itu, Kenyot Addisatva.

Ternyata lelaki biasa itu memang seorang yang biasa saja. Yang biasa saja dalam memengaruhi kehidupan sastra di Ciputat menjadi semarak. Bahkan mampu hidup, dan memunculkan banyak pegiat baru akibat ulah Senjakala yang terus mengeluarkan publikasi tiap bulan. Mungkin kuping merah panas, bahkan dengan bantuan dana dari rektorat pun mereka tidak mampu menyemarakkan kampus yang mulai hedonistis, katanya.

Maka, ia tetaplah lelaki biasa, yang mampu menginspirasi banyak orang dengan sepotong sajak cinta yang disimbolkan dengan hadirnya Tongkrongan Sastra Senjakala di kampus, yang katanya, pembaharu dan peletak dasar filosofis perjuangan sastra merdeka yang tidak hegemonik. Bahkan cenderung apresiatif, adaptif, dan kritis terhdapa apapun.

Saya mendengar lelaki biasa itu menikah. Berarti, lelaki biasa itu juga telah menyeleksi dirinya sendiri untuk tetap di jalur kehidupan. Bahwa ia pernah menukil perkataan Rendra, ‘dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata’.

Benar. Ia membuktikan kelakar di sebuah diskusi hari Rebo.

”Selepas lulus, aku nikah!”

Mungkin juga ia lupa apa yang dikatakannya itu.

Barangkali ini hanyalah kado kecil, dari seorang sahabat, yang mungkin tidak dimasukkannya dalam daftar pertemanan di buku kecil yang ia miliki. Tentu, karena lelaki biasa itu memiliki banyak teman luar biasa di luar sana, dan karena lelaki itu hanyalah biasa saja.



Dan saya begitu merindukan lelaki ini menulis lagi seduhan penutup yang menemani kami berbincang saat senja tiba.


Jakarta, 2011

Rabu, 16 Mei 2012

Menguak Dosa Nurdin Halid



Judul              : Dosa-Dosa Nurdin Halid
Penulis           : Erwiyantoro
Tahun            : I, Februari 2011
Penerbit         : Galang Press, Jogjakarta.
Tebal             : 274 Halaman





Kisruh persepakbolaan nasional begitu menyita banyak perhatian. Tidak hanya para praktisi, rakyat jelata pun tak luput membicarakannya. Sosok yang acapkali dianggap sebagai otak keruwetan itu adalah Nurdin Halid. Lalu, mengapa ia begitu dibenci khalayak?

Pada titik ini, buku yang bertajuk “Dosa-Dosa Nurdin Halid” agaknya menjadi jawaban di tengah memanasnya konflik, serta pelbagai perang tafsir atas statuta FIFA antara pemerintah di satu sisi, dan PSSI di sudut yang lain.  Pun ditulis oleh seorang jurnalis senior, Erwiyantoro, yang telah malang melintang  hampir 40 tahun di jagad sepakbola tanah air, dan menjadi saksi sejarah perjalanan PSSI dari masa lampau sampai detik sekarang.

Maka berawal dari catatan dan obrolan imajiner di situs jejaring sosial. Mas toro, begitu ia kerap disapa, menghadirkan narasi dengan fakta yang cukup menggelitik. Juga seakan menjadi bukti paling sahih kedigdayaan Nurdin  dalam jagad persepakbolaan nasional. Salah satu realita yang tak terbantahkan  adalah kemampuan dia menyetir organisasi di balik jeruji besi. Bahkan, dalam sejarah dunia, hal demikian cuma ada di negeri ini, Indonesia.

Induk organisasi sepakbola dunia (FIFA) sudah memberi peringatan  keras. Bahkan mewanti-wanti akan memberi sanksi tegas jika teguran itu diindahkan. Namun, semua terpental. Menurut penulis buku ini, kepiawaian Nurdin ada pada kekuatan lobi dan ramuan jejaring yang dimiliki. Hingga sanggup membungkam pelbagai kontroversi dan polemik yang menginginkan beliau lengser dari tampuk kepemimpinan yang sudah digenggamnya selama delapan tahun.

Lelaki yang juga seorang pebisnis itu dianggap telah mencampuradukkan antara kepentingan politik dan sepabola demi keuntungan, dan hasrat pribadi. Di dunia persepakbolaan modern, kedua hal tersebut harus dihindari. Bahkan FIFA secara tegas melarang adanya politisasi dan intervensi dalam bentuk apapun. Termasuk juga penyalahgunaan hak interogatif.

Di sinilah salah satu titik pijak kesalahannya. Sebagai ketua, ia kerapkali mengintervensi keputusan Komisi Disiplin (Komdis) guna melegalkan posisinya sebagai pemangku kebijakan. Termasuk mengelabui FIFA pada Munaslub Makassar pada tahun 2008. Buntutnya, ia terpiilih kembali  secara aklamasi. Tanpa ada pemungutan suara yang jelas dan transparan laiknya sistem demokratisasi yang ada pada tiap organisasi.

Begitu juga soal keuangan. PSSI dianggap sebagai salah satu lumbung tambun untuk korupsi. Tidak adanya kejelasan soal pendanaan di tubuh organisasi,  menyebabkan opini publik semakin tidak percaya. Bahkan merasa pesimistis persepakbolaan Indonesia bisa menjadi mandiri dan professional jika pengurusnya masih orang yang sama.

Puncaknya adalah pada jebloknya prestasi tim nasional. Hampir tidak ada yang bisa dibanggakan selama periode kepemimpinan dia. Tim nasional kita seakan hanya mampu menjadi penonton pada tiap pesta sepakbola dunia.  Padahal, negeri tetangga semacam Malaysia dan Singapura sudah mempu merengkuh juara AFF. Sedangkan kita, harus cukup puas melanggengkan tradisi sebagai runner up kejuaran tingkat Asia Tenggara tersebut.

Meskipun ada, itupun hanya sebatas Piala Kemerdekaan yang  kontroversial. Karena demi gelar, pengurus PSSI disinyalir telah melakukan kecurangan. Hingga membuat tim lawan mogok bertanding, dan memudahkan merengkuh juara tanpa mengeluarkan setetes pun keringat. Namun, semua itu seolah belum mampu untuk menggulingkan Nurdin dari kursi panas senayan.

Sebagai seorang jurnalis, tentu penulisnya punya pandangan yang cukup objektif melihat permasalahan yang menjangkiti PSSI. Di buku ini, pembaca seakan diajak untuk berkaca dalam pemetaan konflik yang tengah terjadi. Bukan serampangan dengan menyudutkan satu pihak bersalah atas yang lain. Walau kovernya sendiri sangat menantang untuk dibaca.


NB: resensi ini pernah dimuat di KoJak dg judul Menguak Kedigdayaan Nurdin, sekadar pengingat tulisan. sayang saya tidak sempat mengkliping koran tersebut. link gambar--> https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiyM7Kzyr6pzZP883untBkEeL53YjZESLqrRVIcWKPT_eB8dXCVDBJpqCrRg6lGX_I2TvwgLudOWl8LCWhDgzQ7By1KvKZXBmSoXF61voOHuoADv2brOqgja3dHw_89km6yOmCCkZF2e8Qb/s1600/Buku-Dosa-Nurdin-Halid.jpg

Kamis, 10 Mei 2012

Narasi Pilu Penduduk Pulau


Judul               :  Lelaki Laut; Mengayuh Cita-Cita dan Harapan dari Pulau Seribu
Penulis             : Alamsyah M. Dja’far
Penerbit           : Gramedia, Jakarta.
Terbit               : I, Desember 2010
Tebal               : 204 hal.



Acapkali kita mendengar kelakar mendayu bahwa nenek moyang bangsa ini merupakan seorang pelaut. Bahkan ribuan pulau yang berderet sepanjang nusantara adalah bukti kejayaan masa lampau. Namun apa jadinya jika semua itu tidak mampu mensejahterakan penduduknya?

Tak ayal, yang terjadi adalah ketimpangan yang deras menimpa mereka. Geliat inilah yang coba dikemukakan oleh penulisnya, Alamsyah M. Dja’far, dalam novel yang bertajuk “Lelaki Laut” ini. Pria yang juga merupakan jurnalis ini adalah produk asli pesisir Pulau Tidung. Sebuah  gugusan dari Kepulauan Seribu yang terkenal multi etnik.

Adalah Bang Jar, lelaki yang dikisahkan dalam novel ini, yang terlahir diantara tumpukan ketidakadilan yang dialami penduduk pulau. Betapa tidak, secara geografis letak mereka tidaklah jauh dari pusat pemerintahan. Sudah selayaknya daerah tersebut mendapat perlakuan  yang sama dalam segala bidang. Baik sarana fisik, ekonomi, maupun pendidikan.

Alih-alih mendapatkan semua itu, yang diperoleh hanya kesenjangan yang semakin dalam antara pemodal dengan penduduk asli yang rata-rata nelayan dan buruh. Pun masuknya budaya-budaya asing yang menggerogoti pluralitas masyarakat pulau. Terutama kaum muda yang seolah berbangga ria jika sukses mengadopsi lelaku barat dalam kesehariannya.

Di sinilah posisi lelaki itu seolah menjadi representasi paradigma berpikir generasi muda yang ada di pulau. Bahwa menjadi nelayan dan menjelajah lautan yang luas agaknya lebih menjanjikan dibanding harus berlelah keringat di bangku sekolah. Tak terkecuali Bang Jar. Padahal orang tuanya relatif mampu dibanding penduduk pulau lainnya.

Kelihaian penulisnya teruji dengan tidak menempatkan tokoh utama sebagai pihak subordinat laiknya novel kebanyakan. Melainkan memosisikannya pada ranah yang tidak sulit dijangkau logika.  Realis dan bernas.  Yang dalam kacamata positivistik, harusnya berjalan sesuai dengan arah peradaban yang semakin membaik tatkala didukung dengan pelbagai fasilitas.

Goncangan hebat terjadi ketika ayahnya wafat di Mekah untuk menunaikan ibadah haji.  Ia depresi, juga kecewa dengan dirinya sendiri yang dinilai gagal menjadi anak yang berbakti. Minum-minuman keras mulai diakrabi. Juga segala bentuk keburukan lainnya. Sedang untuk menghidupi dirinya, ia berkelana dan mengamen di Jakarta. Hingga tersungkur karena obat-obatan terlarang di pusat rehabilitasi.

Pada titik ini, ia berkontemplasi dengan segala keadaan kacau itu. Apalagi di sudut lain, adiknya yang bernama Lalam, mulai menapaki hasil jerih payahnya dari bangku kuliah, serta mulai dikenal sebagai calon intelektual muda yang cukup berpengaruh di kalangan para pemikir.  

Akhirnya, ia tersadar akan tanggung jawab dan eksistensinya sebagai manusia. Maka ia pun keluar dari dunia kelam yang telah menjerumuskannya itu. Dan mulai menapaki jalan lurus.  Hingga ia pun menikahi perempuan asal Mojokerto, Nurul. Walau kala itu ia masih menjadi pengangguran. Tapi tetap saja, himpitan hidup terus mendera Bang Jar dan istrinya.

Hasratnya kian menggebu untuk mengejar ketertinggalan. Ia pun melanjutkan kuliah D3 sembari bekerja di sebuah majalah. Kegigihan dan dedikasinya untuk merengkuh pendidikan membuatnya berhasil meraih gelar sarjana. Bahkan sempat menjadi asisten dosen. Bahkan mendirikan beberapa taman bacaan untuk membantu penduduk pulau mengejar ketertinggalan.

Malang tak bisa ditolak. Tuhan memanggilnya kala ia menggapai mimpinya itu. Tepat sehari setelah ia diwisuda. Novel ini ini menyugukan bahasa jurnalisme yang tidak hanya investigatif, melainkan juga santun dalam bingkai sastrawi, serta dibalut dengan dengan narasi pesisir laut yang memikat. Guna mengurai fenomena menggelitik yang acapkali tak tersentuh oleh modernitas yang cenderung eksploitatif terhadap alam dengan segala perniknya.

Dedik Priyanto, Penikmat Buku. Jurnalis Majalah Surah: Medan Sastra Indonesia. Kord. Forum Studi Mahasiswa Piramida Circle Jakarta.

NB: Saya lupa pernah menulis review ini dulu. Ketika Bang Alamsyah M Dja'far , senior saya menulis novel dan kawan2 Piramida Circle, PMII Komfakda Ciputat dan Senjakala meminta untuk diskusi dan bedah buku beberapa tahun lalu.

Sastra dan Perlawanan Pada Korupsi

Judul               : 86
Penulis             : Okki Madasari
Tahun              : I, Maret 2011
Penerbit           : Gramedia, Jakarta.
Tebal               : 252 Halaman



Novel ini berkisah tentang fenomena praktik korupsi yang kian meruyak, menggurita dan tiada pernah berujung pangkal di negara kita. Istilah ‘Delapan Enam’ agaknya sudah lazim, dan biasa digunakan para panitera, hakim dan pengacara, serta para pegawai di jajaran pemerintahan.

Adalah sosok Arimbi, perempuan yang diceritakan oleh penulisnya, Okki Madasari, untuk menjadi pengantar dalam memetakan realitas praktik korupsi yang menjamur. Sebagai pegawai rendahan, dan hanya bergaji 2, 5 juta per bulan, tiadalah cukup bagi Arimbi membiayai hidupnya di Jakarta. Apalagi ia berasal dari kampung, dan dibanggakan oleh keluarga sebagai generasi pewaris yang menjadi pegawai. Beban besar pun serasa menggelayut di pundaknya.

Laiknya pegawai baru yang masih polos, Arimbi bingung dengan pola kerja yang diperintah oleh para atasan yang seringkali harus mengubah surat maupun laporan demi kepentingan atasan. Apalagi ia sejak kecil memang terdidik untuk berlaku jujur. Bahkan untuk tes kepegawaian pun ia tidak mengeluarkan sepeserpun.

Awalnya ia risih. Atasannya, Bu Danti, lalu mengajarinya banyak hal tentang administrasi. Walau tanpa sadar, sebenarnya ia telah dicekoki pola-pola manajerialnya yang cenderung menyeleweng dari tugas yang seharusnya dikerjakan sebagai seorang juru ketik. Semua itu seakan menjadi kebiasan dalam tugas barunya itu di ibu kota.

Seiring berjalannya waktu, tanpa benar-benar disadari, ia terjerat pada alur yang membawanya pada praktik korupsi. Berawal dari hadiah-hadiah kecil yang diberikan atas jasanya. Hal itu kemudian menjadi sesuatu yang lumrah. Bahkan menjadi sebuah keniscayaan dalam kesehariannya bekerja. Pun hubungannya dengan Ananta, yang merupakan prototype lelaki metropolis  membuatnya harus memutar otak guna mendapatkan penghasilan berlebih.

Hingga pada sebuah kasus seorang pengusaha besar, Arimbi dijadikan tameng oleh Bu Danti yang gerak-geriknya sudah mulai terendus oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia diminta untuk menemui dua orang perwakilan terdakwa yang menginginkan kasusnya segera selesai. Di sebuah restoran itulah ia mulai menunjukan diri sebagai orang kepercayaan bosnya tersebut dengan melakukan transaksi yang bernilai miliaran rupiah.

Bagi Arimbi, ini adalah sebuah keuntungan yang sangat besar. Ia mulai sadar bahwa akan cepat menjadi seorang yang kaya seperti yang diidamkannya selama ini. Lambat laun, ia pun terperangkap oleh aparat kepolisian yang sudah lama mengincarnya. Hingga malang tak dapat ditolak, ia tertangkap basah membawa uang hasil suap  dalam sebuah tas ketika berada di rumah Bu Danti.

Ia pun menyalahkan atasannya tersebut. Bahkan akan membeberkan semua kejahatan yang dilakukan Bu Danti. Namun, semua terasa hampa. Bosnya merupakan perempuan yang licin, dan memang sudah terkenal sebagai makelar kasus yang beberapa kali sukses mengelabui hukum. Kelihaian, serta jaringannya yang kuat membuatnya menjadi aman dari jeratan hukum yang berat. Korbannya adalah pegawai kecil seperti Arimbi.

Tak ayal, kasusnya pun menyebar dan menjadi santapan empuk para wartawan cetak dan elektronik. Pada titik itu, bisa dibayangkan bagaimana efek psikologis mendera Arimbi dan keluarga. Rasa malu juga yang pasti menyakiti hati orang tua saat melihat anaknya di TV, dirubungi orang-orang dan disebut menerima suap (hal.56)

Sungguh ironis. Ketika menjalani proses hukuman dalam penjara, Arimbi bertemu dengan realitas yang juga tidak jauh-jauh dari praktik korupsi,  suap dan pungli yang dilakukan petugas. Bahkan lebih ekstrem. Ia yang tidak punya uang sama sekali, harus rela tidur berdempetan dengan tahanan lain. Sedang Bu Danti dengan kekuatan uangnya, mampu hidup mewah dalam penjara.

Melalui  novel ini, Okky mencoba untuk mengembalikan sastra sebagai bentuk perlawanan terhadap realitas yang terjadi dalam masyarakat. Isu korupsi yang menjadi  latar utama kisah ini mampu digarap dengan cukup rapi, tidak konspiratif, dan rasional. Pembaca seolah diajak untuk mengikuti alur jejak sebuah sistem korupsi yang sudah yang menjalar dan sukar untuk ditolak.


Dedik Priyanto, penikmat buku. Jurnalis di majalah Surah; medan sastra Indonesia. Kord. Forum Studi Mahasiswa Piramida Circle Jakarta.