Tendang, Terjang, Hadang

Kamis, 29 Agustus 2013

Demak, Suatu Ketika

Aku menyebutnya menziarahi bayangan. Menelusuri jejak-jejak udara yang kau hirup, menyimak deru kendaraan yang bakal mengantarmu dan menyisir tanah yang nanti akan kau pijak.

Aku datang ke kota ini. Tepat ketika kau memberikan kabar di linimasa itu, sebuah kabar yang sebetulnya bukan untukku, tapi untuk semua orang yang kau kenal--tentu saja selain aku.

Lalu aku pun sengaja mengambil bus terakhir mudik dari Jakarta, bukan karena tidak ada kendaraan lagi untuk mudik. Melainkan aku ingin merasakan keberadaanmu yang begitu dekat, barangkali.

Ya, barangkali aku akan mendengar suaramu dari angin.

Aku tidak tahu di daerah mana kota ini kau bakal menjejakkan kaki. Aku pun tidak pernah mengerti, mengapa aku harus datang ke kota ini. Satu hal yang aku sadari, aku pergi ke kota ini karena dorongan hati.

Hatiku berkata bahwa aku akan dekat dengan bayangmu di kota ini, dan di hari ini.

Kepulangan semalam menggunakan bus adalah perjalanan yang istimewa bagiku. Tidak pernah kuprediksi jalurnya, tapi aku melewati kotamu yang lain; Bandung.

Dan seingatku, ada tiga kota dalam hidupmu--begitulah yang sering kau ceritakan dulu (Ah, kenapa aku selalu mengingatmu). Tiga kota itu adalah Yogyakarta, Bandung dan Demak.

Kota pertama merupakan kawah pergulatan hidupmu dengan realitas. Tempat menimba studi dan membangun jaringan, serta lembah bagimu untuk beraktualisasi menjadi dirimu yang sekarang ini--dan aku selalu suka itu.

Di kota ini pula, 56 hari yang lalu kita terakhir bertemu pada sebuah sore yang biasa--dan aku tidak bisa berkisah tentang ini lebih banyak lagi.
Lalu kota kedua adalah Bandung. Entah kenapa, kota ini mengingatkanku pada saling kirim antar pesan singkat yang kita lakukan tahun lalu.

Kau balik dari Jakarta ke Bandung selepas sebuah acara yang kau helat bersama kawan-kawanmu itu, sebuah acara untuk mengenang seorang tokoh yang kau kagumi itu.
Juga sebuah pekerjaan yang membuatmu berkata bahwa kau tersesat di hutan belantara yang penuh dengan beton dan gedung-gedung tinggi. Itulah Jakarta, kota tempat kita pertama kali berjumpa.

Perjalanan menggunakan bus Cipaganti semalam ternyata tidak aku duga. Aku melewati kotamu dan berbuka puasa di Bandung.

Di kota tempat keluargamu tinggal ini aku merasakan dirimu begitu dekat, atau barangkali hatiku yang merasa tenang melihat pemandangan yang begitu menyejukkan mata; gunung, kabut, jembatan kereta api di balik bukit dan senja yang malu-malu di antara ranting pinus.

Aku duduk di paling belakang di bus itu. Kau mungkin bisa mengimajikan, aku duduk di pojok paling belakang bagian kanan dengan posisi duduk paling tinggi dari yang lain.

Aih... Aku tidak bisa melukiskan bagaimana keindahan melewati kotamu. Apakah kau merasakan hal yang serupa jika lewat di Jalanan ini?

Ya, jika kau ke Jatinangor atau Sumedang, maka sebelumnya kau akan melewati dataran indah ini. Seorang kawan di perjalananku ini sampai terkaget, ia belum pernah melihat ini sebelumnya.

Kami, para pejalan ini, mengambil arah Bandung-Cirebon untuk menghindari Cikampek yang begitu riuh dan sangat macet, tentu saja. Bagiku, sungguh menggembirakan bisa datang dan walau sebentar menghirup udara di kotamu yang lain.

Nah, kota ketiga adalah kota ini Demak, yang konon merupakan rumah bagimu. Rumah tempat kau tumbuh dan menghabiskan masa yang disebut waktu paling indah; SMA.

Aku sengaja mengambil tiket dengan kota ini sebagai tujuannya. Aku ingin tiba di sini pada hari Senin, dan akhirnya aku tiba pagi hari tadi, pada kisar 06.35.

Aku memang menginap di salah satu kawanku. Kau pasti tahu, kawan-kawanku begitu banyak dan silaturahmi adalah salah satu cara yang diajarkan agama kita.

Apa yang pertama kali terbersit di otakku kala tiba di kota berjulukan 'Kota Wali' ini?

Ah, kau pasti sudah bisa menebaknya dengan tempo yang secepat-cepatnya seperti seorang pedagang yang bisa menebak harga secara tepat di pasaran. Sebab seperti katamu, aku memang penata kenangan yang baik.

Sebenarnya yang aku harapkan begitu sederhana. Aku ingin merasakan apa yang kau rasakan, menghirup udara yang sama, memakan nasi di kota yang sama dan merasakan senja yang sama.

Kota ini memberikan harapan itu. Walaupun aku tahu, aku tidak akan pernah bertemu denganmu secara nyata di kota ini. Tapi bagiku, melihat bayangmu di kota ini melalui imajinasiku juga itu sudah cukup. Cukup.

Di kota ini, rencananya aku akan ziarah ke makam Sunan Kalijaga dan Arya Penangsang. Seingatku, aku kesini dua tahun lalu.

Akankah kita bertemu secara tidak sengaja di sini? Ah, sudahlah, kebetulan seperti itu hanya ada di film dan cerita belaka.

Hmm... Di kota ini, aku mungkin bisa mencari bayangmu, mungkin merasakan apa yang kau rasakan dan menyimak senja seperti halnya kau menyimaknya. Begitu.

7 Agustus 2013
@DedikPriyanto

post scriptorium: aku menulis ini dengan hape via perjalanan dari Kudus ke Tuban, diselingi deburan ombak sepanjang Rembang. benar kata orang, road is the good listener. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar