Tendang, Terjang, Hadang

Minggu, 30 September 2012

Ratusan Gusdurian Peringati Harlah Gus Dur



Ratusan pecinta dan penerus cita-cita dan perjuangan Gus Dur (Gusdurian) menghadiri peringatan hari lahir (harlah) KH Abdurahman Wahid yang berlangsung di aula Wahid Institute, Matraman, Jakarta, Jumat (3/8).

Gusdurian tersebut umumnya tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Mereka berasal dari beragam organisasi, profesi, usia dan bahkan iman. Ada yang datang bermobil pribadi, motor, dan jalan kaki. Pakaian mereka mulai dari yang berjaket, koko, berkopiah, dan bersarung; hingga berkaos oblong; dari yang berambut gondrong hingga plontos. 

Acara dimulai pukul 16.00 dengan sambutan Koordinator Gusdurian Alissa Wahid. Ia mengatakan, kini kelompok yang menyatakan diri Gusdurian sudah tersebar di 30 kota. Mereka menyelenggarakan pertemuan-pertemuan yang cair dan membahas apa saja, sesuai dengan kebutahan daerah mereka. 

Didaulat sebagai pembicara pada acara bertajuk Gus Dur dan Kebudayaan tersebut dua budayawan yaitu Mohammad Sobari dan Jaya Suprana. Juga sastrawan gaek Martin Aleida. Dan moderator Dedik Priyanto, Gus Durian muda asal Ciputat. 

Dari diskusi tersebut mengemuka dua sifat Gus Dur, yaitu keteguhan dan keberanian. Keteguhan dalam menggenggam gagasan persaudaraan, persamaan, dalam keragaman dan keberanian dalam menjalankan gagasannya. Apapun risikonya.

Martin Aleida, sastrawan Lekra yang pernah dipenjara Orde Baru berpendapat, karya terbesar Gus Dur adalah meminta maaf.

“Setidaknya buat saya dan orang-orang yang menjadi korban seperti saya. Itu pencapaian yang luar biasa,” ujarnya.

Menurutnya, PKI dan NU pernah berhadap-hadapan pada masa lalu. Tapi luar biasanya, Gus Dur dengan keberaniannya membuka hubungan kembali dengan minta maaf. Hal ini sangat berdampak positif terhadap masa depan anak bangsa. 

Sementara Jaya Suprana juga mempertebal tentang keberanian Gus Dur. Ia mengutip apa yang dikatakan Gus Mus pada sarasehan Kristalisasi Pemikiran Gus Dur beberapa waktu lalu. Menurut Gus Mus, satu hal yang jarang dimiliki tokoh sekarang adalah keberanian. 

“Berani mengatakan yang benar itu benar, yang tidak benar itu, tidak benar. Itulah Gus Dur!” tambah ahli kelirumologi ini.

Mohammad Sobari mengambil sudut pandang lain terhadap Ketua Umum PBNU 1984-2000 dan Presiden RI keempat tersebut. 

“Segala tindak-tanduk Gus Dur menegaskan ke-NU-annya. Dan tidak ada yang seperti itu. Dalam hal taat kepada tradisi aja, Gus Dur itu tidak ada yang menyaingi. Terutama tradisi sowan kepada kyai-kyai,” tegasnya. 

Diskusi kemudian dijeda dengan buka puasa dan shalat maghrib. Acara dilanjutkan kembali dengan tampilnya KH Husein Muhammad. Ia membacakan puisi Matsnawi karya Jalaludin Rumi dan syair Abu Nawas, yang diterjemahkannya. 

Hadir pada kesempatan itu Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Imdadun Rahmat, Direktur Eksekutif The WAHID Institute Ahmad Suaedy, aktor Alex Komang, dan aktivis HAM Usman Hamid, serta aktifis NU Amsar A. Dulmanan. 


Jakarta, 4 Agustus 2012 cek berita asli www.nu.or.id

Saya, #1000HariGD Dan Cerita-cerita Lainnya

Foto seusai acara #1000HrGD di TIM. Tampak dr Ki-ka: Ulin Yusron, Sobih Adnan
Mas Jay, Rosianan Silalahi, Saya, Tata, Inayah W, Anita W,  Alissa W, Hamzah S, Mbak Yun, Farha Cicik dll,

Sebuah tulisan biasanya dimulai dengan ungkapan yang menyentak, atau paling tidak menukil pernyataan seorang tokoh/filsuf untuk menyelematkan pendapatnya dari hantam caci. Ah, syukur-syukur tulisan itu tidak dimulai dengan sebuah kalimat tanya. Orang model begini biasanya hidupnya sengsara.  Kenapa?

Alih-alih membuat pembaca menyunggingkan senyum, lalu secepat kilat menjawab pertanyaan yang diajukan. Terkadang pertanyaan-pertanyaan itu malah menjadi bom Nagasaki yang tanpa sengaja diletakkan begitu saja di dada dan pikiran pembaca. Beruntung jika pembaca itu  orang yang kuat, tegar, dan tentu saja masih muda. Bayangkan jika pertanyaan yang merupa bom itu tidak sanggup ia pikirkan, lalu tiba-tiba pembaca itu memiliki penyakit jantung.

Maka anda tinggal menunggu polisi menggerebek kediaman anda, memborgol dan menangkap atas tuduhan; pembunuhan berancana. Lalu anda akan merutuki diri sendiri, sedangkan kawan-kawan anda hanya bisa tertawa nyinyir karena kesialan anda.  Bukan begitu, bukan?

Tapi tunggu dulu. Saya tidak ingin menakuti-nakuti, saya hanya ingin bercerita tentang sebuah malam, bercakap tentang sebuah pertemuan, dan berkisah tentang sebuah percakapan.

Percakapan yang dimulai dari sebuah ketidaksengajaan. Permulaan yang diawali dari sebuah malam, dan tentu saja berakhir dengan sebuah malam. Malam yang belum pekat, malam yang masih benderang. Malam yang masih menyisakan sebuah tanya;

Bukankah perpisahan selalu mulai dari sebuah pertemuan? Dan tidakkah terlalu sayang jika tidak ada penanda, tidak ada catatan akan pertemuan, dan perpisahan? 

Tiba-tiba saya teringat sebuah malam di Taman Amir Hamzah, selepas saya dan suhu Hamzah Sahal menjemput D Zawawi Imron dan Ahmad Tohari menghadiri sebuah acara kebudayaan di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, maka tugas saya selanjutnya adalah membantu Nyewu #1000HariGD.

Terdorong rasa bersalah yang tiada terkira melihat kawan-kawan Gusdurian berjibaku mempersiapkan pelbagai rangkaian acara, sedang saya terlalu lama bertapa di rumah. Entah apa yang dibantu, saya pun belum tahu. Minimal saya telah berniat membantu. Malam itu saya menghubungi Morenk Mauladi, dan turut ke Ciganjur menumpangi mobil BMW keluaran 1996 milik Savicali yang dikendarai oleh Imam. 

Dengan tekad membulat, dan niat ingin segera berbagi pundak dengan kawan-kawan, atau sekadar menyiapkan minum bagi mereka yang kehausan menyiapkan acara. Atau barangkali jikalau mereka lelah, saya bisa memijit kaki mereka, itu sudah cukup bagi saya. Sebagai penebus dosa kepada saya kepada kawan-kawan Gusdurian, sebagai pelipur lara dan duka. 

Kami bertiga menyusuri jalanan Matraman-Ciganjur dengan pelbagai kicauan, dan tentu saja perdebatan-perdebatan. Terkadang inspiratif, tak jarang sarkastis. Dari hulu ke hilir, perbincangan kami laiknya anak-anak muda dengan gairah yang membara; mengumpat Jakarta lengkap dengan kemacetan yang kian menggurita, tentang Gus Dur, dan tentu saja cinta.

Kata ini, entah sejak kapan, kata ini selalu membuat saya linglung.

Kita bisa mendebat apapun tentang gerakan, atau berdiskusi berhari perihal buku-buku pemikiran dan sastra yang menggetarkan dunia, atau ihwal isu-isu yang kian hari kian memanas berikut dengan penjelasan teori-teori yang acapkali membingungkan. Tapi ketika berbicara soal cinta, saya memilih untuk menepikan diri. Mengedarkan pandangan ke jendela, menyaksikan malam yang kian semarak dengan lampu-lampu ibukota, atau bintang yang entah kapan saya melihatnya bersinar kembali di langit Jakarta.

“Elu udah pernah ciuman, Ded,” tukas Morenk tiba-tiba membuyarkan lamunan saya.

“!!!”

Saya hanya diam.  Sedangkan imam yang sedang mengemudi hanya bisa tertawa bengis. Mereka berdua tertawa terbahak-bahak, saya hanya menelan air liur, dan tersedak. 

“Elu itu kebanyakan baca buku sih. Nyari pacarlah.”

Saya hanya diam. Otak saya berputar, saya mencari referensi dari bacaan yang pernah saya baca. Tentu nukilan atau kata-kata ilmiah perihal cinta tidaklah menjadi sulit bagi saya untuk dipakai jurus melawan. Tinggal mengambilnya dari otak, seperti seorang lapar yang mengambil apa saja dalam kulkas.

Tapi entah kenapa tiba-tiba saya tidak bisa membuka cakrawala itu. Siapa pula yang menggembok, rutuk saya kala itu. Dan semakin saya diam, tawa mereka kian melengking. Kian nyinyir. 

“Belum, gua yakin,” tambah Imam menambah derita saya. 

"Pernah, tapi sekarang enggak," jawab saya datar. 

Tawa mereka kian menggema. Bahkan lebih keras dari suara mobil yang berjalan, lebih nyaring dibanding sirene motor kemacetan yang bersahut-sahutan. Hujan tiba-tiba turun membasahi jalanan ibukota. Tidak terlalu deras, tapi sudah cukup membasahi hati.

Obrolan perihal cinta berhenti ketika Savicali mengajak menjenguk seorang kawan yang sakit di Kalibata.

Setelah kongkow dan ngobrol ngalor ngidul di sana. Kami yang datang membawa banner dll untuk acara Nyewu Gus Dur melanjutkan kembali perjalanan ke Ciganjur. Perjalanan ini berasa begitu lama, begitu jauh. Mirip perjalanan ke barat yang dipimpin oleh Sun Go Kong. Lengkap dengan kuda dan Bhiksu Trivitaka, dan Ciganjur adalah tempat suci itu. Dan saya, ah, jangan-jangan menjadi Panglima Tian Feng yang selalu gagal bercinta 

Kami tiba di Ciganjur kira-kira tepat tengah malam.

Menyaksikan pagelaran wayang Ki Enthus Susmono dengan lakon Kumbakarna Gugur. Saya takjub. Begitu banyak manusia yang setia untuk menonton pagelaran ini. Bahkan hingga pagi hari, saya masih bisa merasakan aura kegembiraan di mata orang-orang ini. Perkiraan saya, masih ada  seribuan orang yang bertahan hingga wayang usai.

Lalu kami melangkahkan kaki ke kediaman Gus Dur, meletakkan banner dan melangkahkan kaki menuju belakang panggung. Ke kantor Puan Amal Hayati, tempat kawan-kawan berkumpul.

Di rumah yang dekat dengan asrama santri Ciganjur tersebut, kami bergabung dengan teman-teman gusdurian lain. Saya agak canggung, karena beberapa tidak saya kenal karena memang kebanyakan bukan dari Jakarta; ada mas jay, mbak yuni, dan Tata, dan lain-lain. 

Perkenalan di situ pun tampak begitu lucu. Bermula dari isu soal saya, pacar dan ciuman. Dan lagi-lagi Tengku Morenk Mauladi (Ah, kenapa saya lebih suka menyebut Mauladi dibanding Beladro. Maafkan..) membuat nalar tertawa kami bangkit.

Derita itu ditambah dengan ‘update’ twit dia di akun @MorenkBeladro yang bertutur ihwal tentang cinta dan kegalauan akan ciuman yang menerpa kawan-kawannya. Sudah pasti yang menjadi bahan sasaran adalah saya dan kegagapan menghadapi cinta.

 Ah, kau, kawan…

Waktu berlalu. Denting kian bertalu. Lengking tawa dari para hadirin yang menyaksikan pertunjukan wayang terus saja menggoda saya untuk keluar dari ruangan itu. Sekadar menikmati gaya postmodernitas perwayangan yang dianggit Ki Enthus, dan tentu saja Megan, sinden asal Amerika yang saat itu sedang tampil bersama Ki Enthus dkk. Namun, urung saya lakukan.

Saya pun berkenalan dengan kawan-kawan Gusdurian baru ini dengan candaan lama,  dengan ‘gojlokan yang lama’ dan dengan komodifikasi yang lama pula; Jomblo dengan segala penderitaannya.

Tiba-tiba.

“Akhirnya ketemu. Saya kira sudah tua, dan memang sudah tua. Saya yang biasa menghubungi teman-teman gusdurian. Heuheu,” paparnya seraya menjulurkan tangan.

Ternyata dia yang kerap menghubungi, dan percakapan bermula.

***

Pagelaran puncak #1000HariGusDur hampir dimulai. Panggung sudah berdiri dengan begitu megah. Tepat di depan Galeri Cipta TIM. Entah kapan dan siapa yang sudah memasang panggung itu.  Beberapa hari lalu saat saya menemani pak Ahmad Tohari masih belum ada apa-apa, hanya beberapa besi penyangga yang tidur manis di samping jalan. Namun sekarang panggung itu telah berdiri dengan gagahnya dan ada foto Gus Dur tertawa di sana. Ah, kita rindu sampean, Gus.

“Eh, katanya mau datang siang,” ujar seorang perempuan yang memakai baju putih lengan panjang bergambar #1000HrGusDur di depannya.

Saya menoleh ke belakang.

“Saya sudah dari tadi kok,” jawab saya singkat.

Saya yang datang agak sorean diminta Hamzah Sahal untuk menemani kiai D. Zawawi di Hotel memang agak telat, dan langsung menuju Hotel Alia yang berada tepat berada di depan TIM.

Namun lagi-lagi, rasa bersalah hadir tanpa diundang, melihat kawan-kawan Gusdurian yang sudah mempersiapkan acara yang tampak bakal begitu meriah. Dan saya pun kembali merutuki diri sendiri.

Acara Ziarah Budaya #1000HrGusDur pun berjalan dengan begitu hebatnya. Kawan-kawan dari lintas agama pun datang ke lokasi yang dibangun oleh Ali Sadikin itu. Tempat yang mula adalah kebun binatang pada jaman Belanda itu riuh oleh para penonton.

Dari hulu ke hilir, saya bisa melihat bahwa apa yang dilakukan Gus Dur telah melampui sekat apapun. Mulai dari  berkulit coklat, hingga berkulit putih. Mereka tumpah ruah di Taman Ismail Marzuki, Cikini (29/30).

Saya yang sudah menahbiskan diri membantu suksesnya acara ini pun begitu begitu gembira. Mata saya berkaca-kaca tatkala mendengarkan paduan suara kawan-kawan GKI Yasmin, serta bagaimana Glen Fredly memulai berbicara soal Gus Dur, soal perjuangan dan persaudaraan, serta lantunkan lagu-lagu perdamaian. Sesekali saya menoleh ke arah para penonton, yang dengan di depan panggung.

Ah, apa yang telah kau lakukan Gus hingga membuat orang-orang ini begitu gembira!  

Malam itu, saya berpindah-pindah tempat. Karena tugas saya adalah menemani kiai Zawawi Imron, maka saya pun mengikuti kemana penyair kelahiran Batang-batang 69 tahun silam itu melangkahkan kaki. Dan ketika kiai tampil ke panggung, tentu saja saya menemani di samping kanan panggung.  Di situ pula saya bercakap dengan teman-teman panitia gusdurian yang bertugas mempersiapkan performance acara ini. 

Di situ pula saya pertama kali bertemu dengan @fahrisalam, wartawan pantau, yang sebelumnya kita saling mengejek di twitter. Dan tentu ia pun berkomentar rambut saya sekarang yang sudah tidak gondrong lagi karena mengejar akademik.

“Yakin mau lulus,” tandasnya.

Saya pun berdiri di situ. Dengan baju lengan panjang berwarna putih, bermotif Gus Dur dengan tautan #1000HrGusDur hasil desain Morenk, mengenakan tas hitam kecil, dan ukuran XL yang agak kekecilan, saya menyaksikan konser dari samping. Berbincang dengan mbak yuni, mbak Alissa, Mbak Inay, Hamzah, jay, da Tata, dan lain-lain.

“Wah ternyata satu angkatan,” ujarnya dengan raut yang membeliak. Entah ketakjuban apa yang telah mendera perempuan itu, atau barangkali kekagetan.

Dia memandang saya, dan tak pelak mata saya pun tertuju padanya. Alunan musik kian bertalu. Tepuk tangan penonton kian riuh. Warna-warni lampu terus saja berganti seiring hentakkan suara dari panggung. 

“Capek ya.” 

Saya menganggukkan kepala. Barangkali ia iba melihat saya berdiri terus, atau ia kasihan pada dirinya sendiri. Entahlah.  

“Kemarin saya malah berdiri terus,” ujarnya.

Ia lalu duduk di bawah layar. Saya tetap berdiri. 

“ Kita 'kan masih  muda,” seloroh saya menyunggingkan bibir. 

Acara #1000HrGusDur yang begitu hebat itupun selesai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ah, entah kenapa saya selalu merindukan peristiwa ini, menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama-sama dengan orang banyak. Berdiri bersama, membusungkan dada, dan bernyanyi bersama.

Sama rindunya ketika dada saya bergemuruh tatkala Indonesia Raya berkumandang di stadion Gelora Bung Karno dalam pertandingan timnas Indonesia. Tampaknya, hanya di kedua peristiwa ini saya merasa begitu bangga melantunkan lagu ciptaan WR Soepratman ini.

Seusai acara, dengan penat yang terus bertambah, dan bangga yang kian bertambah pula, keyakinan akan keindonesiaan menjadi begitu tinggi.

Bukankah kita hidup dengan harapan?

Dengan harapan pula kita percaya akan hari esok. Dan kita percaya bahwa masa depan bangsa ini begitu cerah, dengan senyum-senyum persaudaran, dengan binar-binar perdamaian yang diwariskan Gus Dur dan diteruskan banyak orang, seperti malam ini.

***

Malam sudah kian memburam. Kepala saya arahkan ke atas. Ah, saya sekali lagi tidak menemukan bintang di langit Jakarta. Tapi perasaan itu berbalas dengan bulan yang tampak begitu bulat, begitu purnama, begitu indah.

Saya yakin, purnama malam ini adalah penanda bahwa Gus Dur pun gembira di atas  sana, bahwa anak-anak ideologis beliau makin banyak, yang memperjuangkan keadilan dan perdamaian pun kian meruyak.

Saya pun mengucapkan selamat kepada kawan-kawan Gusdurian yang telah sukses membuat acara #1000HrGusDur, kepada Moreng Beladro dkk.

Seusai acara, sebagian dari kami menghabiskan obrolan di sebuah café, sembari melepas lelah dan membincang acara yang baru saja usai.  Obrolan itupun jadi ngalor ngidul, dan menjadi lingkaran-lingkaran.

Ada lingkaran serius yang menempati pojok café,  ada lingkaran ‘orang-orang tua’ yagn menempati dekat jendela, dan kami, lingkaran anak muda+sebagian jomblo yang menempati lingkaran paling dekat dengan pintu. Tentu isi obrolan berbeda pula, dari persoalan acara, tepuk tangan kesuksesan acara, hingga urusan cinta.

Obrolan itu selesai ketika café itu hendak tutup, menjelang pagi, dan kami berpisah. Saya dan Hamzah harus kembali ke hotel menemai si celurit emas, sedang yang lain ada yang ke Matraman, Ciganjur dll. Tentu mereka lelah, dan tentu saja mereka bangga bahwa acara berjalan sukses, dan fellowship ini akan terus terbangun. Selamat, kawan-kawan Gusdurian. 

***

Sebuah pertemuan akan terasa biasa saja jika tidak ada yang mengabadikannya, tentu saja proses menjadi abadi itu ada pelbagai macam cara. Mulai dari potret memotret, lukis melukis, patung mematung, hingga tulis menulis.

Tiba-tiba ingatan saya meluncur pada percakapan dalam sebuah film Alexandria, sebuah film pop yang entah kenapa saya begitu suka. Ketika Julie Estelle memergoki Fahri Albar sedang sakaw dalam mobil.

“Kamu tahu nggak sesuatu yang paling mahal itu apa?” tanya Julie. 

Fachri hanya diam.

“Detik yang sudah lewat, kita tidak pernah bisa membeli waktu itu lagi," tandasnya. 

Ah…

Saya memiliki ingatan yang begitu buruk. Maka saya pun membiasakan diri bergumul dengan catatan-catatan, dan saya pun tidak mau kehilangan detik yang barusan lewat itu.  Dengan catatan itu saya berusaha mengabadikan segala sesuatu. Termasuk saya pun menuliskan detik-detik ini sebagai pengingat, sebagai penanda bahwa tiap detik begitu berharga. 

Ketika menuliskan catatan ini tiba-tiba ponsel klasik saya berderit. Ada pesan masuk. Saya curiga, jangan-jangan ini pesan dari intel untuk menculik saya, dan hari ini adalah 30 September, atau jangan-jangan ada pesan suruhan dari rektorat yang jengah dengan seorang mahasiswanya yang saban hari membully sang rektor di jejaring sosial.

Mungkin pula kawan yang mengajak ngopi. Uh, saya hilangkan persaaan itu dan membuka isi pesan, ternyata;

”Hey Jomblo, gmana kabar skripshitnya? ”

Terpekur sejenak. Saya mendongakkan kepala ke atas. Sejenak kemudian mata saya  berpendar ke sekitar kamar. Lampu kamar tampak muram seketika.  Bunyi gemericik air yang sedari tadi biasa saja tiba-tiba menguar dengan suara yang begitu keras. 

Saya kenal nomor itu, begitu kenalnya karena saban hari saat acara gusdurian acapkali memakai nomor yang itupula.  Saya membalasnya singkat.

”Tata?”

Ia belum menjawab. 

Ciputat-30-09




Rabu, 19 September 2012

Media, Sastra, dan Kita


“Nama majalah itu ialah Pujangga Baru, sebab majalah itulah akan jadi penambat pujangga-pujangga muda, pujangga-pujangga baru yang sekarang. Di situlah mereka itu bersuara sebebas-bebasnya,”Foulcher; Pujangga Baru; Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia 1933-1942, (1991)”

Apakah Anda tiap hari baca Koran cetak atau online? Saya kira jika pertanyaan itu diajukan oleh mereka yang terbiasa mengikuti alur informasi akan menjawab spontan, ”Pasti. Tiap waktu.”

Lalu saat ditanya, “Apakah Anda baca karya sastra, baik itu cerpen, esai atau puisi tiap hari?” Maka, saya berani bertaruh, jawaban serempaknya akan begini, ”Tidak. Saya hanya baca hari minggu.” Beruntung kalau tidak ditambah embel-embel kalimat “itupun kalau sempat.”

Realitas seperti itulah yang kerap saya temui, bahwa sastra diciutkan hanya minggu dan “kalau sempat”. Seolah sastra hanyalah sampingan dan sudah sepatutnya ditaruh di bagian paling tak terjamah manusia. Berdebu, kumuh, pinggiran dan hanya disentuh oleh mereka yang berperilaku aneh.

Saya kira Anda sepakat, jika saya berbisik lirih di telinga pacar saya, ”Ini karena media, Sayang. Media yang membuat kita tidak menikmati sastra sebagaimana para orang tua, dan nenek kita menikmati karya-karya besar dunia.” Dan dia sembari mengamit tangan saya berujar pelan, ”Jangankan dunia. Sastrawan Indonesia saja kita jarang bertemu. “

Media dan sastra adalah ibarat dua saudara kandung yang kerap tidak bertemu, atau jangan-jangan enggan bertemu karena yang terakhir tidak pernah mendapatkan uang saku yang berlebih untuk sekadar bertahan hidup.

Sedang yang pertama, media, acapkali dianggap sebagai tonggak keempat demokrasi, yang tentu saja bisa hidup jika mampu diolah dengan manajerial yang hebat. Laiknya pohon yang dirawat sang pemilik dan ditaburi prinsip jurnalisme yang begitu ketat.

Kalau toh mereka bertemu dalam satu rumah. Maka saudara pertama mendapatkan kamar yang begitu luas. Dan ia akan mendapatkan mainan yang begitu banyak. Mainan itu bisa berupa politik, hukum, kriminal, maupun ekonomi.

Sedangkan saudara kedua ibarat anak tiri yang hanya bisa  memandang sayu saudaranya bermain-main dari balik jendela.

Bagi saya, media dan sastra adalah tonggak peradaban. Kenapa?

Saya kira, ukurannya begitu jelas jelas; literasi. Literasi inilah yang menjadi akar. Bahwa corak literer bisa dilihat sebagai pijak dimana peradaban dapat menjelaskan dirinya lewat teks. Teks yang terus bergerak dan ditafsirkan oleh mereka yang hidup sekarang, ataupun anak cicit kita.

Maka laiknya kita naik motor. Sesekali kita harus melihat kedua spion agar kita tidak jatuh, terjungkal, dan tertabrak. Dan perjalanan imajinasi bernama Indonesia pun tidak terlepas dari corak dan sastra menandai dirinya dalam tangkup kebudayaan yang memaknakan diri dalam tradisi. Tradisi yang terus menerus membaurkan sekat etnisitas dan agama.

Saya tidak mau berpolemik oleh kategorisasi HB Jassin yang menisbahkan pada peristiwa politik sebagai penanda gerak kesusasteraan. Saya hanya ingin menandaskan bahwa sastra mempunyai pengaruh yang begitu luar biasa pada imajinasi tentang peradaban, dan Indonesia sebagai, meminjam kata Sanusi Pane, Faust dan Arjuna yang selalu berada dalam pencarian dan bertabrakan dengan dinamisme baratnya Sutan Takdir Alisjahbana (Ulumul Quran, edisi masa depan sastra, 1998).

Medio 20-an para pemikir cum-sastrawan ini telah mengimajinasikan mau ke mana bangsa bernama Indonesia akan bergerak. Mereka gandrung pada Barat di satu sisi, dan Timur pada di lain sisi. Mereka tidak hanya menggunakan media-media konvensional untuk menabur apa yang dirasakan di balik tempurung mereka, namun juga mengimajinasikan dalam karya sastra sebagai bentuk pertaruhan literer seorang intelektual.

Seorang sastrawan, meminjam kelakar Mahbub Djunaidi, merupakan seorang futurolog. Ya, mirip-mirip dukun tapi berpendidikan. Mereka mengetahui apa yang tidak dipikirkan orang. Bahkan mampu menerawang apa yang bagi mereka orang biasa tidak dipedulikan. Capung yang bertengger di pohon tetangga rumah pun mereka mampu melihatnya.

Tentu, seorang sastrawan lahir tidak hanya sendiri di ruang hampa nan sunyi. Atau tiba-tiba turun dari langit Krypton dan diberi nama Clarke dalam narasi Superman. Bukan!

Mereka hadir pada saat suasana sastra dan pemikiran berkembang dengan kondusif. Bahkan riuh dengan pelbagai hal yang mendukung tempurung mereka berpikir banyak hal; tentang nyiur yang melambai bagai seorang gadis, tentang matahari yang selalu mengabarkan kesadaran baru, atau tentang perlawanan pada penguasa yang sengaja lupa.

Sebagai contoh, adanya majalah Pujangga Baru terbit sebagai mandegnya Balai Pustaka dan ketakutan kolonial terhadap bacaan. Mereka melahirkan STA, Arjmin dan Sanusie Pane, Hamka dst. Tentu kita masih berharap majalah sastra Horison mampu menjadi anak muda. Tidak lagi menjadi generasi tua yang seakan gagap menghadapi kebaruan, globalisasi, dan seterusnya.

Saya merindukan generasi ini. Generasi majalah sastra Kisah HB Jassin medio 50-an, yang pada akhirnya berkembang menjadi polemik yang begitu terkenal dalam sejarah kita; Lekra dan Manikebu.  Atau generasi Horison 80-an yang melahirkan sastrawan seperti Seno Gumira Ajidarma, NH Dini, dan masih banyak lagi. Ada yang menyebutnya generasi Koran, tapi tidak spesifik.

Nah, saat ini saya kira kita menemukan jaman yang hampir serupa. Teknologi telah mengajak kita bergumul pada dunia. Di jejaring sosial twitter, misalnya, mata kita akan tertohok dengan ribuan puisi yang ditulis oleh pelbagai orang. Kadangkala hanya sebagai pemindah kegalauan, namun tak jarang pula yang bernas dan sublim. Belum lagi akses terhadap karya-karya sastra dunia yang begitu mudah.

Persoalannya adalah media-media kita tidak memberi ruang yang cukup untuk ‘suasana sastra’. Energi mereka terlalu terserap pada politik dengan segala manipulasinya. Kalau toh ada, mereka menempatkannya sebagai tempat peristirahat saja, dan itupun terus berkurang.

Maka yang diperlukan adalah keberanian untuk menciptakan suasana itu. keberanian untuk keluar dari kotak rumah yang membuat saudara ‘tiri’ itu mampu berdiri sendiri, hidup sendiri. Karena anak tiri inilah yang mampu mengisi kekosongan yang ada pada otak tempurung kita. Yang mengajarkan tentang hidup dan kebudayaan yang menjadi titik pijak peradaban.

Saya kira sudah saatnya kita memberikan warna baru pada geliat yang sudah terlalu dan selalu terkooptasi dengan politik. Kita butuh media yang khusus berbicara tentang sastra. Yang tidak hanya bermain-main dengan esai, cerpen, puisi. Tapi sastra dengan tiga aspeknya yang paling penting; manusia, alam dan tuhan.

Ketiga elemen itu laiknya ruh yang pada akhirnya melahirkan pribadi yang yang mengerti akan hakikat dirinya, dan memahami sebagai kebudayaan sebagai penentu peradaban bangsanya.

Tentu kita tidak mau disindir oleh Subagio Sastrowordojo (1968) dalam bakat alam dan intelektualisme,” orang boleh tinggi tingkat kesardjanan dan sangat ahli di dalam lapangan pekerdjaannja,  tetapi selama ia tidak punja minat ataupun peka kepada rangsang2 budaja, ia belum berhak dinamakan intelektuil.”


@DedikPriyanto

NB: esai di  NU Online kolom budaya