Tendang, Terjang, Hadang

Rabu, 03 Oktober 2012

Sebuah Pertemuan dan Percakapan yang Belum Selesai

Tugu Jogja

Ada tiga kota yang membuat saya begitu tertarik untuk menghabiskan waktu di sana berlama-lama. Ketiga kota itu adalah Bojonegoro, Ciputat dan Venesia.

Kota pertama adalah tempat saya menimba serat-serat ilmu, bercengkerama dengan keluarga, serta menghabiskan lebih dari 10 tahun hidup menghirup udara sejuk pedesaan.

Kota kedua merupakan lembah pengembaraan. Kota yang membuat nalar bawah sadar saya begitu yakin akan ragamnya dunia. Indonesia adalah bagian dari Ciputat. Maka yakinlah, Indonesia akan terus berdiri tegak jika Ciputat tidak ada yang merusak.

Dan Venesia… Ah, saya hanya bisa membayangkan kota  lewat imajinasi. Saya dan Venesia adalah perpaduan kepercayaan. Saya percaya bahwa nanti saya pasti akan pergi Venesia. Dan tentu kota air di pinggiran Italia itu begitu yakin suatu hari dikunjungi oleh orang Bojonegoro ini.

Kepercayaan ini tertancap begitu saya di benak dan hati saya sejak lama. Barangkali merupa iman dalam narasi agama-agama, atau datangnya ratu adil bagi masayarakat Jawa.  Bukankah keyakinan kadang-kadang hadir tanpa membutuhkan sebab?

Ada sebuah kota lagi yang membuat saya begitu tertarik. Sekadar menikmati secangkir kopi, menghisap batang-batang kretek, berdiskusi dengan kawan-kawan lama, atau sekadar jalan-jalan. Sudah beberapa kali saya ke sana. Dan beberapa kali itu pula saya merindukannya. Kota itu adalah Jogjakarta. Kota dengan jutaan wajah, jutaan peristiwa, dan jutaan cerita.

Dan pada kota ini pula percakapan bermula, lagi.

“Berarti kamu tinggal di Jogja yah,” tanya saya kepada perempuan berbaju putih lengan panjang.

“Ya, Iyalah,” jawabnya singkat.

Saya menganggukkan kepala.

“Masak iya tinggal di sini, “ tambahnya riang sembari menunjuk bawah.

Ia memakai kerudung pink pendek. Berdiri tidak jauh dari tempat saya. kira-kira 5 meter dari tempat saya berdiri. Sesekali ia bercakap dengan teman-temannya. Tangannya mengenggam sebuah ponsel smartphone. Tas kecilnya ia selampangkan dari kanan kiri, sama seperti saya meletakkan tas mungil saya.

Beberapa kali pula ia meninggalkan samping kiri panggung. Tak lama kemudian kembali lagi. Entah apa yang dikerjakannya, tentunya sebagai panitia inti di acara, ia harus siap sedia. Dimanapun, kapanpun. Perempuan hebat, pikirku.

***

Panggung Ziarah Budaya #1000HrGD di TIM itu tampak begitu megah. Desain Morenk yang menghiasai latar panggung yang dianggit Mas Aan dkk itu tampak elegan. Ditambah dengan kalimat menggelitik yang menjadi tema acara; Menggerakkan Tradisi,  Meneguhkan Indonesia.

Tentu membuat acara yang demikian besar ini membutuhkan energi yang tidak sedikit. Penat dan lelah tentu menjadi bumbu  yang menguatkan para anak-anak ideologis Gus Dur ini untuk menyajikan yang terbaik untuk mereka yang sudah merelakan akhir pekannya di acara ini.

Tiba-tiba saya teringat guyonan khas Gus Dur. “Gitu aja kok repot.”

Gus Dur memang bikin repot. Walau beliau telah meninggalkan kita 1000 hari yang lalu, beliau beberapa hari ini telah merepotkan begitu banyak orang. Termasuk hari ini. Namun anehnya, yang direpotkan malah tampak begitu gembira. Begitu bahagia.  Menakjubkan, Gus.

“Duduk di sini aja,” ajaknya sembari menempatkan tubuhnya di bawah layar.  Duduk di pelataran karpet berwarna merah.

Saya melihat pendar dalam matanya. Ada sesuatu yang memancar di balik senyum itu.

Saya mendongakkan kepala atas, sesekali meliriknya. Sudah begitu lama saya tidak melihat bintang di langit Jakarta. Saya curiga jangan-jangan para bintang memang sengaja walk out dari langit Jakarta. Atau barangkali mereka juga sedang duduk di antara penonton menyaksikan pagelaran budaya malam ini. Entahlah.

Dari mata itu pula saya menemukan bintang. Di senyum itu pula saya menemukan cahaya. Dan saya memang salah. Ternyata hari ini adalah purnama. Pantas saja tidak ada bintang, pikirku.

Tapi apakah purnama ini membuat para bintang enggan menampakkan cahayanya?

Saya kira juga tidak. Atau kalau merujuk ke agak teori; asap dan polusi Jakarta yang membuat bintang tidak tampak pada tiap malam. Atau jangan-jangan pendar cahaya dan sinar yang memancar dari senyumn perempuan  itu yang membuat bintang tiada.

Barangkali saya hanya bercanda.

”Nonton dari sini lebih menarik deh,” ajak perempuan itu membuyarkan lamunan nakal saya.

Saya hanya tersenyum. Tidak mengiyakan, tidak juga menolak. Barangkali dia lupa. Ukuran tubuh saya yang menjulang setinggi 175 cm dengan bobot hampir setengahnya tentu tidak mudah untuk duduk, dan secepat kilat harus berdiri kembali. Atau barangkali dia sengaja menyindir saya seperti pelawak saling sindir dan kemudian tertawa bersama-sama.

Ia tampak begitu girang malam itu. Layar berukuran jumbo itu menyuguhkan tampilan yang utuh. Tentu ini lebih baik, terlebih bagi kami yang menonton dari samping panggung dan disibukkan dengan rundown acara. Sedikit hiburan sudah cukup.

Kesuksesan acara tentu menjadi tujuan. Namun tersebarnya ide akan kebersamaan, persaudaraan, dan perdamaian adalah inti dari peringatan ini. Sebagai penanda, sebagai penolak lupa bahwa kita adalah satu; Indonesia. Salut, kawan-kawan Gusdurian.

***

Pertemuan yang biasa tentu akan menimbulkan percakapan yang biasa. Namun pertemuan yang ganjil, tatapan yang ganjil, dan tentu saja senyuman yang ganjil akan menimbulkan pemaknaan yang ganjil pula. Saya harap pertemuan itu menjadi pertemuan yang ganjil. Namun yang terjadi adalah pertemuan biasa.  Tidak ada yang istimewa, belum ada yang bisa dibilang ganjil. Semua berjalan begitu saja.

Selepas acara itu, kami melangkahkan kaki bersama ke sebuah café. Tentu bukan pertemuan yang ganjil, karena kita berjalan bersama-bersama. Bukan berdua. Dan tentu cerita-cerita yang berbeda. Pasti percakapan-percakapan itu akan saya tuliskan, nanti. Entah di sini, atau di catatan-catatan pribadi. Tiap detik begitu berharga, bukan?

Percakapan yang biasa, dengan guyonan yang tentu juga biasa. Di sebuah café, kami bercanda, bercakap dan bergurau bersama. Saya memandang beberapa lukisan yang terpajang. Mengedarkan pandang.

“Old Gringo ada nggak mbak?” tanya saya pada pelayan café itu.

Ia terkaget.  Digelengkanlah kepala berambut hitam pekat itu.

“Pasti nggak ada,” tandas saya. Ia tambah kebingungan. Ia pun membolak-balik daftar menu yang ia bawa,lagi.

”itu novel Carlos Fuentes kok, pasti nggak ada,” canda saya sembari tertawa.

Perempuan yang mengenakan baju hitam dan putih itu tersenyum. Pasti pelayan itu begitu capek, pikir saya, dan semoga  senyum itu sedikit membantu melepaskan ketegangannya malam ini.

Lalu kami pun saling memesan minuman dan makanan masing-masing. Ada pelbagai makanan dengan nama asing. Sumpah, andaikata saya disuruh memilih, tentu saya akan lebih menikmati secangkir kopi di pinggir jalan. Minimal namanya tidak sesusah daftar menu yang terpampang di sini.

Saya pesan minuman hangat, dia dingin. Kami saling mencicipi pesanan masing.

“Hmm… Lebih cocok minumanku, lebih enak, ” selorohnya. Saya mengiyakan.

Gojlokan demi gojlokan saya terima, dan barangkali ia serupa.  Kami duduk berlima. Tepat di samping pintu. Ia duduk menghadap ke utara. Di atasnya ada sebuah sketsa. Sketsa tentang Gambir tahun 20-an. Saya duduk begitu dekat dengannya.

Saya menghadap ke timur. Di depan saya perempuan berkacamata asal Pati, adiknya Savicali, saya lupa namanya. Di  samping perempuan itu Mbak Rahma, dan seorang pria berjanggut dengan blangkon Jawa, itulah Jay, alumnus Filsafat UGM, entah berapa tahun yang lalu.

“Kalian itu cocok. Nah, bagaimana? Kita doakan di 1000 hari Gus Dur ini,” tukas Jay bercanda setelah bosan terus menjodohkan-jodohkan kami. Barangkali inilah derita seorang yang tidak punya kekasih, rela dihina dan sebagai pesakitan kena gojlokan.

Saya memalingkan muka kepadanya. Ia pun sama. Kami saling pandang. Saya pikir tidak ada sesuatu. Dan pasti tidak akan pernah sesuatu. Karena ini memang bercanda. Tapi, saya salah. Mungkin ada sesuatu. Barangkali.

Saya diam. Mereka tertawa semakin renyah.

“Bagaimana, Ta, kapan kita? he… he… ” canda saya. Ia hanya tertawa terbahak-bahak.

Entah kenapa, nama panggilan dari perempuan itu mengingatkan saya pada sebuah film klasik yang hingga saat ini begitu membekas dalam benak saya. Khususnya tentang akhiran kata “ta” yang entah kenapa membuat saya teringat cara Nicholas Saputra memanggil Dian Sastro dalam film Ada Apa Dengan Cinta (AADC).

”Ta… cinta,” kata Rangga.

“Ta… tata,” panggil saya, barangkali.

***

Empat hari telah berlalu, perbincangan demi perbincangan terus berjalan. Percakapan telah dimulai dari sebuah malam yang biasa. Tidak saling ketemu, tidak saling bertatap muka. Hanya dunia maya yang  membantu kami bertegur sapa.

Mulai dari persoalan tulisan yang bertajuk ‘saya, #1000HrGusDur, tentang ketidaksadaran saling menghubungi via pesan singkat, dan tentang ketidaktahuan saya akan sebuah film. Semua berlalu begitu saja. Tapi detik ini tidak boleh lewat, pikirku.

“Entar malam aku balik ke Jogja. Mau ikut?” tulisnya dalam sebuah pesan pendek.

Saya diam sebentar. Saya memutuskan jalan kaki ke warkop terdekat. Memesan kopi item . Mata saya nyalang menyaksikan mahasiswa-mahasiswa yang lewat. Entah apa yang mereka pikirkan saat ini. Sedang otak saya memikirkan jawaban apa yang sekiranya pas untuk menjawabnya.

Tiba-tiba tangan saya tergerak dengan sendirinya.

Barangkali inilah ketidaksadaran seperti yang ia cakap beberapa saat lalu. Dan  acapkali kita memang harus percaya itu, pikirku.

“Yuk. Andai saya bisa ikut. Kita bisa bercakap banyak ragam,” tulis saya.

Waktu seakan berhenti. Saya kembali ke kontrakan.

Lamat-lamat saya mendengar dendang lagu Klasik Katon Bagaskara tentang Jogjakarta..”Pulang ke kotamu, ada setangkup haru, dalam rindu…

Ciputat hujan, saya hanya bisa memandangnya dari jendela kamar. Langit kian muram.

Apakah saya rindu? Entahlah

Ciputat-04-10

@DedikPriyanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar