Tendang, Terjang, Hadang

Selasa, 15 Januari 2013

#15an



“Masa lalu selalu carut dan tidak menarik, masa depan bukan hal yang penting, dan malam yang indah tak ada duanya akan terlupakan. Lalu buat apa hidup?” (Anton Chekov)

Saya selalu memperlakukan tanggal dalam tiap bulan tak ubahnya seperti aktivitas makan. Tak perlu diingat tanggal berapa terakhir kali Anda makan enak atau bergizi.

Laiknya ritus yang  harus dijalani,  biarkan saja hari-hari itu berjalan sebagaimana adanya. Bahkan saya cenderung apatis menyaksikan orang-orang memberikan tanda warna merah pada almanak yang bisu itu, selalu tak memberi jawaban pasti.

Barangkali karena saya terbiasa dengan catatan harian sejak dulu. Catatan-catatan itu terkadang saya publikasikan kepada rekan sejawat, tapi kebanyakan saya buat untuk koleksi pribadi.

Tentu saja di dalamya ada tanggal yang memberi jejak permenungan. Sesekali memang saya tengok. Namun tetap saja sukar untuk diingat. Toh, tanggal lahir saya sendiri sukar diingat dan masih membingungkan—tolong siapa yang curhat di sini.

Selebihnya, tak ada yang saya ingat secara pasti dan senantiasa berceloteh di alam bawah sadar saya. Mungkin juga karena hari-hari saya memang tidak terlalu menyenangkan, acapkali tak patut diceriterakan. Namun seperti halnya makan, walau enggan, saya harus menjalani sebagai permisalan yang terus berulang seperti halnya Orcar Wilde yang menera kisah patung emas dan burung cericit yang tersohor itu.

Jika tidak, maka dipastikan perut akan melilit dan sesekali berontak dengan teriakan-teriakan. Lalu akan ada yang berorasi memakai toa. Sejurus kemudian, Anda mulai berkompromi, bernegosiasi. Maka datanglah  Tapi saya tidak mungkin untuk melupakan sebuah hari, tepat di pertengahan bulan, dan senantiasa datang tiap bulan.

Tanggal itu selalu menyapa dengan riak kecil dari percakapan-percakapan sederhana pernah saya lakukan beberapa bulan lalu.  Juga perihal kenangan akan hidup yang kian rudin dan ringkih, diringi permenungan paling purba manusia; Cinta, katamu.

Bolehkah saya memberi hastag #15an untuk hari yang senantiasa berceloteh di alam bawah sadar saya?

Kala menulis catatan ini, saya menyaksikan hujan turun dengan bergegas.

Ingatan saya terjebak pada kenangan lawas itu, kala rintik yang senantiasa turun dengan lamban, jalanan yang berasa begitu lebar, juga tempo yang tiba-tiba saja berhenti berdetak di kota itu. Kota yang selalu menyimpan rindunya tersendiri.

Peristiwa yang memburamkan nalarku. Seakan puisi tak lagi menjadi sunyi, musik tak mampu memberi arti, dan doa hanya sebagai mantra tak bertuan.

Lalu mendung menjadi payung,  malam berhenti berkelakar dan dingin tak lagi bersahabat. Itu terjadi karena saya merasakan malam yang penuh arti, bersama kamu, pada tangah bulan itu.

Adakah yang lebih subtil dari tatapan sendu dari seseorang yang  bayangnya pun tak pernah kau imajikan! Kemudian ia datang membawa bangku di sebuah taman dan membuat tergerak untuk duduk dan menikmati  hari-hari di sana.

Kira-kira tiga jam yang lalu saya menamatkan cerita klasik Rusia dari  Anton Chekov (1860-1904) perihal Olga Ivanovna, Osip Stepanitch Dyamov dan pelukis tenar Ryabovsky. Kisah ketiga warga Moskow ini terjalin sebab ketidaksadaran ihwal cinta yang kian berpilin dan tidak saling mengetahui.

Dyamov tidak tahu bahwa Ryabovsky menaruh hati pada Olga. Lalu mereka bertemu kala Dyamov yang berprofesi dokter itu tercebur pada dunia pengetahuan yang sukar ditinggalkannya.

Seperti halnya ia cinta pada pengetahuan, sebesar itu juga hatinya tertambat Olga yang dinikahinya.
Olga jatuh cinta pada kesederhanaan Dyamov. Sedang ia menaruh hati pada sisi seni yang dimiliki Ryabovsky.

Lambat laun, Olga menyadari, cinta tak ubahnya misteri yang butuh pemecahan. Kala ia berjalan bersama Ryabovsky,  ada sendu di balik tawa dari segelas bir yang kerap mereka nikmati di depan tungku api yang menghangatkan kala dingin terus menerpa Rusia.

Bahagia yang sederhana kadang tidak dicapai saat Olga memenuhi otak dengan pilihan rasional yang seakan nyata itu. Sedangkan ia merasakan, jauh  di luar ada seseorang yang mendoakan diam-diam, merindukan dengan sederhana dan mencintai dengan sederhana pula. Itulah Dyamov kepada Olga.

Cinta yang sederhana akan selalu nyata walaupun jarak, waktu dan cara pandang kerap berbeda.

Kisah ini, membuat saya bermenung, dimanakah posisi saya yang memandang cinta bukan sekadar perasaan yang dimiliki dua manusia, ataukah membiarkannya terus bergegas dan menidurkan nyali, serta sesekali menjenguknya seperti anak kecil yang merindukan masa kanaknya.

Entahlah. Yang jelas, hari ini adalah tengah bulan, #15an. Dan saya tidak perlu melobangi almanak. Kamu pasti tahu, sudah ada yang memberikan tanda merah di hati saya.

Saya ingat sajak ini sahabat dan abang saya Ahmad Makki  ‘puisi jam tiga pagi’.

“Cinta itu merah, katamu."
“Lihatlah, apa yang ia tinggalkan
di dada kita.”

Saya tidak pernah melupakan itu. Saya selalu percaya, cinta tidak selalu bermuara. Kadang kita masih senantiasa mengayuh sungai dan entah kapan akan tiba. Atau seperti Santiago yang ternyata mendapatkan emas di tanahnya sendiri, walau ia pergi sejauh-sejauhnya.

Bukankah cinta adalah pencarian yang diceritakan Paul Coelho? Dan kerap tidak perlu kita cari dan datang dengan sendirinya.  Ia tahu jalannya sendiri, bukan?

Ciputat, 15 Jan '13
@DedikPriyanto


Tidak ada komentar:

Posting Komentar