Tendang, Terjang, Hadang

Jumat, 18 Januari 2013

Selepas Menonton The Act of Killing



Empat hari lalu saya diminta teman-teman  persma Institut dan Radio Fidkom (RDK FM) untuk menjadi moderator diskusi film. Awalnya saya enggan mengingat kondisi saya saat itu tidak menjanjanjikan.

Hampir dua hari saya belum tidur. Tapi saya tak kuasa menampik kala film yang bakal ditonton kali ini adalah film dokumenter yang membuat gempar belakangan: The Act Of Killing besutan Joshua Openhaimer.

Bermodal secangkir kopi Mandailing dari Cho Cafe sebagai penahan kantuk, saya berjalan menuju teater Lt.2 Fidkom. Ternyata film sudah hampir dimulai ketika saya datang setengah dua siang. Bangku juga sudah terisi. Terpaksa saya duduk di belakang setelah sebelumnya berbasi-basi dengan beberapa kawan.

Lambat laun saya menyaksikan ruangan mulai gelap. Terang muncul dari layar teater. Entah kenapa, tiba-tiba dada saya berdegup. Pikiran saya mengabur dan mengawang menyaksikan dokumenter yang sempat memicu amarah eksponen Orde Baru itu.
 
Adegan-adegan demi adegan tersaji dengan penuh keterusterangan. Saya menyaksikan bagaimana Anwar Congo sebagai tokoh utama cerita ini menyajikan pelbagai ragam pembunuhan. Lengkap dengan keterkaitan historis dan trik membunuh orang dengan cepat.

Kira-kira cerita dalam film dokumenter berdurasi lebih dari 2,5 jam itu begini;

Tukang bunuh—sengaja saya memakai kata ini—bernama Anwar Congo ingin membuat film dokumenter tentang dirinya sebagai algojo pencabut nyawa orang-orang yang dituduh komunis. Ia ingin mengingatkan orang-orang perihal sejarah masa lalu.

Ia menganggapnya bukan sejarah kelam, namun sejarah yang sudah seharusnya terjadi.

Lalu adegan dimulai dengan trik yang kerap dilakukan oleh Congo dalam membunuh orang-orang itu. Ada yang langsung dipopor dengan senapan, digorok, dibuang ke sungai dan yang paling canggih, menurutnya, adalah dengan dibalut dengan kawat.

Canggih karena efektif, tidak menggunakan alat berat dan tanpa mengeluarkan darah.

Disebutkan juga kehidupan pribadinya dan organisasi yang menaungi, serta melindungi. Juga kedekatan dengan tokoh-tokoh. Walapun hidupnya sendiri di Medan.

Dari kesemua tokoh yang ditemuinya punya satu kesamaan ormas para militer yang ia ikuti: Pemuda Pancasila. Bahkan ia menjadi sesepuh di sana.

Ya, ormas yang dianggap menjadi tempat bernaungnya para preman dan kerap digunakan oleh para pengusaha untuk melindungi bisnisnya itulah yang menjadi salah satu poin dari film ini guna menyibak sejarah kelam bangsa ini.

Kembali ke Congo, narasi hidupnya begitu sumir. Minimal bagi saya. Bayangkan, membunuh orang dengan gampang tak ubahnya aktivitas makan. Mirip dengan kehidupan para gangster di film yang sangat fiksional. Namun ini begitu nyata.

Lalu ketika masa tuanya, ia merasa hidup dihantui oleh para korban. Ia pun jadi susah untuk tidur dan merasa bersalah. Tapi ia selalu menyangkal itu dan terus membisikkan ke dalam hati bahwa apa yang dilakukannya merupakan tugas suci saat itu meskipun ia sendiri tahu pembunuhan yang dulu dilakukanya kerap salah orang. Bahkan ia tidak tahu orangnya.

Ketika membunuh orang-orang ini ia pun selalu memakai minuman keras dan obat-obatan terlebih dahulu. “Biar dibuat enak aja,” tuturnya.

!!!

Entah kenapa saya tidak berani meneruskan catatan saya soal adegan demi adegan film ini. Rasa-rasanya saya tidak tahan menyaksikan darah yang pada saat ini serasa menggenang di otak saya. Juga teriakan-teriakan yang merupa doa yang dirapal tanpa ada balasan dari Tuhan.

Sejujurnya, saya takut dengan imajinasi saya selepas menonton ini.

Lalu apakah Congo dkk tidak merasa takut?

Selepas menonton film, diskusi pun dimulai dan saya ke podium bersama Pak Beki, begitu dosen Fak. Komunikasi ini biasa disapa. Harusnya ada Dr. M. Arif yang merupakan dosen sejarah dan LIPI. Tapi beliau urung datang akibat banjir.

Saya memulai dengan pemantik sederhana,”Saya melihat ada muka-muka sembab di depan saya kali ini atau jangan-jangan perasaan saya saja selepas menonton film ini. “

Pak Beki saya lihat hanya tersenyum. Sejam sebelumnya saya lihat raut mukanya tampak sendu. Ia pun memulai dengan permisalan kekacauan yang dibuat oleh sistem.

”Saya selalu curiga jika ada kekacauan yang terjadi itu pasti ada narasi besar yang bermain. Misal pemberontakan di Irlandia Utara yang sebenarnya terjadi guna menutupi matinya sistem di Britania akibat korupsi.

Begitu halnya dengan Congo dkk yang ada di Medan. Jik mau membunuh, pasti bisa dilakukan dengan sekejap. PKI dengan sekali sapuan pasti habis di tangan militer. Tapi ini menggunakan para militer. Warga sipil.”

Laiknya seorang akademisi, ia pun membumbui perkataanya dengan pelbagai ragam teori. Termasuk soal ‘Collateral Damage’ yang menurutnya sebagai perlintasan orang-orang tak bersalah dan menjadi korban. Walaupun ia sendiri tidak tahu menahu.

Saya melihat teman-teman diskusi menyimak dengan serius.

Ia pun menutup presentasi singkatnya.”Bayangkan jika Bung Karno tidak lengser dan memertahankan Papua dari Freeport. Itu negosiasi terjadi sebelum peristiwa G30/S.

Maka sudah dipastikan tidak ada Collateral Damage dan pembenturan antar warga sipil. Pikirkan juga, sehari selepas kejadian itu New York Times membuat headline ‘ada fajar baru dan harapan dari Asia’ itu menyebutkan keruntuhan PKI di Indonesia.”

Beberapa kawan pun menimpali, “Saya kira, sejarah ini hanyalah jadi jualan saja. Kita lihat generasi hippies di barat.

Sama dengan sekarang di kita dengan jaman ‘suka-suka’. Anak muda yag tidak peduli. Kalau sudah masuk kapital, pada akhirnya sejarah adalah milik mereka.”

Diskusi berjalan hangat dan cukup menggairahkan hingga senja tiba. Pak Beki mengakhiri jawaannya dengan mengutip pemikir asal Italia, Antonio Gramsci.

“Pada akhirnya kita semua berada dalam hidup yang terhegemoni dan hidup dalam dunia kecemasan. Persis seperti yang diutarakan Gramsci, hidup tak lebih dari perulangan dan hegemoni yang memasung manusia. Sejarah hanya menjadi penambal bagi kekuasan.”

Saya menimpali,”Dan tugas kaum cendekia adalah menjadi intelektual organik. Tidak di menara gading dan turut serta di masyarakat. Begitulah Gramsci mengajarkan.

Rekonsiliasi akan terjadi manakala sejarah yang buram diluruskan. Lalu akan terjadi kebenaran sejarah, walaupun nanti dimaafkan ataupun dihukum, biarkan sejarah itu menunjukan kebenarannya.

Toh kebohongan yang terus menerus dilakukan pada akhirnya akan menjadi kebenaran, kata Voltaire, walaupun itu sejatinya merupakan kebohongan,” tutup saya.

Pak Beki di samping saya hanya tersenyum. Sejurus kemudian ia tertawa dan mengambil microphone.

“Sebentar, Anda mengutip Voltaire. Saya jadi ingat soal Banjir. Iya, kita harus menerima bahwa pemerintah sudah serius menangani soal banjir. Ingat itu adalah kebenaran, oh ya itu kebenaran atau kebohongan!” ujarnya dan diringi tawa berderai dari penonton.

Diskusi pun ditutup. Selepas diskusi, saya sempat bercanda sebentar dengan Pak Beki.

”Kok takut takut sekali dengan komunis bangsa kita?”

“Itulah sejarah. Kita kerap salah mendefinisikan komunis dengan sosialisme,” jawabnya ringkas.

“Padahal yang mengimajikan nama Indonesia pertama kali adalah Tan Malaka lewat Naar de Republic. Dan dia Komintern,” jawab saya.

Pak Beki tertawa lebar. Lalu kami berjalan ke luar ruangan. Entah apa yang dipikirkan Pek Beki saat ini, entah apa yang orang-orang rasakan selepas menonton ini.

Saya butuh tidur malam ini.

Bukit Nusa Indah, 14 Januari 2013
@DedikPriyanto



Tidak ada komentar:

Posting Komentar