Tendang, Terjang, Hadang

Minggu, 27 Januari 2013

Catatan Pendek Perihal Film Catatan Harian yang Tak Berumur Pendek

Saya bukanlah generasi 80-an yang akrab dengan Film Catatan Si Boy yang menyuguhkan roman Onky Olexander, Dide Petet, Meriam Bellina dll. Walaupun, harus saya akui, saya suka segalayang berbau jadul hingga saya beberapa kali nonton film ini. Baik kala kisahnya di Indonesia maupun kala berpetualang ke Amerika.

Saya pun mengakrabi jalinan cinta antara Nuke, Boi dan juga kisah kocak Emon. Sama halnya saya menyukai film Lupus atau yang lebih klasik lagi macam Gita Cinta dari SMA, Puspa Indah Taman Hati, Taxi atau segala jenis film dari Rano Karno dan Yessy Gusman. 

Baiklah, saya tidak ingin berpanjang-panjang dengan kebanalan saya ihwal jadul dan sanak saudaranya itu. Saya hanya ingin berkomentar pendek perihal sebuah film yang mengingatkan saya perihal film Catatan Si Boy yang legendaris itu.

Tidak usah ditanya, kamu pasti sudah menonton film Catatan Harian Si Boy (2011) dan sekali lagi, saya selalu telat dengan film jaman sekarang. Tolong jika kamu (siapapun itu) jangan mengejek saya perihal ini.

Bagi saya, film ini cukup menarik sebagai daya antar ingatan dan menyimaknya sebagai sebuah film. Sekali lagi sebagai sebuah film. Bukan sebagai romansa menziarahi masa silam atau sekadar melankolia yang mengingatkan pada Boy.  Film adalah cerita.

Jika toh itu benar, maka saya perlu mengacungkan dua jempol film ini dan akan memasukkannya dalam salah satu folder film Indonesia yang bagus dan layak diapresiasi seperti halnya film pop Indonesia kontemporer berjenre serupa macam AADC (2002), Ungu Violet (2005), Catatan Akhir Sekolah (2007)  dan 3 Hati 2 Dunia 1 Cinta (2011).

Gaya bertutur film ini saya rasa cukup bagus. Tidak salah, saya melihat ada Salman Aristo, Joko Anwar dan sederet nama populer lain. Apakah ini jaminan mutu?

Saya kira dengan reputasi yang ada, mereka akan membuat film dengan teknik bercerita yang tidak hanya unggul dalam bertutur, tapi kerap jenaka dan tidak terkesan sedikitpuun untuk berjumawa.

Sama halnya dengan karya sastra unggul dalam cerita semisal Tortilla Flat (John Steinbeck) The Adventure of Huckleberry Finn (Mark Twain) atau RDP (Ahmad Tohari). Karya yang bagus tidak pernah menggurui, ia akan menceritakan dirinya sendiri dan pembaca akan terhanyut di dalamnya.

Film ini berkisah soal catatan harian yang ditinggalkan Boy—jika kamu menonton filmnya, pasti tahu bahwa Boy suka mendaraskan mengisi catatan harian—dan kala Nuke sekarat, catatan harian itu bisa saja menyelematkan nyawa Nuke.

Maka Tasya, anak dari Nuke berkeinginan untuk mewujudkannya.  Hingga ia bertemu tidak sengaja dengan Satrio di kantor polisi.

Mereka berdua mencari dan cerita dimulai dari sosok Boy  dari jejak yang ditinggalkannya di catatan harian. Termasuk menemui Nadia dan Emon.

Yang paling kental di sini adalah kisah persahabatan, dan tentu saja cinta. Coba simak kutipan si Boy ini.

“Gua selalu percaya bahwa teman adalah anggota keluarga yang kita pilih dan keluarga adalah nasib yang harus kita terima.”

Saya kira dengan kutipan ini, jelas bahwa cerita dalam film ini sebenarnya bukanlah persoalan cinta semata.

Lebih dari itu adalah jalinan perkawanan yang terkadang subtil, penuh guyon dan terkadang nyinyir.
Lagi-lagi perlu saya terakan, film ini bagus dalam segi penceritaan dan sekali lagi mengingatkan saya—dan bisa jadi kamu juga—bahwa kita harus keluar dari zona nyaman dan sebisa mungkin mempercayai persahabatan laiknya kita mempercaya diri sendiri.

Sekali lagi dan ini yang penting: jangan pernah meninggalkan catatan harian kepada kekasih kamu, jika tidak mau 20 tahun mendatang ada yang menyelidiki dan mencari tahu siapa jati diri lawasmu. Salut!

Ciputat 27/1/13
@DedikPriyanto




Tidak ada komentar:

Posting Komentar