Siang ini saya terbangun dengan suasana kurang menyenangkan; badan yang lemas, kaki yang lunglai dan serak bunyi klakson yang terus menyentakkan kuping.
Saya tengok jam di ponsel, saya terkejut. Hampir 9 jam saya tertidur dan tidak sedikitpun mengingat apa yang terjadi semalam.
Persoalan tidur ini selalu menghantui saya sejak beberapa bulan terakhir. Biasanya, saya mendaraskan tidur selama 4 atau 5 jam sehari. Itupun biasanya tidak terjadi dengan simultan. Artinya, saya tidur di tempat yang sama dengan durasi waktu sama pula. Bahkan tak jarang baru tertidur selepas 2 hari kemudian.
Tak jarang saya harus berpindah dari satu satu tempat ke tempat yang lain, dari satu lantai ke lantai yang lain. Tempat favorit saya merebahkan diri adalah kamar depan, dekat dengan perpustakaan pribadi yang saya miliki. Tapi lagi-lagi dalam seminggu terjadi tiga atau empat kali saja.
Persoalan 5 jam ini sebenarnya saya peroleh dari seorang dosen yang juga alumnus forum studi. Kata dia waktu itu kepada saya, “Kalau kamu tidur dari 6 jam. Itu sama saja dengan tidak adil karena membiarkan tubuh terlalu lama istirahat. Bagaimana mau berlaku adil jika persoalan tidur saja kamu masih belum mampu mengatasinya.”
Ingatan saya terjerat pada kiai-kiai di Pesantren. Seperti halnya saya, kamu pasti juga kerap bertanya, kapan para kiai ini tidur dan beristirahat.
Bayangkan, dari pagi sampai dini hari mereka harus mengajar santri. Tak jarang harus pergi ke daerah lain dan jika subuh tiba sudah tampak kembali mengajar para santri.
Ah, saya bukan seorang kiai. Barangkali jika kamu tahu, sila kasih tahu dan saya akan berterima kasih. Tapi bukan jawaban yang mistis atau rahasia Tuhan yang menjaga manusia-manusia yang mengabdikan diri dalam ritus agama.
Selebihnya, saya ingin jawaban yang sederhana.
Ada lagi persoalan tidur saya yang kerap berbeda dengan orang kebanyakan. Yaitu soal tidur malam. Entah kapan saya terakhir kali menggunakan malam hari untuk tidur. Saya lupa. Barangkali 2 bulan yang lalu atau 4 bulan yang lalu atau lebih dari itu.
Coba kamu bayangkan jika tiap hari harus terbangun dengan perasaan cemas, kalut dan takut kalau hari ini bakal mengalami celaka dan hampir tiap hari kamu alami tanpa pernah dihindari. Padahal kamu pun tidak pernah mengerti, apa gerangan yang membuatu begitu takut.
Konon Pram selalu ingin tidur dengan puas selepas ia terbebas dari Pulau Buru. Sastrawan yang beberapa kali dinominasikan nobel ini kerap berpindah dari lantai ke atas—tempatnya menulis—dengan lantai bawah atau ruang tamu. Itu hampir terjadi tiap hari.
Beberapa kali, katanya, ia tak sanggup untuk terlelap. Entah apa yang ia pikirkan. Namun hidup dan realitas dunia mampi memang beda-beda tipis. Barangkali Pram mengamini itu.
Toh hidupnya dihabiskan untuk melawan, bukan? Dan mereka yang berkecimpung dengan dunia seperti ini tak akan sanggup terlelap jika bayangan soal kekejaman yang merenggut tidur yang nyenyak dari orang-orang.
Ah, saya terlalu serius memandang hidup.
Mungkin kamu juga masih ingat kisah Syahrazad. Ya, raja itu tidak bisa tidur karena terhantui masa lalu. Bahkan ia selalu membunuh mereka yang diajak untuk menemaninya kala malam tiba dan jika pagi ia akan serta merta membunuhnya.
Hingga suatu hari ia dikisahkan rantaian cerita-cerita dari ragam dunia dan membuatnya terlelap dan menghilangkan trauma masa lalu. Itulah mula kisah 1001 malam yang tersohor itu.
Kembali soal tidur, pasti catatan ini akan panjang jika saya meneruskan pelbagai cerita soal tidur. Untuk itu, satu hal yang harus saya dan barangkali kamu mengerti adalah tidur bukanlah ritus yang harus tiap hari dijalani. Kadang ia merupa keheningan yang meminta untuk ditemani. Kira-kira begitu.
18 Jan '13
@DedikPriyanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar