Tendang, Terjang, Hadang

Jumat, 01 Februari 2013

Perpisahan yang Menggembirakan

(kutipan terkenal dari Bob Marley, gambar diambil di sini)
Saya tidak pernah bisa mengerti, bagaimana seseorang sanggup berpisah dengan orang yang ia cintai dengan perasaan gembira. Terlebih ia tahu bahwa hidup tak akan pernah sederhana. Sedikitpun tak pernah bisa saya pahami.

Apakah tidak pernah terpantik bahwa di setiap perpisahan selalu menyisakan muram dan hanya sedikit riang tersisa. Lalu ia merupa kenangan yang tak pernah terpelihara, terusir dan selalu ingin kembali serta kita yang akan selalu menolaknya berkali-kali. Walau ia datang untuk sekadar berkunjung. 

Cinta adalah puisi yang tak pernah ingin dilahirkan. Coba tanya kepada para penyair, berapa miliar larik tercipta tiap harinya berbicara cinta.

Namun saya selalu yakin, mereka sebenarnya tak pernah ingin berbicara cinta.  Cinta yang tak lelah mendatangi  mereka dan pada akhirnya menghantar mereka dalam sebuah pusaran utopis; bersatunya cinta dalam tubuh, bersatunya tubuh dalam cinta.

Entah kenapa saya merasa miris jika mendengar, menyaksikan atau menyimak orang-orang yang terjebak pada ritus purba ini, perpisahan. Apalagi ditambah dengan kalimat pemantik kenangan semacam ‘Tiap Pertemuan pasti ada perpisahan’.

Jika kamu tahu siapa yang membuat kalimat yang konon begitu populer ini, sila beritahu saya, maka saya jamin akan meminjam pisau dari tetangga dan sesegera mungkin menusukkanya pada empu kalimat ini.

Jangan takut, saya tidak akan pernah dihukum atau dipenjara.

Kalau memang saya bakal dimasukkan ke penjara, minimal saya sudah mewakili pelbagai perasaan jutaan manusia yang sakit hati. Toh saya hanya ingin tahu apa yang berada dalam otak empu kalimat ini.

Adakah rasa sesal yang menghantaui atau getir yang dikirimkan oleh mereka yang pedih hati itu telah membutakan mata sendumu, dengan kalimat lucum itu? Atau jangan-jangan engkau adalah telah kehilangan sendu.

Sekali lagi, saya tidak pernah mengerti, kenapa harus lahir kenangan jika harus ada perpisahan. Bersedia mencintai adalah menyiapkan sebuah kamar dalam hati sebagai tempat singgah yang nyaman untuk sakit hati.  Tak ada yang lebih sendu dari itu.

Kepada Gadis Penata Kenangan Itu, Shofi


Kawan,

Catatan di blogmu yang—untuk kesekian kali saya telat membacanya—manis dalam bercerita itu, entah kenapa mengingatkan saya film Charlie Chaplin berjudul The Circus (1928) yang menelisik sebuah perpisahan yang terbungkus tawa; perpisahan yang menggembirakan.

Saya  jadi sajak Autumn Rainer Maria Rilke. 

Autumn

The leaves are falling, falling as if from far up,
as if orchards were dying high in space.
Each leaf falls as if it were motioning "no."
 

And tonight the heavy earth is falling
away from all other stars in the loneliness.

We're all falling. This hand here is falling.
And look at the other one. It's in them all.

And yet there is Someone, whose hands
infinitely calm, holding up all this falling.


Saat menulis catatan ini, di lantai bawah gedung Kramat Raya berlantai 8  ini terdapat pertunjukan wayang yang riuh dengan pelbagai ragam manusia. Tiba-tiba saya merasa sendiri dan teringat sajak Epri Tsaqib dalam buku manis Ruang Lengang (2007).

Di Ruang Itu

Di dasar ruang hatimu kutanam sunyi
Sebuah tempat yang selalu bisa kudatangi
Kapan saja aku mau termangu

Hari ini aku datang ke situ
Memandangi kamu yang galau

Lalu aku tulis sebuah sajak yang tak selesai
Kuletakkan di salah satu dindingnya

Kau boleh melengkapinya kapan saja
Atau membiarkannya basah sendirian
Dengan tetes airmatamu
 

***

Saya pernah berbicara begini kepadamu beberapa hari lalu,"Cinta selalu menemukan jalannya sendiri. Namun saat ini ia bersembunyi, dan menunggu kalian menjemputnya. Lalu berjalan beriringan menuju tujuan yang kalian inginkan"

Saya akan selalu berkata ini.

Salemba, 1 Februari 2013
@DedikPriyanto
Baca juga:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar