Tendang, Terjang, Hadang

Kamis, 10 Mei 2012

Sastra dan Perlawanan Pada Korupsi

Judul               : 86
Penulis             : Okki Madasari
Tahun              : I, Maret 2011
Penerbit           : Gramedia, Jakarta.
Tebal               : 252 Halaman



Novel ini berkisah tentang fenomena praktik korupsi yang kian meruyak, menggurita dan tiada pernah berujung pangkal di negara kita. Istilah ‘Delapan Enam’ agaknya sudah lazim, dan biasa digunakan para panitera, hakim dan pengacara, serta para pegawai di jajaran pemerintahan.

Adalah sosok Arimbi, perempuan yang diceritakan oleh penulisnya, Okki Madasari, untuk menjadi pengantar dalam memetakan realitas praktik korupsi yang menjamur. Sebagai pegawai rendahan, dan hanya bergaji 2, 5 juta per bulan, tiadalah cukup bagi Arimbi membiayai hidupnya di Jakarta. Apalagi ia berasal dari kampung, dan dibanggakan oleh keluarga sebagai generasi pewaris yang menjadi pegawai. Beban besar pun serasa menggelayut di pundaknya.

Laiknya pegawai baru yang masih polos, Arimbi bingung dengan pola kerja yang diperintah oleh para atasan yang seringkali harus mengubah surat maupun laporan demi kepentingan atasan. Apalagi ia sejak kecil memang terdidik untuk berlaku jujur. Bahkan untuk tes kepegawaian pun ia tidak mengeluarkan sepeserpun.

Awalnya ia risih. Atasannya, Bu Danti, lalu mengajarinya banyak hal tentang administrasi. Walau tanpa sadar, sebenarnya ia telah dicekoki pola-pola manajerialnya yang cenderung menyeleweng dari tugas yang seharusnya dikerjakan sebagai seorang juru ketik. Semua itu seakan menjadi kebiasan dalam tugas barunya itu di ibu kota.

Seiring berjalannya waktu, tanpa benar-benar disadari, ia terjerat pada alur yang membawanya pada praktik korupsi. Berawal dari hadiah-hadiah kecil yang diberikan atas jasanya. Hal itu kemudian menjadi sesuatu yang lumrah. Bahkan menjadi sebuah keniscayaan dalam kesehariannya bekerja. Pun hubungannya dengan Ananta, yang merupakan prototype lelaki metropolis  membuatnya harus memutar otak guna mendapatkan penghasilan berlebih.

Hingga pada sebuah kasus seorang pengusaha besar, Arimbi dijadikan tameng oleh Bu Danti yang gerak-geriknya sudah mulai terendus oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia diminta untuk menemui dua orang perwakilan terdakwa yang menginginkan kasusnya segera selesai. Di sebuah restoran itulah ia mulai menunjukan diri sebagai orang kepercayaan bosnya tersebut dengan melakukan transaksi yang bernilai miliaran rupiah.

Bagi Arimbi, ini adalah sebuah keuntungan yang sangat besar. Ia mulai sadar bahwa akan cepat menjadi seorang yang kaya seperti yang diidamkannya selama ini. Lambat laun, ia pun terperangkap oleh aparat kepolisian yang sudah lama mengincarnya. Hingga malang tak dapat ditolak, ia tertangkap basah membawa uang hasil suap  dalam sebuah tas ketika berada di rumah Bu Danti.

Ia pun menyalahkan atasannya tersebut. Bahkan akan membeberkan semua kejahatan yang dilakukan Bu Danti. Namun, semua terasa hampa. Bosnya merupakan perempuan yang licin, dan memang sudah terkenal sebagai makelar kasus yang beberapa kali sukses mengelabui hukum. Kelihaian, serta jaringannya yang kuat membuatnya menjadi aman dari jeratan hukum yang berat. Korbannya adalah pegawai kecil seperti Arimbi.

Tak ayal, kasusnya pun menyebar dan menjadi santapan empuk para wartawan cetak dan elektronik. Pada titik itu, bisa dibayangkan bagaimana efek psikologis mendera Arimbi dan keluarga. Rasa malu juga yang pasti menyakiti hati orang tua saat melihat anaknya di TV, dirubungi orang-orang dan disebut menerima suap (hal.56)

Sungguh ironis. Ketika menjalani proses hukuman dalam penjara, Arimbi bertemu dengan realitas yang juga tidak jauh-jauh dari praktik korupsi,  suap dan pungli yang dilakukan petugas. Bahkan lebih ekstrem. Ia yang tidak punya uang sama sekali, harus rela tidur berdempetan dengan tahanan lain. Sedang Bu Danti dengan kekuatan uangnya, mampu hidup mewah dalam penjara.

Melalui  novel ini, Okky mencoba untuk mengembalikan sastra sebagai bentuk perlawanan terhadap realitas yang terjadi dalam masyarakat. Isu korupsi yang menjadi  latar utama kisah ini mampu digarap dengan cukup rapi, tidak konspiratif, dan rasional. Pembaca seolah diajak untuk mengikuti alur jejak sebuah sistem korupsi yang sudah yang menjalar dan sukar untuk ditolak.


Dedik Priyanto, penikmat buku. Jurnalis di majalah Surah; medan sastra Indonesia. Kord. Forum Studi Mahasiswa Piramida Circle Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar