Tendang, Terjang, Hadang

Senin, 23 April 2012

Bung Karno dan Persatuan Yang Dilupakan


Catatan narasi seusai kelas di Sekolah Pemikiran Pendiri  Bangsa (SPPB) di Megawati Institute, diampu Bu Mega, Yudi Latif dan Peter Kasenda
Oleh: Dedik Priyanto


Membincang Bung Karno memang tidak akan pernah selesai dengan satu paradigma berpikir. Banyak varian yang ternyata kalau diceruk lebih dalam, banyak yang  tidak kita sadari. Salah satu di antaranya adalah nasionalisme dan persatuan, yang menurut Peter Kasenda, adalah ruh dari pelbagai banyaknya spektrum yang digarap sang  pemimpin besar Revolusi.

Dalam orasinya, Ibu Megawati Soekarnoputri, yang merupakan anak biologis Bung Karno, menarasikan hidupnya tatkala orba memimpin negara, dan perlakukan tidak layak yang diterima. Bukan hanya itu, banyak anak ideologis mereka yang tidak dapat mengecap pendidikan, bahkan terlempar dari masyarakat, hanya karena kekuasaan an sich

Fakta terpapar dengan gamblang ketika ibu membawa buku ‘Di Bawah Bendera Revolusi’ dan cukup mengagetkan ketika ia menyayangkan teman-teman muda yang dinilai keluar dari rel perjuangan. Hal ini sangat kontras dengan jaman para Founding Fathers, yang tidak hanya mencurahkan seluruh dirinya untuk negara, lebih dari itu ketidakmampuan anak muda sekarang yang—bahkan—sering berperang dengan sesama. Ini karena tidak adanya musuh bersama seperti pada jaman kolonial.

Kolonialisme gaya baru inilah yang harus diperhatikan oleh banyak kaum muda. Peter Kasenda menyebut Soekarno sebagai ‘pemersatu’. Ini pula yang menjadi titik diskusi, bagaimana bisa dikatakan pemersatu jika Nasakom yang dibuatnya justru membelah negara?

Tiga konsep yang digabung ini, kerap dicederai dengan pemerataan soal komunisme. Bahwa segala yagn berbau Nasakom adalah komunis, dan tidak ada yang lebih jahat dari komunisme di dunia ini, karena bagi mereka yang paling penting adalah revolusi. Cara pandang seperti ini yang ditiupkan oleh orba, bahwa penyamarataan komunisme dengan Soekarno menjadi bias, jika kita berkaca pada konsep Nasakom.

Bagaimana Nasionalisme dikebiri menjadi sangat kecil bernama Komunisme/sosialisme?

Peter Kasenda dengan menyitir Ruth Mc Avey (1986),  menyatakan sebagai sebuah ‘ketakutan’ terhadap ide besar sang pemimpin. Bahkan seperti ditulis dalam makalah seluruh kegiatan mereka dikebiri, kegiatan politik, dibatasi lebih lanjut sehingga hampir tidak mungkin bagi para pemimpin Indonesia untuk menyebarkan ide-ide kritis ( Ruth McVey, 1986 : 30 - 31 )

Agama sebagai bagian Nasakom lebih banyak dihuni orang islam Nasionalis (NU) dibandingkan yang bercorak islam kenegaraan semacam Masyumi dlsb. Mahbub Djunaidi adalah pencatat yang cukup baik tentang ini, bahkan ia menyebut pikiran Soekarno tentang Pancasila sebagai falsafah yang hakiki, bahkan lebih sublim dari Declaration of Indepence nya Thomas Jefferson dan Komunisme Hegel dan Marx.

Penulis bertanya tentang keterkaitan orang eks-PSI (Partai Sosialis Indonesia) dalam meruntuhkan pemerintahan Soekarno, dan bagaimana kaum eksil menjadi orang berdiaspora di negara-negara timur. Peter Kasenda memberi jawaban yang cukup gamblang, bahwa inilah salah satu cara mereka berdiplomasi sebagai partai kecil dan berafiliasi ke barat.

Menarik lagi ketika Budiarto Shambazy menambahkan soal peran militer. Terutama soal dewan jenderal yang dihembuskan oleh mereka. Terlihat sangat jelas bagaimana isu ini menjadi garing. Dan menemukan banyak eksil yang menjadi orang yang cukup berpengaruh di tempat pembuangan. Misalnya, ada beberapa yang jadi guru besar di Hongaria, Rusia, dan negara di timur. Dan karena Soeharto, mereka tidak bisa pulang karna dianggap bagian dari bung Karno.

Jika menengok pendapat Ruth Mc Avey bahwa antara Aidit dan Njoto terjadi perbedaan yang signifikan tentang gerakan komunisme. Bahwa Aidit mengingkan revolusi secara cepat, sedangkan Njoto ingin perlahan dengan memerhatikan situasi, serta perkembangan Soekarno. Untuk itu, ia tidak setuju dan cenderung tidak tahu menahu ihwal kudeta PKI.  

Hingga  peristiwa ini sebagai alat politik menjungkilkan pemerintahan Demokrasi Terpimpin. Selepas itu, tak ayal ketegangan terbangun. Soekarno dihimpit olehi semua sisi orba. Bahkan para anak ideologis dan biologisnya tidak mendapatkan akses yang layak sebagai warga negara. Ini pula yang diwartakan Bu Mega, bahwa di jaman kolonial pun pendidikan bisa agak mudah mereka terima, tapi keti bangsa sendiri yang memimpin sangat  berebda. Mereka kesulitan mengakses pendidikan. 

Inilah ironi, terlepas dari itu Bung Karno tetaplah pemersatu yang kadang dilupakan oleh bangsanya sendiri. 

NB: tidak sengaja saja saya menemukan tulisan ini, saya tulis ulang dan beginilah hasilnya. Tanpa diubah isi. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar