Tendang, Terjang, Hadang

Senin, 19 November 2012

Memulung Kenangan di Lempuyangan


Hari ini, sebulan yang lalu, saya masih duduk terdiam di stasiun Lempuyangan, sebuah stasiun yang menyisakan kenangan tentang sebuah kota, Jogja. Saya dan barangkali anda pernah mengalami hal demikian; kereta yang berderit sesaat sebelum berjalan, parau bel kereta yang merupa lengkingan sirine pemadam kebakaran, orang-orang bergegas mencari tempat singgah melanjutkan perjalanan, dan tentu saja lambaian tangan dari mereka-mereka yang ditinggal.

Selalu ada perpisahan di stasiun.

Perpisahan selalu tidak enak. Sama tidak enaknya seperti lengkingan musik dari kamar sebelah yang kita tidak tahu kapan ia berhenti, dan kita tidak pula berani sekadar menegur. Ada geram yang tak mampu kita luapkan, ada getir yang kadang tak selesai dengan sebuah tangisan.

Stasiun adalah persinggahan antara perpisahan pelbagai manusia, dan tentu saja selalu ada harapan dibaliknya. Harapan akan pertemuan-pertemuan yang barangkali menjadi candu bagi mereka yang ingin bertemu kembali orang yang melambaikan tangan dari balik jendela kereta yang kau tumpangi. Mereka yang dikasihi, mereka yang selalu ingin ditemui.

Lalu, apakah di stasiun kita bisa memulung kembali kenangan-kenangan yang berserak?

Saya tidak tahu jawaban anda, tapi saya tahu dengan pasti jawaban saya, Iya. Saya mengalami itu; kenangan-kenangan yang tiba-tiba merasuk dan menjejali alam bawah sadar saya. Bahkan tempat duduk saat kita kereta melaju juga begitu berpengaruh pada jalinan kenangan yang tiba-tiba saja merambat pada diri kita lazimnya parasit pada sebuah pohon yang sukar kita enyahkan. Butuh racun barangkali, atau golok untuk menebang parasit itu.

Kenangan itu dingin, adanya. Saya tidak tahu dari apa ia terbuat, mungkin dari serpih paling sunyi yang dititahkan Tuhan kepada manusia. Lebih sepi dari kebahagiaan, kegembiraan, dan bahkan kebohongan-kebohongan.

Saya tidak tahu, saya tidak pernah mengerti itu. Kenangan itu merayap begitu saja, kadang ia bisa memakan sendi-sendi rasionalitas yang terbangun sebagai sebuah bangunan yang sudah terbangun dengan utuh. Tak jarang, ia menjadi merupa tiang. Tiang yang begitu rapuh, pastinya.

Saya begitu sukar untuk menghalau kenangan-kenangan ini. Di stasiun, kenangan-kenangan begini tidak tersedia pada peron-peron yang menyediakan karcis untuk ditinggalkan. Juga tidak mungkin ada penitipan dan sewa yang menyediakan harga khusus bagi jasa penitipan kenangan. Kalau toh ada, dengan senang hati, saya akan menyewanya.

Kita hidup dengan kenangan-kenangan yang kita tidak pernah tahu kapan datangnya. Kadangkala kenangan itu manis, namun kebanyakan berupa tebing yang curam dan kita berasa berdiri di sana, memandang dari tubir, di bawahnya penuh dengan kesedihan, kesunyian. Sebisa mungkin kita menutupnya, sebisa mungkin anda membuangnya.

Barangkali inilah sifat kenangan; bisa ditutup, tidak bisa dihilangkan. Begitu tidak menyenangkan, bukan? Kadang kenangan ini membutuhkan pemantik laiknya revolusi pada ketidakdilan yang terus menggurita.

Saya menemukan pemantik itu pada seorang perempuan. Seseorang yang tidak pernah saya imajinasikan sebelumnya, yang tiba-tiba datang dan mengajak saya untuk melompati jurang kenangan-kenangan.

Perempuan yang menyeru kepada saya untuk memandang dengan berbeda kenangan yang begitu tampak dingin, begitu sunyi. Perempuan yang membuat dada saya bergetar tatkala mendengar namanya disebut, perempuan yang membuat saya  tidak mempercayai keindahan lain selain senyumnya, di malam itu.

Perempuan itu, perempuan yang tidak pernah bisa saya definisikan.

Di Lempuyangan ini, saya menemukan arsiran kenangan-kenangan yang berserak. Saya memulung kenangan lawas saya, ihwal perasaan cinta yang entah kapan saya lupa terakhir kali saya merasakannya. Saya menemukannya kembali, tidak sengaja, dalam sebuah pertemuan yang tidak pernah saya rencanakan sebelumnya. Semua terjadi begitu saja, dan saya tidak pernah bisa berpaling; menjumput satu per satu kenangan itu lalu membingkainya rapat-rapat. Untuk siapa? Ah, saya enggan menjawabnya.

Apakah anda juga pernah mengalami ini? Hanya anda yang bisa menjawab.

Ciputat 15 Nov '12
@DedikPriyanto


2 komentar:

  1. kenangan indah di kereta senja bersama seorang gadis yg kini entah dimana, antara jakarta dan malang ada seuntai kenangan yang terabadikan diatas kertas surat darinya...miss you dear ika rahmawati

    BalasHapus
  2. Terima kasih, Ika, sudah berkunjung. Omong-omong, apakah ini Ike kawan saya saat di Bojonegoro.

    Tabik

    DeP

    BalasHapus