Tendang, Terjang, Hadang

Selasa, 20 November 2012

Hujan dan Ingatan Akan Mbah Nang



Saya begitu suka hujan. Apalagi hujan yang sebentar. Hujan yang gemericiknya bisa saya nikmati dari balik jendela; memandang rintik yang turun ke tanah berebutan, menyaksikan riak kecil genangan hujan, dan kecipak tanah yang berebut bunyi dengan hentakan kaki orang-orang yang bergegas mencari tempat berteduh.

Hujan selalu menyeret pada kebahagian kecil yang pernah  saya cecap, tatkala masih ingusan, masih belia.

November adalah mula musim penghujan di hampir sebagian wilayah negara kami. Hujan yang begitu saya tunggu, hujan yang terus mereka tunggu. Hampir lima bulan—bahkan lebih—saya tidak bisa menikmati hujan, mereka tidak bisa memanfaatkan hujan; ladang-ladang tandus, pohon-pohon jati meranggas, dan alam yang kian memanas. Toh, November telah mengakhiri kegundahan saya akan hujan, kerinduan mereka pada hujan.

Seperti juga malam, hujan kerap menyimpan kemuraman. Sesuatu yang saya anggap teman paling setia dalam hidup ini. Tentu saja selain sepi. Berkumpul dengan kawan-kawan adalah acara mencari kesepian. Apalagi kawan-kawan yang sudah begitu lama tidak berjumpa. Di situ, saya bisa menemukan bentuk paling sepi yang dimiliki manusia-manusia; kesunyian dalam gelak tawa mereka.  Saya kerap memerhatikan raut muka mereka saat tertawa, barangkali mereka juga tidak menyadari, barangkali saya terlalu memaknai.

Saya mengalami bentuk sepi ketika pada suatu malam, selepas diskusi yang melelahkan, permainan kartu yang begitu membosankan, batang-barang kretek yang tak sanggup saya hempaskan, dan beberapa gelas kopi yang tak selesai saya tandaskan. Saya merasa sepi di antara riuh percakapan-percakapan. Saya merasa begitu sunyi, bagaikan suara saksofon yang berbunyi sendirian di sebuah taman, seperti lengkingan radio yang serak pada lelap pemiliknya. Tiada pernah tahu kapan berhenti, tidak pernah mengerti kenapa terjadi.

Saya merasa malam itu bukan malam yang biasa. Tentu saja bukan malam sederhana. Ternyata memang benar, adanya. Ada pilu yang tiba-tiba menusuk, ada tangis yang secepat kilat  hinggap. Dada saya bergemuruh, hati saya lindap bagai batang edelweiss yang tidak sanggup tumbuh. Ada duka yang tak sanggup saya bicarakan, tidak sanggup saya wartakan.

Saya merindukanmu, Mbah Nang. Saya kangen pada perintahmu untuk mengisi tempat wudhu. Saya kangen pada hardikanmu jika sore sudah menyergap. Saya kangen pada ajakanmu untuk potong rambut di sebuah pasar. Saya kangen mengantar sarapanmu ke ladang. Saya kangen kau suruh mengisi bak-bak mandi. Saya kangen kau marahi.

Hujan selalu menyimpan rindu. Hari ini saya rindu pada lelaki 97 tahun itu. Lelaki sederhana dengan orang-orang sederhana di sampingnya. Lelaki yang kerap minta saya bocengkan sekadar silaturrahim ke tempat yang kerap tidak pernah saya ketahui. Lelaki yang dalam renta itu pernah menangis tersedu-sedu karena lupa tidak menghadap-MU.

Lelaki yang karena dia tiap malam saya mendengar lengkingan wayang dari suara radionya yang serak. Lelaki yang sepanjang hidupnya selalu menyegerakan memberi bantuan mereka yang membutuhkan dibanding rengek cucunya minta dibelikan mainan.

Saya tidak sanggup menangis, Mbah Nang, sampean pasti tahu itu. Barangkali tangis saya merupa hujan di malam ini. Hujan telah mewakili tangis paling getir yang pernah saya rasakan. Kenapa sampean pergi pada saat November?

Ah, barangkali sampean telah berkolaborasi dengan Tuhan, supaya mereka-mereka yang sampean tinggalkan tidak menangis tersedu. Sudah ada hujan mewakili, sudah ada hujan sebagai pengganti.

Saya selalu suka hujan. Hujan yang sebentar. Hujan yang tidak membuat kita merutuki semesta. Hujan yang terkadang menyimpan rindu, tak jarang merupa pilu.

Malam ini hujan turun dengan sebentar, Mbah. Langit tampak murung, tepat pada delapan hari sampean meninggalkan kita semua. Saya suka dengan suasana ini. Saya merasa sampean begitu dekat. Saya merasa sampean sedang tertawa renyah menyaksikan kami.

Mbah, kapan kita nonton bola lagi?

Saya kerap ke Stadion GBK, menonton pertandingan bila. Saya tahu, sepanjang hayat sampean begitu ingin ke sini. Saya juga tahu, sampean kerap memandang hujan dari jendela, dengan secangkir teh,  dan kopyah hitam yang tidak pernah lepas dari sempean kenakan.

Saya selalu suka hujan. Apalagi hujan yang sebentar. Hujan yang tidak bergegas. Hujan yang membuat saya duduk lebih lama di balik jendela. Memandang rintik yang tiba-tiba turun ke bumi dengan kecipaknya yang tidak meraung.

Entahlah, hujan malam ini membuat saya merindukanmu, Mbah…

Ciputat 19-11-12
@DedikPriyanto

2 komentar:

  1. kematian bukanlah rindu yang tak terjawab dan terbalaskan. Kematian adalah semakin dekatnya rindu kita untuk tersampaikan kepadanya dan kepadaNya
    Pray for Mbah Nang :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yup, Tante. Sudah ada hujan, sudah ada arsiran kenangan, dan terbasuh dengan rintik yang telah menghilang. Dedungo dumateng dulur sira kabeh ingkang sampun kapundut...

      Hapus