Tendang, Terjang, Hadang

Kamis, 13 Juni 2013

Mahasiswa, Opini, dan Sepotong Sajak Cinta

gambardiambil dari sini

Mahasiswa merupakan kaum intelektual, sekolompok orang yang sering dinisbahkan sebagai agen perubahan, dan bahkan agen untuk mengontrol kekuatan sosial (agent of social  kontrol). Kerap kita tidak bisa menelaah segala kemungkinan yang terjadi, bahwa istilah ini harus dipikul di pundak kita; mahasiswa.

Banyak cara yang dilakukan, baik itu turun ke jalan (demo), maupun dengan debat terbuka, maupun. Salah satu cara yang jarang dilakukan adalah dengan mempublikasikan pemikirannya dalam sebuah karya tulis. Baik itu berupa opini, artikel, maupun bentuk karya lainnya sebagai bentuk abstraksi kita terhadap sebuah permasalahan. Entah itu media massa, maupun di publikasi underground (pamflet dll), bahkan di jurnal ilmiah akademik.

Saya membayangkan, jika banyak mahasiswa yang mengambil jalan menulis sebagai salah satu pijakan dalam meretas pemikiran, maka tak dinyana, akan banyak varian kritis yang timbul akibat corak ini sebagai salah satu elemen penunjang dalam pergerakan, dan gebrakan peradaban. Jarang sekali sekarang kita menemukan para aktivis-cum penulis di kampus.

Hal ini kontras jika melihat jaman dahulu. Tidak usah jauh-jauh pada masa ‘90an ke bawah. Melainkan pada mahasiswa saat ini, hanya beberapa yang masih setia untuk menulis di media massa sebagai aktualisasi diri. Untuk bisa saya menyebut beberapa di antaranya, mahasiswa saat ini yang aktif menulis di media massa,  semisal Ecep Haryadi, Ali Rif’an, Abraham Zakky,  Tohirin, dan barangkali penulis sendiri.

Mengapa harus opini?

Maka, kita sering membayangkan, bahwa untuk bisa menulis di harian nasional kita harus menjadi orang yang sudah memiliki jabatan tinggi, atau paling tidak sudah setara dosen. Tapi, yakinlah bahwa seorang redaktur media massa selalu mencari tulisan yang up to date, atau gagasan orisinal tentang sebuah fenomena yang lagi tren saat ini. Untuk itulah, demi keberlangsungan pergerakan, menulis opini menjadi salah satu tema sentral.

Saya tidak akan berbicara tentang definisi, atau apapun, karena banyak sekali buku yang berbicara akan hal demikian. Untuk itu, saya akan berbagi bagaimana tahapan langkah dalam meretaskan pemikiran dalam bentuk opini/artikel di media massa. 

1.    Mencari ide tulisan
2.    Merumuskan masalah
3.    Mencari bahan
4.    Tata bahasa dan ejaan
5.    Akurasi fakta

Apa dan darimana?

Banyak cara dalam menulis sebuah opini, bahkan kalau kita mau gogling,  serta merta muncullah ribuan cara menulis opini. Dari kesemuanya itu, paling tidak ada dua, yakni. Mempelajari teori menulis baru praktik, dan menulis dulu, baru  teori belakangan.

Topik tulisan adalah berupa tanggapan tentang fenomena sosial yang terjadi saat ini. Contoh, apa tanggapan tentang bencana gempa dan tsunami di Jepang? Apa tanggapan Anda seputar pemerintahan SBY? Radikalisme, dan lain-lain. 

Seperti yang sudah disinggung tulisan opini adalah berupa tanggapan dari fenomena yang lagi tren saat ini. Dalam konteks tulisan opini di koran dan surat kabar, maka tulisan yang perlu kita telaah adalah sebagai berikut:

1.    Isi Editorial/Tajuk sebuah media
2.    Headline/Berita utama sebuah media.
3.    Tulisan opini.
4.    Hari besar Nasional dan Internasional

Kalau tidak dimuat?

Untuk Kompas dan Suara Pembaruan tulisan yang tidak dimuat biasanya mendapat pemberitahuan dari redaksi. Sedangkan di koran-koran lain tanpa pemberitahuan. Umumnya, kalau dalam waktu seminggu tulisan tidak muncul, berarti tulisan kita tidak dimuat dan bisa dikirim ke media/koran lain.

Maka, sering-seringlah kita cek. Biasanya, kalau sudah dicetak di koran, ia langsung juga akan diunduh di web tiap-tiap media yang berkenaan. Misal, kita menulis opini di suara mahasiswa Sindo, kita bisa cek di www.seputarindonesia.com , dll.

Biodata penulis agaknya menjadi penting. bisanya redaktur juga mempertimbangkannya, dan agaknya harus berkaitan dengan tema tulisan dan isinya singkat. Kalau kebetulan tema tulisan sesuai dengan jurusan dan/jabatan kita, maka jurusan/jabatan bisa digunakan sebagai biodata. Contoh, jika kalian ingin menulis tentang radikalisme, bisa misal menggunakan asal pesantren, atau memang lembaga yang berkenaan dengan itu. Contoh: Dedik Priyanto, Pegiat Forum Studi sosial dan Kegamaan Piramida Circle Jakarta dll.

Penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Itu sebabnya, tertarik untuk terjun ke dunia kepenulisan, syarat utamanya adalah harus merajinkan dan membiasakan diri untuk membaca. Membaca apa saja yang bisa dibaca. Semakin banyak yang kita baca, tentu perbendaaraan kita semakin kaya, dan begitu kita mengalirkan pada kertas, niscaya kita tidak bisa menghentikannya.

Laiknya sebuah sajak cinta, ia akan terus mengalir tatkala bertemu dengan apa yang disukainya dan menjadi dambaan diri. Beberapa barangkali akan berpikir bahwa menulis di media massa merupakan hal yang biasa saja. Bahasa yang digunakan pun biasa saja. Bahkan cenderung populer. Namun, mengapa para tokoh seperti Gus Dur masih terus menulis di media massa hingga hayat?

Jawabannya adalah cinta.

Cinta kepada rakyat, dan ingin menyapa mereka. Tentu ketiadaan ruang membuat tidak bisa bertemu setiap hari secara fisik. Maka, dari tulisanlah banyak orang yang akan ‘bertemu’ beliau, mendapat pelajaran dari beliau akan permasalahan yang sedang terjadi saat ini. Namun, semua yang dipaparkan ini tiadalah berujung apapun jika tidak memulainya.

Mulailah menulis sajak cinta kalian kepada rakyat dan bangsa dengan pemikiran yang kalian miliki. Walau sedikit, tapi sebagai mahasiswa ini adalah salah satu cara kita untuk lebih dekat kepada mereka. Saya teringat ujaran Stephen King.“Tiadalah aku menulis karena aku pintar,  bukan karena aku memahami dunia, melainkan karena aku tidak memahaminya.



*catatan untuk diskusi di dalam rangkaian kurpol di sebuah organisasi mahasiswa di Jaksel.     Cipanas, 23 Maret 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar