Tendang, Terjang, Hadang

Minggu, 20 Februari 2011

Kekerasan di Tengah Kebhinekaan


Opini di Harian Suara Karya, Jumat 18 Pebruari 2010

Oleh Dedik Priyanto*

Akhir-akhir ini, kerukukan antar-umat beragama berada pada titik yang mencemaskan. Betapa tidak, merebaknya semangat kedaerahan dan tindak kekerasan semakin menambah muram wajah multikulturisme yang sudah mengakar kuat di Bumi Pertiwi. Lalu di manakah negara yang konon terkenal santun, ramah dan soleh dalam beragama itu?

Realitas ini agaknya harus dimengerti bagi segenap insan bernegara bahwa agama tidak hanya melulu soal ritual (syar'i) maupun aras dogmatis (aqidah). Hal ini, berjungkir terbalik dengan dua peristiwa yang terjadi beberapa tempo lalu. Bahwa atas nama agama, sekelompok orang menyerang jemaah Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten. Buntutnya, korban jatuh tak terelakkan. Begitu halnya dengan penyerangan sebuah tempat ibadat di Temanggung, Jawa Tengah. Itu hanya sepercik bukti bahwa ketenangan sebagai warga telah terusik, atau jangan-jangan Ibu Pertiwi menangis menyaksikan polah dan pongah sivitasnya.

Secara historis, perbedaan antar-agama yang kerap diributkan itu, pada dasarnya sudah selesai pada ranah negosiasi akar rumput (grass root). Fakta ini mengemuka dengan realitas bahwa pada zaman dahulu kehidupan sudah sangat plural-multikuturalis. Bisa ditengok, misalnya, pada zaman raja-raja kuno, seperti adanya dua kekuatan besar Nusantara; Sriwijaya dan Majapahit.

Di kedua kerajaan itu, geliat kebebesan beragama mencapai titik yang cukup menggembirakan. Di Sriwijaya, misalnya, umat Hindu sebagai mayoritas mampu berinteraksi dengan penganut Budha dan aliran kepercayaan lainnya sebagai minoritas. Begitu halnya di masa Majapahit. Hubungan antar-agama laiknya tubuh yang saling membutuhkan.

Itu pula awal sendi 'kebhinekaan' tanpa nama yang sudah ada semenjak masa lampau. Menyitir pendapat Gus Dur, bahwa negara Indonesia sebenarnya sudah ber-Pancasila sejak dahulu kala. Lalu, kenapa sekarang keberagamaan dan kemajemukan itu justru tampak sangat garang dan menakutkan?

Pada titik ini, konsep Pribumisasi Islam yang digelontorkan Gus Dur agaknya dapat menjadi oase atas kedahagaan relasi beragama. Bagi beliau, akulturasi agama Islam dengan budaya adalah sebuah keniscayaan. Jika agama itu ingin menjadi generator dalam tatanan sosial, menuju perubahan yang lebih baik. Itulah mengapa kedua korpus itu menjadi penting dalam melerai keberagaman yang jatuh pada definisi populis, yakni kemajemukan Nusantara.

Kedua kutub itu agaknya belum mampu dimengerti oleh para perusuh yang mengatasnamakan agama dalam segala tindak-tanduknya. Mereka seakan terkontaminasi dengan perangai hirarkis atas dalih 'kekalahan' meta-teologis yang telah berkolaborasi dengan kapitalisme yang diusung barat. Pun dialektika politik yang kerap tidak bersahabat dengan kelompok mereka dalam membangun basis sosial keagamaan.

Agaknya yang digeluti mereka yang acapkali mereduksi agama dalam bentuknya yang garang. Tafsir yang destruktif. Bahkan mencuat sebagai proteksi terhadap agama yang mereka anut. Bahkan tidak jarang berlaku kasar terhadap segala perbedaan. Seakan lupa, bahwa konsepsi mendasar agama-agama terdapat pada pada dua entitas besar yang menjadi dinamisator. Yakni, kasih sayang (rahman) dan persaudaraan sesama manusia (ukhuwah).


Term pribumisasi ini akan membuat agama yang telah berelasi dengan budaya itu terkonfigurasi sebagai proyek yang belum selesai. Karenanya, akan terus berkembang selaras dengan arah peradaban. Menyitir tesis Emile Durkheim (1954), bahwa segala konsepsi yang dimiliki manusia terhadap agama merupakan bentuk abstraksi masyarakat atas apa yang tercermin dalam kehidupan sosial yang mereka jalani.


Kegagalan Negara


Bagi JJ Rosseau (1649), negara haruslah menjadi pelindung setiap warganya. Sebab, ia telah merenggut kebebasan alamiah yang dimiliki ketika belum adanya negara (state of nature). Keadaan alamiah terjelmah dalam bentuknya yang sangat baik. Karena kebebasan alami yang dimiliki, tentu memiliki determinan dalam menengok poros kebaikan dan keburukan sebagai titik pijak dalam mengejewantah kebebasan.

Keadaan seperti itu, kata Rossesu, tidaklah akan bertahan lama sejalan dengan arah peradaban manusia yang terus memekar. Maka dari itu, dibutuhkanlah negara sebagai perekat kebebasan-kebebasan itu, serta sedikit menguranginya (social contract). Jika kebebasan itu diteruskan, ditakutkan malah akan menjadi redefenisi kebebasan ke arah yang destruktif. Meminjam ucapan Hobbes, menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus).

Kegagapan negara dalam memberikan keamanan setiap penduduknya inilah yang agaknya menjadi titik persoalan mengapa kebhinekaan dan kemajemukan kita terusik. Penulis kira ada tiga hal fundamental hal yang harus ditilik sebagai episentrum negara yang berdaulat.

Pertama, ancaman disintegrasi. Kerap perkara ini dianggap selesai oleh banyak orang. Namun, barangkali satu hal yang terlupa bahwa proses menuju integrasi sosial itu kerap disubstitusikan dalam korpus kebudayaan dan interaksional semata. Padahal wacana dialogis agama-agama juga kerap menjadi pergunjingan tersendiri pada bentuknya yang komunal.

Bisa dilihat, misalnya, pada kasus India dan Pakistan yang tidak hanya lepas pada ranah 'pseudo-politics', tapi adanya ketidakmampuan negara sebagai payung pemersatu. Indonesia, agaknya akan mengalami kejadian yang sama. Jika negara'lagi-lagi' gagal menjalankan tugasnya, serta hanya memikirkan kekuasaan dan citra terhadap suatu masalah an sich.

Kedua, politisasi agama. Dua anasir ini ibarat dua mata sisi yang melengkapi. Bahwa agama dan politik tidak pernah lepas sebagai sesuatu yang sudah terkodifikasi (sunnatullah). Namun, menjadi bermasalah jika agama itu dipolitisasi oleh segelintir golongan untuk kepentingan pribadi atau kelompok mereka. Buahnya, adalah kekerasan yang berbau agama.

Ketiga, identitas negara. Acapkali menjadi Indonesia adalah menyerupa nasionalis tanpa mengamit agama sebagai teman sejawat dalan lelaku. Padahal identitas itu bukanlah embrio dari Pancasila yang digadang sebagai paradigma berpikir bangsa. Hibridisasi agama dan nasionalisme merupakan bentuknya yang hakiki. Di situ, terdapat landasan bangsa yang bertumpu pada toleransi, kebersamaan, kekeluargaan dan sikap saling menyayangi antara sesama.

Untuk itulah, segala silang sengkarut perbedaan tidak dibenarkan berakhir dengan kekerasan. Jika itu terjadi, benarlah moderat yang telah mengakar itu telah tercerabut dari muasalnya. Penulis terpantik kelakar filosofis dari sastrawan muda, A Makki, pertengkaran demi meributkan perbedaan, apalagi sampai mengepal tinju dan melempar batu, adalah kebisingan yang mengganggu tidur siang.


* aktivis Forum Studi Lintas Agama Piramida Circle Jakarta


tulisan bisa diakses di

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=272635

bisa juga di;

http://www.wahidinstitute.org/Opini/Detail/?id=251/hl=id/Kekerasan_Di_Tengah_Kebinekaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar